• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Model Instalasi Pengolahan Air Limbah Hybrid Constructed Wetland Dalam Mengolah Air Limbah Kegiatan Laundry.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Model Instalasi Pengolahan Air Limbah Hybrid Constructed Wetland Dalam Mengolah Air Limbah Kegiatan Laundry."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

EFEKTIVITAS MODEL INSTALASI PENGOLAHAN AIR

LIMBAH

HYBRID CONSTRUCTED WETLAND

DALAM MENGOLAH AIR LIMBAH KEGIATAN

LAUNDRY

NI LUH PUTU DENIK SUANTARI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

EFEKTIVITAS MODEL INSTALASI PENGOLAHAN AIR

LIMBAH

HYBRID CONSTRUCTED WETLAND

DALAM MENGOLAH AIR LIMBAH KEGIATAN

LAUNDRY

NI LUH PUTU DENIK SUANTARI

NIM. 1220025094

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

EFEKTIVITAS MODEL INSTALASI PENGOLAHAN AIR

LIMBAH

HYBRID CONSTRUCTED WETLAND

DALAM MENGOLAH AIR LIMBAH KEGIATAN

LAUNDRY

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

NI LUH PUTU DENIK SUANTARI

NIM. 1220025094

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(4)
(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Penguji I

Ir. I Nengah Sujaya, M. Agrs.Sc., PhD. NIP. 19661231 199311 1 002

Penguji II

(6)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Pembimbing

I Gede Herry Purnama, S.T., M.T., M.IDEA. NIP. 19760215 200003 1 004

(7)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya skripsi yang berjudul “Efektivitas Model Instalasi Pengolahan Air Limbah Hybrid Constructed Wetland Dalam Mengolah Air Limbah Kegiatan Laundryini tepat pada waktunya.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. I Gede Herry Purnama, S.T., M.T., M.IDEA selaku Kepala Bagian Kesehatan Lingkungan serta selaku Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, serta masukan untuk penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

3. Orang tua yang selalu mendukung serta memberikan semangat secara moral dan materiil bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

4. Bapak Damani selaku pemilik usaha Laundry lokasi melakukan penelitian yang membantu menyediakan tempat untuk melakukan penelitian dan memberikan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

(8)

vi

dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan semangatnya dari awal hingga penelitian ini berakhir.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam penyusunan skripsi ini.

Dengan demikian skripsi ini disusun semoga dapat memberikan manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Denpasar, 16 Juni 2015

Penulis

(9)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN SKRIPSI, JUNI 2016

Ni Luh Putu Denik Suantari

Efektivitas Model Instalasi Pengolahan Air Limbah Hybrid Constructed Wetland Dalam Mengolah Air Limbah Kegiatan Laundry

ABSTRAK

Usaha laundry yang menawarkan jasa cuci dan setrika saat ini sangat diminati oleh masyarakat. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan laundry tersebut dapat berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Untuk mengurangi dampak negatif oleh limbah laundry tersebut, maka dibuat sistem pengolahan air limbah Constructed Wetland jenis Hybrid yaitu kombinasi antara Horizontal dan Vertikal Subsuface Flow Constructed Wetland yang menggunakan biaya murah dan pemanfaat potensi lokal bali berupa batu vulkanik yang digunakan sebagai media filter.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengukur tingkat efektivitas sistem yang terbagi atas tiga parameter, yaitu; BOD, COD, dan Total Fosfat. Sistem wetland dalam penelitian ini menggunakan media filter Batu Vulkanik Kintamani, sedangkan tanaman yang digunakan adalah Tanaman Cattail (Thypa sp.) dan Tanaman Kana (Canna sp.). Pengukuran efektivitas sistem dilakukan selama enam minggu dengan membandingkan parameter air limbah sebelum dan sesudah diolah oleh sistem.

Setelah dilakukan penghitungan persentase efektivitas penurunan ketiga nilai parameter, diketahui persentase efektivitas penurunan BOD sebesar 73,53%, COD sebesar 54,88%, dan Total Fosfat sebesar 81,51%. Dari ketiga parameter tersebut didapat nilai persentase efektivitas sistem sebesar 69.97%. Berdasarkan efektivitas tersebut, model yang digunakan dalam penelitian ini efektif dalam mengolah air limbah laundry.

(10)

viii

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

ENVIRONMENTAL HEALTH MAJOR JUNE 2016

Ni Luh Putu Denik Suantari

Effectivity of Wastewater Treatment Model Hybrid Constructed Wetland to Treat Laundry Wastewater

ABSTRACT

Laundry business that offers services of washing and ironing is currently in great demand by the public. Waste generated from the laundry activities could adversely impact the environment and public health. To reduce the negative impact by the laundry waste, the wastewater treatment system created Constructed Wetland types Hybrid is a combination of Horizontal and Vertical Flow Constructed Wetland Subsuface that uses low cost and utilizing local potential from Bali of volcanic rock which is used as a filter media.

The purpose of this study to measure the effectiveness of the system, divided into three parameters; BOD, COD, and Total Phosphate. Wetland system in this study using Kintamani Volcanic Stone as the filter media and for the plants, Cattail (Thypa sp.) And Kana (Canna sp.) was used. Measurement of the effectiveness of the system in 6 weeks staright by comparing parameters between pre-treatment wastewater and pasca-treatment wastewater.

