• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Unsur Hara Dengan Fitoplankton Dan Zooplankton Di Perairan Teluk Jakarta,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Unsur Hara Dengan Fitoplankton Dan Zooplankton Di Perairan Teluk Jakarta,"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA UNSUR HARA DENGAN

FITOPLANKTON DAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN

TELUK JAKARTA

MASYKHUR ABDUL KADIR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Hubungan Antara Unsur Hara dengan Fitoplankton dan Zooplankton di Perairan Teluk Jakarta, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Masykhur Abdul Kadir

(4)

RINGKASAN

MASYKHUR ABDUL KADIR. Hubungan antara Unsur Hara dengan Fitoplankton dan Zooplankton di perairan Teluk Jakarta, yang dibimbing oleh ARIO DAMAR dan MAJARIANA KRISANTI.

Masukan bahan organik dari daratan ke muara sungai mengakibatkan peningkatan unsur hara sehingga berpengaruh terhadap kualitas air di perairan Teluk Jakarta. Nitrogen dan fosfat merupakan nutrisi yang berpotensi untuk meningkatkan kesuburan perairan, dan dapat pula meningkatkan kelimpahan fitoplankton di perairan Teluk Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara unsur hara dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Lokasi penelitian di Teluk Jakarta, Teluk yang berada di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian di lakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013. Pengambilan contoh air di lakukan 1 kali dalam sebulan di 15 stasiun pengamatan selama 4 bulan. Analisis kualitas air, di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, sedangkan analisis fitoplankton dan zooplankton di Laboratorium Biologi Mikro, kedua laboraturium ini berada di Devisi Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian kualitas air berdasarkan pola sebaran menunjukan semakin ke arah lepas pantai nilai suhu, kecerahan, pH, salinitas lebih tinggi dibandingkan ke arah daratan dengan nilai suhu kisaran 30,8-32,4°C terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Kecerahan dengan nilai kisaran 180-850 cm ditemukan di stasiun 4 tengah perairan. Salinitas dengan kisaran 30-31‰ terdapat di stasiun 7 (mulut terluar teluk). pH dengan nilai kisaran 8,43-8,98 terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Sedangkan BOD dan DO menunjukan nilai lebih tinggi di sungai dan muara sungai Teluk Jakarta, dengan nilai kisaran BOD 6,3-10,6 mg/L terdapat di stasiun 13 (Sungai Angke). Nilai DO dengan kisaran 6,2-14,5 mg/L terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Hal ini menunjukan bahwa adanya pengaruh masukan bahan organik dari daratan melalui sungai.

Pola sebaran N dan P menunjukan adanya pengaruh masukan dari daratan melalui sungai, sehingga nilai N dan P lebih tinggi di kawasan pesisir. Nilai nitrat lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,228 mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Nilai nitrit lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,026 mg/L terdapat di stasiun 15 (Sungai Marunda). Ortofosfat lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,513 mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Ammonium lebih tinggi dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Silikat lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,143 mg/L terdapat di stasiun 12 (muara Sungai Priok). Sedangkan klorofil-a dengan nilai lebih tinggi rata-rata 21,339 µg/L terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda).

(5)

kelimpahan zooplankton di stasiun 10 (muara Sungai Marunda) dengan jumlah 5174 976 Ind/m3. Dengan jenis yang dominan Nauplius sp, Oithona sp, Calanus sp, Acartia sp. Meningkatnya kelimpahan fitoplankton dan zooplankton menunjukan adanya hubungan pola makan memakan fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Kata kunci : Teluk Jakarta, Unsur Hara, Fitoplankton dan Zooplankton.

(6)

SUMMARY

MASYKHUR ABDUL KADIR. Relationship between Nutrients and Phytoplankton and Zooplankton in the Waters of Jakarta Bay. Supervised by ARIO DAMAR and MAJARIANA KRISANTI.

The influx of organic materials from the mainland to the river estuaries resulted in the increase in the nutrients that automatically affected the water quality in the waters of Jakarta Bay. Nitrogen and phosphate are the nutrients that have the potential to improve the fertility of the waters of Jakarta Bay in addition to increasing the abundance of its phytoplankton. This study aimed to analyze the relationship between the nutrients and the abundance of phytoplankton and zooplankton in the waters of Jakarta Bay.

The research was conducted at Jakarta Bay in the Province of Jakarta from July to October 2013. The water sampling was performed once a month at 15 observation stations for four months. The analysis of the water quality was carried out in Marine Physics-Chemistry Laboratory, while the analysis of phytoplankton and zooplankton was in Micro Biology Laboratory, The second is in the Laboratory Waters Productivity Division, the Department of Water Resource Management, the Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University.

The research results of water quality based on the distribution pattern showed that the farther to the sea, the higher the temperature, brightness, pH, and salinity, compared to approaching to the land with a temperature range of 30.8-32.40C at station 10 (the estuary of the Marunda River). Brightness with a value range of 110-280 cm was found at station 4 (the middle waters). Salinity with a

The pattern of distribution of the content of N and P N and P showed that the effect of the influx from the land through the rivers, making the values of N and P higher in the coastal area. The value of nitrate was higher with an average of 0.228 mg/L at station 14 (Tanjung Priok). The value of nitrite was higher with an average of 0.026 mg/L at station 15 (the Marunda River). Orthophosphate was higher with an average value of 0.513 mg/L at station 14 (Tanjung Priok). Ammonium was higher with an average value of 2.398 mg/L at station 14 (Tanjung Priok). Silicate was higher with an average value of 0.143 mg/L at station 12 (the estuary of the Priok River). Meanwhile, chlorophyll-a with a higher value of 21.339 mg/L was at station 10 (the estuary of the Marunda River).

(7)

5174 976 Ind/m , with the dominant species being Nauplius sp, Oithona sp, Calanus sp, Acartia sp. The increased abundance of phytoplankton and zooplankton shows the relationship consuming diet phytoplankton and zooplankton in the waters of Jakarta Bay.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan lPB

(9)

MASYKHUR ABDUL KADIR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : Masykhur Abdul Kadir

NRP : C251110031

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Hubungan Antara Unsur Hara dengan Fitoplankton dan Zooplankton di Perairan Teluk Jakarta, yang telah dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Oktober 2013. Begitu pula analisis kualitas air di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, sedangkan analisis fitoplankton dan zooplankton di Laboratorium Biologi Mikro, kedua Laboraturium ini berada di Devisi Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ario Damar, MSi, dan Ibu Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku pembimbing utama dan kedua, serta Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc sebagai Ketua Program Studi. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Dr Ir Enan M. Adiwilaga sebagai penguji utama yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan staf pegawai tata usaha, teman-teman yang membantu dalam hal perkuliahan dan selama menulis karya ilmiah ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ditjen DIKTI atas beasiswa studi lanjut (BPPS). Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bambang, Bapak Yayat dan Bapak Agus Romli serta staf/asisten pada Laboratorium Fisika-Kimia Perairan dan Laboratorium Biologi Mikro, Devisi Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, yang banyak membantu saat sampling di lapangan dan pengujian sampel di Laboratorium. Sujud dan terima kasih yang dalam penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta Sitti Hamzah dan Ayahanda tercinta (Alm) Sadik Abdul Kadir, atas dorongan yang kuat dan kebijaksanaan serta do’a, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Jenjang Strata dua (S2). Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar (Alm) Sadik Abdul Kadir di Ternate dan di Jakarta, yang telah memberikan motifasi dalam penyelesaian Studi ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada saudari Widya Utami, Amd. Keb, yang telah membantu memberikan dorongan dalam penyelesaian studi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

PERNYATAAN iii

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Alat dan Bahan 4

Hubungan kualitas air dengan fitoplankton dan Zooplankton

analisis (PCA) 22

Pembahasan 24

Dinamika kualitas air dan peningkatkan kelimpahan

fitoplankton dan zooplankton 24

(14)

Kesimpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

DAFTAR TABEL

1. Parameter Fisika-Kimia dan Biologi perairan yang diukur 5 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air yang dihitung pada

