• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsentrasi Estradiol Dalam Darah

Konsentrasi hormon dalam darah ikan patin hasil induksi ovulasi dapat dilihat pada (Gambar 5) Lampiran 2.

Gambar 5 Kadar estradiol-17β dalam plasma ikan patin siam

Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah ikan patin siam

(pangasianodon hypopthalamus) selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 2. Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah pada ikan yang

diberi perlakuan ovaprim, NaCl, spawnprime 1 sampai 8 menunjukkan perubahan estradiol dari jam ke – 0, jam ke- 6 dan jam ke- 12 pasca penyuntikan. Setelah itu pada induk patin yang disuntik dengan ovaprim mengalami kenaikan konsentrasi estradiol-17β sampai jam ke 12 seperti perlakuan NaCl, dan spawnprime 1. Sementara spawnprime 2 sampai 8 mengalami knalikan dari jam ke 0 sampai jam ke 6, dan mengalami penurunan konsentrasi estradiol-17β pada jam ke 12.

Dimana pada perlakun tersebut menunjukkan final oosit maturation (FOM), khusus pada perlakuan spawnprime 3, 4, 7 dan 8 penurunan ini menyebabkan pemijahan secara semi alami, dimana konsentrasi estradiol paling rendah terdapat pada perlakuan spawnprime 4, kelompok ikan ini terjadi pemijahan semi alami dan waktu pemijahan yang tercepat.

Keberhasilan dan Lama Waktu Ovulasi

Induksi ovulasi pada ikan patin dengan perlakuan ovaprim dapat merangsang ovulasi dengan persentase keberhasilan mencapai 100%, demikian pula dengan pelakuan spawnprime. Pada penyuntikan dengan NaCl pada control negatif ternyata tidak merangsang terjadinya ovulasi pada ikan patin. Hal ini

393.4 157.5 618.7 99.9 172.4 0.7 155.6 571 253.7 66.4 0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 800.0 K o n se n tr asi Est ra d io l-17 β (p g /m l) Perlakuan jam ke-0 jam ke-6 jam ke-12

terlihat dari kemampuan perlakuan spawnprime 3 dan 4 dalam menginduksi induk patin yang sudah matang gonad untuk berovulasi sendiri atau tanpa striping

(Gambar 6).

Spawnprime 3 spawnprime 4

Tabel 2 Keberhasilan dan lamanya waktu ovulasi pada ikan patin

Perlakuan Tingkat Keberhasilan Rata-Rata Waktu Pemijahan

n=5 Ovulasi (%) Ovulasi (jam)

Ovaprim 100 12 jam 45 menit Stripping

Nacl 0 0 0

Spawnprime 1 100 8 jam 30 menit Stripping

Spawnprime 2 100 7 jam 30 menit Stripping

Spawnprime 3 100 8 jam 33 menit Semi alami

Spawnprime 4 100 6 jam 33 menit Semi alami

Spawnprime 5 100 7 jam 19 menit Stripping

Spawnprime 6 100 7 jam 24 menit Stripping

Spawnprime 7 100 8 jam 19 menit Semi alami

Spawnprime 8 100 8 jam 13 menit Semi alami

Pada Tabel 2, keberhasilan ovulasi pada semua perlakuan mencapai 100% kecuali pada perlakuan NaCl, pada seluruh perlakuan spawnprime 1 sampai 8 menghasilkan waktu ovulasi lebih cepat dibandingkan dengan ovaprim yaitu 12 jam 45 menit dengan proses pemijahan secara stripping. Dimana perlakuan spawnprime 3, 4, 7 dan 8 memijah secara semi alami, bahkan spawnprime 4 menghasilkan waktu ovulasi yang paling cepat yaitu 6 jam 33 menit dengan pemijahan semi alami, artinya ikan ini memijah tanpa distripping. Sedangkan Gambar 6 Induk ikan patin yang disuntik perlakuan spawnprime 3 dan 4.

18

perlakuan lainnya masih dengan cara distripping tetapi memiliki waktu yang lebih cepat dari ovaprim.

