• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan teluk banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan teluk banten"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN

KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

OLEH :

A L I A N T O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ALIANTO. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur

Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten. Di bawah Bimbingan Enan M. Adiwilaga

sebagai ketua komisi, dan Ario Damar sebagai anggota komisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas

primer fitoplankton dengan intensitas cahaya dan unsur hara di perairan Teluk Banten.

Metode pengukuran produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan

metode oksigen botol terang botol gelap dengan waktu inkubasi selama 5 jam.

Hasil penelitian didapatkan 36 genera fitoplankton yang terdiri dari 29 genera

Bacillariophyceae, 6 genera Dinophyceae, dan 1 genera Cyanophyceae. Kisaran

rata-rata konsentrasi unsur hara DIN (ammonia-nitrogen, nitrat-nitrogen,

nitrit-nitrogen), DIP (ortofosfat) dan silikat yang didapatkan selama pengamatan

berturut-turut sebesar 0.467–0.610 mg at N/4 I, 0.006–0.043 mg at P/4 I di stasiun A

dan 0.430–0.746 mg at N/4 I, 0.006–0.032 mg at P/4 I di stasiun B, serta 1.019–6.294

mg at Si/4 I di stasiun A dan 0.581–3.378 mg at Si/4 I di stasiun B. Nilai kisaran

rata-rata produktivitas primer fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di stasiun A

sebesar 14.15–29.59 mg C/m3/5 jam (33.96–71.01 mg C/m3

/hari), dan di stasiun B

sebesar 13.56–25.68 mg C/m3/5 jam (32.54–61.63 mg C/m3

/hari) dengan intensitas

cahaya optimum berturut-turut sebesar 32.6% dan 48.2% menurut kedalaman

inkubasi.

Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antara cahaya

dengan peroduktivitas primer fitoplankton, dengan koefisien determinasi (R2) yang

diperoleh sebesar 82% di stasiun A dan 64% di stasiun B. Hasil analisis menunjukkan

pula terdapat hubungan yang kurang erat antara unsur hara DIN dan DIP serta silikat

dengan produktivitas primer fitoplankton, dengan kisaran nilai koefisien determinasi

(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

(4)

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN

KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA

DI PERAIRAN TELUK BANTEN

A L I A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Tesis : Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten

N a m a : A l i a n t o

NRP : C151030061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Dr. Chairul Muluk, M.Sc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wanci Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Buton

(sekarang Kabupaten Wakatobi) Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 05 Maret

1970 dari ayah La Hamuna dan ibu Hj. Wa Nuru. Penulis merupakan anak ketiga dari

tujuh bersaudara.

Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri Wanci dan pada tahun 1990

penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur UMPTN pada Program

Studi dan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas

Pattimura Ambon. Penulis menyelesaikan studi di Universitas Pattimura tahun 1997.

Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi

Diploma Tiga Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih

sekarang Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas

Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari, Irian

Jaya Barat.

Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat

dan karunia-Nya jualah sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005–April 2005 ini adalah

“Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan

Cahaya Di Perairan Teluk Banten”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si, selaku ketua dan anggota

komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan mengarahkan penulis

sejak penulisan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan karya

ilmiah ini. Kepada Bapak Yusli Wardiatno yang telah banyak memberi masukan demi

perbaikan tulisan ini sebagai penguji luar komisi. Bapak Dr. Chairul Muluk, M.Sc,

selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar yang telah

banyak membekali ilmu pengetahu an kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal

Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS atas bantuan beasiswa melalui BPPS. Rektor

Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu

Kelautan atas izin yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu serta istri dan anakku tersayang

serta seluruh keluarga atas segala doa yang telah diberikan. Kepada pihak yang telah

banyak membantu pada saat penelitian diucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2006

(8)

DAFTAR ISI

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ... 9

Silikat ... 10

Intensitas Cahaya Matahari ... 20

Produktivitas Primer ... 20

Analisis Unsur Hara ... 21

Identifikas i Fitoplankton ... 22

Klorofil-a ... 24

Intensitas Cahaya Matahari ... 29

Intensitas Cahaya Matahari Permukaan ... 29

Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air ... 30

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ... 33

Ammonia-Nitrogen (NH3-N) ... 34

(9)

Nitrit-Nitrogen (NO2-N) ... 36

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ... 36

Ortofosfat (PO4-P) ... 36

Silikat (Si) ... 37

Struktur Komunitas Fitoplankton ... 38

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton ... 38

Indeks Biologi Fitoplankton ... 41

Klorofil-a ... 43

Produktifitas Primer Perairan ... 45

Produktivitas Primer Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi ... 45

Produktivitas Primer Pada Berbagai Lapisan Kolom Air ... 47

Hubungan Cahaya Dengan Produktivitas Primer ... 48

Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer ... 50

Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai Produktifitas Primer Dengan Metode Oksigen (O2) di Beberapa

Wilayah Tropik dan Temperate ... 7

2 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Yang Di ukur Serta Metode dan Alat Ukur yang Digunakan ... 19

3 Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Banten ... 27

4 Rataan Unsur Hara Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan

Teluk Banten ... 33

5 Rataan Konsentrasi Unsur Hara Menurut Kedalaman Inkubasi

di Perairan Teluk Banten ... 34

6 Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 39

7 Rataan Kelimpahan Sel Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 40

8 Indeks Bio logi Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan

Teluk Banten ... 42

9 Indeks Biologi Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan

Teluk Banten ... 42

10 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Stasiun Pengamatan

di Perairan Teluk Banten ... 44

11 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan

Teluk Banten ... 44

12 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 46

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Proses Perumusan dan Pendekatan Masalah ... 4

2 Siklus Nitrogen di Zona Eufotik ... 8

3 Penyerapan dari Tiga Sumber Nitrogen (NH3, Urea, NO3) Oleh Dua Ukuran Fitoplankton Yang Berbeda ... 9

4 Grafik Distribusi Vertikal Cahaya dan Fotosintesis di Perairan ... 14

5 Lokasi Penelitian Perairan Teluk Banten ... 18

6 Intensitas Cahaya Permukaan ... 29

7 Intensitas Cahaya di Lapisan Permukaan ... 31

8 Distribusi Cahaya di Kolom Air Perairan Teluk Banten ... 32

9 Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 39

10 Rataan Kelimpahan Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 41

11 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 47

12 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih di Perairan Teluk Banten ... 49

13 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Lapisan Kolom Air di Perairan Teluk Banten ... 50

14 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun A ... 52

15 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun B ... 53

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Pengisian Air Kedalam Botol BOD ... 63

2 Prosedur Pengukuran Oksigen Terlarut Dengan Titrasi Winkler ... 63

3 Prosedur Pengukuran Produktivitas Primer ... 64

4 Tahapan Analisis Unsur Hara ... 64

5 Prosedur Analisis Klorofil-a ... 66

6 Intensitas Cahaya Matahari Permukaan di Perairan Teluk Banten ... 67

7 Intensitas Cahaya Matahari Pada Lapisan Permukaan di Perairan Teluk Banten ... 67

8 Intensitas Cahaya Matahari Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ... 68

9 Konsentrasi Parameter Utama Yang Diukur di Perairan Teluk Banten ... 70

10 Hasil Uji Sidik Ragam (Anova) Produktivitas Primer Bersih Terhadap Stasiun dan Kedalaman di Perairan Teluk Banten ... 72

11 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode I di Perairan Teluk Banten ... 73

12 Kelimpahan Fitoplank ton (sel/I) Pada Periode II di Perairan Teluk Banten ... 74

13 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode III di Perairan Teluk Banten ... 75

14 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Setiap Lapisan Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi di Perairan Teluk Banten... 76

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya alam

hayati ditentukan oleh produktivitas primer fitoplanktonnya. Produktivitas primer

fitoplankton memainkan peran penting dalam proses bahan pada jaring makanan

planktonik, yang dihasilkan sebagai senyawa organik yang menjadi sumber carbon

dan energi terpenting bagi organisme di berbagai lingkungan perairan (Lignell 1992).