Stasiun pengamatan di Teluk Jakarta. 7

3. Konsentrasi Unsur Hara Diperairan Teluk Jakarta 7

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram hubungan unsur hara dengan fitoplankton dan zooplankton

pada perairan Teluk Jakarta 3

2. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Jakarta 4

3. Pola sebaran suhu 8

4. Pola sebaran kecerahan 9

5. Pola sebaran salinitas 10

6. Pola sebaran pH 11

7. Pola sebaran BOD 12

8. Pola sebaran DO 13

9. Pola sebaran nitrat [NO3-N] 14

10.Pola sebaran nitrit [NO2-N] 15

11.Pola sebaran ortofosfat [PO4-P] 16

12.Pola sebaran ammonium [NH4] 17

13.Pola sebaran silikat [SiO2] 18

14.Pola sebaran klorofil-a 19

15.Sebaran rata-rata klorofil-a di kawasan Teluk Jakarta 19 16.Tingkat kesuburan di kawasan perairan Teluk Jakarta 20 17.Rata-rata kelimpahan fitoplankton per stasiun di 4 kali pengambilan

Sampel di masing-masing stasiun pengamatan. 21

18.Rata-rata kelimpahan zooplankton per stasiun di 4 kali pengambilan

Sampel di masing-masing stasiun pengamatan. 22

19.Analisis Komponen Utama (PCA) kelimpahan fitoplankton

(15)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas lingkungan suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan biota yang ada di dalamnya. Menurut Tafangenyasha and Dzinomwa (2005) bahwa Perubahan kondisi kualitas air di perairan melalui aliran sungai merupakan dampak buangan dari daratan yang dapat mengganggu organisme perairan. Kondisi demikian juga berlaku di Teluk Jakarta. Perairan Teluk Jakarta banyak mendapat masukan bahan organik dari aktivitas manusia yang terbawa ke Teluk Jakarta melalui masukan dari beberapa sungai yang bermuara ke perairan ini. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas air di perairan Teluk Jakarta. Beban masukan ini berpotensi dalam meningkatkan bahan organik dan anorganik dan pencemaran lainya. Bahan organik yang ada akan didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrien, dan selanjutnya akan digunakan oleh organisme autrotrof dalam hal ini fitoplankton melalui fotosintesis dan dapat berdampak pada peningkatan produktivitas primer perairan (Jerling 2003).

Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perairan, fungsi ekologinya sebagai produsen primer dan awal mata rantai dalam jaring makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu perairan. Kesuburan juga dapat disebabkan oleh zat hara yang masuk ke lingkungan perairan seperti fosfat, nitrat, silikat, dan ammonia akan

berpengaruh terhadap perkembangan fitoplankton dan zooplankton (Somoue et al.

2005). Unsur N dan P turut berperan dalam pemindahan energi dari produsen ke

tingkat tropik yang lebih tinggi melalui rantai makanan. Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yaitu fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan (Somoue et al. 2005). Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut (Jerling 2003).

Untuk mengkaji hal tersebut salah satu yang dapat dilakukan yaitu dengan mengetahui kualitas air serta kandungan N dan P di perairan Teluk Jakarta. Menurut Turner et al. (1999), apabila kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan zooplankton maka akan terjadi proses pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton, dan apabila kondisi lingkungan dan ketersediaan fitoplankton tidak sesuai dengan kebutuhan zooplankton maka zooplankton akan mencari kondisi lingkungan dan makanan yang lebih sesuai.

Tekanan yang di hadapi Teluk Jakarta dapat memberi pengaruh positif maupun negatif bagi fitoplankton maupun zooplankton. Berdasarkan hal tersebut perlu di lakukan penelitian pengaruh unsur hara terhadap kelimpahan fitoplankton serta zooplankton yang merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer fitoplankton, di perairan Teluk Jakarta.

Pendekatan Masalah

(16)

2

di perairan Teluk Jakarta. Bahan organik yang masuk ke perairan melalui muara sungai akan didekomposisi menjadi nutrien, sehingga dapat digunakan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan sebagai dasar dari jaring makanan di perairan Teluk Jakarta. Masukan bahan organik yang bersumber dari sungai dalam jumlah yang banyak dapat meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi dan meningkatkan kekeruhan, sehingga dapat menyebabkan kecerahan perairan semakin berkurang. Hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis. Parameter kualitas air lainnya seperti suhu dan salinitas, serta hidrodinamika perairan sangat berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton. Produktivitas primer fitoplankton dan parameter kualitas air juga akan berpengaruh terhadap kelimpahan zooplankton di perairan tersebut (Gambar 1).

Berbagai aktivitas yang terjadi di daratan masuk melalui sungai sehingga dapat menyebabkan perubahan yang terjadi di perairan Teluk Jakarta di antaranya melalui:

1. Masukan bahan organik ke dalam perairan akan mempengaruhi kualitas air di perairan Teluk Jakarta.

2. Masukan bahan organik akan meningkatkan N dan P di perairan Teluk Jakarta.

3. Meningkatnya kualitas air dapat mempengaruhi kesuburan perairan dan dapat meningkatkan kelimpahan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara unsur hara dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Manfaat

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui sebaran kualitas air dan nutrien di perairan Teluk Jakarta. 2. Untuk mengetahui hubungan N dan P terhadap kelimpahan fitoplankton dan

zooplankton.

(17)

Gambar 1. Diagram pendekatan masalah hubungan unsur hara dengan biomassa fitoplankton dan zooplankton pada perairan Teluk

Jakarta.

II METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013 di Teluk Jakarta. Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013. Pengambilan contoh air dilakukan 1 kali dalam sebulan di 15 stasiun selama 4 bulan (Tahap I bulan Juli, tahap II bulan Agustus, tahap III bulan September, dan tahap IV bulan Oktober). Lokasi titik pengamatan pengambilan sampel disajikan pada Gambar 2. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, sedangkan analisis fitoplankton dan zooplankton di Laboratorium Biologi Mikro. Kedua Laboratorium ini berada di Divisi Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

(18)

4

Muara Angke, kemudian menuju ke Tanjung Priok dan berakhir di Muara Marunda. Stasiun pengamatan sebagai objek pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan titik koordinat. Titik koordinat yang mengarah ke lepas pantai terdapat di mulut terluar teluk, sedangkan yang mengarah ke pesisir perairan terdapat di sungai dan muara sungai.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk jakarta

Lokasi Muara Angke dan Muara Marunda merupakan kawasan padat pemukiman, disamping itu pula terdapat wilayah ekosistem mangrove yang dapat memberikan masukan. Di daerah Muara Angke terdapat Waduk Pluit, sedangkan wilayah Tanjung Priok merupakan kawasan industri dan pelabuhan, serta pemukiman, sehingga dapat memberikan masukan berupa bahan organik (tersuspensi) dan bahan anorganik dalam perairan.

Alat dan Bahan

(19)

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan sekunder. Data primer berupa zooplankton, sedangkan data sekunder berupa fitoplankton, kualitas air (fisika-kimia), klorofil-a dan nutrien anorganik terlarut yang diperoleh dari Damar et al. (2013). Data fisika, kimia dan biologi yang digunakan pada penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan yang diukur

ParameterAnalisis Satuan Alat/Metode Lokasi

A. Fisika

Nitrat mg/L Spektrofotometer Laboratorium

Nitrit mg/L Spektrofotometer Laboratorium

Ortoposfat mg/L Spektrofotometer Laboratorium

Ammonium NH4

Untuk pengambilan sampel zooplankton di setiap stasiun pengamatan di ambil 5 liter dari kolom air pada kedalaman (0-1,4m), dengan menggunakan Van Dorn. Sampel yang telah diambil disimpan dalam wadah pendingin atau cool box, kemudian dibawa dan dianalisis di laboratorium. Sampel zooplankton kemudian diawetkan dengan larutan Lugol, sedangkan identifikasi dan pencacahan dengan menggunakan sensus SRC, dengan acuan identifikasi, Conway et al. (2003), Davis (1955), Smith (1977).

