• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi Predator S. annulicornis

Stadium nimfa yaitu masa sejak nimfa keluar dari telur hingga menjadi imago. Sebagian besar nimfa yang diberi tiga jenis mangsa dengan status yang berbeda dapat mencapai imago. Predator S. annulicornis mengalami lima tahapan instar nimfa yaitu nimfa instar I hingga nimfa instar V (Gambar 5).

a b

c

d

e f

Gambar 5 Perkembangan instar nimfa predator S. annulicornis (a) nimfa instar 1, (b) nimfa instar 2, (c) nimfa instar 3, (d) nimfa instar 4, (e) nimfa instar 5 dan (f) imago

Nimfa instar I berwarna jingga polos dan seringkali berkumpul di sekitar kulit telur untuk memakan sisa-sisa telur yang masih tertinggal. Nimfa instar II berwarna jingga polos dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan nimfa instar I. Nimfa instar III berwarna jingga polos dan terdapat warna hitam pada tungkainya. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan dan terdapat warna hitam pada tungkai dan bagian toraksnya. Nimfa instar V berwarna jingga tua kecoklatan dan terdapat warna hitam pada tungkai dan bagian toraksnya. Imago

S. annulicornis berwarna hitam atau lebih gelap dibanding nimfa yang berwarna jingga kehitaman dan memiliki corak berwarna jingga pada sayap bagian depan.

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Biologi

S. annulicornis.

Jenis mangsa dengan kandungan kualitas nutrisi yang berbeda dan dengan status yang berbeda dapat mempengaruhi mortalitas nimfa predator, stadium instar nimfa dan lama hidup imago.

Tiga jenis mangsa yang berbeda yaitu C. cephalonica, T. molitor dan S. litura dengan status hidup dan mati memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas nimfa predator.

Tabel 2 Persentase kematian predator S. annulicornis pada tiga jenis mangsa dengan status mangsa hidup dan status mangsa mati

Jumlah nimfa predator yang mati (ekor) Jenis mangsa Status

Mangsa Nimfa I Nimfa II Nimfa III Nimfa IV Nimfa V Persentase (%) C. cephalonica Mati 0 0 0 0 0 0 C. cephalonica Hidup 0 0 0 2 5 35 T. molitor Mati 0 0 0 3 12 75 T. molitor Hidup 0 2 2 1 4 45 S. litura Mati 0 1 7 1 6 75 S. litura Hidup 0 0 6 3 4 65

Mortalitas tertinggi yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa S. litura yang diberikan pada status mati (75%) sedangkan mortalitas terendah yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa C. cephalonica yang diberikan pada status mati (0%) (Tabel 2). Dalam hal mortalitas secara umum, perbedaan jenis mangsa lebih memiliki pengaruh nyata dibandingkan dengan status mangsa, karena persentase mortalitas fase nimfa pada nimfa predator yang diberi mangsa status

hidup atau status mati tidak terlalu berbeda, (50%) untuk mangsa dengan status mati dan (48,34%) untuk mangsa dengan status hidup.

Faktor status mangsa tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total stadium instar nimfa dan lama hidup imago (Tabel 3). Pemberian mangsa dengan status mati terhadap predator, memiliki total stadium nimfa (54,23±7,61) dan total stadium nimfa dengan mangsa pada status mangsa hidup yaitu (54,41±0,45). Pemberian mangsa dengan status hidup menghasilkan lama hidup imago yaitu (26,07±15,14), sedangkan pemberian mangsa dengan status mati menghasilkan lama hidup imago yaitu (26,87± 9,37) (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh status mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan lama hidup imago (hari) predator S. annulicornis

Stadium Nimfa Instar ke- Status Mangsa I II III IV V Total stadium nimfa Lama hidup imago

Hidup 7 7,52±1,60a 10,26±3,71a 12,81±5,78a 16,82±4,94a 54,41±0,45a 26,07±15,14a

Mati 9,7 9,34±4,75b 8,40±3,08b 12,23±5,84a 14,56±3,68a 54,23±7,61a 26,87± 9,37a

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji t, α = 0,05)

Tiga jenis mangsa yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap stadium instar nimfa dan lama hidup imago, total stadium instar nimfa terpendek yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa C. cephalonica (51,42±4,48) dan total stadium instar nimfa terpanjang yaitu pada nimfa predator yang diberi mangsa S. litura (58,31±6,49). Imago yang memiliki lama hidup yang paling panjang adalah imago predator yang diberi mangsa C. cephalonica (30,25±11,74), dan lama hidup imago yang paling pendek adalah imago predator yang diberi mangsa S. litura (18,50±8,73) (Tabel 4).