The results showed that the effectivity rate of decreasing BOD parameter was 73.53%, COD was 54.88%, and Total Phosphate was 81.51%. Effectivity rate of wetland system was 69,97% that calculated from the average from those trhee parameters. Based on the system effectivity, wetland model in this study effectively implemented to treat laundry wastewater.

Keywords: effectiveness decline, constructed wetland, laundry waste water, volcanic rock.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 MANFAAT PENELITIAN ... 5

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

(12)

x

BAB II ... 7

2.1 Limbah Cair ... 7

2.2 Air Limbah Laundry ... 9

2.3 Parameter Air Limbah ... 11

2.3.1 Parameter Fisika ... 12

2.3.2 Parameter Kimia... 13

2.3.3 Parameter Biologi... 16

2.4 Constructed Wetland ... 17

2.4.1 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland ... 18

2.4.2 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland ... 19

2.4.3 Hybrid Constructed Wetland... 21

2.5 Batu Vulkanik ... 23

2.6 Tanaman Air... 23

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1 Kerangka Konsep ... 26

3.2 Hipotesis Studi ... 27

3.3 Variabel dan Definisi Operasional ... 28

BAB IV METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Desain Penelitian ... 30

4.2 Kerangka Dasar Pengembangan Model ... 32

4.3 Langkah-langkah Kegiatan ... 33

(13)

4.3.1 Persiapan Penelitian ... 33

4.3.2 Pembuatan Model Hybrid Constructed Wetland ... 33

4.3.3 Pengambilan Sampel Air Limbah dan Uji Sampel Tahap I ... 35

4.3.4 Pengolahan Air Limbah Laundry ... 36

4.3.5 Uji Sampel Tahap II ... 36

4.3.6 Metode Analisis Laboratorium ... 37

4.4 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data ... 37

4.4.1 Pengumpulan Data ... 37

4.4.2 Pengolahan Data... 37

4.4.3 Analisis Data ... 37

BAB V HASIL PENELITIAN... 39

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 39

5.2 Kondisi Sistem Hybrid Constructed Weltand ... 41

5.3 Hasil Penelitian ... 42

5.3.1 Kualitas Air Limbah Laundry Sebelum diolah ... 42

5.3.2 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah Diolah ... 43

BAB VI PEMBAHASAN ... 50

6.1 Kondisi Awal Air Limbah Laundry ... 50

6.2 Efektivitas Model Hybrid Constructed Wetland ... 51

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 57

(14)

xii

7.2 SARAN... 58 DAFTAR PUSTAKA

Lampiran

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Air Limbah Laundry Sebelum diolah ... 11

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ... 28

Tabel 5.1 Daftar Produk Laundry Bali Kandi ... 39

Tabel 5.2 Nilai Air Limbah Laundry Sebelum diolah ... 43

Tabel 5.3 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu I ... 43

Tabel 5.4 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu II ... 43

Tabel 5.5 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu III... 44

Tabel 5.6 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu IV ... 44

Tabel 5.7 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu V ... 45

Tabel 5.8 Kualitas Air Limbah Laundry Setelah diolah Minggu VI ... 45

Tabel 5.9 Rata-rata Nilai BOD dari 3 Reaktor ulangan ... 45

Tabel 5.10 Rata-rata Nilai COD dari 3 Reaktor ulangan ... 46

(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland ... 19

Gambar 2.2. Vertikal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland... 21

Gambar 2.3. Hybrid Constructed Wetland ... 22

Gambar 2.4. Batu Vulkanik ... 23

Gambar 2.5. Tanaman Kana (Canna sp.) ... 25

Gambar 2.6. Tanaman Cattail (Thypa sp) ... 25

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 26

Gambar 4.1. Tahapan Penelitian ... 31

Gambar 4.2. Rancangan sistem Hybrid Constructed Wetland ... 35

Gambar 5.1. Nilai BOD Sebelum dan Setelah diolah ... 46

Gambar 5.2. Nilai COD sebelum dan Setelah diolah... 47

Gambar 5.3. Nilai Fosfat Sebelum dan Setelah diolah ... 48

Gambar 5.4. Efektivitas Penurunan BOD, COD, dan Total Fosfat Perminggu .... 49

(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

BOD : Biochemical Oxygen Demand COD : Chemical Oxygen Demand TDS : Total Dissolved Solids TSS : Total Suspended Solids Mg : miligram

L : Liter cm : sentimeter

CDEA : Coconutt Diethanolamide CAPB : Cocamidopropyl Betaine SLES : Sodium Laureth Sulfat

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha laundry yang menawarkan jasa cuci dan setrika saat ini sangat diminati oleh masyarakat. Kehadiran jasa laundry memberikan dampak positif yaitu dapat memberikan keringanan waktu maupun tenaga dalam pengerjaan cuci dan setrika pakaian serta membuka lapangan pekerjaan kepada masryarakat sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Selain memberikan dampak positif, usaha laundry juga dapat menimbulkan dampat negatif seperti meningkatnya jumlah air limbah yang dihasilkan.

