• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Di Laboratorium

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis sidik ragam penelitian menunjukkan bahwa pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter yang diamati selama Laboratorium yaitu kadar air biji (%), daya berkecambah (%), kecepatan tumbuh benih (%/etmal), dan intensitas dormansi (%). Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dapat di lihat pada Lampiran 13 sampai 20.

Kadar air biji (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis sidik ragam parameter kadar air biji (%) pada Lampiran 13 dan 14 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi secara fisik dan kimia pada biji Mucuna bracteata D.C. berpengaruh nyata terhadap kadar air biji. Rataan kadar air biji (%) dan notasi hasil uji lanjut duncan pada taraf 5 %dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan kadar air (%) dengan pematahan dormansi secara fisik dan kimia

Perlakuan Rataan kadar air (%)

A6 = perendaman KNO3 24 jam 38,06 a

A2 = pengguntingan biji 36,24 a

A8 = perendaman GA3 5 jam 28,59 b

A4 = perendaman H2SO4 15 menit 23,85 c A3 = perendaman H2SO4 10 menit 13,34 d

A7 = perendaman GA3 3 jam 16,23 e

A5 = perendaman KNO3 12 jam 13,34 e

A1 = kontrol 4,74 f

Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji beda rata-rata duncan pada taraf 5 %.

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi pada perlakuan perendaman dengan KNO3 1 % selama 24 jam (A6) sebesar 38,06 % dan kadar air terendah pada perlakuan kontrol (A1) sebesar 4,74%.

Daya berkecambah (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis sidik ragam daya berkecambah biji (%) menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah (%). Hasil

pengamatan dan analisis sidik ragam daya berkecambah (%) dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Rataan daya berkecambah (%) dan notasi hasil uji

lanjut duncan pada taraf 5 % dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan daya berkecambah (%) dengan pematahan dormansi secara fisik dan kimia

Perlakuan Rataan daya berkecambah (%)

A3 = perendaman H2SO4 10 menit 91,67 a

A6 = perendaman KNO3 24 jam 91,67 a

A8 = perendaman GA3 5 jam 86,67 a

A2 = pengguntingan biji 71,67 b

A7 = perendaman GA3 3 jam 65,00 b

A5 = perendaman KNO3 12 jam 48,33 c

A4 = perendaman H2SO4 15 menit 31,67 d

A1 = control 5,00 e

Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji beda rata-rata duncan pada taraf 5 %.

Dari Tabel 2. dapat dilihat daya berkecambah tertinggi pada perlakuan A3 dan perlakuan A6 sebesar 91,67 %, daya berkecambah terendah pada perlakuan A1 sebesar 5 %.

Kecepatan tumbuh benih (%/etmal)

Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia berpengaruh nyata terhadap kecepatan tumbuh benih (%/etmal). Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam kecepatan tumbuh benih (%/etmal) dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18. Rataan kecepatan tumbuh benih (%/etmal) dan notasi hasil uji lanjut duncan pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan kecepatan tumbuh benih (%/etmal) dengan pematahan dormansi secara fisik dan kimia

Perlakuan Rataan kecepatan tumbuh benih (%/etmal)

A2 = pengguntingan biji 13,50 a

A6 = perendaman KNO3 24 jam 8,75 b

A8 = perendaman GA3 5 jam 8,68 b

A3 = perendaman H2SO4 10 menit 7,26 bc

A7 = perendaman GA3 3 jam 6,16 c

A5 = perendaman KNO3 12 jam 3,09 d

A4 = perendaman H2SO4 15 menit 2,66 d

A1 = kontrol 0,20 e

Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji beda rata-rata duncan pada taraf 5 %.

Dari Tabel 3. dapat diketahui bahwa kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan A2 sebesar 13,50%/etmal dan kecepatan tumbuh terendah pada perlakuan A1 (kontrol) sebesar 0,20 %/etmal.

