• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai parameter fisika dan kimia di perairan Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 2, sedangkan konsentrasi unsur hara dan klorofil-a disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air yang dihitung pada 15 stasiun

pengamatan di Teluk Jakarta

Stasiun Parameter Suhu (°C) Kecerahan (cm) Salinitas (‰) pH (mg/L) BOD DO (mg/L) 1 29,9-30,4 150-780 28-30 8,17-8,65 3,2-1,9 6,1-8,4 2 29,6-30,5 170-450 23-27 8,14-8,82 6,7-1,9 6,5-8,8 3 29,2-30,9 80-105 8-21 7,45-8,35 2,4-6,7 4,1-5,8 4 30,7-30,2 180-850 28-31 8,29-8,68 1,7-6,7 6,6-9,4 5 30,1-30,6 170-450 26-31 8,24-8,83 0,9-2,4 6,7-11,0 6 31,4-30,8 120-420 29-31 8,37-8.84 1,9-2,5 5,8-10,3 7 30,7-31,0 280-350 30-31 8,4-8,71 2,0-3,2 6,80-10,1 8 29,9-31,5 100-280 27-31 8,33-8,93 1,4-6,7 7-10,5 9 30,4-32,1 20-140 8-31 7,4-8,50 2,5-8,7 5,4-9,4 10 30,8-32,4 40-200 21-31 8,43-8,98 2,5-8,4 6,2-14,5 11 29,9-30,7 20-55 5-18 7,40-8,22 2,4-6,7 2,2-3,6 12 29,9-31,2 110-280 5-31 8,30-8,83 1,6-6,7 6-10,6 13 30-30,8 20-60 0-29 7,3-7,59 6,3-10,6 0,6-10,7 14 25-32,4 7-28,7 0-5 6,54-8,06 6,6-10 0,5-1,7 15 25-32,6 30-7,32 0-25 7,52-8,85 4,2-8,7 5,5-9,7 Sumber Damar et al. (2013)

Tabel 3. Konsentrasi unsur hara dan klorofil-a di perairan Teluk Jakarta.

Parameter Stasiun Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO2-N)+ Amonium (NH4)+ Ortho Phosphat (PO4-P) + Silikat

(SiO2) DIN Klorofil a 1 0,047 0,007 0,126 0,020 0,099 0,179 3,765 2 0,126 0,013 0,362 0,074 0,535 0,500 11,712 3 0,030 0,004 0,638 0,218 0,749 0,670 3,843 4 0,092 0,005 0,848 0,020 0,086 0,942 14,605 5 0,015 0,009 0,071 0,060 0,089 0,090 4,816 6 0,145 0,007 0,159 0,026 0,114 0,307 5,945 7 0,292 0,007 0,112 0,227 0,094 0,407 5,894 8 0,041 0,013 0,128 0,024 0,047 0,182 9,770 9 0,093 0,027 1,212 0,079 0,328 1,332 8,437 10 0,037 0,013 1,047 0,172 0,264 1,096 21,339 11 0,041 0,008 1,484 0,255 0,555 1,529 3,783 12 0,122 0,010 0,101 0,039 0,143 0,232 11,721 13 0,021 0,008 1,617 0,266 0,617 1,645 1,741 14 0,228 0,016 2,398 0,513 0.720 2,641 0,385 15 0,134 0,026 0,651 0,243 0,602 0,811 23,627 Sumber Damar et al. (2013)

8

Suhu

Berdasarkan nilai sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 3, dapat di lihat bahwa pengambilan sampel tahap I sebaran nilai suhu lebih tinggi di Muara Marunda ke tengah perairan dibandingkan di Tanjung Priok dan Muara Angke. Sebaran nilai suhu pada pengukuran sampel tahap II dan IV memiliki pola yang sama yaitu semakin ke arah arah lepas pantai nilai suhu semakin tinggi, dengan nilai kisaran 30,8-32,4°C yang terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Akan tetapi pada pengukuran sampel tahap III pola sebaran menunjukan nilai suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga tahapan pengukuran sampel lainya, dengan nilai kisaran 25-32,4°C nilai terendah ditemukan di stasiun 14 Tanjung Priok, dengan nilai kisaran 24,5-33,5°C. Variasi sebaran suhu yang ditemukan terutama di Tanjung Priok dan Sungai Angke disebabkan karena kondisi musim dan adanya perbedaan waktu pengukuran sampel (pagi dan siang hari).