Air limbah laundry memiliki dampak yang berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Pencemaran air oleh limbah laundry tersebut berasal dari penggunaan deterjen sebagai bahan pencuci, karena memiliki daya cuci yang baik dan tidak terpengaruh kesadahan air, akan tetapi memiliki kandungan fosfor yang tinggi (rosariawari, 2012). Kandungan fosfor berupa sodium tripolifosfat dalam air limbah laundry mengakibatkan adanya peningkatan pertumbuhan eceng gondok, alga dan

sianobakteri yang dapat mengurangi kandungan oksigen dalam perairan sehingga mempercepat proses eutrofikasi. Eutrofikasi dapat berdampak buruk bagi kesehatan, salah satunya yaitu risiko keracunan serta penyakit-penyakit yang berasal dari air lainnya dikarenakan penggunaan air dari perairan yang mengalami eutrofikasi ataupun sumber air yang terkontaminasi oleh perairan tersebut (Kohler, 2006). Dampak negatif deterjen terhadap kesehatan, jika terjadi kontak langsung detergen dengan kulit maka kulit akan terasa kering, melepuh, timbulnya eksim

(19)

2

kulit semacam bitnik-bintik gatal berarir di telapak tangan maupun kaki. Karena detergen pHnya sangat basa (9,5-12) bersifat korosit yang akan menyebabkan iritasi pada kulit (Nidia. R, 2003 ).

Dampak dari pencemaran air limbah laundry harus diminimalkan dengan melakukan pengendalian terhadap pencemaran air. Menurut peraturan Gubernur no 16 tahun 2016 yang mengatur tentang baku mutu lingkungan hidup yang di terapkan di Bali, dimana peraturan tersebut mengikat baku mutu air limbah domestik termasuk air limbah laundry yang diizinkan untuk dibuang ke badan air. Indikator baku mutu yang digunakan mencakup indikator kimia anorganik seperti tingkat keasaman (pH), Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Total Fosfat serta parameter lainnya.

Untuk mengurangi dampak dari limbah laundry tersebut maka harus mengadakan upaya pengendalian pencemaran air. Menurut Nayono (2010), saat ini terdapat beberapa jenis instalasi pengolahan air limbah yang menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pengolahan air limbah di negara berkembang seperti Indonesia, khususnya pada jasa laundry di Bali. Namun, pada masa ini menurut Kurniawan (2013) dalam Padmanabha (2015), pengadaan pengelolaan air limbah laundry khususnya pada perusahaan menengah kebawah keberatan melakukan

(20)

3

Constructed Wetland merupakan salah satu jenis instalasi pengolahan air limbah yang dapat diterapkan di Indonesia khususnya di Bali dengan keuntungan biaya yang lebih murah, perawatan yang mudah, keberlangsungan instalasi yang mampu mencapai 15 tahun, serta penentuan lokasi instalasi yang lebih fleksibel (WasteWater Garden. 2012, dalam Padmanabha, 2015). Berdasarkan studi Zurita dkk. (2006), efektivitas pengolahan air limbah dengan metode ini mampu menurunkan kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) lebih dari 70%, Chemical Oxygen Demand (COD) lebih dari 75 %, dan kandungan fosfor lebih dari

66%.

Sebelumnya di Bali, sudah dilakukan penelitian tentang efektivitas Constructed Wetland khususnya Vertical Flow Sub-Surface Flow oleh Padmanaba,

2015 dan telah dilakukan pengujian lab, efektivitas pengolahan air limbah dengan metode ini mampu menurunkan kandungan TDS sebesar 14,94%, TSS sebesar 53,13%, BOD sebesar 76,31%, COD sebesar 67,41%, dan Total Fosfat sebesar 57,53%. Selain Vertical Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland terdapat juga model Hybrid Constructed Wetland yang belum pernah di terapkan di Bali.

Hybrid Constructed Wetland adalah salah satu sistem yang dapat digunakan

untuk meminimalkan dampak limbah laundry dengan mmemanfaatkan tanaman dan batu vulkanik sebagai media penyerapan zat-zat berbahaya dalam air limbah laundry. Hybrid Constructed Wetland merupakan kombinasi antara system Vertical

Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland dan Horizontal Flow Sub-Surface

Flow Constructed Wetland. Permasalahan pengolahan air limbah laundry di Bali

(21)

4

Constructed Wetland khususnya jenis Vertical Flow Sub-Surface Flow yang telah

di lakukan sebelumnya telah berhasil menurunnkan parameter berbahaya dalam air limbah laundry dengan menggunakan biaya yang murah dan perawatan yang mudah. Untuk menambah alternative pemilihan jenis instalasi pengolahan air limbah dapat menggunakan model Hybrid Constructed Wetland.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan pengolahan air limbah laundry di Bali terlaksana kurang optimal karena adanya kendala pada dana dan pemilihan jenis instalasi pengolahan air limbah yang murah dan mudah diterapkan. Penggunaan Constructed Wetland khususnya jenis Vertical Flow Sub-Surface Flow yang telah di lakukan sebelumnya telah berhasil menurunnkan parameter berbahaya dalam air limbah laundry dengan menggunakan biaya yang murah dan perawatan yang mudah. Untuk menambah alternative pemilihan jenis instalasi pengolahan air limbah dapat menggunakan model Hybrid Constructed Wetland, maka peneliti ingin melihat bagaimana efektivitas instalansi pengolahan air limbah model Hybrid Constructed Wetland dalam mengolah air limbah laundry.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengurangan tingkat cemaran air limbbah laundry yang diolah dengan menggunakan model instalasi Hybrid Constructed Wetland berdasarkan parameter BOD, COD, pH dan Total Fosfat?