Intensitas dormansi (%)

Dari hasil pengamatan dan analisis sidik ragam pada Lampiran 19 dan 20 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia berpengaruh nyata terhadap intensitas dormansi (%). Rataan intensitas dormansi (%)dan notasi hasil uji lanjut duncan pada taraf 5 dapat di lihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan intensitas dormansi (%) dengan pematahan dormansi secara fisik

dan kimia

Perlakuan Rataan intensitas dormansi (%)

A2 = Pengguntingan biji 0,00 f

A3 = Perendaman H2SO4 10 menit 1,67 f

A6 = Perendaman KNO3 24 jam 3,33 ef

A8 = Perendaman GA3 5 jam 8,33 e

A7 = Perendaman GA3 3 jam 28,33 d

A5 = Perendaman KNO3 12 jam 46,67 c

A4 = Perendaman H2SO4 15 menit 56,67 b

A1 = Kontrol 95,00 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada setiap baris menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji beda rata-rata duncan pada taraf 5 %.

Dari Tabel 4. dapat dilihat bahwa intensitas dormannsi tertendah pada perlakuan pengguntingan biji (A2) sebesar 0 % dan intensitas dormansi tertinggi pada perlakuan kontrol (A1) sebesar 95 %.

Di Rumah Kasa

Hasil penelitian yang dilanjutkan ke rumah kasa menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia tidak berpengaruh nyata pada semua parameter yaitu panjang sulur (cm) dan jumlah daun (helai). Panjang sulur (cm)

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis sidik ragam panjang sulur (cm) pada 2, 4, dan 6 MSPT menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tersebut. Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam dapat di lihat pada Lampiran 21 sampai 26.

Kurva pertumbuhan panjang sulur 2, 4 dan 6 MSPT dengan perlakuan berbagai pematahan dormansi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva pertumbuhan panjang sulur (cm) pada 2, 4 dan 6 MSPT dari pengaruh perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia. Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa panjang sulur (cm) tertinggi pada akhir pengamatan terdapat pada perlakuan A8 (perendaman dengan GA3 300ppm

0 5 10 15 20 25 30 35 40 2 MSPT 4 MSPT 6 MSPT Pa n ja n g s u lu r ( c m )

Pengamatan minggu

ke-A2 A3 A6 A7 A8

selama 5 jam) yaitu sebesar 36,4 cm dan panjang sulur terendah pada perlakuan A3 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) yaitu sebesar 32,47cm. Jumlah daun (helai)

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis sidik ragam parameter jumlah daun (helai) menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 2, 4 dan 6 MSPT. Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam jumlah daun (helai) 2, 4 dan 6 MSPT dapat dilihat pada Lampiran 27 sampai 32.

Kurva pertumbuhan jumlah daun (helai) 2, 4 dan 6 MSPT dari pengaruh pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurva pertumbuhan jumlah daun (helai) pada 2, 4 dan 6 MSPT dari pengaruh perlakuan pematahan dormansi dengan cara fisik dan kimia. Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa jumlah daun (helai) tertinggi pada

akhir pengamatan (6 MSPT) terdapat pada perlakuan A8 (perendaman dengan GA3 300ppm selama 5 jam) yaitu sebesar 7,11 helai dan jumlah daun terendah

pada perlakuan A3 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) yaitu sebesar 6,33 helai. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 2 MSPT 4 MSPT 6 MSPT J u m la h d a u n (h e la i)

Pengamatan minggu

ke-A2 A3 A6 A7 A8

Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan perlakuan yang paling baik terhadap kemampuan berkecambah biji Mucuna bracteata D.C. adalah perlakuan A3 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit), A6 (perendaman KNO3 1% selama 24 jam), dan A8 (perendaman dengan GA3 300 ppm selama 5 jam) karena menghasilkan daya berkecambah > 80% dengan masing-masing daya berkecambah sebesar 91,67% dan 86,67%. Menurut Lensari (2009) menyatakan bahwa biji yang berkecambah > 80% merupakan biji yang mempunyai vigor yang baik. Namun apabila kita lihat dari segi lamanya waktu pengerjaan pada perlakuan A3 lebih baik dibandingkan A6 dan A8 yang hanya membutuhkan waktu perendaman selama 10 menit saja, sehingga memudahkan pengerjaan dalam skala besar. Tetapi dari segi ekonomis perlakuan A6 lebih baik digunakan dibandingkan perlakuan A3 dan A8 karena harga KNO3 yang lebih murah dari pada kedua bahan kimia tersebut. Oleh karena itu tidak harus mengeluarkan biaya yang tinggi, sehingga dalam pengerjaan skala yang besar pengerjaan sederhana dan biaya yang dikeluarkan untuk perlakuan awal biji tidak terlalu tinggi.