Gambar. 3 Sebaran suhu (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Kecerahan

Berdasarkan nilai sebaran kecerahan selama empat kali pengukuran sampel (Gambar 4) diketahui bahwa semakin jauh dari daratan nilai sebaran kecerahan semakin tinggi. Kisaran kecerahan tertinggi ditemukan di stasiun 4 tengah perairan dengan kisaran 180-850 cm. Sebaliknya semakin ke arah sungai nilai sebaran lebih rendah dengan nilai kisaran 7-28,7cm yang ditemukan di

c

a) b)

stasiun 14 (Tanjung Priok). Rendahnya nilai kecerahan di wilayah sungai diduga disebabkan masukan bahan organik bersumber dari daratan yang terdorong oleh aliran air melalui sungai, sehingga dapat menyebabkan nilai kecerahan semakin rendah dibagian sungai. Penurunan kecerahan terjadi seiring peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh adanya bahan organik, anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme (APHA 1976).

Gambar. 4 Sebaran kecerahan (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Salinitas

Berdasarkan nilai sebaran salinitas selama empat kali pengukuran sampel (Gambar 5) diketahui bahwa pada pengukuran sampel tahap I nilai sebaran salinitas lebih tinggi ditengah perairan baik Marunda, Priok, dan Angke dibandingkan ke muara sungai. Kisaran nilai salinitas cukup tinggi dengan kisaran 30-31‰ yang terdapat di stasiun 7 (mulut terluar teluk). Salinitas yang tinggi di perairan Teluk Jakarta akan mempengaruhi organisme perairan. Hal ini disebabkan karena salinitas merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi fisiologi pertumbuhan dan aktivitas reproduksi organisme (Michael 2005).

Pada pengukuran sampel salinitas tahap II, III dan IV memiliki nilai sebaran yang sama yaitu nilai salinitas lebih rendah di wilayah Tanjung Priok dan Muara Angke, dibandingkan di Muara Marunda dengan nilai kisaran 0-25 ‰

yang terdapat di stasiun 15 Sungai Marunda.

a) b)

10

Rendahnya nilai salinitas di ke tiga tahapan pengukuran sampel tersebut diduga disebabkan karena masukan air tawar dari sungai sehingga dapat menyebabkan rendahnya salinitas di perairan.

Gambar. 5 Sebaran salinitas (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

pH

Berdasarkan nilai sebaran pH selama empat kali pengkuran sampel yang ditampilkan pada Gambar 6 diketahui bahwa di ke empat tahapan pengukuran sampel menunjukan nilai sebaran yang sama. Nilai pH lebih tinggi di Tanjung Priok dan Muara Marunda ke perairan lepas dibandingkan dengan Muara Angke, dengan nilai kisaran 8,43-8,98 terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Akan tetapi nilai pH lebih rendah ditemukan di wilayah muara Sungai Angke, dengan nilai kisaran 7,3-7,59 yang terdapat di stasiun 13 (Sungai Angke). Rendahnya pH diduga disebabkan karena masukan limbah organik terlarut yang mendominasi wilayah Muara Angke dibandingkan dengan Tanjung Priok dan Muara Marunda.