(22)

5

air limbah sebelum pengolahan dan setelah pengolahan dengan menggunakan parameter BOD, COD, dan Total Fosfat?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat efektivitas instalasi Hybrid Constructed Wetland dalam mengolah air limbah laundry berdasarkan pengurangan nilai parameter air limbah.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengurangan tingkat cemaran air limbah laundry yang diolah dengan instalasi Hybrid Constructed Wetland berdasarkan parameter BOD, COD, pH, dan Total Fosfat.

2. Mengetahui persentase efektivitas instalasi Hybrid Constructed Wetland dalam mengolah air limbah laundry berdasarkan perbedaan pengujian kualitas air limbah laundry sebelum pengolahan dan sesudah pengolahan menggunakan parameter BOD, COD, dan Total Fosfat.

1.5MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat digunakan sebagai tambahan untuk bahan pembelajaran mengenai jenis-jenis model instalasi pengolahan air limbah khususnya model Hybrid constructed wetland yang dapat diterapkan serta berapa persentase efektivitasnya.

(23)

6

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Mengurangi tingkat pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh air limbah cair laundry sehingga mampu menjadi alternative pemecahan masalah kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

2. Hasil studi ini dapat diterapkan dalam membangun instalasi pengolahan air limbah laundry pada industri laundry,

3. Dapat membantu untuk penentuan pembangunan instalasi pengolahan air limbah laundry yang murah dan mudah di terapkan.

1.6Ruang Lingkup Studi

Penelitian ini mencakup bidang kesehatan lingkungan dengan pemanfaatan teknologi lingkungan yang menggunakan ruang lingkup:

1. Penelitian menggunakan model Hybrid Constructed Wetland yang dimodifikasi berdasarkan berbagai referensi terkait.

2. Penelitian ini mengolah air limbah laundry yang dihasilkan salah satu industri laundry yang berlokasi di Kapal, Kabupaten Badung.

3. Parameter kualitas air limbah laundry yang digunakan dalam penelitian ini adalah BOD, COD, pH, dan Total Fosfat.

4. Penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium.

5. Batu yang digunakan pada model penelitian ini adalah Batu Vulkanik Kintamani

(24)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair

Air limbah merupakan kombinasi, cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perkantoran dan industry yang kadang-kadang hadir bersama air tanah, air permukaan dan hujan (Metcalf & Eddy (2003). Sedangkan menurut Tjokrokusumo (1998), air limbah dapat juga diartikan dengan suatu kejadian masuknya atau dimasukkannya benda padat, cair dan gas ke dalam air dengan sifat yang dapat berupa endapan atau padat, padat tersuspensi, terlaurut/koloid, emulsi yang menyebabkan air sehingga harus dipisahkan atau di buang.

Sugiharto (1987) mengklasifikasikan sumber air limbah menjadi dua bagian yaitu, air limbah rumah tangga dan air limbah industry.

a) Limbah Cair Industri

Menurut Spellman (2008) air limbah industri merupakan air limbah dari berbagai kegiatan industri yang mencakup proses produksi hingga proses penunjang kegiatan industri. Air limbah industri digolongkan menjadi dua jenis yaitu :

 Air limbah organik industri merupakan air limbah dengan kandungan bahan-bahan residu berupa senyawa organik yang berasal dari proses produksi industri yang membutuhkan penggunaan bahan kimia organik sebagai pereaksi. Adapun beberapa industri penghasil air limbah organik industri yaitu industri obat, kosmetik, bahan pembersih, tekstil, kertas, dan industri kulit (Hanchang. 2009).

(25)

8

 Air Limbah anorganik industri merupakan air limbah yang mengandung residu berupa senyawa anorganik yang berasal dari proses produksi. Air limbah anorganik tersebut umumnya dihasilkan oleh industri logam dan industri mineral bukan logam. Air limbah yang dihasilkan industri tersebut banyak mengandung padatan terutama padatan tersuspensi. Selain padatan, air limbah tersebut juga mengandung polutan sianida, asam, dan flourida. Polutan sianida dan asam yang berasal dari proses pembakaran logam dan proses pendinginan logam, sedangkan flourida dihasilkan pada proses pemurnian logam khususnya aluminium. Oleh karena itu, air limbah anorganik memerlukan pengolahan sebelum dibuang dikarenakan sifatnya yang berbahaya dan toksik (Hanchang. 2009).

b) Limbah Cair Domestik

(26)

9

Berdasarkan bahan-bahan residu yang terkandung dalam air limbah, air limbah domestik dibagi menjadi dua yaitu air limbah domestik abu-abu (grey water) dan air limbah domestik hitam (black water) (National Water

Commission Australia. 2008 dalam Padmanabha 2015).