Analisis Kelimpahan Plankton

Kelimpahan zooplankton dinyatakan dalam jumlah individu perliter. Penentuan kelimpahan zooplankton dilakukan dengan menggunakan metode SRC (modifikasi APHA 2012), adalah sebagai berikut :

(20)

6

Keterangan:

N = Kelimpahan total/genus (sel/volume) n = Jumlah individu yang terobservasi Vt = Jumlah volume air yang tersaring (ml)

Vcg = Jumlah volume air dalam satu slide (ml)

Acg = Luas penampang wadah/slide (mm)

Aa = Jumlah luas yang diobservasi/diamati (mm)

Vd (L) = Jumlah volume air yang di saring

Analisis Data

Pola sebaran spasial untuk menentukan seberapa besar distribusi dari parameter kualitas air dan nutrien di perairan Teluk Jakarta. Analisis ini menggunakan surfer 8.0 dengan memakai metode interpolasi. Metode gridding

geostatistik yang menghasilkan peta visual dari data tidak teratur yang menghubungkan dari kawasan pesisir sampai pada kawasan lepas pantai. Dengan demikian dapat menginterpolasi nilai-nilai dari berbagai parameter yang diaplikasikan dalam bentuk kontur atau peta dasar (Yang et al. 2013).

Trophic Index (TRIX) yang dikembangkan oleh Giovanardi dan Vollenweider (2004) didefinsikan sebagai kombinasi linear logaritmik dari empat variabel, yaitu klorofil-a, oksigen saturasi, nitrogen, dan ortofosfat. Distribusi data TRIX indeks dapat di analisis dengan distribusi statistik yang memiliki keuntungan yaitu, dapat di kombinasikan dua atau lebih parameter yang dapat diinterpretasikan (Nasrollahzadeh et al. 2008), dengan rumus sebagai berikut: Ærtebjerg et al. (2001).

TRIX = (k/n) Ʃi=n ((log M–logL)/(logU–logL))i

Keterangan:

k = Faktor skala (10) n = Jumlah variabel (4) U = Batas atas

L = Batas bawah M = Nilai variab

(21)

IIIHASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Nilai parameter fisika dan kimia di perairan Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 2, sedangkan konsentrasi unsur hara dan klorofil-a disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air yang dihitung pada 15 stasiun

Tabel 3. Konsentrasi unsur hara dan klorofil-a di perairan Teluk Jakarta.

(22)

8

Suhu

Berdasarkan nilai sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 3, dapat di lihat bahwa pengambilan sampel tahap I sebaran nilai suhu lebih tinggi di Muara Marunda ke tengah perairan dibandingkan di Tanjung Priok dan Muara Angke. Sebaran nilai suhu pada pengukuran sampel tahap II dan IV memiliki pola yang sama yaitu semakin ke arah arah lepas pantai nilai suhu semakin tinggi, dengan nilai kisaran 30,8-32,4°C yang terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Akan tetapi pada pengukuran sampel tahap III pola sebaran menunjukan nilai suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga tahapan pengukuran sampel lainya, dengan nilai kisaran 25-32,4°C nilai terendah ditemukan di stasiun 14 Tanjung Priok, dengan nilai kisaran 24,5-33,5°C. Variasi sebaran suhu yang ditemukan terutama di Tanjung Priok dan Sungai Angke disebabkan karena kondisi musim dan adanya perbedaan waktu pengukuran sampel (pagi dan siang hari).

Gambar. 3 Sebaran suhu (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Kecerahan

Berdasarkan nilai sebaran kecerahan selama empat kali pengukuran sampel (Gambar 4) diketahui bahwa semakin jauh dari daratan nilai sebaran kecerahan semakin tinggi. Kisaran kecerahan tertinggi ditemukan di stasiun 4 tengah perairan dengan kisaran 180-850 cm. Sebaliknya semakin ke arah sungai nilai sebaran lebih rendah dengan nilai kisaran 7-28,7cm yang ditemukan di

c

a) b)

(23)

stasiun 14 (Tanjung Priok). Rendahnya nilai kecerahan di wilayah sungai diduga disebabkan masukan bahan organik bersumber dari daratan yang terdorong oleh aliran air melalui sungai, sehingga dapat menyebabkan nilai kecerahan semakin rendah dibagian sungai. Penurunan kecerahan terjadi seiring peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh adanya bahan organik, anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme (APHA 1976).

Gambar. 4 Sebaran kecerahan (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Salinitas

Berdasarkan nilai sebaran salinitas selama empat kali pengukuran sampel (Gambar 5) diketahui bahwa pada pengukuran sampel tahap I nilai sebaran salinitas lebih tinggi ditengah perairan baik Marunda, Priok, dan Angke dibandingkan ke muara sungai. Kisaran nilai salinitas cukup tinggi dengan kisaran 30-31‰ yang terdapat di stasiun 7 (mulut terluar teluk). Salinitas yang tinggi di perairan Teluk Jakarta akan mempengaruhi organisme perairan. Hal ini disebabkan karena salinitas merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi fisiologi pertumbuhan dan aktivitas reproduksi organisme (Michael 2005).

Pada pengukuran sampel salinitas tahap II, III dan IV memiliki nilai sebaran yang sama yaitu nilai salinitas lebih rendah di wilayah Tanjung Priok dan Muara Angke, dibandingkan di Muara Marunda dengan nilai kisaran 0-25 ‰ yang terdapat di stasiun 15 Sungai Marunda.

a) b)

(24)

10

Rendahnya nilai salinitas di ke tiga tahapan pengukuran sampel tersebut diduga disebabkan karena masukan air tawar dari sungai sehingga dapat menyebabkan rendahnya salinitas di perairan.

Gambar. 5 Sebaran salinitas (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

pH

Berdasarkan nilai sebaran pH selama empat kali pengkuran sampel yang ditampilkan pada Gambar 6 diketahui bahwa di ke empat tahapan pengukuran sampel menunjukan nilai sebaran yang sama. Nilai pH lebih tinggi di Tanjung Priok dan Muara Marunda ke perairan lepas dibandingkan dengan Muara Angke, dengan nilai kisaran 8,43-8,98 terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Akan tetapi nilai pH lebih rendah ditemukan di wilayah muara Sungai Angke, dengan nilai kisaran 7,3-7,59 yang terdapat di stasiun 13 (Sungai Angke). Rendahnya pH diduga disebabkan karena masukan limbah organik terlarut yang mendominasi wilayah Muara Angke dibandingkan dengan Tanjung Priok dan Muara Marunda.

Berdasarkan kisaran nilai pH yang diperoleh, maka perairan Teluk Jakarta dapat dikatakan layak bagi proses pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton. McConnaughey (1974) menyatakan bahwa pH air laut bersifat basa dan umumnya berkisar antara 7,5-8,4. Nilai kisaran pH yang layak untuk kehidupan fitoplankton adalah sebesar 6-9. Diatom mulai berkurang perkembangannya pada nilai pH antara 4,6-7,5, namun demikian pada kisaran pH tersebut masih didapatkan berbagai jenis diatom.

a) b)

c)

(25)

Gambar. 6 Sebaran pH (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

BOD

Berdasarkan nilai sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran BOD ditemukan lebih tinggi di muara sungai dan mulut terluar teluk dibandingkan dengan di tengah perairan. Nilai BOD tertinggi ditemukan berkisar 6,3-10,6 mg/L yang terdapat di stasiun 13 Sungai Angke. Akan tetapi pengambilan sampel tahap II, III dan IV ditemukan nilai sebaran BOD lebih rendah di tengah perairan teluk dibandingkan dengan di muara sungai, dengan kisaran 0,9-2,4 mg/L yang terdapat di stasiun 5 (tengah perairan Tanjung Priok). Hal ini diduga disebabkan karena masukan bahan organik yang semakin berkurang dari Tanjung Priok, sehingga dapat menyebabkan rendahnya nilai BOD di wilayah tengah perairan.

a) b)

(26)

12

Gambar. 7 Sebaran BOD (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

DO

Berdasarkan nilai sebaran DO selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 8), diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran DO lebih tinggi di tengah perairan Tanjung Priok dibandingkan dengan Muara Sungai Angke dan Muara Marunda. Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel tahap II menunjukan bahwa semakin ke arah lepas pantai nilai sebaran DO semakin tinggi dibandingkan ke arah sungai, dengan nilai kisaran 6,2-14,5 mg/L yang terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel tahap III menunjukan pola bahwa nilai DO lebih tinggi di Tanjung Priok dan muara Sungai Marunda dibandingkan dengan muara Sungai Angke. Sedangkan nilai sebaran DO pada pengambilan sampel tahap IV menunjukan bahwa nilai DO lebih rendah di Sungai Angke dan Tanjung Priok dibandingkan di muara Sungai Marunda, dengan nilai kisaran 0,5-1,7 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok).