Berdasarkan kisaran nilai pH yang diperoleh, maka perairan Teluk Jakarta dapat dikatakan layak bagi proses pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton. McConnaughey (1974) menyatakan bahwa pH air laut bersifat basa dan umumnya berkisar antara 7,5-8,4. Nilai kisaran pH yang layak untuk kehidupan fitoplankton adalah sebesar 6-9. Diatom mulai berkurang perkembangannya pada nilai pH antara 4,6-7,5, namun demikian pada kisaran pH tersebut masih didapatkan berbagai jenis diatom.

a) b)

c)

Gambar. 6 Sebaran pH (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

BOD

Berdasarkan nilai sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran BOD ditemukan lebih tinggi di muara sungai dan mulut terluar teluk dibandingkan dengan di tengah perairan. Nilai BOD tertinggi ditemukan berkisar 6,3-10,6 mg/L yang terdapat di stasiun 13 Sungai Angke. Akan tetapi pengambilan sampel tahap II, III dan IV ditemukan nilai sebaran BOD lebih rendah di tengah perairan teluk dibandingkan dengan di muara sungai, dengan kisaran 0,9-2,4 mg/L yang terdapat di stasiun 5 (tengah perairan Tanjung Priok). Hal ini diduga disebabkan karena masukan bahan organik yang semakin berkurang dari Tanjung Priok, sehingga dapat menyebabkan rendahnya nilai BOD di wilayah tengah perairan.

a) b)

12

Gambar. 7 Sebaran BOD (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

DO

Berdasarkan nilai sebaran DO selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 8), diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran DO lebih tinggi di tengah perairan Tanjung Priok dibandingkan dengan Muara Sungai Angke dan Muara Marunda. Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel tahap II menunjukan bahwa semakin ke arah lepas pantai nilai sebaran DO semakin tinggi dibandingkan ke arah sungai, dengan nilai kisaran 6,2-14,5 mg/L yang terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel tahap III menunjukan pola bahwa nilai DO lebih tinggi di Tanjung Priok dan muara Sungai Marunda dibandingkan dengan muara Sungai Angke. Sedangkan nilai sebaran DO pada pengambilan sampel tahap IV menunjukan bahwa nilai DO lebih rendah di Sungai Angke dan Tanjung Priok dibandingkan di muara Sungai Marunda, dengan nilai kisaran 0,5-1,7 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok).

Rendahnya sebaran nilai DO di beberapat titik pengamatan terutama pada waktu pengambilan sampel tahap ke IV diduga disebabkan karena tingginya masukan bahan organik di kawasan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi nilai DO di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan baku mutu air laut KMNLH No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, (Lampiran 3) dijelaskan bahwa permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen > 5. Apabila

a)

c) d)

dibandingkan dengan nilai yang didapatkan diperairan Teluk Jakarta, maka secara umum diduga masih dapat mendukung kehidupan organisme.

Gambar. 8 Sebaran DO (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Nitrat [NO3-N]

Berdasarkan nilai sebaran nitrat yang ditampilkan pada Gambar 9 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrat lebih tinggi di bagian terluar teluk (mulut teluk) dan muara Sungai Marunda dibandingkan dengan Tanjung Priok. Selanjutnya pengambilan sampel tahap II dan III menunjukan pola yang sama yaitu nilai nitrat lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,228 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Sedangkan pengambilan sampel tahap IV ditemukan sebaran nilai nitrat semakin rendah ke arah tengah perairan dibandingkan ke perairan lepas (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,030 mg/L yang terdapat di stasiun 3 (tengah perairan).

Rendahnya sebaran nilai nitrat di beberapa titik pengamatan terutama pada waktu pengambilan sampel tahap ke IV, diduga disebabkan karena masukan nutrien hanya mendominasi di wilayah sungai, sehingga semakin jauh ke perairan konsentrasi nitrat semakin berkurang. Hal tersebut dapat mempengaruhi rendahnya nilai nitrat di perairan Teluk Jakarta.

a) b)

14

Gambar 9. Sebaran nitrat (NO3-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Nitrit [NO2-N]

Berdasarkan nilai sebaran nitrit yang ditampilkan pada Gambar 10 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrit lebih tinggi di muara Sungai Marunda dibandingkan dengan Tanjung Priok, dan Angke dengan nilai rata-rata 0,026 mg/L yang terdapat di stasiun 15 (Sungai Marunda). Selanjutnya pengambilan sampel tahap II pola yang didapatkan menunjukan nilai nitrit lebih tinggi di ke tiga muara sungai. Namun sebaliknya pengambilan sampel tahap III pola yang didapatkan selain lebih tinggi di muara sungai juga terdapat di bagian terluar Teluk (mulut Teluk) dibandingkan ke arah tengah perairan.