Tabel 4 Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap stadium nimfa (hari) dan lama hidup imago (hari) predator S. annulicornis

Stadium Nimfa Instar ke- Jenis Mangsa I II III IV V Total stadium nimfa Lama hidup imago

C. cepha 7,5 6,97±0,89a 8,75±3,13a 12,23±3,69a 15,96±3,80a 51,42±4,48a 30,25±11,74a

T. molitor 8,5 7,18±1,32a 7,82±2,30a 12,45±1,50a 17,03±5,22a 52,98±1,34a 25,50±13,61ab

S. litura 9 11,26±5,17b 12,45±3,59b 13,00±3,29a 12,60±3,80b 58,31±6,49b 18,50±8,73b

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Tukey, α = 0,05)

Pengaruh Tiga Jenis Mangsa dan Status Mangsa terhadap Efisiensi Penyerapan Makanan S. annulicornis

Status mangsa hidup dan mati tidak memberikan pengaruh nyata terhadap total konsumsi predator selama fase nimfa, bobot tubuh dan ECI. Walaupun demikian, status mangsa mati menghasilkan total konsumsi selama fase nimfa predator yang lebih tinggi (0,50g) dibanding dengan total konsumsi selama fase nimfa predator dengan status mangsa hidup (0,48 g) (Tabel 5).

Tabel 5 Pengaruh status mangsa terhadap total konsumsi selama stadium nimfa, bobot tubuh predator dan ECI

Parameter Status Mangsa

Total Konsumsi (g) Bobot Tubuh (g) ECI (%)

Hidup 0,48±0,13a 0,10±0,03a 25,15±4,72a

Mati 0,50±0,09a 0,12±0,00a 27,89±4,03a

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji t, α = 0,05)

Mangsa yang diberikan pada predator dengan status mati menghasilkan bobot tubuh yang lebih tinggi (0,12g) dibandingkan bobot tubuh predator yang diberi mangsa dalam status hidup yaitu (0,10g). Status mangsa mati menghasilkan nilai ECI yang lebih tinggi yaitu (27,89%), sedangkan nilai ECI pada mangsa dengan status hidup yaitu (25,15%) (Tabel 5).

Tabel 6 Pengaruh tiga jenis mangsa terhadap total konsumsi selama stadium nimfa, bobot tubuh predator dan ECI

Parameter Jenis Mangsa

Total Konsumsi (g) Bobot Tubuh (g) ECI (%)

C. cephalonica 0,38± 0,05a 0,12± 0,02a 33,46± 4,95a

T. molitor 0,43± 0,13b 0,10± 0,03b 26,06± 6,10b

S. litura 0,91± 0,16b 0,07± 0,01c 8,32± 2,08 c

Rataan dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Tukey, α = 0,05)

Tiga jenis mangsa yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap total konsumsi predator selama fase nimfa, bobot tubuh dan ECI. Total konsumsi tertinggi adalah predator dengan mangsa S. litura (0,91g), sedangkan total konsumsi terrendah adalah predator dengan mangsa C. cephalonica (0,38g). Bobot tubuh predator tertinggi adalah predator dengan mangsa C. cephalonica (0,12 g), sedangkan bobot tubuh terrendah adalah predator dengan mangsa S. litura (0,07 g). Nilai ECI tertinggi ditunjukan pada predator dengan mangsa C. cephalonica (33,46%), sedangkan nilai ECI terrendah ditunjukan pada predator dengan mangsa S. litura (8,32%) (Tabel 6).

Pengaruh Rasio Betina dan Jantan terhadap Karakteristik Reproduksi Predator S. annulicornis

Rasio betina dan jantan memberikan pengaruh yang nyata terhadap keperidian dan rata-rata jumlah telur yang menetas, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap masa praoviposisi, masa oviposisi, frekuensi peneluran, persen penetasan telur dan stadium telur (Tabel 7). Semakin tinggi kepadatan predator (rasio betina dan jantan), maka keperidian dan rata-rata jumlah telur yang menetas semakin rendah.