Rendahnya sebaran nilai DO di beberapat titik pengamatan terutama pada waktu pengambilan sampel tahap ke IV diduga disebabkan karena tingginya masukan bahan organik di kawasan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi nilai DO di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan baku mutu air laut KMNLH No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, (Lampiran 3) dijelaskan bahwa permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen > 5. Apabila

a)

c) d)

(27)

dibandingkan dengan nilai yang didapatkan diperairan Teluk Jakarta, maka secara umum diduga masih dapat mendukung kehidupan organisme.

Gambar. 8 Sebaran DO (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Nitrat [NO3-N]

Berdasarkan nilai sebaran nitrat yang ditampilkan pada Gambar 9 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrat lebih tinggi di bagian terluar teluk (mulut teluk) dan muara Sungai Marunda dibandingkan dengan Tanjung Priok. Selanjutnya pengambilan sampel tahap II dan III menunjukan pola yang sama yaitu nilai nitrat lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,228 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Sedangkan pengambilan sampel tahap IV ditemukan sebaran nilai nitrat semakin rendah ke arah tengah perairan dibandingkan ke perairan lepas (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,030 mg/L yang terdapat di stasiun 3 (tengah perairan).

Rendahnya sebaran nilai nitrat di beberapa titik pengamatan terutama pada waktu pengambilan sampel tahap ke IV, diduga disebabkan karena masukan nutrien hanya mendominasi di wilayah sungai, sehingga semakin jauh ke perairan konsentrasi nitrat semakin berkurang. Hal tersebut dapat mempengaruhi rendahnya nilai nitrat di perairan Teluk Jakarta.

a) b)

(28)

14

Gambar 9. Sebaran nitrat (NO3-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)

pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Nitrit [NO2-N]

Berdasarkan nilai sebaran nitrit yang ditampilkan pada Gambar 10 diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrit lebih tinggi di muara Sungai Marunda dibandingkan dengan Tanjung Priok, dan Angke dengan nilai rata-rata 0,026 mg/L yang terdapat di stasiun 15 (Sungai Marunda). Selanjutnya pengambilan sampel tahap II pola yang didapatkan menunjukan nilai nitrit lebih tinggi di ke tiga muara sungai. Namun sebaliknya pengambilan sampel tahap III pola yang didapatkan selain lebih tinggi di muara sungai juga terdapat di bagian terluar Teluk (mulut Teluk) dibandingkan ke arah tengah perairan.

Sedangkan nilai sebaran nitrit pada waktu pengambilan sampel tahap IV menunjukan pola semakin menurun ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,004 mg/L yang terdapat di stasiun 3 tengah perairan muara Sungai Angke. Rendahnya sebaran nilai nitrit di beberapa titik pengamatan terutama pengambilan sampel tahap IV, diduga disebabkan karena berkurangnya masukan nutrien dari daratan, sehingga dapat mempengaruhi nilai nitrit. Sebaran nitrit juga mengikuti pola sebaran nitrat (Gambar 9), berdasarkan bahan organik yang masuk ke perairan (Gambar 7).

a) b)

(29)

.

Gambar 10. Sebaran nitrit (NO2-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b)

pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Ortofosfat [PO4-P]

Berdasarkan sebaran nilai ortofosfat yang disajikan pada Gambar 11 menunjukan bahwa pengambilan sampel tahap I nilai ortofosfat lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,513 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Pada pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola sebaran yang sama yaitu semakin ke lepas pantai pola sebaran ortofosfat lebih rendah, dengan nilai rata-rata 0,020 mg/L yang terdapat di stasiun 1 (bagian terluar Tanjung Priok).

Rendahnya nilai sebaran ortofosfat di beberapa titik pengamatan terutama di ketiga tahap pengambilan sampel tersebut diduga disebabkan karena pengaruh masukan dari daratan perairan teluk, sehingga dapat menyebabkan fosfat hanya mendominasi wilayah sungai. Berkurangnya sumber bahan organik di daratan menyebabkan nilai ortofosfat lebih rendah yang terdapat di wilayah tengah perairan dan bagian terluar teluk.

a) b)

(30)

16

Gambar 11. Sebaran ortofosfat (PO4-P) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)

pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Ammonium [NH4]

Berdasarkan nilai sebaran ammonium selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 12), menunjukan bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai ammonium lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L yang terdapat di Sungai Priok. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola yang sama yaitu nilai ammonium semakin rendah ke arah tengah perairan dibandingkan ke arah muara sungai, dengan nilai rata-rata 0,071 mg/L yang terdapat di stasiun 5 tengah perairan Tanjung Priok.

Rendahnya sebaran ammonium di beberapa titik pengamatan diantaranya pada ke tiga tahap pengambilan sampel tersebut, diduga disebabkan karena masukan nutrien hanya mendominasi wilayah sungai, sehingga semakin jauh menuju lepas pantai nilai ammonium semakin rendah. Hal ini sama dengan nilai sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7, yaitu nilai BOD lebih rendah ke arah tengah perairan dan menuju lepas pantai, sedangkan lebih tinggi terdapat di pesisir (sungai dan muara sungai).

a) b)

(31)

Gambar 12. Sebaran ammonium (NH4)(a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)

pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Silikat [SiO2]

Berdasarkan nilai sebaran silikat selama empat kali pengambilan sampel (Gambar 13) diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I, II, dan IV menunjukan pola sebaran yang sama, yaitu nilai silikat lebih tinggi di ke tiga muara sungai dibandingkan ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,143 mg/L yang terdapat di stasiun 12 (muara Sungai Priok). Sedangkan pengambilan sampel tahap III ditemukan nilai sebaran silikat lebih rendah di Tanjung Priok dan Muara Marunda dibandingkan dengan Muara Angke, dengan nilai rata-rata 0,047 mg/L yang terdapat di stasiun 8 tengah perairan Sungai Marunda.

Rendahnya nilai sebaran silikat yang terdapat di kawasan Teluk Jakarta, diduga disebabkan karena ion-ion terlarut berasal dari daratan yang masuk melalui sungai semakin berkurang terutama di Sungai Priok sehingga menyebabkan nilai silikat lebih rendah (Gambar 13). Sumber silikat di perairan pesisir utamanya berasal dari hasil pelapukan mineral tanah yang mengandung silika yang kemudian larut dalam aliran sungai-sungai menuju ke pesisir dan laut (Liu et al. 2009).

a) b)

(32)

18

Gambar 13. Sebaran silikat (SiO2) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)

pengambilan sampel tahap II (Agustus).(c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Klorofil-a

Berdasarkan nilai sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada Gambar 14 diketahui bahwa pengambilan sampel tahap I nilai klorofil-a lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 21,339µg/L yang terdapat di stasiun 10 muara Sungai Marunda. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola sebaran yang sama yaitu nilai klorofil-a lebih rendah di Muara Priok dan Muara Angke dibandingkan dengan Muara Marunda, dengan nilai rata-rata 0,385µg/L yang terdapat di Tanjung Priok.

Rendahnya nilai klorofil-a yang ditemukan di ke tiga tahap pengambilan sampel tersebut terutama di wilayah Sungai Angke dan Tanjung Priok, diduga disebabkan karena stasiun 13 dan 14 (Tanjung Priok dan Sungai Angke) berada di Sungai. Disamping itu didukung pula dengan kecerahan yang ditemukan lebih rendah, sehingga menyebabkan fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara optimal (Gambar 15).

a) b)

(33)

Gambar 14. Sebaran klorofil-a (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan Teluk Jakarta.