Fitoplankton merupakan tumbuhan yang paling luas tersebar dan ditemukan di

seluruh permukaan laut dan pada kedalaman sampai setebal lapisan eufotik.

Fitoplankton men ghasilkan karbon 1010 ton setiap tahun atau kira-kira 50% dari

seluruh karbon yang dihasilkan oleh seluruh tumbuh-tumbuhan (Smayda 1970;

Meadows dan Campbell 1988; Brotowidjoyo et al. 1995) dan diperkirakan 50% produktivitas primer di laut dihasilkan oleh fitoplankton (Rost et al. 2003).

Fitoplankton merupakan salah satu tumbuhan laut yang mengandung klorofil-a

sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan fotosintesis. Pertumbuhan dan

perkembangan fitoplankton sangat tergantung pada keberadaan cahaya matahari dan

suplai bahan inorganik terutama nitrogen, fosfor dan silikat di perairan (Tett dan

Edwars 1984; Duarte 1992).

Sumber energi yang utama bagi kehidupan fitoplankton di laut berasal dari

cahaya matahari. Cahaya merupakan salah satu faktor utama yang mengontrol laju

fotosintesis di laut. Di samping itu, proses fotosintesis fitoplankton berjalan dengan

memanfaatkan unsur hara yang ada di lingkungannya. Unsur hara yang dibutuhkan

oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangannya terutama nitrogen, dan

(14)

biogeokimia seperti produksi dan dekomposisi bahan organik biogenik dan laju

penenggelaman bahan partikulat (Smith 1984; Hirose dan Kamiya 2003).

Nitrogen di laut terdiri dari ammonia, nitrat, dan nitrit. Nitrogen sendiri

merupakan unsur kimia yang penting dalam proses pembentukan protoplasma.

Bentuk-bentuk senyawa nitrogen tersebut berperan penting sebagai sumber nitrogen

bagi fitoplankton meskipun peranan masing-masing ion tersebut tidak selalu sama

terhadap berbagai jenis fitoplankton.

Fosfor merupakan unsur esensial penting bagi fitoplankton dan ketersediannya

di perairan selalu lebih rendah dari nitrogen serta keberadaannya di zona eufotik

selalu ditemukan dalam konsentrasi yang rendah (Dawes 1981). Fosfor dibutuhkan

oleh fitoplankton sebagai sumber energi terutama untuk memproduksi fosfolipid dan

ikatan fosfat gula dan molekul seperti adenosin triphosphat (ATP).

Keberadaan unsur hara nitrogen dan fosfor di perairan, mempunyai dua

pengaruh terhadap fitoplankton, yaitu (1) unsur hara dalam jumlah yang cukup sangat

diperlukan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis untuk metabolisme sel

hidupnya. (2) kandungan unsur hara dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan

gangguan yang berlanjut pada lingkungan perairan seperti penurunan penetrasi cahaya

matahari, dan ledakan populasi alga yang beracun (Rabalais 1999).

Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, masih sangat diperlukan berbagai

informasi mengenai perairan Teluk Banten. Maka penelitian-penelitian khususnya

mengenai kondisi lingkungan yang berhubungan dengan cahaya, unsur hara dan

produktivitas primer perairan sangat penting karena informasi mengenai kedua hal

tersebut merupakan suatu ukuran terhadap kualitas dan kemampuan perairan Teluk

(15)

Perumusan dan Pendekatan Masalah

Kelimpahan dan potensi tumbuh fitoplankton di perairan Teluk Banten diduga

tidak merata dengan ketersediaan unsur hara yang berada di dalam maupun masukan

unsur hara dari luar perairan. Ketersediaan unsur hara di perairan sangat menentukan

struktur komunitas fitoplankton. Disamping itu, struktur komunitas fitoplankton di

perairan sangat ditentukan pula oleh intensitas cahaya yang ada dalam kolom air.

Intensitas cahaya yang ada di kolom air umumnya tidak serasi dengan kebutuhan

fitoplankton, sehingga pada suatu perairan akan didominasi oleh jenis -jenis

fitoplankton tertentu.

Sumber penyebab tidak serasinya hal tersebut, terutama disebabkan karena

adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi yang akan

menjadi faktor pembatas terutama bagi distribusi horisontal dan vertikal fitoplankton,

sehingga di setiap kolom air perkembangan potensi tumbuh fitoplankton akan

berbeda-beda. Hal ini, akan berpengaruh pada nilai kandungan produktivitas primer

fitoplankton yang berbeda-beda pula.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan suatu kajian untuk

mengetahui seberapa jauh produktivitas primer fitoplankton dibatasi oleh intensitas

cahaya dan ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Banten. Rumusan dan

pendekatan masalah dari penelitian ini secara sederhana disajikan dalam bentuk

(16)

Gambar 1. Kerangka proses perumusan dan pendekatan masalah.

Keterangan : Tanda ( ) adalah jalur penelitian utama. Tanda (- - - -) adalah jalur penelitian penunjang.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas

primer fitoplankton dengan intensitas cahaya matahari dan unsur hara di perairan

Teluk Banten.

Hipotesis

Jika intensitas cahaya matahari yang mencapai kolom air optimum serta

ditunjang oleh konsentrasi unsur hara yang tinggi sampai pada batas tertentu yang

masih sesuai dengan kebutuhan fitoplankton maka tingkat produktivitas primer

fitoplankton akan maksimal. Unsur hara

Struktur

Komunitas Produktivitas Primer

Fitoplankton Kelimpahan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Produktivitas Primer

Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis,

walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri

kemosintetik (Nybakken 1988). Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan

fitoplankton dengan produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton di suatu

perairan tinggi, maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang

tinggi pula (Raymont 1963).

Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat

penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis

dan kemosintesis dari produsen primer. Produktivitas primer diistilahkan sebagai laju

fiksasi karbon (sintesis organik) di dalam perairan dan biasanya diekspresikan sebagai

gram karbon yang diproduksi per satuan waktu (Kennish 1990). Hal yang sama

dikemukakan oleh Levinton (1982) dan Barnabe dan Barnabe (2000), bahwa

produktivitas adalah jumlah yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu

dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup

dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam

satuan meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau sebagai gram karbon yang

dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari).

Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses metabolik

yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar produktivitas

primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan Barnabe 2000).

Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh

(18)

mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut

produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer (Sumich 1994).

Produktivitas dibedakan atas dua, yaitu produktivitas primer kotor (Gross

Primary Production) dan produktivitas primer bersih (Net Primary Production).

Produktivitas primer kotor adalah laju produksi primer zat organik secara

keseluruhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, sedangkan produktivitas

primer bersih adalah laju produktivitas primer zat organik setelah dikurangi dengan

yang digunakan untuk respirasi (Nybakken 1988).

Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar

untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan. Metode yang digunakan

untuk pengukuran produktivitas primer fitoplankton pertama kali menggunakan

metode O2 yang diperkenalkan oleh Garder dan Gran serta metode 14C oleh Steemann

Nielsen dengan menggunakan tiga tipe metode inkubasi, yaitu inkubasi in situ, simulasi in situ dan metode cahaya (Gocke dan Lenz 2004).