Jumlah Telur yang Dikeluarkan (Spawned Egg)

Pada penelitian ini digunakan induk ikan patin siam yang telah matang gonad dengan bobot yang berbeda dengan kisaran bobot 1.5 kg – 3.5 kg. Dari ikan-ikan yang berovulasi, seluruh telur yang dikeluarkan dihitung dan didapatkan hasil jumlah telur yang diovulasikan berkisar antara 122.100 ± 28179 sampai 140.912 ± 21304 butir telur. Namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan P>0.05 (Lampiran 3). Jumlah telur yang diovulasikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7:

Hasil penelitian yang di ANOVA menggunakan Minitab 16, seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap jumlah telur yang diovulasi semua (P> 0.05). Hasil terbaik adalah perlakuan spawnprime 4 dengan jumlah telur ikan patin yang diovulasikan sebesar 140.912 ± 21304.

129000 0 135000 130790 132834 140912 122100 126150 137249 136350 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000 jum la h telur ( b u tir ) Perlakuan

Gambar 7 Jumlah telur ikan patin a b

a a a

a a a a

Diameter Telur

Diameter telur ikan patin hasil induksi ovulasi dapat dilihat pada Gambar 8 (Lampiran 4).

Diameter telur ikan patin hasil induksi ovulasi dan pemijahan pada seluruh perlakuan spawnprime tidak berbeda nyata dengan ovaprim (P>0.05) tetapi berbeda sangat nyata dengan perlakuan kontrol (NaCl).

Gambar 8.1 Diameter Satu butir Telur Ikan Patin

0.75 0.78 0.82 0.83 0.91 0.95 0.96 0.97 0.99 1 0.87 0.92 0.93 1.01 1.05 1.03 1.07 1.09 1.1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 D ia me te r T el u r (mm ) Perlakuan sebelum sesudah

20

Derajat Pembuahan Telur Patin

Derajat pembuahan telur hasil induksi ovulasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9 (Lampiran 5) :

Hasil penelitian pada Gambar 9 menunjukkan secara analisis ANOVA menggunakan Minitab 16, hasil analisis data pada lampiran 5 menggunakan ANOVA (Minitab 16) menunjukkan bahwa seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap derajat pembuahan telur patin (P> 0.05).

Derajat Penetasan Telur Patin

Derajat penetasan telur ikan patin hasil induksi ovulasi dapat dilihat pada Gambar 10 (Lampiran 6).

Gambar 9 Derajat pembuahan ikan patin 93.47 0.00 92.40 90.13 92.00 91.87 91.20 90.67 92.27 92.93 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 D e rajat p e m b u ah an (% ) Perlakuan a a a b a a a a a a

Hasil penelitian pada Gambar 9 menunjukkan secara analisis ANOVA menggunakan Minitab 16, seluruh perlakuan berpengaruh signifikan terhadap derajat penetasan telur ikan patin (P> 0.05).

Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup larva patin selama 4 hari hasil induksi ovulasi dapat dilihat pada Gambar 11 (Lampiran 7).

Hasil kelangsungan hidup larva patin hasil induksi ovulasi perlakuan ovaprim tidak berbeda nyata dengan spawnprime 4, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan spawnprime 1, 2, 3, 5, 6, 7, dan spawnprime 8.

90.48 0.00 87.35 87.46 90.72 92.33 89.05 84.32 86.29 85.78 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 d er aj at p en etasan ( %) Perlakuan 94.05 0.00 84.98 86.03 86.67 93.91 81.77 84.14 84.75 82.27 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 k el an g su n g an h id u p l ar v a (%) perlakuan

Gambar 11Kelangsungan hidup larva ikan patin Gambar 10 Derajat penetasan telur ikan patin ab c ab ab ab a ab b ab ab a d bc bc b a c bc bc bc

22

Tabel 3 Hasil penghitungan harga spawnprime dibandingkan dengan ovaprim Premix Harga (Rp) Penghematan (%) per 10ml