Tabel 7 Praoviposisi, oviposisi, frekuensi peneluran, keperidian, rata-rata jumlah telur yang menetas, persen penetasan telur, dan stadium telur predator S. annulicornis pada empat rasio yang berbeda dengan mangsa C. cephalonica yang diberikan dalam status mati

Nisbah Kelamin Predator (betina:jantan) Parameter

1:1 1:2 1:3 1:4

Praoviposisi (hari)

17,50±4,20a 16,00±4,16a 14,75±7,27a 18,00±2,16a

Oviposisi (hari)

12,50±0,00a 5,75±5,62a 6,75±6,95a 14,25±14,5a

Frekuensi peneluran

2,00±0,00 a 1,75±0,96a 1,50±0,58a 1,50±0,96a

Keperidian

85,75±30,9a 74,14±17,9a 41,17±17,1b 44,00±11,6b

Rata-rata jumlah telur yang

menetas 62,13±29,8a 65,14±18,4a 32,40±10,5b 29,75±8,62b

Persen penetasan telur (%)

74,20±24,8a 87,65±15,1a 80,63±25,7a 67,03±14,9a

Stadium telur (hari)

14,88±1,73a 14,29±0,76a 14,40±2,07a 14,75±0,96a

Rataan dalam baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji BNT, α = 0,05)

Hasil penelitian menunjukkan kisaran masa praoviposisi yaitu dari 14 hari sampai dengan 18 hari. Masa oviposisi terpanjang terjadi pada rasio 1:4 (14,25±14,59) sedangkan masa oviposisi terpendek pada rasio 1:2 (5,75±5,62). Selama masa hidupnya predator meletakkan telur antara 1,5 kali sampai dengan 2 kali. Secara statistik, perbedaan masa praoviposisi, masa oviposisi dan frekuensi peneluran pada ke empat nisbah kelamin tidak signifikan (p>0,05).

Nisbah kelamin 1:1 menghasilkan peletakan telur paling tinggi (85,75±30,92) sedangkan nisbah kelamin 1:3 memberikan hasil yang sebaliknya (41,17±17,17). Nisbah kelamin 1:2 menghasilkan rata-rata telur yang menetas paling tinggi (65,14±18,47) dan nisbah kelamin 1:4 menghasilkan rata-rata telur yang menetas paling rendah (29,75±8,62). Secara statistik, perbedaan rata-rata

jumlah telur yang menetas pada ke empat nisbah kelamin adalah signifikan (p<0,05). Persen penetasan telur predator tertinggi adalah pada nisbah kelamin 1:2 (87.65 ± 15.12) dan yang terrendah adalah pada nisbah kelamin 1:4 (67.03 ± 14.96). Semua rasio betina dan jantan menunjukkan rata-rata stadium telur yaitu 14 hari. Secara umum predator meletakkan telur pada permukaan tutup wadah yang terdapat kain kasa.

Gambar 6 Paket telur S. annulicornis

Telur berbentuk jorong, berwarna coklat, dan diletakkan pada paket yang tersusun dalam beberapa baris (Gambar 6). Imago betina meletakkan telur pada kain kasa karena permukaannya yang agak kasar sehingga dapat mencegah telur jatuh.

Pengaruh Status Mangsa terhadap Perilaku Pemangsaan Predator

Dalam studi ini adalah melihat pengaruh dari pemberian mangsa C. cephalonica dalam status mati terhadap perilaku predator keturunannya,

khususnya melihat agresifitas predator yang dicerminkan dengan masa pencarian, masa penanganan, masa pengisapan dan jumlah mangsa.

Tabel 8 Masa pencarian (menit), masa penanganan (menit), masa pengisapan (menit), dan jumlah mangsa yang dimangsa (ekor) oleh nimfa predator S. annulicornis dengan mangsa C. cephalonica dengan status hidup

Tahapan instar predator Aktivitas

I II III IV V

Penemuan (H)a

20,44±9,58a 22,96±12,94a 17,43±5,19a 10,86±0,48a 10,95±5,74a

Penemuan (M)a

19,67±10,58a 24,68±15,49a 18,59±3,63a 10,72±0,41a 9,62±2,56b

Penanganan (H)a

5,55±3,78a 6,20±3,64a 3,16±2,57a 2,33±0,39a 2,39±0,52a

Penanganan (M)a

5,89±2,98a 5,04±3,39a 2,84±2,08a 1,97±0,56a 1,82±0,63b

Pengisapan (H)a

163,33±26,46a 119,82±13,72a 55,94±12,94a 38,24±1,37a 44,11±8,93a

Pengisapan (M)a

165,56±17,40a 109,04±9,74a 51,69±7,26b 37,57±2,98a 44,35±9,35a

Jml mangsa (H)a

7,78±0,97a 1,33±0,47a 1,71±0,06a 2,41±0,10a 2,73±0,03a

Jml mangsa (M)a

7,78±0,67a 1,54±0,50a 1,79±0,19a 2,49±0,12a 2,78±0,10a

Rataan dalam satu kolom dan aktivitas, yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji -T, α = 0,05)