2.2 Air Limbah Laundry

Air limbah laundry termasuk ke dalam golongan grey water. Warna abu-abu air limbah berasal dari campuran berbagai residu bahan organik dan anorganik yang menghasilkan perubahan warna pada air. Kandungan bahan-bahan dalam grey water berupa minyak dan lemak, sodium, fosfor, nitrogen, garam, serta senyawa

kimia yang terdapat pada deterjen, sabun, dan bahan pembersih rumah tangga lainnya (Padmanabha,2015).

Menurut Ahmad dan El-Dessouky (2008), Air limbah laundry mengandung bahan kimia dengan konsentrasi yang tinggi antara lain fosfat, surfaktan, ammonia dan nitrogen serta kadar padatan terlarut, kekeruhan, BOD dan COD tinggi. Bahan kimia yang menjadi masalah pencemaran pada badan air tersebut disebabkan pemakaian deterjen sebagai bahan pencuci. Deterjen digunakan karena memiliki daya cuci yang baik dan tidak terpengaruh kesadahan air, akan tetapi memiliki kandungan fosfat yang cukup tinggi karena fosfat merupakan bahan pembentuk utama dalam deterjen (Rosariawari, 2010).

(27)

10

(builders) merupakan komponen terbesar dari deterjen berkisar 70- 80% dan bahan-bahan lainnya pemutih, pewangi, bahan-bahan penimbul busa, (optical brigtener) sekitar 2 – 8% (Nidia, 20 ).

Surfaktan adalah molekul senyawa organik yang terdiri atas dua bagian yang mempunyai sifat berbeda, yaitu bersifat hidrofobik dan bagian yang bersifat hidrofilik. Fungsi penggunaan surfaktan dalam deterjen untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga dapat meningkatkan daya pembasahan air sehingga kotoran yang ber1emak dapat dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Ditinjau dari rumus strukturnya, surfaktan dibedakan menjadi 2, yaitu rantai lurus yang dikenal dengan Linear alkil benzeneasulfonat (LAS) dan rantai bercabang yang dikenal dengan alkifbenzenasulfonat (ABS). Surfaktan sintetik yang biasa digunakan dalam deterjen dibagi menjadi 3 macam yaitu Surfaktan anionik, Surfaktan sintetis nonionik dan Surfaktan sintetis kationik.

Builder digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut, selain itu builder juga berfungsi sebagai buffer yang dapat membantu dalam mempertahankan pH larutan. Builder yang sering digunakan adalah senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit. Builder merupakan bahan pendukung efektivitas surfaktan yang berbasis sodium. Jenis builder dalam deterjen umumnya dalam bentuk sodium tripolifosfat (Tjandraatmadja dan Diaper. 2006).

(28)

11

pemutih mengandung bahan-bahan berupa senyawa berbasis sodium. Keunggulan dari sodium menurut Patterson (2000) adalah kemampuannya yang mudah melarutkan partikel-partikel dalam air, namun sodium sulit dipisahkan dari air kecuali menggunakan metode pembalikan osmosis. Kandungan sodium tersebut akan mempengaruhi kadar garam dalam air (salinitas) dan akan berdampak pada penurunan kualitas air apabila langsung dibuang ke perairan.

Adapun karakteristik air limbah laundry sebelum dilakukan pengolahan yang berada di industri laundry Kapal, Kabupaten Badung telah diteliti oleh Padmanabha (2015) yaitu disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1. Karakteristik Air Limbah Laundry Sebelum diolah

Parameter Nilai Satuan

pH 8,6 -

COD 346,84 mg/L

BOD 182,78 mg/L

TSS 48,65 mg/L

Total Fosfat 7,30 mg/L

Sumber : data primer hasil uji laboratorium limbah laundry sebelum pengolahan

2.3 Parameter Air Limbah

(29)

12

2.3.1 Parameter Fisika

Karakteristik limbah cair yang sangat mudah dilihat dengan mata telanjang yaitu karakteristik fisik limbah cair. Salah satu hal yang mempengaruhi karakteristik fisik ini adalah aktivitas penguraian bahan-bahan organik pada air buangan oleh mikroorganisme. Penguraian ini akan menyebabkan kekeruhan, perubahan warna, dan menimbulkan bau (Siregar, 2005). Karakteristik fisik yang terpenting yang mempengaruhi kualitas air ditentukan oleh bahan padat keseluruhan yang terapung maupun terlarut, kekeruhan, warna, bau dan rasa, dan temperatur (suhu) air (Suripin, 2002). Parameter fisika yang dapat diukur adalah suhu, Total Suspended Solids (TSS) dan Total Dissolved Solids (TDS).

1. Suhu

Menurut Sperling (2007), parameter suhu dalam penentuan kualitas air limbah digunakan untuk menentukan adanya perubahan intensitas panas pada air limbah akibat adanya reaksi biologi atau kimia yang menghasilkan panas pada badan air. Limbah yang mempunyai temperatur panas yang akan mengganggu pertumbuhan biota tertentu. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu temperatur untuk air limbah yaitu 38°C.