Inkubasi in situ pada umumnya lebih mendekati kondisi alam dan dianggap sebagai metode yang lebih dipercaya (Gocke dan Lenz 2004). Nilai produktivitas

primer fitoplankton dengan menggunakan metode O2 tipe inkubasi in situ telah banyak dilakukan pada beberapa perairan dunia dan memperlihatkan nilai yang

bervariasi (Tabel 1). Produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan

dipengaruhi oleh faktor fisika, kimiawi dan biologi. Faktor-faktor tersebut meliputi

cahaya, suhu, sirkulasi massa air, unsur hara dan grazing oleh zooplankton

(19)

Tabel 1. Nilai produktivitas primer dengan metode oksigen (O2) di beberapa wilayah tropik dan temperate

Catatan : # g C/m3/tahun, ## g C/m2/tahun, ### g C/m2/hari.

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)

Nitrogen inorganik terlarut di perairan terdiri dari ammonia-nitrogen (NH3-N),

nitrat-nitrogen (NO3-N), dan nitrit -nitrogen (NO2-N). Nitrogen dalam laut di dapatkan

dalam 5 tingkat oksidasi, dan dari kelima tingkatan tersebut yang melimpah dan

Daerah Produkti fitas primer Sumber

Perairan Tropik Brown (1980) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986) Carter (1982, 1983) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)

(20)

aktif adalah ion nitrat, berturut-turut menyusul nitrit dan ammonia (Libes 1992;

Valiela 1984).

Sumb er nitrogen di laut terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk

nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik

(Dawes 1981). Meskipun nitrogen ditemukan berlimpah di lapisan atmosfer akan

tetapi unsur ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Untuk

dapat dimanfaatkan nitrogen dari atmosfir yang masuk ke dalam perairan difiksasi

(diserap) oleh sebagian bakteri atau fitoplankton menjadi senyawa-senyawa tertentu,

seperti NH3, NH4 dan NO3 (Valiela 1984).

Sumber lain nitrogen di laut berasal dari zona dalam perairan yang disebut

sebagai produksi baru terutama dalam bentuk nitrat-nitrogen (NO3-N) yang masuk ke

zona euphotik yang terangkut melalui vertikal mixing dan upwelling (Tett dan

Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993) (Gambar 2). Fitoplankton lebih banyak

menyerap NH4-N dari pada NO3-N karena lebih banyak dijumpai dalam kondisi

aerobik maupun anaerobik.

(21)

Kebanyakan spesies fitoplankton dapat mengasorbsi ammonium, ammonia,

nitrat, maupun nitrit, tetapi jika ketiganya tersedia, fitoplankton pada umumnya lebih

menyukai ammonium (Raymont 1963; Riley dan Chester 1971; Millero dan Sohn

1991; Libes 1992 ). Laju penyerapan nitrogen lebih cepat dari sel fitoplankton yang

berukuran kecil daripada yang berukuran besar (Eppley et al. 1969; Fricble et al. 1978 in Smith and Kalf 1983; Harrison et al. 2004) (Gambar 3).

Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh

tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk

membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah

satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat

menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont 1963).

Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil

daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan

sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari

pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati, Fitoplankton

< 2 µm

(22)

sedangkan sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri dan domestik,

limbah deterjen, serta limpasan limbah pertanian yang menggunakan pupuk

(Libes 1992).

Soegiarto dan Birowo (1975) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan

permukaan lebih rendah dari lapisan di bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang

tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan

massa air. Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada

kisaran 0.27–5.51 ppm (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994).

Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki

nilai fosfat rendah (0,00–0,02 ppm) akan dijump ai dominansi diatom terhadap

fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02–0,05 ppm)

akan banyak dijumpai jenis Chlorophyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai

fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophyceae (Moyle 1946 in Kaswadji 1976).

Silikat

Silika atau silika dioksida (SiO2) merupakan bagian yang penting dalam

pertumbuhan struktur silikoflagelata seperti diatom, radiolaria dan sponge. Menurut

Millero dan Sohn (1991) silika di laut rata-rata 50% dalam bentuk anorganik dan

sisanya kebanyakan menjadi kalsium karbonat (CaCO3). Silikat di perairan terdapat

dalam bentuk larutan asam silikat, dalam bentuk biota (dinding sel diatom),

silikoflagellata dan radiolaria, baik yang hidup maupun yang mati (Spencer 1975).

Bagi diatom, silikat merupakan nutrien yang sangat penting untuk membangun

dinding selnya dan mengasimilasi sejumlah besar silikat untuk disintesis menjadi

(23)

penguraiannya dipengauhi oleh karbondioksida bebas dan asam-asam organik dalam

perairan (Chen 1971).

Spencer (1975) mengemukakan dalam air laut silikon kemungkinan berada

dalam bentuk Si(OH)4. Unsur silikat terdapat sebagai silikat dalam air laut dan

mungkin juga dalam bentuk larutan sejati sebagai ion-ion silikat (Raymont 1963).

Diatom menutupi dirinya dengan kerangka transparan yang merupakan timbunan dari

sebagian besar silikat dalam bentuk senyawa-senyawa SiO2 (Black 1986).

Distribusi silikat di perairan tergantung pada lokasi dan kedalaman perairan.

Distribusi silikat di perairan pantai biasanya lebih tinggi daripada di laut terbuka

karena pengaruh oleh aliran sungai. Di laut terbuka kandungan silikat akan meningkat

bila kedalaman meningkat. Di perairan laut konsentrasi silikat bervariasi dari

0–0.05 mg/L (Dawes 1981), atau 0–200 µM (Millero dan Sohn 1991).

Fitoplankton

Parson et al. (1984) mengatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut yang terdiri dari Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae

(alga merah), Bacillarophyceae (Diatom), Cryptophyceae (Cryptomonads),

Dinophyceae (Dinofllagellata), Chrysophyceae (Chrysomonads, Silicoflagellata),

Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads),

Raphidiophyceae (Choromonadea), Xanthophyceae (alga kuning hijau),

Eustigmatophyceae, Euglenophyceae (Euglenoids), Prasinophyceae

(Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu

Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang

(24)

fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas

diatom (Sze 1993 ).

Nybakken (1988) mengemukakan jenis fitoplankton yang sering dijumpai di

laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata. Fitoplankton yang

minoritas di laut ialah berbagai jenis alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor

(Coccolithophorids), dan silikoflagellata (Dyctyochaceae, Chrysophyceae)

(Nybakken 1988; Romimohtarto dan Juwana 1999).

Nontji (1984) mengatakan bahwa fitoplankton dengan kelimpahan tinggi

umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, dimana terjadi proses penyuburan

karena masuknya nutrien dari daratan yang dialirkan oleh sungai ke laut. Fitoplankton

umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada perairan

yang ke arah laut lepas, selain itu penyebarannya tidak merata melainkan hidup secara

berkelompok (Arinardi et al. 1997).

Goldman dan Horne (1983) dan Wetzel (1983) mengemukakan dominasi suatu

jenis fitoplankton pada suatu perairan dapat diganti oleh jenis lain, disebabkan

berubahnya kondisi fisik kimia perairan. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor

penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH,

kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1988).

Klorofil-a

Klorofil-a dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg (Weyl 1970) merupakan salah

satu pigmen fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan

khususnya fitoplankton (Parsons et al. 1984; Susilo 1999). Klorofil-a terdapat dalam

(25)

mengukur biomass fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965) dan dapat digunakan

sebagai petunjuk nilai potensi fotosintetik di perairan (Wiadnyana 1997).

Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai

produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung

klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas

perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965).

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi

unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada

permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman

(Millero dan Sohn 1991).

Cahaya

Parsons et al. (1984) mengatakan bahwa aspek dasar dari cahaya yang penting

secara biologi adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di

laut, bergantung kepada waktu (harian, musiman, dan tahunan), ruang (perbedaan

lokasi di bumi dan kedalaman), kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah

perubahan maksimum dan tingkat difusi, dan polarisasi. Cahaya merupakan sumber

energi dalam fotosintesis. Proses fotosintesis di dalam perairan hanya dapat

berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton

berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian

energi ini digunakan untuk aktivitas proses fotosintesis. Tidak semua radiasi

elektromanetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya

cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara

400–720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktivitas fotosintesis

(26)

Ruttner (1973) mengatakan bahwa makin dalam penetrasi cahaya ke dalam

perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis dapat

berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air yang

lebih dalam. Penetrasi cahaya matahari dalam air, semakin menurun dengan

bertambahnya kedalaman (Gambar 4).

Penetrasi Cahaya (%) Fotosintesis (gC/m2/hari)

Respirasi

Gambar 4. Grafik distribusi vertikal cahaya dan fotosintesis di perairan (Lalli dan Parsons 1993; Mann dan Lazier 1996).

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas

cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai

optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi),

sedangkan dibawahnya merupakan cahaya pembatas (limitasi) sampai pada suatu

kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Valiela 1984). Kennish (1990 ) mengatakan bahwa intensitas cahaya yang

masuk di perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya padatan tersuspensi, jasad renik

yang melayang, kekeruhan dan warna air. Intensitas cahaya ini semakin melemah saat

penetrasi ke dalam kolom air. Hukum Lambert-Beer (Foog 1975; Parsons et al. 1984) dapat digunakan untuk menghitung besarnya tingkat absorpsi cahaya yang

ditunjukkan oleh besarnya koefisien absorbsi, yaitu :

(27)

Iz = Io e -kz

Dimana Iz adalah intensitas cahaya pada suatu kedalaman z, Io adalah intensitas

cahaya pada permukaan air, e adalah bilangan dasar logaritma (2,7), dan k adalah

koefisien absorbsi.

Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya juga sangat dipengaruhi oleh

pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jen is

fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini

berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Spektrum cahaya yang terpenting

dalam mengontrol fotosintesis fitoplankton adalah yang mempunyai panjang

gelombang 400–700 nm, atau yang dikenal dengan photosynthetically active radiation

(PAR) (Kennish 1990 ; Lalli dan Parsons 1993).

Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang dapat mempengaruhi

fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton. Suhu berpengaruh pada sistem biologi

melalui dua cara. Pertama suhu, berpengaruh terhadap kecepatan reaksi-reaksi secara

enzimatik dalam tubuh organisme. Kedua, suhu berpengaruh terhadap proses respirasi

organisme. Peningkatan suhu pada batas kisaran toleransi akan meningkatkan laju

metabolisme dan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Peningkatan suhu sebesar

10oC akan menyebabkan peningkatan laju fotosintesis sebesar dua kali lipat

(Kennish 1990).

Dalam proses fotosintesis di laut, suhu dapat berpengaruh secara langsung dan

tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu mengontrol reaksi kimia enzimatik

(28)

struktur hidrologi perairan, seperti kerapatan air yang akhirnya mempengaruhi laju

penenggelaman fitoplankton (Raymont 1963; Tomascik et al. 1997).

Soegiarto dan Birowo (1975) mengemukakan bahwa keadaan sebaran suhu

secara horisontal di perairan Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil

namun masih memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal tersebut, berhubungan

dengan yang dikemukakan oleh Damar (2003) bahwa suhu perairan tropik

menunjukkan variasi harian yang kecil (siang dan malam), termasuk fluktuasi

musiman. Selanjutnya dinyatakan bahwa kisaran suhu tahunan perairan berkisar dari

29.1–30.0°C.

Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan

di wilayah tropik panas sepanjang tahun, yaitu 20–30oC. Suhu lapisan permukaan di

perairan Indonesia berkisar antara 26–30oC, lapisan termoklin berkisar antara 9–26oC

dan pada lapisan dalam berkisar antara 2–8oC (Soegiarto dan Birowo 1975).

Salinitas

Berdasarkan salinitas dikenal dua jenis fitoplankton, yaitu yang bersifat

stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sempit) dan euryhaline (dapat

hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Salinitas mempengaruhi fitoplankton dalam

hal densitas dan stabilitas dari kolom air. Peningkatan kedalaman akan menurunkan

suhu dan meningkatkan salinitas, hal ini menyebabkan densitas meningkat sehingga

mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton dan akan mempunyai stratifikasi

yang kuat dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam, akan sukar ditembus oleh

fitoplankton (Raymont 1963).

Kaswadji et al. (1993) mengatakan bahwa variasi salinitas mempengaru hi laju

(29)

bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil. Sachlan (1982) mengatakan bahwa

salinitas yang cocok bagi fitoplankton adalah lebih dari 20‰. Salinitas seperti ini

memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif

melakukan fotosintesis (NairdanThampy 1980).

pH

Wardoyo (1982) mengatakan bahwa pH sangat mempengaruhi kehidupan

makhluk hidup termasuk fitoplankton. Selain itu pH merupakan salah satu parameter

yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan, dan pH yang ideal untuk

kehidupan fitoplankton dalam perairan adalah 6,5–8,0 (Pescod 1973). pH permukaan

laut sangat stabil biasanya berkisar antara 8.1 dan 8.3 (Reid 1961).

Swingle (1969) mengatakan bahwa pada perairan yang berkondisi asam

dengan pH kurang dari 6, fitoplankton tidak akan hidup dengan baik. Perairan dengan

nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat

menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan

perairan yang sangat basa dapat pula menyebabkan kematian dan mengurangi

produktifitas (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih

produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971).

Fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7–8 asalkan terdapat cukup mineral di

dalam suatu perairan (Sachlan 1982), sedangkan pH optimal untuk perkembangan

(30)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Banten yang secara geografis

terletak pada 05°55’–06°05’ LS dan 106°05’–106°15’ BT. Tempat pengambilan

contoh air laut terbagi dalam dua stasiun, yakni stasiun A dengan posisi geografis

pada 06°00’20.3” LS dan 106°09’06.2” BT serta stasiun B dengan posisi geografis

pada 05°58’38.3” LS dan 106°09’35.7” BT (Gambar 5). Pengukuran produktivitas

primer serta analisis unsur hara, fitoplankton dan klorofil-a berlangsung pada musim

peralihan I (pertama) dan dilaksanakan dalam 3 periode, dimana periode pertama

berlangsung pada Tanggal 27 Maret 2005, periode kedua berlangsung pada Tanggal

9 April 2005 dan periode ketiga berlangsung pada Tanggal 25 April 2005.

(31)

Pengambilan contoh Air Laut

Pengambilan contoh air laut dengan menggunakan Van Dorn kapasitas

5 liter pada kedalaman 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A dan

kedalaman 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B. Pembagian atas

beberapa kedalaman tersebut dimaksudkan karena distribusi vertikal cahaya akan

semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman serta distribusi vertikal unsur

hara konsentrasinya selalu bervariasi dengan kecenderungan akan semakin besar

dengan bertambahnya kedalaman.