a

(H) = keturunan dari induk yang diberi mangsa C. cephalonica status hidup (M) = keturunan dari induk yang diberi mangsa C. cephalonica status mati

Masa pencarian dapat diamati saat predator dilepaskan hingga menemukan mangsa. Predator biasanya tidak langsung dapat menangkap mangsa namun berkeliling dulu di sekitar mangsa.

Masa penanganan dapat diamati saat predator mulai menemukan mangsa sampai menangani mangsa atau menangkap mangsa dan hal ini ditandai oleh predator menusukkan stiletnya dengan mengeluarkan cairan saliva yang beracun ke dalam tubuh mangsa sehingga mangsa tidak bergerak lagi. Predator juga terkadang mendekatkan stiletnya pada kotoran mangsa, hal ini dapat membantu

predator untuk menemukan mangsanya dengan mengenali senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tubuh mangsa dan fesesnya.

Masa pengisapan dapat diamati sejak predator menusukkan stiletnya sampai selesai mengisap cairan tubuh mangsa. Apabila cairan tubuh mangsa telah diisap, larva tampak mengempis dan menjadi keriput (Gambar 7). Setelah selesai mengisap mangsa predator melakukan gerakan mengusap-usap antena dengan menggunakan tungkai depan.

Gambar 7 Predator S. annulicornis yang sedang memangsa larva C. cephalonica

Jumlah mangsa yang dimangsa dihitung dengan menghitung jumlah mangsa yang dikonsumsi oleh predator per hari. Pada tahapan pemberian mangsa kepada predator nimfa instar I, tidak dilakukan pemisahan predator karena perilaku predator nimfa instar I masih bergerombol, berukuran kecil, dan tubuhnya masih menempel pada cangkang telurnya.

Secara umum hasil penelitian pengaruh status mangsa terhadap perilaku pemangsaan predator menunjukkan semakin berkembangnya instar nimfa predator maka aktivitas predator yang dicerminkan dengan masa pencarian, masa penanganan, masa pengisapan adalah semakin singkat (Tabel 8). Secara umum hasil Uji-t menunjukkan pemberian mangsa C. cephalonica dalam status mati,

secara statistika tidak memberikan pengaruh nyata terhadap agresifitas predator keturunannya atau tidak berpengaruh buruk terhadap perilaku pemangsaan oleh predator keturunannya.

Pembahasan

Tiga jenis mangsa dan dengan status mangsa yang berbeda memberikan pengaruh terhadap mortalitas nimfa, stadium nimfa, lama hidup imago, total konsumsi selama fase nimfa, bobot tubuh imago, serta nilai ECI. Dua faktor tersebut, yaitu perbedaan mangsa dan status mangsa merupakan hal utama yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan pada saat melakukan pembiakan massal.

Faktor pertama yaitu perbedaan jenis mangsa, perbedaan jenis mangsa menyebabkan persentase mortalitas yang berbeda pada fase nimfa predator, mortalitas yang terjadi disebabkan karena tiga jenis mangsa tersebut memiliki komposisi dan kisaran nutrisi yang berbeda. Di antaranya adalah perbedaan kadar protein C. cephalonica (12,39%), T. molitor (16,13%), dan S. litura (6,89%) (Lampiran 1), dan kemungkinan terdapatnya zat toksik dalam tubuh mangsa yang dapat berpengaruh terhadap stadium instar nimfa dan lama hidup imago. Semakin pendek stadium instar nimfa dan semakin panjang lama hidup imago, maka mangsa tersebut sesuai atau memiliki kualitas yang tinggi dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan selama fase pradewasa dan reproduksi imago predator.

Mangsa C. cephalonica memberikan pengaruh yang baik terhadap predator yang dicerminkan dengan persentase mortalitas yang rendah, total stadium nimfa yang pendek dan lama hidup imago yang panjang. Sementara mangsa S. litura memberikan pengaruh yang buruk terhadap predator karena menyebabkan mortalitas yang tinggi, total stadium yang panjang dan lama hidup imago yang pendek.