2. Total Dissolved Solids (TDS)

(30)

13

larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian. Jika konsentrasi terlalu tinggi kejernihan air akan menurun dan menghambat fotosintesis dan memungkinkan terjadi gabungan senyawa beracun dan logam berat akan meningkatkan suhu air (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu TDS untuk air limbah yaitu 2000 mg/L.

3. Total Suspended Solids (TSS)

Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang akan menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu TSS untuk air limbah yaitu 200 mg/L. 2.3.2 Parameter Kimia

Karakteristik kimia limbah cair dipengaruhi oleh kandungan bahan kimia cair. Bahan kimia yang umumnya terkandung dalam limbah cair antara lain bahan organic, protein, karbohidrat, lemak dan minyak, fenol, bahan anorganik, pH, klorida, sulfur, zat beracun, logam berat (Ni, Zn, Cd, Pb, Cu, Fe, Hg), metana, nitrogen, fosfor dan gas (O2) (Siregar, 2005). Beberapa parameter kimia yang dapat

(31)

14

1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organic menjadi karbondioksida dan air (Daviss and Conwell, 1991 dalam Effendi, 2003). Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air limbah dan untuk merancang system pengolahan biologis bagi air tercemar. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang di perlukan oleh mikroorganisme pada waktu melakukan penguraian. Dalam penguraian bahan organic, apabila tersedia oksigen terlarut dalam jumah yang cukup, maka proses penguraian akan berlangsung dalam suasana aerobic sampai semua baha organic terkonsumsi. Sebaliknya apabila tidak tersedia oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup atau tingkat pencemaran relative tinggi, maka proses penguraian akan terjadi dalam suasana yang anaerobic yang menimbulkan bau busuk dan warna abu-abu tua bahkan hitam pada air (Sukardi, 1999). Pengukuran BOD dilakukan dengan inkubasi sampel air dan mengoksidasi air selama 5 hari dengan suhu 20o C kemudian setelah 5 hari diamati dibandingkan kandungan oksigen dalam air sebelum dan sesudah inkubasi (Fardiaz. 1992 dalam Padmanbha 2015). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu BOD untuk air limbah yaitu 50 mg/L .

2. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD atau kebutuan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar limbah organic yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Limbah organik akan dioksidasi oleh kalioum bichromat (K2Cr2O7) sebagai sumber oksigen

menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion Chrom. Nilai COD merupakan ukuran

(32)

15

Sperling (2007), pengukuran COD memerlukan waktu yang singkat yaitu sekitar dua hingga tiga jam sehingga COD menjadi parameter dengan respon yang cepat dibandingkan dengan BOD namun tidak melihat respon penguraian bahan organik oleh organisme dalam air. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu COD untuk air limbah yaitu 100 mg/L .

3. Fosfat

Fosfat merupakan senyawa yang tersusun atas unsur P (Fosfor) dan O (Oksigen). Senyawa fosfor terbagi menjadi senyawa organik dan anorganik. Senyawa fosfor organik biasanya berupa padatan yang telah bereaksi dengan bahan-bahan organik, sedangkan bentuk fosfor anorganik dalam air limbah berupa polifosfat dan ortofosfat yang menjadi bahan utama pada deterjen maupun bahan pembersih lainnya. Ortofosfat merupakan senyawa fosfor sederhana yang mudah untuk dipisahkan dari air sedangkan polifosfat merupakan senyawa fosfor kompleks sehingga memerlukan hidrolisis untuk mengubah senyawa tersebut menjadi ortofosfat (Environmental Protection Agency 1997, dalam Padmanabha, 2015).

Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah, fosfat di dalam air limbah dijumpai dalam bentuk orthofosfat (seperti H2PO4 - , HPO42- , PO4 3-), polyfosfat

seperti Na2(PO4) 6- yang terdapat dalam deterjen dan fosfat organik (Hammer,

(33)

16

nutrien lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman dan algae tidak terbatas akan menyebabkan eutrofikasi (Alaerts dan Santika, 1987). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu Total fosfat untuk air limbah adalah 5 mg/L.

4. pH

pH limbah cair adalah ukuran keasaman atau kebasaan limbah cair. pH menunjukkan perlu atau tidaknya pengolahan pendahuluan untuk mencegah terjadinya gangguan pada proses pengolahan limbah cair secara konvesional. Secara umum, pH limbah domestik adalah mendekati netral (Nurhassanah, 2009). pH menentukan sifat dari suatu cairan, yang terdiri dari asam dengan pH kurang dari 7, netral dengan nilai pH 7, dan basa dengan pH lebih dari 7 dan nilai pH maksimal adalah 14. Air dengan pH kurang dari 4 dapat menyebabkan kematian pada organisme air akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi air yang sangat asam (Padmanabha, 2015). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, standar baku mutu pH untuk air limbah yaitu 6 sampai 9.

2.3.3 Parameter Biologi

(34)

17

Gubernur Bali No 16 Tahun 2016 tentang baku mutu air limbah, parameter biologi Standar baku mutu coliform untuk air limbah adalah 10.000 koloni per 100 mL.