Pengambilan contoh air laut dilakukan satu kali pada masing-masing

kedalaman setiap periode, dimulai pada jam 08.00 bersamaan akan dilakukan proses

inkubasi. Parameter yang diukur meliputi produktivitas primer, unsur hara DIN

(nitrogen inorganik terlarut) yang meliputi NH3-N, NO3-N, NO2-N, DIP (fosfat

inorganik terlarut) yang meliputi ortofosfat, silikat, fitoplankton dan klorofil-a sebagai

parameter utama serta suhu, salinitas, dan pH sebagai parameter penunjang (Tabel 2).

Tabel 2. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diukur serta metode dan alat ukur yang digunakan

(32)

Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas Cahaya Matahari permukaan tercatat setiap 10 menit dengan

alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Serang. Distribusi intensitas cahaya matahari pada setiap kedalaman kolom

air ditentukan menurut Hukum Beer -Lambert (Fogg, 1975; Parsons et al. 1984) sebagai berikut :

Dimana : Iz = Intensitas cahaya pada kedalaman z

Io = Intensitas cahaya permukaan

kT = Koefisien peredupan

z = Kedalaman.

Koefisien peredupan dihitung dari pembacaan kedalaman keping secchi disk

(Sd (m)) dengan menggunakan hubungan persamaan empiris (Tillmann et al. 2000), sebagai berikut : k = 0.191 + 1.242/Sd (r2 = 0.853).

Produktivitas Primer

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol

terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan

oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah

diinkubasikan pada perairan yang mendapat sinar matahari (Lampiran 1, 2 dan 3).

Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dikonversi kedalam satuan

mgC/m3/jam (Umaly danCuvin 1988) sebagai berikut :

z k o z

T e I

(33)

dimana :

NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m3/jam)

O2BT = Oksigen pada botol terang (BT) setelah inkubasi (mg/l)

O2BA = Oksigen pada botol inisial (BI) (mg/l)

PQ = Photosintetic Quotien = 1,2; dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton

t = Waktu inkubasi (jam) 1000 = Konversi liter menjadi m3

0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi carbon (=12/32)

Catatan : PQ merupakan perbandingan O2 yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Nilai PQ berkisar 1.1–1.3 (Ryther 1965inParsons et al. 1984 ; Lalli dan Parsons 1993).

Analisis Unsur Hara

Contoh air laut dimasukkan pada botol sampel polyetilen kapasitas 250 ml

untuk analisis ammonia, nitrat, nitrit, dan silika, serta untuk analisis ortofosfat. Botol

sampel dimasukkan kedalam pendingin sebelum dianalisis.

Sebelum analisis lanjutan di laboratorium terlebih dahulu dilakukan filtrasi

yaitu contoh air laut disaring dengan filter nukleopore (diameter 47 mm dan porositas

0,45 µm) yang dibantu dengan menggunakan pompa vakum melewati suatu glass

microfibre filter (Lampiran 4). NPP =

(

) (

)

( )

t PQ

x x BA

BT

O

(34)

Identifikasi Fitoplankton

Contoh air laut diambil sebanyak 20 liter dan disaring dengan plankton net mesh size 25 µm. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan kedalam botol

sampel 100 ml lalu diawetkan dengan larutan lugol pekat 1 mI/100 ml, untuk

diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur

dari Davis (1955), Smith (1977), Yamaji (1979), dan Tomas (1997).

Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan menggunakan metode sensus

(penyapuan) di atas Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 1998), dengan rumus sebagai

berikut:

Analisis komunitas fitoplankton dengan menggunakan beberapa indeks biologi

seperti indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominansi (D).

Hasil identifikasi dan perhitungan kelimpahan fitoplankton digunakan untuk

menentukan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner, yaitu :

dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (bits)

(35)

Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat dikategorikan sebagai

berikut : (Wilhm dan Doris 1968 inMasson 1981).

H’ < 2.3062 = Keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah

2.3062<H’<6.9078 = Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang

H’>6.9078 = Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan

sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E) atau Equitability, yaitu :

dimana : E = indeks keseragaman

H’ = indeks keanekaragaman H’maks = Ln S

S = jumlah spesies.

Indeks keseragaman berkisar antara 0–1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil

pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies

tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari jenis yang

ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis yang ada

(Odum 1971).

Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi

digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu :

Indeks dominansi berkisar 0–1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur

(36)

spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang

sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1971).

Hubungan antara H’, E, dan D adalah apabila nilai indeks keanekaragaman

(H’) spesies tinggi berarti nilai keseragaman (E) rendah dan tidak ada spesies yang

mendominasi spesies lainnya (D rendah).

Klorofil-a

Contoh air laut untuk analisis klorofil-a diambil sebanyak 1 liter dan

dimasukkan kedalam botol polietilen kapasitas 1 liter (ditutup rapat dengan plastik

hitam), dan disimpan dalam box ice bersuhu dingin (-4°C) untuk dianalisis di

laboratorium (Lampiran 5). Konsentrasi klorofil-a diukur dengan menggunakan

spekrofometer. Konsentrasi klorofil-a dihitung dengan menggunakan persamaan

menurut APHA (1998), sebagai berikut :

(37)

Analisis Data

Data penelitian dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu data penelitian

utama yang terdiri dari data produktivitas primer, unsur hara, fitoplankton, klorofil-a,

dan cahaya serta data penunjang yang terdiri data suhu, salinitas dan pH. Data hasil

analisis akan ditabulasikan dalam tabel berdasarkan lokasi (stasiun) dan kedalaman

inkubasi di kedua stasiun pengamatan.

Analisis data dilakukan secara komputasi dengan menggunakan software

Kgraph, SAS versi 8.0, dan Excel. Sedangkan rancangan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan acak faktorial blok (Mattjik dan Sumertajaya 2000)

pada 2 lokasi dan setiap lokasi terdiri atas 4 titik kedalaman dengan 3 kali ulangan.

Untuk mengetahui perbedaan produktifitas primer antar lokasi dilakukan

analisis ragam. Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan antara unsur hara,

klo rofil-a dengan produktifitas primer, pada setiap stasiun dan kedalaman inkubasi di

gunakan analisis regresi sederhana (Mattjik dan Sumertajaya 2000 ), dengan

persamaan sebagai berikut :

Y = a + bX

dimana : Y = Produktivitas primer sebagai peubah tak bebas

X = peubah bebas berupa unsur hara (ammonia-nitrogen, nitrat- nitrogen,

nitrit-nitrogen, ortofosfat, dan silikat)

b = interseps

a = koefesien regresi.

Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan cahaya dengan produktivitas

primer dengan menggunakan model Von Platt (Platt et al. 1980; Damar 2003) dengan

(38)

Y = a (1 – e-bX) e-cX

Dimana : Y = Produktivitas primer

X = Cahaya

a, b, dan c = Konstanta.

Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui keeratan dari

peubah X terhadap Y. Kisaran nilai R2 antara 0–1. Jika nilainya lebih besar dari 0,5

atau mendekati 1, maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan terhadap Y.

Besarnya peranan X terhadap Y, ditelaah dengan sidik ragam regresi. Jika Fhitung lebih

besar dari Ftabel berarti peubah X memberikan pengaruh terhadap peubah Y, demikian

pula sebaliknya jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel berarti peubah X tidak memberikan

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Oseanografi

Suhu

Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28–29°C (Tabel

3). Hal ini disebabkan karena kondisi cuaca pada saat pengamatan cenderung sama.