Sedangkan nilai sebaran nitrit pada waktu pengambilan sampel tahap IV menunjukan pola semakin menurun ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,004 mg/L yang terdapat di stasiun 3 tengah perairan muara Sungai Angke. Rendahnya sebaran nilai nitrit di beberapa titik pengamatan terutama pengambilan sampel tahap IV, diduga disebabkan karena berkurangnya masukan nutrien dari daratan, sehingga dapat mempengaruhi nilai nitrit. Sebaran nitrit juga mengikuti pola sebaran nitrat (Gambar 9), berdasarkan bahan organik yang masuk ke perairan (Gambar 7).

a) b)

.

Gambar 10. Sebaran nitrit (NO2-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Ortofosfat [PO4-P]

Berdasarkan sebaran nilai ortofosfat yang disajikan pada Gambar 11 menunjukan bahwa pengambilan sampel tahap I nilai ortofosfat lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,513 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Pada pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola sebaran yang sama yaitu semakin ke lepas pantai pola sebaran ortofosfat lebih rendah, dengan nilai rata-rata 0,020 mg/L yang terdapat di stasiun 1 (bagian terluar Tanjung Priok).

Rendahnya nilai sebaran ortofosfat di beberapa titik pengamatan terutama di ketiga tahap pengambilan sampel tersebut diduga disebabkan karena pengaruh masukan dari daratan perairan teluk, sehingga dapat menyebabkan fosfat hanya mendominasi wilayah sungai. Berkurangnya sumber bahan organik di daratan menyebabkan nilai ortofosfat lebih rendah yang terdapat di wilayah tengah perairan dan bagian terluar teluk.

a) b)

16

Gambar 11. Sebaran ortofosfat (PO4-P) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Ammonium [NH4]

Berdasarkan nilai sebaran ammonium selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 12), menunjukan bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai ammonium lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L yang terdapat di Sungai Priok. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola yang sama yaitu nilai ammonium semakin rendah ke arah tengah perairan dibandingkan ke arah muara sungai, dengan nilai rata-rata 0,071 mg/L yang terdapat di stasiun 5 tengah perairan Tanjung Priok.

Rendahnya sebaran ammonium di beberapa titik pengamatan diantaranya pada ke tiga tahap pengambilan sampel tersebut, diduga disebabkan karena masukan nutrien hanya mendominasi wilayah sungai, sehingga semakin jauh menuju lepas pantai nilai ammonium semakin rendah. Hal ini sama dengan nilai sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7, yaitu nilai BOD lebih rendah ke arah tengah perairan dan menuju lepas pantai, sedangkan lebih tinggi terdapat di pesisir (sungai dan muara sungai).

a) b)

Gambar 12. Sebaran ammonium (NH4)(a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Silikat [SiO2]

Berdasarkan nilai sebaran silikat selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 13) diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I, II, dan IV menunjukan pola sebaran yang sama, yaitu nilai silikat lebih tinggi di ke tiga muara sungai dibandingkan ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,143 mg/L yang terdapat di stasiun 12 (muara Sungai Priok). Sedangkan pengambilan sampel tahap III ditemukan nilai sebaran silikat lebih rendah di Tanjung Priok dan Muara Marunda dibandingkan dengan Muara Angke, dengan nilai rata-rata 0,047 mg/L yang terdapat di stasiun 8 tengah perairan Sungai Marunda.

Rendahnya nilai sebaran silikat yang terdapat di kawasan Teluk Jakarta, diduga disebabkan karena ion-ion terlarut berasal dari daratan yang masuk melalui sungai semakin berkurang terutama di Sungai Priok sehingga menyebabkan nilai silikat lebih rendah (Gambar 13). Sumber silikat di perairan pesisir utamanya berasal dari hasil pelapukan mineral tanah yang mengandung silika yang kemudian larut dalam aliran sungai-sungai menuju ke pesisir dan laut (Liu et al. 2009).

a) b)

18

Gambar 13. Sebaran silikat (SiO2) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus).(c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Klorofil-a

Berdasarkan nilai sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada Gambar 14 diketahui bahwa pengambilan sampel tahap I nilai klorofil-a lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 21,339µg/L yang terdapat di stasiun 10 muara Sungai Marunda. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola sebaran yang sama yaitu nilai klorofil-a lebih rendah di Muara Priok dan Muara Angke dibandingkan dengan Muara Marunda, dengan nilai rata-rata 0,385µg/L yang terdapat di Tanjung Priok.