2.4 Constructed Wetland

Constructed wetland (Lahan Basah Buatan) merupakan sistem pengolahan

terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah (Risnawati dan Damanhuri, 2009). Secara umum sistem pengolahan limbah dengan lahan basah buatan (Constructed Wetland) ada 2 (dua) tipe, yaitu sistem aliran permukaan (Surface FlowConstructed Wetland) atau FWS (Free Water System) dan sistem aliran bawah permukaan (Sub-Surface Flow Constructed

Wetland) atau sering dikenal dengan sistem SSF-Wetlands (Leady, 1997 dalam

Mika, 2013). Media yang digunakan pada constructed wetland berupa tanah, pasir, batuan atau bahan lainnya. Constructed wetland memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya untuk filtrasi air. Menurut Tangahu dan Warmadewanthi (2001), pengolahan air limbah dengan sistem wetland lebih dianjurkan karena beberapa alasan sebagai berikut :

 Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk logam berat.

 Efisiensi pengolahan tinggi (80 %).

 Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi.

(35)

18

Ketika aliran air melewati lahan basah, air akan berjalan perlahan dan sebagian besar bahan pencemar akan terjerab oleh vegetasi untuk kemudian terangkat atau tingkat bahaya pada air dapat berkurang. Tumbuhan yang hidup dalam lahan basah membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Jika yang tertahan adalah air yang mengandung bahan pencemar berbahaya bagi lingkungan namun bermanfaat bagi tumbuhan maka bahan itu akan diserap (Wong, 1997 dalam Kusumastuti, 2009).

Menurut Lim et al (2002) dalam Kamariah (2006), Constructed Wetland memiliki potensi besar untuk mengolah air limbah. Dengan perencanaan yang baik, efisiensi lahan basah buatan dapat menghilangkan berbagai kontaminan. Ada enam reaksi biologis yang penting karena performa contructed wetland mecangkup proses biologis seperti aktivitas metabolism memikroba dan serapan tanaman serta fisik – kimia, proses seperti sedimentasi, adsorpsi dan presipitasi.

2.4.1 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland merupakan jenis

constructed wetland yang memanfaatkan kerikil halus atau pasir sebagai bahan

untuk menyaring air limbah yang masuk. Alur masuk air limbah pada Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland yaitu mengalir secara horizontal,

diawali dengan masuknya air limbah melalui saluran influent kemudian mengalir pada permukaan air. Selanjutnya air dari zona distribusi mengalir secara horizontal menuju kerikil halus atau pasir untuk difiltrasi dan diolah oleh tanaman air hingga air mengalir mencapai saluran effluent. Jenis tanaman yang digunakan untuk Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland hanya berupa jenis

(36)

19

halus atau pasir pada constructed wetland yang tidak memungkinkan tumbuhnya tanaman air yang mengapung dan yang tidak muncul ke permukaan air (Gauss. 2008; Vymazal dan Kropfelova. 2008, dalam padmanabha 2015).

Gambar 2.1. HorizontalFlowSub-surfaceFlowConstructedWetland

Pada penelitian Hidayah dan Aditya dalam Padmanbha, 2015 menunjukkan bahwa pengolahan air limbah domestik dengan Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland menggunakan tanaman Lembang atau Narrowleaf Cattail

(Thypa angustifilia) dalam 15 hari mampu mengurangi COD sebesar 91,8%, BOD 91,6%, dan TSS 83,3%.

2.4.2 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland

Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland merupakan jenis

constructed wetland yang mengolah air limbah dengan aliran vertical. Vertical

(37)

20

Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland terdiri dari tanaman air dan bahan

filter dengan jenis yang sama yang digunakan pada Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland, air, kemudian bahan filter yang terdiri dari berbagai

macam bahan mulai dari pasir, kerikil, maupun bebatuan. Pada instalasi ini, Tanaman air berfungsi sebagai pendukung proses penyerapan vertical air limbah menuju lapisan penyaring. Pada susunan lapisan penyaring, terjadi proses pengolahan serta adanya penambahan hidrolik yang berselang-seling sehingga lapisan filter terisi dengan air yang meningkatkan proses nitrifikasi air limbah (Gauss. 2008, dalam Padmanabha 2015). Alur pengolahan limbah dengan Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland diawali dengan masuknya air limbah

(38)

21

Gambar 2.2. Vertikal FlowSub-surfaceFlowConstructedWetland

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Padmanabha, 2015 dalam pengolahan air limbah secara Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland persentase efektivitas pengurangan nilai TDS sebesar 14,94%, TSS sebesar 53,13%, BOD sebesar 76,31%, COD sebesar 67,41%, dan Total Fosfat sebesar 57,53%.

2.4.3 Hybrid Constructed Wetland

Hybrid Constructed Wetland merupakan salah satu system yang dapat digunakan untuk meminimalkan dampak limbah laundry. Hybrid Constructed Wetland merupakan kombinasi antara system Vertical Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland dan Horizontal Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland.

