• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Tinggi Tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman 2 – 4 MST (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman (cm) pada perlakuan olah tanah dan konsorsium mikroba pada umur 2 – 4 MST

Umur Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3 2 MST T1 5,23 5,29 5,21 4,92 5,16 T2 5,19 5,24 4,97 5,37 5,19 Rataan 5,21 5,27 5,09 5,15 5,18 3 MST T1 7,90 8,16 7,59 8,23 7,97 T2 7,75 7,68 8,69 8,79 8,23 Rataan 7,83 7,92 8,14 8,51 8,10 4 MST T1 15,22 17,21 14,49 17,51 16,11 T2 14,02 15,71 16,05 15,11 15,22 Rataan 14,62 16,46 15,27 16,31 15,67 Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada 2 MST dan 3 MST tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konvensional (T2) (5,19 cm), tetapi pada 4 MST yang tertinggi adalah pada perlakuan pengolahan tanah konservasi (T1) (16,11 cm). Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan tanah konservasi memberikan hasil yang baik untuk tinggi tanaman pada tanaman kacang tanah pada fase vegetatif. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman, tetapi tinggi tanaman pada 2 MST (5,27 cm) dan 4 MST (16.46 cm) merupakan tinggi tanaman tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan pemberian konsorsium yang lain yaitu pada dosis 6g/kg benih (K1) terlihat pada peningkatan tinggi tanaman yang terus menerus pada perlakuan tersebut, kemudian berturut-turut

pemberian konsorsium dengan dosis 18g/kg benih (K3) lebih baik dibanding dengan 12g/kg benih (K2) lebih baik dibanding tanpa pemberian konsorsium (K0).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan pengolahan tanahdan konsorsium mikroba untuk tinggi tanaman pada 2 MST (5,37 cm) dan 3 MST (8,79 cm) tertinggi pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium 18g/kg benih (T2K3), tetapi pada 4 MST (17,51 cm) tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium mikroba 18g/kgbenih (T1K3).

Jumlah Cabang Primer

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah cabang primer umur 2 - 5 MST (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan jumlah cabang primer pada olah tanah dan konsorsium mikroba pada umur 2 - 5 MST

MST Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3 2 T1 3,27 3,40 3,40 3,53 3,40 T2 3,47 3,20 3,27 3,67 3,40 Rataan 3,37 3,30 3,34 3,60 3,40 3 T1 4,60 5,07 4,80 4,53 4,75 T2 4,73 4,33 5,00 4,93 4,75 Rataan 4,67 4,70 4,90 4,73 4,75 4 T1 7,27 7,53 7,53 6,87 7,30 T2 7,00 7,00 7,33 7,87 7,30 Rataan 7,14 7,27 7,43 7,37 7,30 5 T1 8,53 8,40 8,60 7,87 8,35 T2 8,07 7,60 8,47 8,40 8,14 Rataan 8,30 8,00 8,54 8,14 8,24

Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk perlakuan olah tanah baik olah konservasi (T1) maupun konvensional (T2) pada 2, 3, 4 MST memiliki jumlah cabang primer yang sama, tetapi pada 5 MST untuk perlakuan pengolahan tanah konservasi (T1) memiiki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional yaitu 8,35 cabang primer.

Berdasarkan hasil penelitian pemberian konsorsium untuk jumlah cabang primer tertinggi pada 2 MST terdapat pada perlakuan 18g/kg benih (K3), tetapi pada 3, 4 dan 5 MST berturut-turut tertinggi pada perlakuan 12g/kg benih (K2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi pengolahan tanah dengan pemberian konsorsium mikroba untuk jumlah cabang primer berpengaruh tidak nyata. Jumlah cabang primer tertinggi pada 5 MST (8,60) terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium mikroba 12g/kg benih (T1K2) dan terendah (7,60) terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium 6g/kg benih (T2K1).

Jumlah Bintil Akar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah bintil akar (Tabel 3).