Lacerda et al. (2003), melaporkan predator Podisus distinctus Stal (Heteroptera: Pentatomidae) yang diberi mangsa larva Bombyx mori Linnaeus (Lepidoptera: Bombycidae), larva Tenebrio molitor dan pupa Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae) memiliki stadium nimfa yang berbeda, mangsa B.

mori menghasilkan stadium nimfa yang paling singkat (18,68±1,02 hari) dibanding mangsa pupa M. domestica (19,03±1,40 hari). Dalam kasus tersebut, larva B. mori lebih sesuai untuk predator P. distinctus.

De Clercq (2002) melaporkan bahwa lama stadium instar nimfa P. maculiventris yang diberi mangsa Nezara viridula Linnaeus (Hemiptera:

Pentatomidae) lebih panjang dibandingkan yang diberi mangsa S. littoralis Torr. (Lepidoptera: Noctuidae), meskipun demikian uji mortalitas menunjukkan bahwa pemberian mangsa N. viridula tersebut menghasilkan mortalitas yang rendah pada predator sehingga pemberian mangsa tersebut masih tetap direkomendasikan.

Predator S. annulicornis memiliki nilai total konsumsi yang berbeda pada ketiga jenis mangsa. Larva S. litura merupakan mangsa yang paling banyak dikonsumsi oleh predator dan sebaliknya larva C. cephalonica yang paling sedikit dikonsumsi oleh predator. Hasil penelitian mengenai total konsumsi berbanding terbalik dengan data bobot tubuh, bobot tubuh predator yang tertinggi pada predator yang diberi mangsa C. cephalonica, dan justru sebaliknya, bobot tubuh terrendah pada predator yang diberi mangsa S. litura. Data ini menunjukkan bahwa nilai total konsumsi tidak berhubungan dengan bobot tubuh. Hal ini mengandung arti bahwa predator yang memiliki nilai total konsumsi yang paling tinggi belum tentu memiliki bobot tubuh yang tinggi. Bobot tubuh predator yang tinggi sangat diharapkan karena erat kaitannya dengan kebugaran, sedangkan kebugaran untuk serangga predator dewasa menentukan produksi telur, jumlah telur, ukuran, kualitas, kemampuan dispersal dan lama hidup.

Jumlah bobot mangsa yang diserap oleh predator S. annulicornis memiliki korelasi dengan terjadinya proses ganti kulit predator tersebut pada setiap jenis mangsa. Setiap pergantian ganti kulit, maka bobot tubuh mangsa yang diserap menurun kemudian setelah melakukan ganti kulit menuju tahapan instar nimfa yang lebih tinggi maka jumlah bobot yang diserap akan semakin tinggi kemudian cenderung stabil dan menurun menjelang ganti kulit menjadi imago (Gambar 8).

0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 Hari R at a -r at a B io m as sa yan g d ih isap ( g )

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

C. cephalonica 1 2 3 4 5 0.000 010 020 030 040 050 060 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 Hari R a ta -r a ta B io m as sa ya n g di hi s a p ( g) 0.

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

T. molitor 0. 5 0. 4 1 2 3 0. 0. 0. 0.000 0.010 020 0.030 0.040 0.050 0.060 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 Hari R a ta- rat a Bi o m as sa ya n g di hi s a p ( g) S. litura

Merah = mangsa status mati Biru = mangsa status hidup

5 4 3 2 1 0.

Gambar 8 Konsumsi harian selama fase nimfa predator S. annulicornis pada mangsa C. cephalonica, T. molitor, dan S. litura dengan status hidup dan mati

Pemberian mangsa C. cephalonica menunjukkan nilai total konsumsi yang rendah tetapi mendapatkan bobot tubuh yang paling tinggi. McGregor et al. (1999) melaporkan bahwa pemberian mangsa Trialeurodes vaporariorum Westwood (Homoptera: Aleyrodidae) lebih sesuai bagi predator Dicyphus hesperus Knight (Heteroptera: Miridae) dibandingkan Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Hal tersebut ditunjukkan oleh stadium nimfa yang pendek (24,5±0,3 hari) dengan mangsa T. vaporariorum dan (26,3±0,4 hari) dengan mangsa T. urticae dan juga ukuran tibia yang lebih panjang pada pemberian mangsa T. vaporariorum (1,95±0,02 mm betina: 1,91±0,02 mm jantan), dan (1,84±0,01 mm betina: 1,79±0,05 mm jantan ) dengan mangsa T. urticae. Selain itu, predator juga lebih memilih tanaman tomat yang terinfestasi lebih banyak populasi T. vaporariorum dibandingkan T. urticae.