Tanaman

Air Aliran masuk Air limbah (Influent) Pipa

Aerasi

Lapisan

penyaring/filtrasi

Saluran Keluaran

(Effluent) Tempat

(39)

22

Hybrid Constructed Wetland substrat batu vulkanik yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena batu vulkanik merupakan jenis substrat yang paling baik digunakan dalam Sub-Surface Flow Constructed Wetland baik untuk Vertical Flow Sub-Surface Flow Constructed Wetland maupun Horizontal Flow Sub-Surface

Flow Constructed Wetland dibandingkan jenis batuan lainnya (WasteWater

Garden. 2012). Jenis tanaman yang digunakan untuk membantu filtrasi dalam system ini yaitu tanaman air. Alur pengolahan limbah dengan Hybrid Constructed Wetland melalui dua tahap diawali dengan masuknya air limbah melalui aliran influent mengalir secara vertical (Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland) kemudian masuk ke dalam lapisan filter dengan bantuan tanaman air. Selanjutnya air mengalami proses pengolahan secara horizontal (Horizontal Sub-surface Flow Constructed Wetland) dan masuk ke saluran filter oleh bantuan tanaman air. Setelah

proses tersebut, air hasil pengolahan mengalir secara perlahan keluar melalui saluran keluaran.

Gambar 2.3. Hybrid Constructed Wetland

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abidi et al. (2009) dalam Sayadi et al. (2012) dalam pengolahan air limbah secara Hybrid Constructed Wetland persentase efektivitas pengurangan nilai TSS sebesar 81%, BOD sebesar

(40)

23

2.5 Batu Vulkanik

Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang berasal dari magma atau lava yang mengalami pendinginan dan pengerasan yang membentuk berbagai jenis kristalisasi batuan. Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang mengandung silika dalam bentuk siliki dioksida (SiO2) serta mineral lainnya yang terdiri dari jenis

mineral seperti alumina (Al3O2), senyawa kalsium (CaO), besi (FeO dan Fe2O3),

magnesium (MgO) dan jenis senyawa lainnya. Beberapa jenis batu vulkanik yang berasal dari pembekuan lava antara lain, Batu Rhiolit, Batu Dasit, Batu Andesit, dan Batu Basalt (McBirney. 2007 dalam Padmanabha, 2015).

Gambar 2.4. Batu Vulkanik

2.6 Tanaman Air

(41)

24

pertumbuhannya didalam air ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut:

 Tanaman yang mencuat kepermukaan air, merupakan tanaman air yang memiliki sistem perakaran pada tanah di dasar perairan dan daun berada jauh diatas permukaan air.

 Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman air yang seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada didalam air.

 Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan tanaman air yang akar dan batangnya berada dalam air, sedangkan daun diatas permukaan air

Tujuan penggunaan tanaman air pada constructed wetland adalah untuk menyediakan oksigen di zona akar tanaman serta dapat menambah luas permukaan bagi pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh di zona akar selain itu tanaman juga dapat menyerap logam dari air limbah yang diolah (Hidayah dan Wahyu, 2010). Jenis tanaman yang biasa digunakan dalam constructed wetland yaitu Tanaman yang mencuat kepermukaan air seperti tanaman Cattail (Thypa sp) dan kana (Canna sp.).

(42)

25

Gambar 2.5. Tanaman Kana (Canna sp.)

Cattail (Thypa sp) adalah jenis tumbuhan herbal serta besifat colonial. Tumbuhan ini juga mempunyai rizom serta berbentuk panjang dan ramping. Rizomnya akan menjalar di bawah permukaan tanah yang berlumpur untuk memulakan tumbuahan baru secara melintang. Tanaman Cattail (Thypa sp) mempunyai akar serabut yang sangat lebat, daun yang berbentuk tirus panjang. Cattail (Thypa sp) merupakan sejenis tumbuhan semi-akuatik dimana tidak memerlukan air yang banyak seperti tumbuhan akuatik pada umumnya (Bagwell, 1998 dalam Mika, 2013).

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Air Limbah Laundry Sebelum diolah
Gambar 2.1. Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland
Gambar 2.2. Vertikal  Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland
Gambar 2.3. Hybrid Constructed Wetland
+2

Referensi

Dokumen terkait

 Jika multimeter menunjuk ke angka tertentu (biasanya sekitar 5-20K) berarti transistor baik, jika tidak menunjuk berarti transistor rusak putus B-E..  Lepaskan kedua probe

Sementara, uji potensi secara kuantitatif dilakukan dengan pengukuran kadar gula reduksi dengan metode DNS pada isolat terbaik dari hasil uji

Pilihlah dua jawaban yang saudara anggap benar dengan cara menghitamkan dua huruf a, b, c atau d pada lembar jawaban dari kalimat pernyataan dibawah ini.. Dalam penggambaran peta

Vi troviamo, infatti, una rispettabile raccolta di letteratura predicatoria scritta in un ampio arco cronologico (Origene, Effrem Siro, Basilio Magno, Giovanni Crisostomo, S.

Tujuan penelitian ini adalah : Untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh insentif finansial terhadap semangat kerja karyawan PT Baja Diva Manufaktur, untuk menganalisis

Pengaturan hukum tentang usaha panti pijat di Kota Medan adalah Peraturan Walikota Medan Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Tanda Daftar Usaha Pariwisata yang mengatur agar

Dari hasil wawancara bapak Jemani, bapak Purnomo, dan bapak Bambang (tokoh masyarakat), peneliti mendapati bahwa dampak dari kebijakan berbusana muslim bagi

Penelitian yang sebelumnya juga dilakukan oleh Sitorus (2010) juga menyatakan hasil yang sama dimana dalam penelitiannya mengenai indikasi manajemen laba antara