Pada perlakuan A6 (perendaman KNO3 1% selama 24 jam) menghasilkan daya berkecambah tinggi sebesar 91,67% dikarenakan KNO3 merupakan senyawa yang dapat mengaktifkan metabolisme sel dan mempercepat perkecambahan. Menurut Ellis et.al. (1983) menyatakan bahwa nitrit atau nitrat yang berasal dari larutan KNO3 diketahui memiliki stimulatory effect terhadap perkecambahan benih melalui perannya sebagai ion penerima elektron. Pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktivitas lintasan pentosa fosfat, oksigen yang terbatas mengakibatkan lintasan pentosa fosfat menjadi inaktif

karena oksigen digunakan untuk aktivitas respirasi melalui lintasan lain (Bewley & Black 1985). Dan menurut Hasanah (1989) perendaman dalam larutan KNO3

dapat meningkatkan daya berkecambah benih yang diduga karena impermeabilitas kulit benih terhadap air dan oksigen sejalan dengan Ilyas dan Diarni (2007) melaporkan bahwa perlakuan perendaman dalam KNO3 1% selama 48 jam merupakan pematahan dormansi yang paling efektif pada benih padi gogo varietas Kalimutu, Way Rarem dan Gajah Mungkur pada 0 MSP (masa sesudah panen).

Sedangkan pada perlakuan yang menggunakan KNO3 juga namun dengan waktu perendaman yang lebih singkat yaitu perlakuan A5 (perendaman KNO3 1% selama 12 jam) diperoleh daya berkecambah dan kecepatan tumbuh yang lebih rendah dibandingkan perlakuan A6 (perendaman KNO3 1% selama 24 jam) dengan daya berkecambang A5 sebesar 48,33% dan A6 sebesar 91,67%. Rataan kecepatan tumbuh pada perlakuan A5 sebesar 3,09%/etmal dan A6 sebesar 8,75%/etmal. Dari data tersebut diketahui bahwa perlakuan A6 lebih baik dibandingkan A5. Hal tersebut didukung juga dari hasil intensitas dormansi perlakuan A6 sebesar 3,33% yang lebih rendah dari perlakuan A5 sebesar 46,67%. Hal tersebut menunjukkan pada perlakuan A5 waktu perendaman yang kurang lama. Schmidth (2002) menyatakan bahwa Pada konsentrasi 1% perkecambahan meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2% meningkat menjadi 85%. Pada Casuariana equiaetifolia perkecambahan meningkat dari 46% dalam kontrol menjadi 65% setelah perendaman dalam 1,5% KNO3 selama 36 jam. Pada percobaan ini, konsentrasi tertinggi dan terendah dan lamanya waktu perendaman yang sangat singkat memperlihatkan perkecambahan yang sangat rendah. konsentrasi dan lamanya waktu perendaman mempengaruhi

tingkat kerusakan pada biji. Semakin tinggi dan semakin lama waktu perendaman maka kerusakan biji juga semakin tinggi. Menurut Faustina, dkk (2011) menyatakan bahwa Pengaruh KNO3 yang ditimbulkan ditentukan oleh besar kecil konsentrasinya. Perlakuan awal dengan larutan KNO3 berperan merangsang perkecambahan pada hampir seluruh jenis biji.

Pada perlakuan A3 (perendaman H2SO4 1% selama 10 menit) juga menghasilkan daya berkecambah tinggi yaitu sebesar 91,67%. Hasil tersebut di duga karena pemberian H2SO4 yang mampu melunakkan kulit keras biji mucuna sehingga dapat melakukan proses imbibisi. Menurut Sadjad et al. (1975) perlakuan kimia seperti H2SO4 pada prinsipnya adalah membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Achmad et al. (1992) mengatakan bahwa perlakuan pendahuluan untuk benih Cendana (Satalum album) adalah dengan perendaman dalam larutan H2SO4 pekat selama 50-60 menit. Dan menurut Muharni (2002) dalam Rozi (2003) dalam penelitiannya mengatakan bahwa larutan H2SO4 memberikan pengaruh yang paling baik terhadap benih dan pertumbuhan semai Kayu Kuku.