Gambar 15. Nilai rata-rata klorofil-a di kawasan perairan Teluk Jakarta.

0 5 10 15 20 25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Ko

n

sen

tr

asi

Klo

ro

fil

-a

g

/L

)

Stasiun

a) b)

(34)

20

Kesuburan perairan

Kesuburan perairan di Teluk Jakarta berdasarkan indeks TRIX disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Tingkat kesuburan di kawasan perairan Teluk Jakarta.

Sesuai dengan uji Trofik Index, perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan hipertrofik di wilayah Tanjung Priok, pada stasiun 6 (tengah perairan Muara Priok) dengan nilai 6,172, dan stasiun 4 (tengah perairanTanjung Priok) dengan nilai 6,139, selanjutnya perairan mesotrofik ditemukan di wilayah Muara Angke pada stasiun 3 (tengah perairan muara Sungai Angke) dengan nilai 3,745, stasiun 11 (muara Sungai Angke) dengan nilai 3,806, selanjutnya stasiun 13 (Sungai Angke) dengan nilai 3,138 dan satu stasiun terdapat di wilayah Marunda diantaranya stasiun 15 (Sungai Marunda) dengan nilai 3,712.

Sedangkan kategori perairan eutrofik terdapat di wilayah Marunda pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda), dengan nilai 5,9949, stasiun 9 (tengah perairan Muara Marunda) dengan nilai 4,431 dan stasiun 8 (lepas pantai perairan Muara Marunda) dengan nilai 5,909, stasiun 7 (lepas pantai Muara Marunda) dengan nilai 5,693, selanjutnya terdapat pula tiga stasiun berada pada wilayah Muara Priok diantaranya stasiun 14 (Tanjung Priok) dengan nilai 4,767 selanjutnya stasiun 12 (muara Sungai Priok) dengan nilai 5,298 dan stasiun 5 (lepas pantai perairan Muara Priok) dengan nilai 5,030 dan terdapat dua stasiun di wilayah lepas pantai Muara Angke yaitu stasiun 2 dan stasiun 1 masing-masing di lepas pantai dengan nilai 5,188 dan 5,364.

Menurut Moodley et al. (2001) keberadaan konsentrasi nutrien dan biomassa fitoplankton terdapat di dalam kolom air sebagai efek dari eutrofikasi. Hal tersebut sesuai pola sebaran bahwa semakin ke arah lepas pantai DIN semakin rendah disebabkan karena bahan organik hanya terkonsentrasi di sungai dan semakin berkurang menuju ke lepas pantai. Hal tersebut dapat diikuti dengan nilai DIN, semakin ke pesisir konsentrasi DIN semakin tinggi. (Gambar 9, 10, dan 12).

Tingginya sebaran N dan P yang didapatkan dengan nilai rata-rata cukup tinggi berada pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda), nitrat [NO3-N] sebesar

0,037 mg/L. Nitrit [NO2-N] sebesar 0,013 mg/L. Selanjutnya Ammonium [NH4]

sebesar 1,047 mg/L, dan ortofosfat [PO4-P] sebesar 0,172 mg/L. Sedangkan

(35)

sejalan dengan keberadaan bahan organik yang mendiami kawasan Muara Sungai perairan Teluk Jakarta, hal ini disebabkan karena sebaran nutrien tidak merata yang merupakan efek loading unsur hara dari Muara ke lepas pantai perairan Teluk Jakarta.

Fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton tertinggi di perairan Teluk Jakarta ditemukan di muara Sungai Marunda (Gambar 16). (Lampiran 2) Kelimpahan fitoplankton di stasiun 10 muara Sungai Marunda sebesar 16 393 262 222 sel/m3, dengan kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Bacillariophyceae (Lampiran 4), dengan jenis Chaetoceros sp., Bacteriastrum sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp,

Thalassiosira sp. Kelimpahan fitoplankton tertinggi selanjutnya ditemukan di Stasiun 8 berada pada kawasan lepas pantai muara Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 7 655 191 999 sel/m3, Stasiun 15 Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 4 435 278 711 sel/m3, Stasiun 12 berada di Tanjung Priok dengan kelimpahan sebanyak 7 244 757 334 sel/m3. Sedangkan kelimpahan fitoplankton paling rendah terdapat di stasiun 13 (Muara Angke), dengan jumlah kelimpahan fitoplankton sebanyak 578 425 332 sel/m3.

Sumber. Damar et al. (2013)

Gambar. 17 Rata-rata kelimpahan fitoplankton per stasiun pada 4 kali pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan.

Zooplankton

Secara spasial kelimpahan zooplankton ditemukan pada stasiun10 (muara Sungai Marunda) sebanyak 5174 976 Ind/m3 , Selanjutnya Stasiun 15 di Sungai Marunda dengan kelimpahan sebanyak 655 012 Ind/m3, Stasiun 9 tengah perairan muara Sungai Marunda kelimpahan sebanyak 589 347 Ind/m3. Dengan kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Crustacea (Lampiran 5), dengan jenis

(36)

22

kelimpahan sebanyak 324 270 Ind/m3. Selanjutnya stasiun 13 Sungai Angke sebanyak 41 914 Ind/m3, dan stasiun 14 Sungai Priok dengan kelimpahan zooplankton sebanyak 78 271 Ind/m3. (Gambar 17).

Gambar. 18 Rata-rata Kelimpahan zooplankton per stasiun pada 4 kali pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan perairan Teluk Jakarta.

Hubungan kualitas air dengan fitoplankton dan zooplankton (analisis PCA) Hasil analisis komponen utama menunjukan bahwa informasi yang menggambarkan korelasi antara parameter fisik-kimia dan biologi perairan terhadap stasiun pengamatan dibentuk oleh dua sumbu utama (F1 dan F2), dengan

eigenvalue cumulative berkisar 79,68 %. Hal ini mempunyai makna bahwa informasi yang bisa didapatkan dari analisis dengan menggunakan dua sumbu tersebut sebesar 79,68% , dari total informasi. Informasi tersebut masing-masing dijelaskan oleh sumbu satu sebesar 57,93% dan sumbu dua sebesar 21,76%.

Kualitas air sebagai penentu (faktor utama) perairan Teluk Jakarta. Sesuai dengan data yang dihasilkan melalui analisis komponen utama parameter fisika-kimia dan biologi dapat dijelaskan bahwa, kelompok pertama memberikan gambaran bahwa stasiun pengamatan (1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, dan 12) masing-masing berada di mulut luar Teluk dan di tengah perairan serta satu stasiun terdapat di muara Sungai Priok, dicirikan oleh beberapa parameter fisika-kimia perairan di antaranya suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO yang cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), Pada stasiun ini didapatkan suhu mencapai kisaran 30,7-30,2 0C, kecerahan mencapai kisaran 180-850 cm, pH dengan kisaran 8,37-8,93, DO dengan kisaran 6,7-11,0 mg/L.

(37)

BOD sebagai masukan bahan organik dalam perairan Teluk Jakarta, dapat meningkatkan Ortofosfat, Ammonium dan Total DIN. Hal ini memungkinkan letak stasiun berada di sungai, sehingga kualitas airnya relatif tinggi.

Kelompok ketiga dapat dijelaskan bahwa pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Memiliki penciri utama kimia-biologi adalah klorofil-a, fitoplankton dan zooplankton (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), di stasiun ini ditemukan nilai klorofil-a sebesar 21,339 µg/L. Tingginya nilai klorofil-a diduga dipengaruhi oleh faktor nutrien yang masuk melalui sungai sehingga dapat meningkatkan fitoplankton dan terjadi peningkatan kesuburan perairan Teluk Jakarta.

Keterangan:

Pada kedua sumbu utama tersebut terbentuk tiga kelompok keterkaitan parameter fisik-kimia, biologi serta N dan P di perairan dengan stasiun pengamatan. Satu kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F1, sementara dua kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F2.

Gambar 19. Analisis komponen utama kelimpahan fitoplankton dan zooplankton pada sumbu 1 dan sumbu 2 sebaran spasial stasiun pengamatan.