Berhubungan dengan hal tersebut Lalli dan Parsons (1993) menyatakan bahwa

perubahan suhu di perairan tropik yang dangkal lebih kecil dari 2°C. Hasil

penelitian yang didapatkan pada pengamatan ini relatif sama dengan penelitian

sebelumnya, di mana kisaran suhu perairan pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan

10 meter sebesar 28–30°C (Purwanto 1992).

Tabel 3. Kondisi oseanografi perairan Teluk Banten

Stasiun Kedalaman (m) Suhu (°C) Salinitas (‰) pH

A 0.2 29 31 8.17

1 29 31 8.24

4 29 31 8.25

5 29 31 8.26

B 0.2 29 31 8.19

2 29 31 8.21

5 29 31 8.26

6 28 31 8.28

Secara keseluruhan, suhu di perairan Teluk Banten relatif lebih tinggi dari

suhu air laut rata-rata di laut Jawa yang nilainya sebesar 27.93°C dengan kisaran

27.60–28.60°C (Wyrtki 1961). Kisaran nilai suhu yang didapatkan pada penelitian

ini merupakan suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Kisaran suhu yang

(40)

Salinitas

Salinitas di perairan Teluk Banten relatif sama di stasiun A dan B maupun

kedalaman inkubasi selama pengamatan, nilai salinitas yang teramati adalah

31‰ (Tabel 3). Tidak adanya perbedaan salinitas di kedua stasiun tersebut

kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun pengamatan berada pada bagian tengah

perairan Teluk Banten, yang sama-sama mendapat pengaruh air laut dan air tawar

yang terbawa oleh aliran sungai. Salinitas yang didapatkan pada pengamatan

ini tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya pada perairan yang sama, dimana salinitas pada kedalaman 0 meter,

5 meter, dan 10 meter berkisar dari 31–32‰ (Purwanto 1992).

Dilihat dari fluktuasi salinitas dengan penelitian sebelumnya, maka massa air

di perairan Teluk Banten tergolong kedalam massa air pantai dengan salinitas kurang

dari 32.0‰ (Wyrtki 1961). Kisaran nilai salinitas masih merupakan nilai yang sesuai

untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Nilai salinitas di atas 20‰

memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif

melakukan proses fotosintesis (Sachlan 1982).

pH

Nilai pH di stasiun A dan B maupun pada semua kedalaman inkubasi relatif

sama selama pengamatan dengan kisaran 8.17–8.28 (Tabel 3). Kisaran nilai tersebut

tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan yang

sama, dimana pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari 7.6–8.2

(Purwanto 1992).

Nilai pH yang didapatkan masih dalam batas untuk pertumbuhan fitoplankton.

(41)

pH tersebut masih merupakan kisaran pH perairan laut Indonesia yang berkisar dari

6.0–8.5 (Romimohtarto 1991). Perairan laut tropis memiliki kisaran pH dari 7.5–8.4

(Nybakken 1988).

Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas Cahaya Matahari Permukaan

Sumber energi di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya yang dipancarkan

matahari terdiri dari 50% sebagai infra merah, 41% sebagai cahaya terang, 9%

sebagai ultraviolet, sinar lamda dan sinar gamma (Anikouchine dan Sternberg 1981).

Penetrasi cahaya matahari pertama mencapai atmosfir kemudian laut. Cahaya yang

terserap atau terpencar di atmosfer sekitar 50% dan mencapai permukaan laut 50%

(Lalli dan Parsons 1993). Besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang mencapai

permukaan laut berbeda-beda dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut terjadi pula di

perairan Teluk Banten, dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan

laut (di udara) selama pengamatan bervariasi (Gambar 6; Lampiran 6).

0 10 20 30 40 50 60 70 80

06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

Waktu Pengamatan

Intensitas Cahaya Matahari (MJ/m

2 )

Gambar 6. Intensitas cahaya permukaan.

Bervariasinya intensitas cahaya disebabkan oleh kondisi perawanan pada saat

(42)

matahari yang mencapai permukaan laut. Hal ini berhubungan dengan pernyataan

Fritz (1957) in Parsons et al. (1984) bahwa cakupan awan di udara akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut.

Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air

Penetrasi cahaya matahari (50% cahaya permukaan) akan mengalami

pengurangan sekitar 10% di lapisan permukaan (Kirk 1994) atau 90% mencapai

lapisan permukaan laut (Iwasaka et al. 2000). Sama halnya dengan intensitas cahaya permukaan, intensitas cahaya di lapisan permukaan bervariasi dari waktu ke waktu

(Gambar 7; Lampiran 7).

Dari Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa besarnya intensitas cahaya pada

permukaan laut akan mempengaruhi pula nilai intensitas cahaya di lapisan

permukaan. Variasi ini terutama terjadi menurut waktu, dimana pada pagi hari

intensitasnya rendah dan akan mengalami peningkatan atau memuncak pada siang

hari (tengah hari) dan menurun kembali pada sore hari.

Berdasarkan Gambar 7, terlihat intensitas cahaya matahari selama inkubasi

pada lapisan permukaan cenderung merata dari jam 10:00–12:00 WIB dimana pada

saat itu sudut datang cahaya matahari hampir tegak lurus permukaan laut. Fenomena

tersebut akan menyebabkan lapisan permukaan laut semakin besar pula menerima

intensitas cahaya matahari dan akan mengalami penurunan dengan bertambahnya

kedalaman (Gambar 8). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Sumich (1992)

bahwa adanya perbedaan nilai intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air

dipengaruhi oleh sudut datang matahari, nilai intensitas semakin besar seiring dengan

besarnya sudut datang matahari dan mengalami penurunan dengan semakin kecilnya

(43)

0 10 20 30 40 50 60 70

06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00

Waktu pengamatan

Intensitas cahaya matahari (MJ/m

2)

Gambar 7. Intensitas cahaya di lapisan permukaan.

Distribusi cahaya matahari di kolom air akan mengalami peredupan.

Peredupan cahaya matahari tersebut terlihat dari nilai koefisien peredupan yang

diperoleh selama pengamatan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B

sebesar 0.47 per meter. Peredupan ini disebabkan oleh bahan -bahan yang ada dalam

perairan baik berupa bahan organik maupun partikel-partikel tersuspensi termasuk di

dalamnya organisme planktonik dan molekul-molekul air itu sendiri. Hal ini

berhubungan dengan pernyataan Wyatt dan Jackson (1989) bahwa distribusi cahaya di

kolom air tergantung pada kandungan dan kelompok partikel tersuspensi, seperti tipe

partikel termasuk ukuran, bentuk dan struktur internal.

Kedalaman zona eufotik selama pengamatan diukur melalui pembacaan

keping Secchi dengan nilai yang diperoleh sebesar 3.5 meter di stasiun A dan 4.5

meter di stasiun B. Pendugaan nilai dan persentase intensitas cahaya matahari yang

masuk ke kolom air dengan hukum Lambert memperlihatkan pola distribusi cahaya di

perairan semakin dalam cahaya menembus lapisan air maka semakin berkurang nilai

(44)

lapisan permukaan pada kedalaman 8 meter di stasiun A dan 9 meter di stasiun B

(Gambar 8; Lampiran 8).

Gambar 8. Distribusi cahaya di kolom air perairan Teluk Banten.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedalaman inkubasi

0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A serta 0.20 meter, 2 meter, 5

meter dan 6 meter di stasiun B masih termasuk dalam zona eufotik. Dengan demikian

di kedalaman inkubasi tersebut cahaya terdistribusi pada semua kolom air sehingga

akan menunjang terjadinya proses fotosintesis di semua kedalaman inkubasi.