Secara umum, predator memiliki kisaran mangsa yang luas di alam namun hanya beberapa mangsa saja yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Hal ini dikarenakan mangsa yang sesuai tersebut memiliki komposisi nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup predator (Evans et al. 1999).

Tinggi dan rendahnya total konsumsi yang diserap oleh suatu predator pada jenis mangsa tertentu erat kaitannya dengan kualitas nutrisi yang terkandung pada tubuh mangsa. Hal ini merupakan bentuk dari respon fisiologi yang dimiliki serangga predator tersebut yaitu serangga predator akan meningkatkan konsumsi rata-rata sebagai respon apabila makanannya memiliki kandungan nutrisi yang rendah atau tidak berkualitas ( Slansky & Rodriguez 1987).

Data penelitian menunjukkan bahwa predator memiliki total konsumsi yang tinggi dengan mangsa larva S. litura tetapi menghasilkan mortalitas yang tinggi, dan sebaliknya predator memiliki total konsumsi yang rendah dengan mangsa larva C. cephalonica dan menghasilkan mortalitas yang rendah.

Respon fisiologi serangga terbentuk karena dilatarbelakangi pada awalnya oleh keadaan lingkungan yang tidak sesuai untuk kehidupan serangga, seperti kualitas dan kuantitas makanan yang bervariasi, suhu dan kelembaban yang berfluktuasi, dan keberadaan kompetitor. Tekanan lingkungan yang terus-menerus

tersebut secara perlahan-lahan menyebabkan serangga memiliki kemampuan beradaptasi, dalam hal ini adaptasi secara fisiologi (respon fisiologi) terhadap konsumsi makanan, pemanfaatan makanan dan alokasi makanan dengan tujuan serangga tersebut mampu bertahan di alam dan memiliki kriteria kebugaran yang diharapkan. Contoh lain dari respon fisiologi serangga adalah berjemur lebih lama dan atau berkerumun membentuk kelompok pada saat terjadinya penurunan suhu ( Slansky & Rodriguez 1987).

Kualitas dari suatu predator ditentukan oleh tingkat konsumsi rata-rata suatu makanan dan tingkat efisiensi. Besarnya cairan tubuh mangsa yang diserap dan kemudian diubah menjadi komponen tubuh disebut dengan Efisiensi Penyerapan Makanan atau Efficiency of Conversion of Ingestedfood (ECI). Nilai ECI merupakan suatu parameter efisiensi penyerapan makanan oleh predator yang mampu diubah menjadi komponen tubuh. Semakin tinggi nilai ECI maka semakin efisien penyerapan kandungan nutrisi mangsa oleh predator (Slansky & Rodriguez 1987).

Nilai ECI tertinggi yaitu pada predator dengan mangsa C. cephalonica dan nilai ECI terrendah yaitu dengan mangsa S. litura. Nilai ECI yang tinggi merupakan parameter pendukung lainnya selain persentase mortalitas yang rendah, stadium nimfa yang pendek dan lama hidup imago yang panjang pada predator S. annulicornis dengan mangsa C. Cephalonica. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dari tiga jenis mangsa yang diberikan pada predator, mangsa C. cephalonica adalah yang paling sesuai untuk predator S. annulicornis.

Faktor kedua yaitu status mangsa yang berpengaruh terhadap persentase mortalitas dan lama hidup imago. Data persentase mortalitas menunjukkan bahwa status mangsa hidup dan mati, yang diberikan pada predator memiliki pengaruh khususnya terhadap mangsa C. cephalonica, yang memiliki persentase (0%) pada mangsa mati dan (35%) pada mangsa hidup (Tabel 2). Status mangsa tidak berpengaruh terhadap stadium instar nimfa, total konsumsi, bobot tubuh dan nilai ECI. Namun mangsa status mati menghasilkan nilai total konsumsi yang tinggi, bobot tubuh dan nilai ECI yang lebih tinggi dibanding mangsa dengan status hidup.