Stasiun 1

Stasiun (antara F1 dan F2: 79.68 %)

BOD

(38)

24

Pembahasan

Dinamika kualitas air dan kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton

Karakteristik lingkungan perairan di kawasan Teluk Jakarta dipengaruhi parameter penciri masing-masing. Stasiun pengamatan yang berada ditengah sampai mulut terluar Teluk Jakarta, dicirikan oleh parameter fisika-kimia perairan diantaranya suhu, kecerahan, Salinitas, pH dan DO. Dengan demikian nilai kualitas air yang didapatkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya (Gambar 19). Hal ini didukung dengan hasil penelitian pola sebaran spasial yang ditemukan menjelaskan bahwa semakin jauh ke arah lepas pantai, semakin tinggi pula nilai suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO (Gambar 3, 4, 5, 6, dan 8). Tingginya parameter kualitas air diantaranya suhu di wilayah tersebut, disebabkan karena pada saat pengukuran dan pengambilan sampel di ke empat kali pengulangan berada pada musim kemarau atau peralihan (penghujan ke kemarau), sehingga cahaya matahari secara langsung menembus kolom perairan.

Hal ini menyebabkan tingginya nilai suhu akibat terjadi penguapan secara terus-menerus di stasiun pengamatan, seperti dikemukakan oleh Damar (2003) bahwa suhu di musim hujan memiliki nilai lebih rendah jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tingginya suhu dan pergerakan massa air laut yang terdorong dari arah muara sungai yang berdekatan dengan stasiun pengamatan (tengah sampai mulut terluar teluk). Hal ini diduga dapat meningkatkan salinitas pada stasiun 1 dengan kisaran 28-30 ‰, stasiun 2 dengan kisaran 23-27 ‰, stasiun 4 dengan kisaran 28-31 ‰. Stasiun 5 dengan kisaran 26-31 ‰, stasiun 6 dengan kisaran 29-31 ‰, stasiun 7 dengan kisaran 30-31 ‰, stasiun 8 dengan kisaran 27-31 ‰, stasiun 12 dengan kisaran 5-31 ‰. Hal yang sama juga terdapat pada nilai pH di perairan, yaitu pada stasiun 1 dengan kisaran 8,17-8,65 stasiun 2 dengan kisaran 8,14-8,82 stasiun 4 dengan kisaran 8,29-8,68 stasiun 5 dengan kisaran 8,24-8,83. Stasiun 6 dengan kisaran 8,37-8,84 stasiun 7 dengan kisaran 8,4-8,71 stasiun 8 dengan kisaran 8,33-8,8,93 dan stasiun 12 dengan kisaran 8,30-8,83, sehingga nilai yang didapatkan sesuai dengan kisaran normal salinitas di perairan laut untuk pertumbuhan organisme. Hal yang sama juga pada nilai pH yang ditemukan layak untuk kehidupan fitoplankton.

(39)

DO kisaran 6,6-9,4 mg/L, stasiun 5 dengan nilai DO kisaran 6,7-11,0 mg/L, selanjutnya stasiun 6 dengan nilai DO kisaran 5,8-10,3 mg/L, stasiun 7 dengan nilai DO kisaran 6,80-10,1 mg/L, stasiun 8 dengan nilai DO kisaran 7-10,5 mg/L, dan stasiun 12 dengan nilai DO kisaran 6-10,6 mg/L. Tingginya nilai DO di masing-masing stasiun dibandingkan dengan baku mutu air laut KMNLH NO 51 Tahun 2004 masih layak untuk kehidupan organisme (Lampiran 3).

Hal ini didukung juga oleh kecerahan yang tinggi yang terdapat di stasiun (tengah perairan sampai ke mulut teluk), kecerahan merupakan indikator bahwa adanya masukan bahan organik dari sungai, sehingga dapat menyebabkan tinggi rendahnya nilai kecerahan. Boyer et al. (2009) kecerahan yang rendah mencerminkan pengaruh kualitas air yang terintegrasi terutama masukan bahan organik dari daratan ke perairan pesisir. Selanjutnya Richardson (2008) menyatakan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya nilai trofik level

di perairan teluk, termasuk kecerahan yang mendorong sebagian besar fitoplankton menjadi blooming. Berkurangnya masukan bahan organik melalui sungai dari pesisir perairan Teluk Jakarta, dan di bagian timur Teluk Jakarta, dapat menyebabkan tingginya nilai kecerahan di stasiun yang berada di tengah perairan sampai ke mulut teluk. Hal ini didukung pula dengan pola sebaran kecerahan yang didapatkan Gambar 4 bahwa, semakin jauh dari daratan pola sebaran kecerahan semakin tinggi.

Berkurangnya masukan bahan organik dari tengah perairan sampai ke mulut teluk, dapat berpengaruh terhadap nilai nitrogen di perairan teluk. Sesuai dengan hasil yang didapatkan bahwa nilai nitrogen, ortofosfat dan silikat mengalami penurunan, begitu pula total DIN sebagai dasar dari pertumbuhan fitoplankton di perairan, dengan nilai lebih rendah terdapat di lokasi terluar perairan di mulut teluk. Sedangkan nilai yang cukup tinggi mengarah kedaratan pesisir perairan dan adanya masukan bahan organik dari sungai yang terletak di bagian timur Teluk Jakarta (Tabel 3), sehingga mengalami proses dekomposisi bahan organik di tengah perairan sampai ke mulut teluk. Sesuai dengan indek TRIX wilayah tengah perairan sampai ke mulut Teluk memiliki nilai klorofil-a

yang cukup tinggi dengan rata-rata 14,605 µg/L dan 5,945 µg/L, ortofosfat dengan nilai rata-rata 0,020 mg/L dan 0,026 mg/L terdapat di stasiun 4 dan 6 masing-masing berada di tengah perairan Tanjung Priok, sehingga dapat berpengaruh terhadap fitoplankton (alga bloom) di tengah perairan Tanjung Priok.

(40)

26

(Tabel 2) diduga berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton sebagai penghasil oksigen.

Wilayah yang secara langsung mendapatkan masukan bahan organik dari daratan merupakan daerah pesisir perairan Teluk Jakarta, sehingga masukan bahan organik akan memberikan dampak terhadap ekosistem perairan. Menurut Dai et al. (2012) masukan nutrien dari sungai ke muara sungai selalu meningkat sepanjang tahun seiring dengan aktivitas manusia. Kawasan Teluk Jakarta merupakan kawasan padat pemukiman dan kegiatan industri, sehingga menghasilkan bahan pencemar. Hal tersebut didukung dengan hasil sebaran BOD yang didapatkan Gambar 7 menjelaskan bahwa sebaran BOD ditemukan lebih tinggi di perairan pesisir di sungai dan muara sungai serta sebagian lepas pantai. Stasiun yang secara langsung mendapatkan masukan bahan organik yaitu di stasiun 11 yang berada di muara Sungai Angke, stasiun 13 yang berada di Sungai Angke, stasiun 14 yang berada di Sungai Priok, dan stasiun 3 yang berada di tengah perairan Muara Angke. Dengan adanya masukan bahan organik ke perairan pesisir teluk, sehingga dapat menyebabkan peningkatan unsur hara (N dan P) diantaranya Ammonium, Ortofosfat dan Total DIN. Dengan nilai yang cukup tinggi terdapat di stasiun muara dan muara sungai (Sungai Angke dan Sungai Priok). Menurut Xu et al. (2010) bahan organik yang masuk melalui aliran sungai akan menghasilkan nutrien.