Pada perlakuan A4 (perendaman H2SO4 1 % selama 15 menit) diperoleh rataan kadar air lebih tinggi daripada A3 (perendaman H2SO4 1 % selama 10 menit), A4 sebesar 23,85% dan A3 sebesar 13,34%. Pada perlakuan A4 di duga kebutuhan air biji tercukupi untuk berkecambah, namun pada perlakuan A4 dengan kadar air yang lebih tinggi dari A3 ternyata menghasilkan daya berkecambah yang lebih rendah daripada A3. Perlakuan A4 rataan daya berkecambah hanya sebesar 31,67% dan perlakuan A3 rataan daya berkecambah

jauh lebih tinggi sebesar 91,67%. Dari hasil tersebut di duga bahwa kadar air yang tinggi belum tentu menghasilkan daya kecambah yang tinggi pula. Rendahnya daya kecambah pada perlakuan A4 diduga dengan kadar air tinggi menyerap senyawa asam sulfat tersebut lebih tinggi pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada perlakuan A4 waktu perendaman biji terlalu lama sehingga senyawa kimia tersebut merusak embrio biji. Hal ini didukung dengan hasil uji tetrazolium biji yang menunjukkan bahwa biji pada perlakuan A4 lebih banyak yang tidak bewarna yang mengartikan biji telah rusak. Menurut Sagala (1991) menyatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan H2SO4 pada benih bertujuan untuk melunakkan kulit benih, akan tetapi apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan dapat menyebabkan kerusakan embrio, sehingga benih tidak berkecambah.

Pada perlakuan A8 (perendaman dengan GA3 300 ppm selama 5 jam) masih termasuk perlakuan yang mempunyai daya berkecambah baik yaitu 86,67%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan giberelin mampu mematahkan dormansi pada biji mucuna dikarenakan giberelin merupakan hormon yang mampu mempercepat perkecambahan. Menurut Davies (2004) menyatakan bahwa cara kerja giberelin dalam perkecambahan biji diawali dengan terjadinya imbibisi air merangsang sintesis giberelin, lalu giberelin tersebut berdifusi ke lapisan aleuron dan merangsang sintesis enzim. Selanjutnya enzim memecahkan amilim dan gula yang kemudian ditransportasikan ke embrio yang sedang berkembang. Sejalan dengan hasil penelitian menurut Sormin (2010) bahwa biji mucuna yang direndam dalam zat pengatur tumbuh GA3 300 ppm mampu menghasilkan perkecambahan sebesar 66%. Menurut Indrawati (1999) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa pematahan dormansi dengan perendaman GA3 300 ppm selama 24 jam mampu meningkatkan perkecambahan benih aren sebesar 70%.

Pada perlakuan A8 (perendaman GA3 300ppm selama 5 jam) menunjukkan rataan kadar air sebesar 28,59% yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A7 (perendaman GA3 300ppm selama 3 jam) yaitu sebesar 16,23%. Apabila kita hubungkan rataan kadar air dengan rataan daya berkecambah pada perlakuan A8 menghasilkan rataan daya kecambah yang lebih tinggi juga yaitu sebesar 86,67% dan pada perlakuan A7 rataan daya berkecambah sebesar 65%. Dengan rataan kecepatan tumbuh benih perlakuan A8 sebesar 8,68% dan perlakuan A7 sebesar 6,16%. Dari hasil tersebut menjelaskan bahwa penggunaan GA3 300ppm lebih baik pada perendaman 5 jam dibandingkan 3 jam. Di duga penggunaan giberelin mampu mematahkan dormansi pada biji Mucuna bracteata D.C. Hal ini sesuai dengan literatur Abidin (1983) yang menyatakan bahwa Giberelin adalah hormon tanaman yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, perpanjangan batang, pembungaan dan perkecambahan biji. Sejalan dengan literatur Davies (2004) yang menyatakan bahwa Pada perkecambahan giberelin diperlukan pada tahapan pengaktifan pertumbuhan vegetatif embrio, pelunakan (pembelahan) endosperm, mobilisasi cadangan tersimpan dalam endosperm.