Rendahnya nilai klorofil-a yang ditemukan di ke tiga tahap pengambilan sampel tersebut terutama di wilayah Sungai Angke dan Tanjung Priok, diduga disebabkan karena stasiun 13 dan 14 (Tanjung Priok dan Sungai Angke) berada di Sungai. Disamping itu didukung pula dengan kecerahan yang ditemukan lebih rendah, sehingga menyebabkan fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara optimal (Gambar 15).

a) b)

Gambar 14. Sebaran klorofil-a (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Gambar 15. Nilai rata-rata klorofil-a di kawasan perairan Teluk Jakarta.

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Ko n sen tr asi Klo ro fil -a g /L ) Stasiun a) b) c) d)

20

Kesuburan perairan

Kesuburan perairan di Teluk Jakarta berdasarkan indeks TRIX disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Tingkat kesuburan di kawasan perairan Teluk Jakarta.

Sesuai dengan uji Trofik Index, perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan hipertrofik di wilayah Tanjung Priok, pada stasiun 6 (tengah perairan Muara Priok) dengan nilai 6,172, dan stasiun 4 (tengah perairanTanjung Priok) dengan nilai 6,139, selanjutnya perairan mesotrofik ditemukan di wilayah Muara Angke pada stasiun 3 (tengah perairan muara Sungai Angke) dengan nilai 3,745, stasiun 11 (muara Sungai Angke) dengan nilai 3,806, selanjutnya stasiun 13 (Sungai Angke) dengan nilai 3,138 dan satu stasiun terdapat di wilayah Marunda diantaranya stasiun 15 (Sungai Marunda) dengan nilai 3,712.

Sedangkan kategori perairan eutrofik terdapat di wilayah Marunda pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda), dengan nilai 5,9949, stasiun 9 (tengah perairan Muara Marunda) dengan nilai 4,431 dan stasiun 8 (lepas pantai perairan Muara Marunda) dengan nilai 5,909, stasiun 7 (lepas pantai Muara Marunda) dengan nilai 5,693, selanjutnya terdapat pula tiga stasiun berada pada wilayah Muara Priok diantaranya stasiun 14 (Tanjung Priok) dengan nilai 4,767 selanjutnya stasiun 12 (muara Sungai Priok) dengan nilai 5,298 dan stasiun 5 (lepas pantai perairan Muara Priok) dengan nilai 5,030 dan terdapat dua stasiun di wilayah lepas pantai Muara Angke yaitu stasiun 2 dan stasiun 1 masing-masing di lepas pantai dengan nilai 5,188 dan 5,364.

Menurut Moodley et al. (2001) keberadaan konsentrasi nutrien dan biomassa fitoplankton terdapat di dalam kolom air sebagai efek dari eutrofikasi. Hal tersebut sesuai pola sebaran bahwa semakin ke arah lepas pantai DIN semakin rendah disebabkan karena bahan organik hanya terkonsentrasi di sungai dan semakin berkurang menuju ke lepas pantai. Hal tersebut dapat diikuti dengan nilai DIN, semakin ke pesisir konsentrasi DIN semakin tinggi. (Gambar 9, 10, dan 12).

Tingginya sebaran N dan P yang didapatkan dengan nilai rata-rata cukup tinggi berada pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda), nitrat [NO3-N] sebesar 0,037 mg/L. Nitrit [NO2-N] sebesar 0,013 mg/L. Selanjutnya Ammonium [NH4] sebesar 1,047 mg/L, dan ortofosfat [PO4-P] sebesar 0,172 mg/L. Sedangkan klorofil-a didapatkan dengan nilai rata-rata 21,339 µg/L. Keberadaan nutrien

sejalan dengan keberadaan bahan organik yang mendiami kawasan Muara Sungai perairan Teluk Jakarta, hal ini disebabkan karena sebaran nutrien tidak merata yang merupakan efek loading unsur hara dari Muara ke lepas pantai perairan Teluk Jakarta.

Fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton tertinggi di perairan Teluk Jakarta ditemukan di muara Sungai Marunda (Gambar 16). (Lampiran 2) Kelimpahan fitoplankton di stasiun 10 muara Sungai Marunda sebesar 16 393 262 222 sel/m3, dengan kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Bacillariophyceae (Lampiran 4), dengan jenis Chaetoceros sp., Bacteriastrum sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp,

Thalassiosira sp. Kelimpahan fitoplankton tertinggi selanjutnya ditemukan di Stasiun 8 berada pada kawasan lepas pantai muara Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 7 655 191 999 sel/m3, Stasiun 15 Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 4 435 278 711 sel/m3, Stasiun 12 berada di Tanjung Priok dengan kelimpahan sebanyak 7 244 757 334 sel/m3. Sedangkan kelimpahan fitoplankton paling rendah terdapat di stasiun 13 (Muara Angke), dengan jumlah kelimpahan fitoplankton sebanyak 578 425 332 sel/m3.

Sumber. Damar et al. (2013)

Gambar. 17 Rata-rata kelimpahan fitoplankton per stasiun pada 4 kali pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan.

Zooplankton

Secara spasial kelimpahan zooplankton ditemukan pada stasiun10 (muara Sungai Marunda) sebanyak 5174 976 Ind/m3 , Selanjutnya Stasiun 15 di Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 655 012 Ind/m3, Stasiun 9 tengah perairan muara Sungai Marunda kelimpahan sebanyak 589 347 Ind/m3. Dengan kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Crustacea (Lampiran 5), dengan jenis

Naupilus ., Oithona sp., Microsetella sp., Acartia sp., Corycaeus sp. Kelimpahan zooplankton lebih tinggi terdapat juga di Stasiun 12 Tanjung Priok dengan jumlah kelimpahan sebanyak 667 628 Ind/m3, dan juga di stasiun 11 muara Sungai Angke dengan jumlah kelimpahan sebanyak 977 143 Ind/m3. Sedangkan kelimpahan zooplankton terendah terdapat di sebagian besar kawasan Sungai Angke, pada stasiun 3 di tengah perairan Muara Angke dengan jumlah

2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kelim p ah an ( x 1 0 6 sel/m 3) stasiun

22

kelimpahan sebanyak 324 270 Ind/m3. Selanjutnya stasiun 13 Sungai Angke sebanyak 41 914 Ind/m3, dan stasiun 14 Sungai Priok dengan kelimpahan zooplankton sebanyak 78 271 Ind/m3. (Gambar 17).

Gambar. 18 Rata-rata Kelimpahan zooplankton per stasiun pada 4 kali pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan perairan Teluk Jakarta.

Hubungan kualitas air dengan fitoplankton dan zooplankton (analisis PCA) Hasil analisis komponen utama menunjukan bahwa informasi yang menggambarkan korelasi antara parameter fisik-kimia dan biologi perairan terhadap stasiun pengamatan dibentuk oleh dua sumbu utama (F1 dan F2), dengan

eigenvalue cumulative berkisar 79,68 %. Hal ini mempunyai makna bahwa informasi yang bisa didapatkan dari analisis dengan menggunakan dua sumbu tersebut sebesar 79,68% , dari total informasi. Informasi tersebut masing-masing dijelaskan oleh sumbu satu sebesar 57,93% dan sumbu dua sebesar 21,76%.