Pengaruh yang berbeda antara status mangsa hidup dan mati disebabkan antara lain, mangsa dalam status hidup memiliki cara mempertahankan diri dari musuhnya, diantaranya larva C. cephalonica yang menghasilkan sutera yang dapat menghambat predator. Selain itu perilaku mangsa juga berpengaruh terhadap preferensi predator. Sebagai contoh De Clercq & Degheele (1994) melaporkan bahwa predator Podisus maculiventris Say (Hemiptera: Pentatomidae) dan P. sagitta Fabricius (Hemiptera: Pentatomidae) lebih memilih memangsa Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) dibandingkan memangsa S. littoralis dan Mamestra brassicae Linnaeus (Lepidoptera: Noictuidae) karena S. exigua tidak agresif pada saat diserang berbeda dengan S. littoralis dan M. brassicae yang sangat agresif pada saat melakukan perlawanan. Hal ini menyebabkan predator cenderung memangsa S. exigua. Mangsa yang agresif mampu meloloskan diri dari tangkapan predator dengan melakukan perlawanan fisik sehingga dapat melarikan diri.

Predator P. maculiventaris juga lebih memilih mangsa yang relatif diam dan tidak melakukan perlawanan. De Clercq & Degheele (1994) melaporkan bahwa P. maculiventris lebih memilih memangsa pupa S. exigua. dibandingkan larva S. exigua. Predator ini juga kurang memilih imago ngengat S. litura karena ngengat ini aktif terbang.

Larva S. litura dengan status mati, membusuk, menghasilkan bau yang menyengat dan berlendir diindikasikan mengandung toksin. Penyebab terjadinya kebusukan dari suatu organisme yaitu terdapatnya mikroorganisme pembusuk, kegiatan enzim dan reaksi kimia, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan yang berlebihan dari mikroorganisme pembusuk dapat menghasilkan toksin (Desroiser 1988).

Salah satu pertimbangan dilaksanakannya studi rasio betina dan jantan terhadap fekunditas dan fertilitas adalah pada pengamatan sebelumnya, di laboratorium menunjukkan fertilitas telur yang bervariasi. Salah satu metode pembiakan massal di laboratorium adalah predator harus mampu mendapatkan fekunditas dan fertilitas yang tinggi. Dalam hal ini faktor penentu tinggi rendahnya jumlah fekunditas dan fertilitas telur adalah kepadatan predator,

semakin tinggi kepadatan predator memberikan pengaruh yang negatif terhadap fekunditas dan fertilitas telur yaitu terjadinya kanibalisme (Gambar 9), hal ini disebabkan karena terjadinya persaingan imago jantan untuk berkopulasi dengan betina sehingga mengganggu proses terjadinya kopulasi.

Gambar 9 Kanibalisme predator S. annulicornis

Hal ini didukung oleh penelitian Saharayaj (2002) yang mengungkapkan bahwa mortalitas predator Rhynocoris marginatus Fabricius (Hemiptera: Reduviidae) pada kepadatan 25-50 adalah sekitar 10%, sedangkan mortalitas pada kepadatan 75-100 adalah 32,5%. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh De Clercq & Degheele (1994) menunjukkan bahwa mortalitas imago P. maculiventaris (Hemiptera: Pentatomidae) meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan populasi predator. Dengan semakin padatnya populasi maka semakin meningkat terjadinya kanibalisme antar individu predator sehingga mengganggu proses kopulasi, fertilisasi, dan perbanyakan keturunan.

Kanibalisme merupakan suatu aktivitas saling membunuh dan memakan antara spesies yang sama. Kanibalisme dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain ketika jumlah makanan atau mangsa yang tersedia sangat sedikit (Dixon 2000) atau karena jumlah makanan yang tersedia terlalu berlimpah (Fox et al. 1975 dalam Hindayana 2001). Selain itu, faktor genetik berpengaruh dalam

menyebabkan sifat kanibalisme suatu predator (Riechert 1981 dalam Hindayana 2001). Kanibalisme merupakan salah bentuk kompetisi yang ekstrim hingga menyebabkan kematian. Terbatasnya sumber daya merupakan faktor penting terjadinya kanibalisme, dalam penelitian ini sumber daya yang terbatas adalah predator betina. Terjadinya saling membunuh antara predator jantan adalah untuk mendapatkan predator betina agar bisa meneruskan keturunannya.

Hal yang pokok dari studi pengaruh rasio betina dan jantan adalah 1) melihat rata-rata jumlah telur yang diletakkan/betina (keperidian) dan 2) melihat

Dokumen terkait