• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil

Dari praktikum yang telah di lakukan di pantai nongsa batam di dapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Form isian jenis dan Klasifikasi Sumberdaya Alam (SDA) di Nongsa Batam

Informasi Tentang Sumberdaya Alam sifat

pembaharuannya

Yang

teridentifikasi

Potensinya/

Jumlah Kondisi/Status Pemamfaatan Status Pengelolaan

1. Renewable

Pohon Kelapa banyak terawat Buah kelapa

di jual tradisional

Air laut banyak - Tidak

dimanfaatkan

-Ikan banyak - Ikan dijual tradisional

Trumbu karang/batu karang

-2. Unrenewable -3. Unlimited Angin berkelanjuta n -Tidak dimanfaatkan -Energi pasang surut berkelanjuta n - Melaut tradisional Matahari berkelanjuta n -Tidak dimanfaatkan -Udara berkelanjuta n -Tidak dimanfaatkan -4.2 Data Primer

1. Kondisi Pantai (Topo dan geografis):

- Posisi lokasi : Turi Beach Resort Pantai Nongsa Batam - Lebar pantai : n/a

- Kemiringan pantai: n/a - Jenis pasir pantai: Putih - Warna: Putih

- Kec angin dan kelembaban udara:n/a

2. Oseanograpy data - Arus: n/a

3. Ekosistem

- Vegetasi pantai:Kelapa - Mangrove : n/a

- Terumbu karang:banyak - Batu karang : banyak

d. Batch litter survey

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan data:

- Identifikasi jenis sampah : Organik, an organik, dan B3 - Sumber sampah : pengunjung, dan proses maintenance - Jumlah sampah : > 50 kg/hari

1. Pengolahan sampah

- Jumlah tong sampah per 100 m persegi : < 1 tong

sampah/m2

- Model tong sampah : terbuat dari kayu - Penempatan tong sampah : di sudut-sudut

4.2 Pembahasan

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).

Besarnya potensi kekayaan alam pesisir telah menimbulkan berbagai

permasalahan lingkungan hidup seperti kelebihan tangkap (over fishing) di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Permasalahan ini secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir, kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM). Permasalahan di pesisir di atas bila dikaji lebih lanjut memiliki akar permasalahan yang mendasar.

Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor, yaitu pertama tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, kedua konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata, ketiga kelembagaan, keempat, kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam, dan kelima kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam.

Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan sumberdaya pesisir yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik ekosistem pesisir yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir. Sehingga pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir serta ruang yang memperhatikan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarkhi pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain dan Knect, 1998; Kay dan Alder, 1999).

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir atau sering disebut masyarakat pesisir menjadi bagian penting dalam ekosistem pesisir. Komponen terbesar dari

masyarakat pesisir adalah nelayan yang memiliki ketergantungan yang besar terhadap keberlanjutan sumberdaya alam pesisir. Nelayan adalah orang yang melakukan penagkapan (budidaya) di laut dan di tempat yang masih dipengaruhi pasang surut (Tarigan, 2000). Serangkaian penelitian yang berkaitan dengan

kemiskinan masyarakat pesisir di Pantai Nongsa. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penyebab kemiskinan mereka adalah faktor budaya dan degradasi sumberdaya. Degradasi sumberdaya seperti rusaknya ekosistem mangrove dan perikanan sebagian diakibatkan oleh penggunaan alat tangkap perikanan yang destruktif, aktivitas illegal lodging, alih fungsi lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit. Berdasarkan kondisi spesifik dan kemiskinan yang seakan menjadi trade mark komunitas di pesisir, maka pemahaman lebih jauh tentang pengelolaan wilayah pesisir menjadi penting. Berkaitan dengan

pengelolaan wilayah pesisir, menurut Bromley dan Cernea (dalam Adhuri, 2005), ada empat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir, yaitu: a. Open access property, b. Common property, c. Public property, dan d. Private property. Masing-masing karakteristik tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Di Pantai Nongsa terdapat keempat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut, namun yang dominan adalah tipe milik Pemerintah, dan dibeberapa tempat berkembang tipe milik quasi-pribadi. Di perairan Bunaken masyarakat nelayan masih menganggap sumberdaya ikannya sebagai open access property sehingga nelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap ikan. Di desa Nongsa masyarakat menganggap sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal dari desa tersebut (Mancoro dalam Adhuri, 2005). Akan tetapi UU Pokok Perairan no. 6/1996 dengan tegas menyatakan sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik pemerintah. Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga timbul kerancuan (ambiguim) bahwa disatu sisi pesisir

dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap milik pemerintah. Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property regimes) ini mendorong timbuinya konflik pemanfaatan (user conflict) dan konflik

kewenangan (yurisdictional conflict). Konflik dapat muncul dari beberapa sebab, namun yang dominan adalah kerancuan tipe pemilikan. Konflik yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. (Adhuri, 2005). Dalam tulisannya Adhuri menyatakan ada dua tantangan dalam mempraktekkan manajemen

sumberdaya laut secara berkelanjutan yaitu pertama, kesadaran yang ditunjukkan oleh pelaku akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak tampak pada stakeholder (termasuk aparat militer dan birokrasi daerah) di daerah. Kedua, terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak-pihak lain.

Dokumen terkait