Produk Pemijahan Harga (Rp) Ovaprim Stripping 200.000 - 220.000 Spawnprime 1 Stripping 115.000 Spawnprime 2 Stripping 15.000 Spawnprime 3 Semi Alami 140.000 Spawnprime 4 Semi Alami 155.000 Spawnprime 5 Stripping 135.000 Spawnprime 6 Stripping 129.000 Spawnprime 7 Semi Alami 140.000 Spawnprime 8 Semi Alami 38.000

Berdasarkan hitungan secara ekonomi maka spawnprime yang paling ekonomis dibandingkan dengan ovaprim. Seiring dengan meningkatnya kandungan LHRHa pada spawnprime maka harga pun meningkat. Karena spawnprime menunjukkan bahwa komponen LHRHa yang paling mahal, tetapi pada spawnprime 4 lebih efisien dan efektif terhadap induksi ovulasi dan pemijahan ikan patin secara semi alami bila dibandingkan dengan ovaprim.

Pembahasan

Pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan. Pemijahan sebagai salah satu aspek dari reproduksi merupakan mata rantai dari siklus hidup yang menentukan kelangsungan hidup species. Penambahan populasi ikan tergantung dari kondisi tempat telur dan larva ikan yang kelak akan berkembang. Oleh karena itu pemijahan menuntut keamanan bagi kelangsungan hidup larva/benih ikan, tempat yang cocok, waktu yang tepat dan kondisi yang lebih menguntungkan.

Sampai saat ini, pemijahan ikan patin masih dilakukan secara buatan yaitu melalui pemberian rangsangan hormon untuk proses pematangan akhir gonad, pengeluaran telur dilakukan dengan cara pengurutan (stripping) dan pembuahan dilakukan secara kering dengan mencampur sperma dan telur.

Penggunaan ovaprim sebagai perangsang dalam proses ovulasi sangat penting dalam pemijahan buatan yang menggunakan hormon ketika sinyal lingkungan tidak dapat mengendalikan siklus reproduksi. Kemampuan ikan untuk berovulasi sangat dipengaruhi oleh pemberian atau penggunaan hormon yang efektif. Penggunaan dosis yang tepat akan membuat kontraksi otot ovari terpacu terus menerus dan bukaan saluran telur membesar sehingga telur yang dikeluarkan lebih banyak. Pada patin induksi ovulasi dan pemijahan belum terjadi atau belum

bisa, maka dari itu di lakukannya manipulasi Rangsangan hormonal yang diberikan kepada ikan merupakan salah satu alternaltif dalam memanipulasi proses ovulasi, dikarenakan tidak adanya reflex spawning. Maka dari itu pemijahan harus dilakukan dengan cara stripping.

Penelitian ini bertujuan menginduksi secara hormonal ovulasi dan pemijahan semi alami pada ikan patin siam (Pangasianodon hypopthalmus) dan mengevaluasi efektifitas efisiensi penggunaan kombinasi hormon LHRH, AD, AI,

PGF2α, oxytocin dengan ovaprim dalam induksi pemijahan ikan patin.

Parameter penelitian yang diuji meliputi konsentrasi estradiol-17β,

keberhasilan dan lama waktu ovulasi, jumlah telur yang diovulasi, diameter telur, derajat pembuahan, derajat penetasan, dan kelangsungan hidup. Estradiol-17β

merupakan steroid yang penting terutama pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. Proses pematangan gonad diprediksi melalui kadar testosteron dan estradiol-17β plasma terhadap perkembangan oosit

(Mackenzie et al. 1989). Oleh karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al. 1992).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan spawnprime 4 merupakan perlakuan terbaik pada penelitian ini. Hasil pada parameter pertama yaitu konsentrasi estradiol-17β, membuktikan bahwa perlakuan spawnprime 4 dapat

menginduksi ovulasi dan pemijahan ikan patin secara semi alami. Konsentrasi estradiol-17β dalam plasma darah ikan patin menunjukkan pada spawnprime 3, 4, 7, dan 8 mengalami penurunan pada jam ke- 12, dimana kematangan sudah sempurna dan terjadinya ovulasi sehingga perlakuan tersebut memijah secara semi alami. Penurunan estradiol 17β dan aromatase menyebabkan oosit mengalami GVBD dan berakhir pada ovulasi. Oleh karena itu, proses ovulasi yang ditambahkan AI lebih lama dibandingkan tanpa penambahan AI. Namun demikian konsentrasi LHRHa pada ovaprim sangat tinggi sehingga dengan adanya penurunan LHRHa dapat disubstitusi melalui AI.