Perbedaan nilai pencahayaan di stasiun A dan B disebabkan oleh berbedanya

nilai koefisien peredupan di kedua stasiun tersebut. Nilai koefisien peredupan di

stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Semakin

besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom

air akan semakin kecil. Sebaliknya nilai koefisien peredupan yang kecil maka nilai

(45)

Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)

Rata-rata total DIN yang diperoleh selama pengamatan sebesar 0.555 mg at

N/l di stasiun A dan 0.550 mg at N/l di stasiun B (Lampiran 9). Nilai ini masih berada

pada kisaran konsentrasi DIN yang umumnya ditemukan di perairan estuari yang

berkisar dari bawah deteksi (0.1 µM) sampai di atas 100 µM atau setara 0.067 mg at

N/l (Nixon dan Pilson 1983). Selama pengamatan terlihat bahwa nitrat merupakan

salah satu unsur yang memberikan kontribusi besar terhadap total DIN di perairan.

Hal ini disebabkan karena nitrat merupakan unsur yang lebih melimpah di lapisan

permukaan perairan (Dawes 1981) dan merupakan bentuk stabil dari nitrogen di laut

(Riley dan Chester 1971).

Kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit) selama pengamatan

cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil di kedua stasiun pengamatan

(Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun A dan B yang berada

pada bagian tengah perairan Teluk Banten.

Begitu pula dengan sebaran vertikal DIN cenderung sama dengan variasi yang

sangat kecil pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Tabel 5). Adanya

variasi konsentrasi DIN kemungkinan disebabkan oleh posisi kedalaman inkubasi

pada pengamatan ini berada pada zona eufotik, sehingga unsur DIN yang tersedia di Tabel 4. Rataan unsur hara menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten

Unsur hara (mg -at/4 l) Stasiun

Periode

ke - NH3-N NO3-N NO2-N PO4-P Si

A I 0.049 0.066 0.002 0.002 1.573

II 0.040 0.106 0.007 0.002 0.255

III 0.076 0.069 0.002 0.011 1.251

B I 0.034 0.082 0.002 0.002 0.752

II 0.039 0.062 0.006 0.002 0.145

(46)

perairan dengan cepat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan

pernyataan Grasshoff (1976) bahwa konsentrasi unsur hara di zona eufotik cepat

berkurang karena pemanfaatan oleh fitoplankton. Pernyataan tersebut didukung pula

ditemukannya kelimpahan fitoplankton yang tergolong tinggi pada setiap kedalaman

inkubasi di stasiun A dan B (Gambar 9; Lampiran 9).

Tabel 5. Rataan konsentrasi unsur hara menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten

Unsur hara (mg at/3 l) Stasiun

Kedalaman

(m) NH3-N NO3-N NO2-N PO4-P Si

A 0.2 0.045 0.09 0.005 0.006 0.648

1 0.055 0.096 0.005 0.005 0.669

4 0.060 0.094 0.006 0.004 0.529

5 0.047 0.094 0.005 0.004 0.502

B 0.2 0.047 0.053 0.005 0.003 0.372

2 0.051 0.054 0.005 0.003 0.401

5 0.058 0.103 0.005 0.005 0.368

6 0.054 0.096 0.005 0.005 0.373

Ammonia-Nitrogen (NH3-N)

Nilai konsentrasi ammonia di stasiun A berkisar dari 0.040–0.076

mg at NH3-N/4 l, dan stasiun B berkisar dari 0.034–0.079 mg at NH3-N/4 l (Tabel 4;

Lampiran 9). Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan pada pengamatan

ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Purwanto (1992) di perairan yang sama. Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang

didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter

berturut-turut 0.1708–0.244 mg/3 l atau 0.140–0.200 mg at NH3-N/3 l, 0.1859–0.488

mg/3 l atau 0.152–0.401 mg at NH3-N/3 l, 0.0976–0.195 mg/3 l atau 0.080–0.160

(47)

Pola distribusi vertikal ammonia di kedua stasiun pengamatan terlihat

cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil (Tabel 4). Hal ini berhubungan

dengan pernyataan bahwa distribusi vertikal ammmonia lebih seragam bila dibanding

dengan unsur nitrogen lainnya (Dawes 1981).

Nitrat-Nitrogen (NO3-N)

Konsentrasi nitrat yang didapatkan di stasiun A berkisar dari 0.066–0.106

mg at NO3-N/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.062–0.105 mg at NO3-N/4 l

(Tabel 4; Lampiran 9), dengan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi relatif

sama (Tabel.5; Lampiran 9). Nilai konsentrasi nitrat yang didapatkan pada

pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang didapatkan oleh

Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut

0.1326–0.353 mg/3 l atau 0.109–0.290 mg at NH3-N/3 l, 0.1768–0.4420

mg/3 l atau 0.145–0.363 mg at NH3-N/3 l, 0.2210–0.3978 mg/3 l atau

0.181–0.327 mg at NH3-N/3 l.

Konsentrasi nitrat yang didapatkan, bila dilihat dari ketersediaannya di

perairan masih berada dalam batas keseimbangan, dimana konsentrasi NO3 d i zona

eufotik sebesar 0.03 µg-at/L atau setara 0.042 mg at NO3/l (Goldman dan Glibert

1983). Bila

konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0.7 µM atau setara dengan 0.035 µg at NO3-N/l

maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti (Millero dan Sohn 1992). Sedangkan

untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0.9–3.5 mg/l

atau 0.7–2.8 mg at NO3-N/l (Mackenthum 1969). Sehubungan dengan hal ini dapat

dikatakan bahwa nitrat yang tersedia di perairan pada saat pengamatan telah

dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hal ini dipertegas jika

(48)

menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton

(Goes et al. 2004).

Nitrit-Nitrogen (NO2-N)

Nitrit ditemukan dalam konsentrasi rendah, karena nitrit merupakan bentuk

senyawa peralihan dari nitrat ke ammonia atau sebaliknya. Kisaran konsentrasi nitrit

di stasiun A berkisar dari 0.002–0.007 mg at NO2-N/3 l, dan di stasiun B berkisar dari

0.002–0.006 mg at NO2-N/3 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di

setiap kedalaman inkubasi terlihat seragam (Tabel 5; Lampiran 9).

Fosfor Inorganik Terlarut (DIP)

Ortofosfat (PO4-P)

Kisaran konsentrasi ortofosfat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun

A berkisar dari 0.002–0.011 mg at PO4-P/3 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.002–

0.008 mg at PO4-P/3 l (Tabel 4). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Purwanto (1992), nilai konsentrasi yang didapatkan pada pengamatan

ini lebih tinggi. Purwanto (1992) mendapatkan konsentrasi fosfat pada lapisan

permukaan, kedalaman 5 meter, dan 10 meter berturut-turut berkisar dari 0.0100–

0.0425 mg/3 l atau 0.00326–0.0138 mg at PO4-P/3 l, 0.0125–0.0450 mg/3 l atau

0.0040–0.0146 mg at PO4-P/3 l, dan 0.0350–0.0450 mg/3 l atau 0.0114–0.0146

mg at PO4-P/3 l.

Millero dan Sohn (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis

fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat

dibawah 0.3 µM atau setara 0.009 mg at P/l maka perkembangan sel menjadi

terhambat. Konsentrasi yang didapatkan berada dibawah pertumbuhan optimal

(49)

ortofosfat yang ada langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Sedangkan untuk

pertumbuhan optimal fitoplankton konsentrasi ortofosfat yang dibutuhkan berkisar

dari 0.27–5.51 mg/l atau 0.088–1.79 mg-at PO4-P/l (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994).