Peubah amatan kecepatan tumbuh tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit kemudian perendaman air 30 menit) yaitu sebesar 13,50 %/etmal dengan daya berkecambah sebesar 71,67%. Hal ini menunjukkan pada perlakuan A2 pertumbuhan lebih cepat namun daya berkecambah masih rendah akibat adanya serangan jamur pada awal perkecambahan. Hal ini sesuai dengan

literatur Gardner et.al (1991) yang menyatakan bahwa Pengguntingan kulit biji dilakukan dengan cara menggunting salah satu sisi biji dengan gunting kuku sehingga kulit terkupas dan air dapat dengan mudah masuk ke dalam biji. Dan sejalan dengan Sutopo (2004) yang menyatakan bahwa Perlakuan mekanis umumnya digunakan dalam pematahan dormansi biji untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis kulit perkecambahan yang terdapat pada kulit biji. Namun apabila kita lihat dari segi pengerjaan, pada perlakuan A2 lebih membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk skala besar dan pengerjaannya kurang sederhana dibandingkan dengan perlakuan kimia. Hal ini yang membuat perlakuan kimia lebih baik digunakan karena pengerjaan lebih sederhana dan tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk upah tenaga kerja, sehingga pengerjaan lebih efektif dan efisien.

Namun pada perlakuan A2 mempunyai rataan daya berkecambah sebesar 71,67%.Hal ini dikarenakan pada saat perlakuan A2 dikecambahan biji mucuna tersebut banyak terserang jamur, sehingga persentase daya berkecambahnya rendah. Adanya serangan jamur dapat diakibatkan karena kadar air yang tinggi sebesar 36,24% dan karena adanya pelukaan pada biji yang sesuai untuk perkembangan jamur. Menurut Sutopo (2003) menyatakan bahwa menurunnya kualitas benih dapat diakibatkan karena kerusakan-kerusakan fisik pada benih yang menudahkan patogen-patogen tertentu dapat berkembang dan menurunkan kualitas benih. Sejalan dengan literatur Meerow (2004) yang menyatakan bahwa skarifikasi pada biji seperti palem tidak meningkatkan perkecambahan, tetapi skarifikasi pada bagian pangkal biji dekat dengan embrio menyebabkan air lebih

mudah menembus kulit biji sehingga mempercepat perkecambahan dan skarifikasi juga dapat dilakukan dengan penipisan kulit endokarp pada seluruh permukaan biji sampai kelihatan endosperm biji yang menghalangi masuknya air ke dalam benih.

Perlakuan yang dilanjutkan ke rumah kasa yaitu A2 (pengguntingan kulit kemudian perendaman air 30 menit), A3 (perendaman H2SO4 1 % selama 10 menit), A6 (Perendaman KNO3 1 % selama 24 jam), A7 (perendaman GA3 300 ppm selama 3 jam) dan A8 (perendaman GA3 300 ppm selama 5 jam) tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan di rumah kasa. Semua perlakuan mempunyai pertumbuhan yang cenderung sama. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan pada biji mucuna hnya karena dormansi biji. Jika dormansi sudah terpecahkan maka bibit dapat tumbuh dengan baik. Namun berdasarkan hasil penelitian 6 MSPT (Minggu Setelah Pindah Tanam) rataan panjang sulur dan jumlah daun cenderung tinggi pada perlakuan A8 masing-masing sebesar 36,40 cm dan 7,11 helai. Hal ini di duga karena adanya pengaruh penggunaan giberelin yang merupakan hormon pengatur pertumbuhan dengan cara meningkatkan sintesis protein sehingga penggunaan giberelin mampu memperpanjang sel-sel tumbuhan, karena protein atau makanan untuk tanaman tersebut lebih terpenuhi. Menurut Abidin (1983) menyatakan bahwa giberelin mempunyai peran dalam mendukung perpanjangan sel, aktifitas kambium dan mendukung pembentukan RNA baru serta sintesis protein, sehingga mampu mempercepat perkembangan sel. Dan menurut Heddy (1989) pengaruh pemberian giberelin terhadap pembesaran sel yaitu tumbuh tunas lateral pada bagian tanaman, dan juga mampu meningkatkan besar daun beberapa jenis tumbuhan.

Dokumen terkait