Keberadaan estradiol-17β menyebabkan terjadinya umpan balik positif

terhadap GTH, pada awal perkembangan oosit setelah ovulasi terjadi peningkatan GTH diikuti peningkatan estradiol-17β (Fostier et al. 1983), semakin tinggi produksi estrogen menyebabkan oosit berkembang semakin besar (Afono et al.

1999a; Nagahama et al. 1995). Estardiol- 17β merangsang hati untuk

memproduksi vitelogenin (VTG), dialirkan kedalam darah dan akan masuk kedalam oosit. Dipihak lain estradiol-17β yang semakin tinggi akan menyebabkan

umpan balik negatif terhadap FSH dan umpan balik positif terhadap LH. Umpan balik negatif terhadap FSH berakibat pada penurunan aktivitas aromatase yang diikuti penurunan produksi estradiol- 17β. Puncak aktivitas aromatase pada ikan

pascavitelogenesis, penelitian ini terjadi pad jam ke-6 setelah diinduksi. Setelah mencapai pascavitelogenesis aktivitas aromatase akan menurun drastis yang diikuti penurunan produksi estradiol- 17β (Nagahama et al. 1995)

Keberhasilan dan lama waktu ovulasi pada tabel 2 menjelaskan bahwa pada perlakuan spawnprime 4 menghasilkan waktu yang paling tercepat dibandingkan perlakuan lainnya dan pemijahannya secara semi alami bila dibandingkan dengan ovaprim yang proses pemijahannya secara stripping. Terdapat empat perlakuan spawnprime dengan proses pemijahannya secara semi alami yaitu perlakuan spawnprime 3, 4, 7 dan 8. Sedangkan perlakuan lainnya proses pemijahannya secara stripping tapi menghasilkan waktu yang lebih cepat

24

dibandingkan ovaprim. Hal ini sesuai dengan Casper dan Mitwally, (2006) yang menyebutkan bahwa AI dapat memblocking produksi estrogen dengan menghambat aromatase pada organ tertentu yang menghasilkan sekresi FSH yang meningkat sehingga merangsang perkembangan ovari sehingga terjadi ovulasi. Hal lain juga yang mempengaruhi adalah aktivitas aromatase akan meningkat dan mencapai puncaknya pada pasavetelogenesis. Hal ini sesuai dengan Nagahama (1995) yang menyebutkan kinerja aromatase akan meningkat dan terjadi kinerja yang optimum pada saat pascavitelogenesis karena pascavitelogenesis produksi

estradiol 17βakan menurun demikian juga aromatase.

Keberhasilan memijah juga ditunjukkan pada perlakuan premiks buatan. Pada perlakuan C.1-C.3, tingkat keberhasilannya mencapai 66,67% dan perlakuan C.4 mencapai 100%. Hal tersebut menunjukkan bahwa premiks buatan tersebut juga mampu memicu terjadinya ovulasi pada ikan Sumatra (Permana 2009). Kemampuan dari LHRHa dalam merangsang pengeluaran hormon gonadotropin dibantu dengan adanya anti dopamin yang mampu menghambat kerja dopamin telah cukup terbukti untuk mempercepat dan memicu terjadinya ovulasi. Pemberian aromatase inhibitor juga dapat memicu terjadinya ovulasi . Hal ini dikarenakan, aromatase inhibitor memiliki peran dalam menurunkan aktivitas aromatase dalam gonad akibatnya produksi estrogen-17β

turun dan meningkatkan produksi testosteron, hal tersebut merupakan awal sinyal balik positif terhadap LH sehingga proses pematangan oosit akan berlangsung lebih cepat. Menurut Basuki (2007), penambahan aromatase inhibitor (AI) juga memungkinkan kerja LH dalam menurunkan enzim aromatase tadi akan diperkuat atau digantikan oleh AI, sehingga peranan LH dalam proses pematangan dan ovulasi akan lebih efisien.