Rendahnya konsentrasi ortofosfat yang didapatkan pada pengamatan ini

kemungkinan disebabkan (1) ortofosfat yang ada diperairan telah dimanfaatkan oleh

fitoplankton, (2) waktu sampling mempengaruhi nilai konsentrasi ortofosfat, seperti

yang terjadi di Teluk Chesapeake konsentrasi ortofosfat menurun dari 0.4 µM–0.1 µM

atau setara 0.01–0.003 mg at/l pada jam 3 sore dan meningkat dengan cepat setelah

matahari terbenam sampai maksimum pada jam 2 siang (Millero dan Sohn 1992),

(3) kandungan fosfat yang dibutuhkan lebih rendah jika nitrogen yang digunakan

tersedia dalam bentuk ammonia, sedangkan jika nitrogen dalam bentuk nitrat, maka

fosfat yang dibutuhkan lebih tinggi (Chu 1984 in Andarias 1984), atau (4) konsentrasi

ortofosfat makin berkurang ke arah laut, karena sumber utama fosfor di laut adalah

dari aliran sungai (Lewis et al. 1985).

Silikat (Si)

Kisaran konsentrasi silikat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A

berkisar dari 0.255–1.573 mg at Si/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.145–0.845

mg at Si/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman

inkubasi cenderung sama den gan variasi yang kecil (Tabel 5; Lampiran 9). Kisaran

silikat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi dari yang didapatkan oleh

Purwanto (1992), dimana pada kedalaman permukaan, 5 meter dan 10 meter berkisar

(50)

Silikat yang didapatkan selama pengamatan masih berada pada konsentrasi

yang sesuai untuk pertumbuhan diatom. Diatom tidak dapat berkembang dengan baik

pada konsentrasi silikat yang lebih kecil dari 0.5 mg at Si/l (Effendi 2003). Kisaran

konsentrasi silikat terlarut di laut adalah 1 mg/l, tapi konsentrasi tersebut bervariasi

pada permukaan laut dan perairan laut yang dangkal (Grasshoff 1976).

Dengan melihat kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit), DIP

(ortofosfat) maupun silikat di perairan selama pengamatan, dapat dikatakan bahwa

tingkat variasi unsur-unsur tersebut pada setiap kedalaman inkubasi maupun antar

stasiun tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung sama. Perbedaan tersebut selain

disebabkan oleh pemanfaatan fitoplankton di zona eufotik, kemungkinan juga

disebabkan oleh lokasi pengamatan merupakan perairan yang dangkal sehingga

pengadukan massa air sangat kuat, yang menyebabkan kolom air menjadi tercampur

sehingga unsur hara tidak terperangkap pada suatu kedalaman tertentu.

Struktur Komunitas Fitoplankton

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Terdapat tiga kelas fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di

perairan Teluk Banten. Ketiga kelas fitoplankton tersebut terdiri dari

Bacillariophyceae, Dinophyceae, dan Cyanophyceae yang tersebar pada semua

kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan dengan jumlah genera yang

bervariasi. Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae merupakan yang

dominan pada semua kedalaman inkubasi di stasiun A maupun B dengan 29 genera,

Dinophyceae 6 genera, dan Cyanophyceae 1 genera (Lampiran 11, 12, dan 13).

(51)

Bacillariophyceae baik menurut stasiun pengamatan (Tabel 6) maupun menurut

kedalaman inkubasi (Gambar 9).

Melimpahnya genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (diatom) dan

Dinophyceae (dinoflagellata) pada setiap kedalaman inkubasi disebabkan karena

fitoplankton dari kedua kelas tersebut merupakan anggota utama fitoplankton yang

terdapat di seluruh bagian perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik

(Arinardi et al. 1997).

Tabel 6. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten

Kelas fitoplankton Sta siun

Periode

ke - Bacillariophyceae Cyanophyceae Dinophyceae

A I 17 1 4

II 22 1 6

III 21 1 4

B I 19 1 5

II 21 1 2

III 19 1 5

Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang dominan ditemukan

selama pengamatan terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Guinardia sp, Rhizosolenia sp, Leptocylindrus sp, Nitzschia sp, Thallasiosira sp, Bidulphia sp, dan Skeletonema sp. Sedangkan dari kelas Dinophyceae adalah Peridinium sp, Ceratium sp, Dinophysis sp, dan Noctiluca sp. Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan dari penelitian sebelumnnya yang predominan diatas 10 % di perairan yang sama terdiri

(52)

Gambar 9. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten.

Berhubungan dengan hal tersebut Arinardi et al. (1994) menyatakan bahwa

jenis-jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang umumnya dijumpai

di perairan lepas pantai Indonesia antara lain Chaetoceros sp, Thallasiosira sp, dan Bacteriastrum sp, sedangkan dari kelas Dinophyceae yang umumnya dijumpai di laut adalah Noctiluca sp, Ceratium sp, Peridinium sp, dan Dinophysis sp.

Kelimpahan sel fitoplankton yang didapatkan selama pengamatan bervariasi di

kedua stasiun pengamatan. Secara keseluruhan kelimpahan sel fitoplanton lebih tinggi

di stasiun A dibandingkan dengan stasiun B (Tabel 7; Lampiran 9, 11, 12 dan 13).

Perbedaan tersebut disebabkan oleh posisi stasiun A yang masih mendapat pengaruh

perairan pantai yang mendapat suplai unsur hara dari aliran sungai di

sekitarnya.

Tabel 7. Rataan kelimpahan sel fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten

Kelimpahan fitoplankton (sel/l) Stasiun

Periode

ke - Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae

Gambar

Gambar 1. Kerangka proses perumusan dan pendekatan masalah.
Tabel 1. Nilai produktivitas primer dengan metode oksigen (O2) di beberapa wilayah               tropik dan temperate
Gambar 2.  Siklus nitrogen di zona eufotik (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan                           Parsons 1993)
Gambar 3. Penyerapan dari tiga sumber nitrogen (NH4, Urea, NO3) oleh dua                     ukuran fitoplankton yang berbeda (Varela 1997; Varela dan                     Harrison  1999 in Harrison et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur Komunitas Alga Laut di Perairan Pesisir Desa Rap-rap, Minahasa, Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT 2(3),

Dari sistem ini akan menghasilkan keluaran yang berupa aplikasi android yang memberikan pilihan rute yang dapat digunakan pengguna untuk mencapai lokasi layanan kesehatan

Hasil dari penelitian ini adalah penerimaan jaminan kredit yang dilakukan oleh BPR di Kabupaten Badung telah sesuai dengan SOP yang berlaku pada bank itu sendiri, tidak

Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. 9) Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib. dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

Penulis melakukan penelitian dengan cara meneliti bahan pustaka, yaitu undang-undang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, maupun literatur yang berkaitan

Kesimpulan: Pasta gigi dengan tambahan ekstrak ethanol daun sirsak (Annona muricata L.) konsentrasi 35% menghambat pertumbuhan Candida albicans pada plat GTSL resin

Sistem Informasi Penjualan pada Toko Soneta Cianjur. 4) Untuk mengetahui evaluasi dari Website E-Commerce sebagai Sistem.. Informasi Penjualan pada Toko Soneta Cianjur.

Untuk mengurangi dampak negatif oleh limbah laundry tersebut, maka dibuat sistem pengolahan air limbah Constructed Wetland jenis Hybrid yaitu kombinasi antara