Menurut Boyd (1982) keberadaan ammonia di perairan menunjukan adanya penguraian bahan organik. Demikian halnya dengan nilai ammonium yang didapatkan di perairan pesisir (sungai dan muara sungai) Teluk Jakarta, nilai lebih tinggi ditemukan menunjukan bahwa adanya proses penguraian bahan organik yang disebabkan karena suplai bahan pencemar dari daratan melalui sungai. Selanjutnya Ounissi et al. (2014) menjelaskan bahwa limbah industri dari pabrik dapat memberikan masukan yang mengandung unsur ammonium ke dalam perairan teluk. Oleh sebab itu masukan bahan organik melalui sungai dapat meningkatkan nilai ammonium. Penguraian bahan organik akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan terutama fitoplankton. Dugdale et al. (2007) menyatakan bahwa proses produksi primer dengan tingginya tingkat trofik tergantung pada kuantitas air yang akan meningkatkan masukan konsentrasi ammonium (antropogenik). Tingginya nilai silikat disebabkan oleh limbah organik yang masuk melalui sungai di Teluk Jakarta. Seperti yang dijelaskan oleh Sverdrup et al. (1960) bahwa silikat di permukaan berasal dari aliran sungai yang masuk dalam badan perairan, sehingga kandungan silikat yang rendah ditemukan di lapisan permukaan perairan.

(41)

sebagai organisme yang sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu perairan. Miller et al. (2008) menyatakan bahwa masukan nutrien dari muara sungai penting bagi pertumbuhan fitoplankton.

Selanjutnya Menurut Ecological Society of America (2000) masukan N dan P yang berlebihan ke perairan pesisir menyebabkan fosfat akan mengendap di sedimen secara perlahan sehingga proporsi N lebih besar dari fosfat tetap tersedia secara biologis. Selanjutnya Ounissi et al. (2014) menjelaskan bahwa limbah industri dari pabrik dapat memberikan masukan bahan pencemar ke dalam perairan Teluk yang mengandung unsur fosfat. Maka nilai rata-rata ortofosfat yang didapatkan 0,172 mg/L dan 0,039 mg/L masing-masing berada di muara Sungai Marunda dan Tanjung Priok perairan Teluk Jakarta, telah memenuhi syarat minimum yang diperlukan untuk tumbuh kembangnya fitoplankton di perairan. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliana et al. (2012) di perairan Teluk Jakarta dengan nilai ortofosfat yang didapatkan dengan kisaran 0,0114-0,1021 mg/L. Menurut Macketum (1969), untuk pertumbuhan optimal fitoplankton diperlukan kandungan ortofosfat pada kisaran 0,09-1,80 mg/L. Dengan demikian tingginya nilai ortofosfat di kawasan Muara Marunda diduga dapat menyebabkan kesuburan perairan akibat masukan dari daratan Teluk Jakarta.

Disamping itu sebagian wilayah pesisir Teluk Jakarta merupakan daerah persawahan dan daerah mangrove, sehingga dapat memberikan pasokan nutrien ke perairan Teluk. Limbah pertanian adalah sumber nitrat utama untuk muara sungai (Conway et al. 2003). Menurut Zhang et al. (2013) jumlah senyawa [NH

4-N], [NO3-N], dan [NO2-N] dalam perairan lebih tinggi di muara sungai karena

masukan dari sungai dan tingkat akumulasi di muara lebih tinggi. Dengan demikian total DIN yang didapatkan berindikasi bahwa wilayah perairan Teluk Jakarta berstatus eutrofik (pengayaan nutrien) diantaranya stasiun 1 (berada di mulut terluar teluk), stasiun 2, 5, 8, 9 (berada di tengah perairan) stasiun 12, 10 masing-masing berada di muara Sungai Priok dan muara Sungai Marunda. Sedangkan status perairan mesotrofik (kesuburan sedang) ditemukan di stasiun stasiun 3, 11, 13 dan 15, masing-masing berada di wilayah Muara Angke dan Sungai Marunda. Hal ini didukung dengan hasil sebaran N dan P yang didapatkan bahwa, semakin ke arah lepas pantai N dan P semakin rendah disebabkan karena bahan organik hanya mendominasi di sungai dan semakin berkurang menuju lepas pantai sehingga nilai N dan P lebih tinggi terdapat di wilayah perairan pesisir (di sungai dan muara sungai), (Gambar 9, 10, 11 dan 12).

(42)

28

merupakan akibat dari aktivitas yang timbul dari daratan, sehingga dapat menyebabkan perubahan dalam sturuktur dan fungsi dari fitoplankton dan zooplankton di perairan pesisir Teluk Jakarta.

Masukan limbah organik dari persawahan di sekitar kawasan Sungai Marunda Stasiun 15, diduga banyak memberikan konstribusi terhadap peningkatan bahan organik di muara Sungai Marunda. Hal ini sesuai dengan nilai klorofil-a yang didapatkan (Tabel 3). Hasil ini didukung dengan pola sebaran kecerahan yang menjelaskan bahwa semakin jauh dari daratan kecerahan semakin tinggi, dan ke arah sungai kecerahan semakin rendah (Gambar 4). Kecerahan yang ditemukan di stasiun 10 (muara Sungai Marunda), dengan nilai kisaran 40-200 cm dapat mempengaruhi proses fotosintesis terhadap fitoplankton dengan memanfaatkan klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan. Marinho dan Rodrigues (2003) menjelaskan bahwa komunitas fitoplankton pada dasarnya merupakan penghasil pigmen klorofil-a. Oleh sebab itu klorofil-a merupakan pigmen yang biasa ditemukan dalam organisme autrotrof (fitoplankton) yang menyerap cahaya secara langsung dengan memanfaatkan klorofil-a untuk proses fotosintesis di perairan Teluk Jakarta.

Distribusi fitoplankton yang di dapatkan sangat berfariasi mengikuti pola sebaran N dan P serta tingginya kualitas air. Seperti di jelaskan pada Gambar 17 bahwa fitoplankton cukup tinggi di stasiun yang berada di pesisir pantai, kemudian rendah di bagian tengah dan sebagian di mulut teluk. Sedangkan stasiun yang mendapatkan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda), Gambar 17. Hal ini disebabkan karena pada stasiun tersebut terdapat di muara sungai, sehingga mendapatkan masukan nitrogen yang cukup tinggi dengan nilai sebesar 1,096 mg/L (total nitrogen anorganik). Tingginya nilai nitrogen dapat meningkatkan biomassa fitoplankton dengan nilai rata-rata 21,339 µg/L dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Di samping itu tingginya nilai kecerahan kisaran 40-200 cm dapat mendukung kelimpahan fitoplankton sebanyak 16 393 262 222 sel/m3(Gambar. 17). Dengankomposisi fitoplankton terbanyak yaitu dari kelas Bacillariophycae. Dominasinya oleh jenis

Chaetoceros sp., Bacteriastrum sp., Skeletonema sp., Nitazschia sp, Thalassiosira sp. Masukan nutrien di perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu indikasi bahwa keberadaan nutrien sejalan dengan pertumbuhan dari jenis fitoplankton. Seperti yang dikemukaan oleh Llebot et al. (2011) bahwa secara khusus perairan pesisir terkena pengaruh antropogenik (seperti masukan nutrien dari muara sungai), akan berdampak langsung terhadap variabilitas fitoplankton.

(43)

memangsanya. Sebagai rantai makanan di perairan laut, fitoplankton dimangsa oleh zooplankton (grazing).

Meningkatnya fitoplankton di muara Sungai Marunda, dapat pula meningkatkan kelimpahan zooplankton di muara Sungai Marunda. Dengan hasil yang didapatkan Gambar 17 menunjukan bahwa zooplankton meningkat dengan jumlah sebanyak 517 4976 Ind/m3 yang di dominasi oleh kelas Crustacea, dengan jenis yang dominan Nauplius, Oithona sp, Calanus sp, Acartia sp. Keberadaan oksigen terlarut di perairan Teluk Jakarta sangat membantu proses metabolisme bagi zooplankton untuk mempertahankan hidup. Zooplankton, sebagai penyebab dari pemangsaan (grazing). Chen et al. (2011) menjelaskan bahwa meningkatnya klorofil-a signifikan lebih tinggi dan memberikan konstribusi yang banyak di stasiun muara sungai, sehingga nutrisi diduga bermanfaat bagi ketersediaan makanan untuk zooplankton. Oleh sebab itu keberadaan fitoplankton terutama di stasiun 10 (muara Sungai Marunda) perairan Teluk Jakarta mengindikasikan banyaknya sumber makanan. Proses suksesi populasi zooplankton secara alamiah sangat bergantung pada ketersediaan makanan (Asriyana dan Yuliana 2012). Dengan demikian keberadaan fitoplankton sangat mendukung proses pemangsaan di perairan Teluk Jakarta terutama di sungai dan muara sungai.