Keberhasilan memijah pada ikan bergantung kepada faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain: genetika, umur induk, ukuran induk, dan tingkat kematangan gonad yang dipengaruhi oleh sistem fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh ikan, khususnya sistem hormon. Faktor eksternal merupakan faktor yang mampu merangsang ikan memijah, seperti lingkungan yang meliputi substrat, pakan, suhu, intensitas cahaya, kulaitas air, dan tingkat stres. Adanya faktor lingkungan yang dapat diterima sebagai sinyal maka pemijahan dapat terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Sumantri (2006) yang menyebutkan bahwa pemijahan dapat terjadi karena faktor eksternal seperti suhu, pakan, cahaya, dan lain-lain.

Parameter jumlah telur yang diovulasikan pada penelitian ini berkisar antara 122.100 ± 28179 sampai 140.912 ± 21304 butir. Pada perlakuan

spawnprime 4 menghasilkan jumah telur yang di ovulasikan tertinggi di bandingkan perlakuan lainnya. Hal ini tidak terjadi pada ovaprim, yang memiliki dosis sGnRH yang tinggi –pada kisaran di bawah 1000mg/l, namun tidak ada kandungan AI di dalamnya. Sedangkan sGnRH sendiri memiliki fungsi yang analog dengan LHRHa pada spawnprime. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kadar penambahan AI sebesar 100 mg/l, komposisi LHRHa optimum adalah 10 mg/l. Dengan demikian, penambahan AI tersebut mampu menurunkan kebutuhan sGnRH pada ovaprim hingga mencapai 100 kali penyusutan. Menurut Permana (2009) ovulasi terjadi setelah pematangan akhir dan sel telur telah mengalami GVBD. Jumlah telur yang diovulasikan bergantung pada jumlah telur

yang telah masak sebelum folikel pecah, karena pengaruh hormon dalam perkembangan dan pematangan oosit berperan besar dalam proses tersebut.

Parameter diameter telur, diameter telur akan berbeda antar pelakuan yang diberikan hormon dengan yang alami. Hal ini terjadi karena diameter telur dapat dipengaruhi oleh induksi hormon yang diberikan pada induk. Ukuran diameter telur dipengaruhi oleh banyaknya vitelogenin yang tersimpan di dalamnya yang terjadi ketika proses perkembangan telur. Namun demikian, menurut Effendie (1997) tidak semua ikan memiliki hubungan yang berbanding lurus antara fekunditas dan diameter sel telur. Ukuran telur ikan berkaitan dengan tingkat kematangan gonad pada induk. Semakin tinggi tingkat kematangan gonad maka ukuran telur semakin membesar dan akan berhenti setelah mencapai ukuran tertentu (maksimal). Saat kondisi tersebut menurut Abdullah (2007), nukleus tertarik ke tengah dan mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat. Tahap ini disebut tahap istirahat (dorman) dimana ikan menunggu kondisi lingkungan yang baik untuk memijah. Induk ikan yang diseleksi sebelum diberi perlakuan telah mencapai tingkat kematangan gonad akhir dengan ukuran telur dominan diduga telah mencapai ukuran tertentu (maksimal). Berdasarkan hasil pada Gambar 10, diameter telur ikan yang disuntik Spawnprime 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7dan 8 dan Ovaprim memiliki ukuran yang tidak berbeda nyata. Dominansi telur yang telah mencapai ukuran maksimal mengalami ovulasi setelah dirangsang oleh

Spawnprime dan Ovaprim sehingga telur yang dikeluarkan memiliki ukuran yang sama. Diameter telur yang terbesar yakni 1.10 ± 0.05 pada perlakuan spawnprime