Kualitas air sebagai penentu (faktor utama) perairan Teluk Jakarta. Sesuai dengan data yang dihasilkan melalui analisis komponen utama parameter fisika-kimia dan biologi dapat dijelaskan bahwa, kelompok pertama memberikan gambaran bahwa stasiun pengamatan (1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, dan 12) masing-masing berada di mulut luar Teluk dan di tengah perairan serta satu stasiun terdapat di muara Sungai Priok, dicirikan oleh beberapa parameter fisika-kimia perairan di antaranya suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO yang cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), Pada stasiun ini didapatkan suhu mencapai kisaran 30,7-30,2 0C, kecerahan mencapai kisaran 180-850 cm, pH dengan kisaran 8,37-8,93, DO dengan kisaran 6,7-11,0 mg/L.

Kelompok kedua memberikan gambaran pada stasiun pengamatan (11, 13, 14, 3) yang berada di Sungai Angke, Muara Angke dan Sungai Priok. Sebagai penciri utama fisika-kimia adalah BOD, Ammonium, Ortofosfat dan Total DIN yang tinggi di stasiun tersebut (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), di stasiun ini ditemukan nilai BOD dengan kisaran 6,3-10,6 mg/L, Ammonium dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L, Ortofosfat dengan nilai rata-rata 0,266 mg/L, dan total DIN dengan nilai rata-rata 2,641 mg/L. Tingginya nilai

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 k elim p ah an ( I n d /m 3) Stasiun

BOD sebagai masukan bahan organik dalam perairan Teluk Jakarta, dapat meningkatkan Ortofosfat, Ammonium dan Total DIN. Hal ini memungkinkan letak stasiun berada di sungai, sehingga kualitas airnya relatif tinggi.

Kelompok ketiga dapat dijelaskan bahwa pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Memiliki penciri utama kimia-biologi adalah klorofil-a, fitoplankton dan zooplankton (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), di stasiun ini ditemukan nilai klorofil-a sebesar 21,339 µg/L. Tingginya nilai klorofil-a diduga dipengaruhi oleh faktor nutrien yang masuk melalui sungai sehingga dapat meningkatkan fitoplankton dan terjadi peningkatan kesuburan perairan Teluk Jakarta.

Keterangan:

Pada kedua sumbu utama tersebut terbentuk tiga kelompok keterkaitan parameter fisik-kimia, biologi serta N dan P di perairan dengan stasiun pengamatan. Satu kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F1, sementara dua kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F2.

Gambar 19. Analisis komponen utama kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada sumbu 1 dan sumbu 2 sebaran spasial stasiun pengamatan.

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8 Obs9 Stasiun 10 Stasiun 11 Stasiun 12 Stasiun 13 Stasun 14 Stasiun 15 -6 -4 -2 0 2 4 6 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 F 1 ( 57 .93 %) F2 (21.76 %)

Stasiun (antara F1 dan F2: 79.68 %)

BOD kecerahan suhu salinitas pH DO Ammonium Nitrat Nitrit Silikat Ortofosfat DIN Klorofil-a Fitoplankton Zooplankton -1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 -1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 F 1 (57, 93 %) F2 (21,76 %)

24

Pembahasan

Dinamika kualitas air dan kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton

Karakteristik lingkungan perairan di kawasan Teluk Jakarta dipengaruhi parameter penciri masing-masing. Stasiun pengamatan yang berada ditengah sampai mulut terluar Teluk Jakarta, dicirikan oleh parameter fisika-kimia perairan diantaranya suhu, kecerahan, Salinitas, pH dan DO. Dengan demikian nilai kualitas air yang didapatkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya (Gambar 19). Hal ini didukung dengan hasil penelitian pola sebaran spasial yang ditemukan menjelaskan bahwa semakin jauh ke arah lepas pantai, semakin tinggi pula nilai suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO (Gambar 3, 4, 5, 6, dan 8). Tingginya parameter kualitas air diantaranya suhu di wilayah tersebut, disebabkan karena pada saat pengukuran dan pengambilan sampel di ke empat kali pengulangan berada pada musim kemarau atau peralihan (penghujan ke kemarau), sehingga cahaya matahari secara langsung menembus kolom perairan.

Hal ini menyebabkan tingginya nilai suhu akibat terjadi penguapan secara terus-menerus di stasiun pengamatan, seperti dikemukakan oleh Damar (2003)

Dokumen terkait