IV KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Distribusi kelimpahan zooplankton di Teluk Jakarta memiliki pola sebaran yang berkorelasi sangat erat dengan sebaran fitoplankton, yaitu tinggi di stasiun-stasiun tepi pantai untuk kemudian menurun sejalan dengan menjauhi tepi pantai. Pola hubungan yang erat antara zooplankton dengan fitoplankton ini menunjukan hubungan pola makan memakan fitoplankton dan zooplankton.

Pola sebaran fitoplankton yang tinggi di tepi pantai untuk kemudian rendah di perairan tengah dan bagian sisi luar di pengaruhi oleh sebaran konsentrasi unsur hara (nitrogen, fosfat dan silikat) yang sekaligus membuktikan bahwa sumber utama unsur hara bagi Teluk Jakarta adalah berasal dari sungai (daratan). Ketersediaan cahaya dan unsur hara dapat mendukung pertumbuhan serta kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di Teluk Jakarta. Pada muara

sungai konsentrasi unsur hara sangat tinggi namun karena ketersediaan cahaya rendah, maka daerah ini kurang optimal mendukung perkembangan biomassa fitoplankton. Sementara itu, pada perairan tepi pantai dimana cahaya lebih meningkat, kelimpahan fitoplankton (yang kemudian di ikuti kelimpahan zooplankton) akan meningkat. Hal ini di sebabkan pada lokasi ini, ketersediaan unsur hara walaupun tidak setinggi dengan muara sungai, namun masih sangat memadai bagi perkembangan fitoplankton.

(44)

langkah-30

langkah untuk menanggulangi hal tersebut dengan menggunakan metode-metode terbaru.

Saran

1. Meningkatnya unsur hara di sebabkan oleh masukan bahan organik dari daratan melalui sungai di kawasan Teluk Jakarta. Oleh sebab itu penekanan terhadap masukan bahan organik harus di lakukan, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan kandungan nutrien dan kualitas air, sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton. 2. Perlu dilakukan penelitian yang mampu mencakup keragaman komunitas

zooplankton di saat musim barat.

DAFTAR PUSTAKA

Ærtebjerg GJ, Carstensen K, Dahl J, Hansen K, Nygard B, Rygg K, Sørensen G, Severinsen S, Casartelli W, Schrimpf C, Schiller JN, Druon. 2001. EEA Project: Manager Anita Kunitzer. Eutrophication in Europe’s coastal

waters. Copenhagen (DK). European Environmental Agency.

[APHA] American Public Health Association. 1976. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 4th edition. Washington DC (US): American Public Health Association.

[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 21th Edition. Washington DC (US): American Public Health Assosiation American Water Work Association/Water Enviroment Federation.

[APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 22nd edition. Washington DC (US): American Public Health Association.

Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan: Fenomena Red Tide atau kejadian perubahan warna di permukaan perairan secara dramatis diakibatkan oleh pertumbuhan yang cepat (blooming) dari fitoplankton. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.. Boyd CE. 1982. Water Quality Management for fish Ponds Culture. New York

(US): Elsevier Scientific Publishing Company.

Boyer JN, Kelble CR, Ortner PB, Rudnick DT. 2009. Phytoplankton bloom status: Chlorophyll-a biomass as an indicator of water quality condition in the southern estuaries of Florida, USA. Ecological Indicators .9: 56 – 67. Cass CJ, Daly KL. 2014. Eucalanoid copepod metabolic rates in the oxygen

minimum zone of the eastern tropical north Pacific: Effects of oxygen and temperature. Deep-Sea Research I. 94: 137–149.

(45)

study between a eutrophic estuarine and a mesotrophic coastal site.

Continental Shelf Research. 31: 1075–1086.

Conway DVP, White RG, Ciles JHD, Gallienne CP, Robins DB. 2003. Guide to the Coastal and Surface zooplankton of the south-western India Ocean.

Marine Biological Association of The United Kingdom Occasional Publication (UK). United States of America.

Dai X, Lu D, Xia P, Wang H, He P. 2012. A 50-year temporal record of dinoflagellate cysts in sediments from the Changjiang estuary, East China Sea, in relation to climate and catchment changes. Estuarine, Coastal and Shelf Science: 112: 192-197.

Damar A. 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. [disertasi]. Kiel (DE). Christian Albrechts University. Germany.

Damar A, Vitner Y, Palmirmo P, Kadir MS. 2013. Deteksi Faktor Lingkungan Pemicu Timbulnya Peledakan Populasi Fitoplankton (RED TIDE) di Perairan Teluk Jakarta dan Kaitannya dengan Eutrofikasi Perairan Pesisir dan Laut. Laporan penelitian BOPTN Dikti.

Davis CC. 1955. The marine and Fresh-Waters Plankton. Associate Profesor of Biology Westen Reserve University. Michigan (US): Michigan State University Press.

Dugdale RC, Wilkerson FP, Hogue VE, Marchi A. 2007. The role of ammonium and nitrate in spring bloom development in San Francisco Bay. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 73: 17-29.

[ESA] Ecological Society of America. 2000. Nutrient Pollution of Coastal Rivers, Bays, and Seas. Issues in Ecology. New York (US). United States of America.

Giovanardi F, Vollenweider RA. 2004. Trophic conditions of marine coastal waters: experience in applying the Trophic Index TRIX to two areas of the

Adriatic and Tyrrhenian seas.J Limnol. 63(2): 199-218.

Jerling H. 2003. The zooplankton community of the Mhlathuze (Richard Bay) estuary : two decades after construction of the harbour. African Journal Of Marine Science. (1):289-299.

Liu SM, Hong GH, Zhang J, Ye XW, Jiang XL. 2009. Nutrient budgets for large Chinese estuaries. Biogeosciences, 6:2245-2263.

Llebot C, Sole J, Delgado M, Tejedor MF, Camp J, Estrada M. 2011. Hydrographical forcing and phytoplankton variability in two semi-enclosed estuarine bays. Journal of Marine Systems 86: 69–86.

Mackentum KM. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State Departemen of The Interior (US): Federal Water Pollution Controll Administration. Devision of The Technikal Support.

Marinho MM, Rodrigues SV. 2003. Phytoplankton of an eutrophic tropical reservoir: comparison of biomass estimated from counts with

chlorophyll-a biomass from HPLC measurements. Hydrobiologia. 505:77-88

Gambar

Gambar 1.    Diagram pendekatan masalah hubungan unsur hara dengan
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk jakarta
Tabel 1. Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan yang diukur
Tabel 3. Konsentrasi unsur hara dan klorofil-a di perairan Teluk Jakarta.
+7

Referensi

Dokumen terkait

13 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Lapisan Kolom Air di Perairan Teluk Banten .....

13 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Lapisan Kolom Air di Perairan Teluk Banten .....

Penelitian ini bertujuan untuk: a) menganalisis pola sebaran kelimpahan dan keragaman fitoplankton; dan b) menganalisis pengaruh jarak perairan terhadap kelimpahan dan

Metode yang digunakan adalah survey, dengan pengambilan sampel pada Muara Sungai Anafre dan Perairan sekitar teluk Yos Sudarso (pantai Dok II).. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Korelasi antara ke- duanya memperlihatkan pola kuadratik, artinya produktivitas primer di perairan Teluk Banten sangat bergantung pada keberadaan intensitas cahaya matahari

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa kelimpahan fitoplankton dari masing-masing kelas yang ditemukan di perairan Muara Sunga Musi dan Muara Sungai Banyuasin, kelas

Korelasi antara ke- duanya memperlihatkan pola kuadratik, artinya produktivitas primer di perairan Teluk Banten sangat bergantung pada keberadaan intensitas cahaya matahari

Penelitian ini bertujuan untuk: a) menganalisis pola sebaran kelimpahan dan keragaman fitoplankton; dan b) menganalisis pengaruh jarak perairan terhadap kelimpahan dan