8, hal ini dijelaskan oleh Nagahama et al. (1995) menyatakan bahwa perkembangan oosit dari pravitelogenesis ke vitelogenesis terjadi karena peningkatan produksi estradiol-17β. SNI (2000) Matang gonad pada ikan betina adalah kondisi ikan yang sudah siap untuk dikawinkan (dipijahkan) yang ditandai oleh diameter telur yang sudah mencapai ukuran 1.0 mm – 1.2 mm, seragam dan tidak menggumpal bila diberikan larutan sera inti terlihat berada di pinggir serta warna telur kekuningan. Pada ikan jantan ditandai oleh urogenitalnya yang memerah, bila dilakukan pengurutan pada bagian perut akan mengeluarkan sperma berwarna putih susu dan kental.

Pembuahan merupakan peleburan sel gamet jantan dengan sel gamet betina. Saat terjadi pembuahan hanya satu sel gamet jantan yang akan masuk melalui lubang mikrofil pada sel gamet betina. Pembuahan juga sering dijadikan indikator kualitas telur dimana kemampuan telur untuk berkembangan menjadi embrio setelah terjadi pembuahan hingga menetas dipengaruhi reaksi-reaksi dari dalam telur itu sendiri. Berdasarkan hasil pada Gambar 7, pembuahan telur ikan yang disuntikan Spawnprime dan Ovaprim memiliki derajat yang tidak berbeda nyata. Spawnprime dan Ovaprim memiliki kinerja yang sama untuk menghasilkan kualitas telur yang diovulasikan, sehingga kemampuan telur terbuahi setelah dicampur sperma pun sama, namun pada penyuntikan dengan ovaprim menghasilkan 93.47% ± 2.96.

Penetasan menyatakan keluarnya embrio dari cangkang telur. Berdasarkan hasil pada Gambar 8, penetasan telur ikan yang disuntikan spawnprime dan memiliki derajat yang tidak berbeda nyata. spawnprime dan Ovaprim memiliki kinerja yang sama untuk menghasilkan telur yang dibuahi, sehingga kemampuan menetas setelah inkubasi pun sama. Namun pada spawnprime 4 menghasilkan nilai derajat penetasan sebesar 92.33% ± 5.86.

26

Hasil penelitian membuktikan bahwa penyuntikan perlakuan spawnprime 4 efektif dan efisien untuk induksi ovulasi dan pemijahan ikan patin secara semi alami, hal ini terlihat dari konsistensi hasil yang dicapai pada setiap parameter dbandingkan perlakuan kontrol (ovaprim) dengan teknik pemijahan secara stripping. Bila dibandingkan dengan spawnprime 4 teknik pemijahannya secara semi alami dan menghasilkan waktu ovulasi yang paling tercepat dibandingkan ovaprim yaitu 6 jam 33 menit sedangkan ovaprim 12 jam 45 menit.

Biaya pembuatan spawnprime seperti yang ditunjukkan pada tabel 3, spawnprime 4 memiliki biaya pengadaan yang paling efisien, dimana biaya pembuatan spawnprime ini sebesar Rp. 155.000,- dengan tingkat keberhasilan dan waktu memijah tercepat bila dibandingkan dengan ovaprim yaitu 6 jam 33 menit. Melalui penggunaan spawnprime 4 dalam menginduksi ovulasi dan pemijahan secara semi alami pada ikan patin, dapat menekan biaya produksi pembenihan khususnya pengadaan sarana pemijahan buatan pada ikan dan dapat mengganti peran ovaprim. Bila dibandingkan dengan perlakuan spawnprime 8 dimana biaya pembuatan ini sebesar Rp 38.000,-. Hasil kelangsungan hidup dari dua perlakuan ini antara spawnprime 4 dan spawnprime 8 yaitu 93.91% dan 82.27% dengan teknik pemijahan secara semi alami. Dengan waktu ovulasi 8 jam 13 menit pada perlakuan spawnprime 8.

Dokumen terkait