Tabel 3. Rataan jumlah bintil akar pada perlakuan olah tanah dan pemberian konsorsium mikroba

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 96 49,83 59,17 62 66,75

T2 96,17 106,67 100 98,67 100,38

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan tanah konvensional (T2) memiliki jumlah bintil akar tertinggi (100,38). Pada perlakuan pemberian konsorsium mikroba jumlah bintil akar tertingi dibandingkan dengan perlakuan yang lain terdapat pada perlakuan tanpa pemberian konsorsium mikroba atau kontrol (K0) (96,08) dan perlakuan pemberian konsorsium 18g/kg benih (K3) lebih baik dibandingkan dengan perlakuan 12g/kg benih (K2) lebih baik dibandingkan perlakuan 6g/kg benih (K1) .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dengan pemberian konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata, tetapi jumlah bintil akar tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (T2K1) yaitu sebesar 106,67 bintil .

Bobot Bintil Akar

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap bobot bintil akar (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan bobot bintil akar (g) pada perlakuan olah tanah dan konsorsium mikroba

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 0,76 0,61 0,64 0,70 0,68

T2 0,70 0,69 0,81 0,76 0,74

Rataan 0,73 0,65 0,73 0,73 0,71

Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot bintil akar pada perlakuan pengolahan tanah tertinggi terdapat pada pengolahan tanah konvensional (T2) (0,74 g). Sedangkan pada pemberian konsorsium mikroba bobot bintil akar tertinggi

terdapat pada perlakuan kontrol (K0), 12g/kg benih (K2) dan 18g/kg benih (K3) dengan jumlah yang sama yaitu 0,73 g dan terendah pada 6g/kg benih (K1) (0,65 g).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dan konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata, tetapi pada tabel dapat dilihat bahwa bobot bintil akar terberat pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium mikroba 12g/kg benih (T2K2) (0,81 g) dan terendah terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium 6g/kg benih (T1K1) (0,61 g).

Jumlah Bintil Akar Efektif

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah bintil akar efektif (Tabel 5).

Tabel 5. Rataan jumlah bintil akar efektif pada olah tanah dan konsorsium mikroba

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 77,00 41,50 50,17 56,17 56,21

T2 75,00 79,67 87,83 79,17 80,42

Rataan 76,00 60,58 69,00 67,67 68,31

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan pengolahan tanah, jumlah bintil akar efektif tertinggi terdapat pada pengolahan tanah konvensional (T2) (80,42). Sedangkan pada pemberian konsorsium mikroba, jumlah bintil akar efektif tertinggi pada perlakuan kontrol (K0) (76,00) dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, 12g/kg benih (K2) lebih baik dari 18g/kg benih (K3) lebih baik dari 6g/kg benih (K1).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dengan konsorsim mikroba terhadap jumlah bintil akar efektif berpengaruh tidak nyata, tetapi tertinggi pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium mikroba 12g/kg benih (T2K2) (87,83), sedangkan yang terendah pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (T1K1) (41,50).

Jumlah Ginofor Tidak Jadi Polong

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah ginofor tidak jadi polong (Tabel 6).

Tabel 6. Rataan jumlah ginofor tidak jadi polong pada olah tanah dan konsorsium mikroba

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 23,80 30,20 24,40 23,80 25,55

T2 23,40 25,80 24,87 23,13 24,30

Rataan 23,60 28,00 24,63 23,47 24,93

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada perlakuan pengolahan tanah terhadap jumlah ginofor tidak jadi polong tertinggi terdapat pada pengolahan tanah konservasi (25,55) (T1). Sedangkan pada pemberian konsorsium mikroba jumlah ginofor tidak jadi polong tertinggi pada perlakuan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (28,00) (K1), perlakuan 12g/kg benih (K2) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (K0) lebih tinggi dibandingkan dengan 18g/kg benih (K3) .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dengan pemberian konsorsium mikroba terhadap jumlah ginofor tidak jadi polong berpengaruh tidak nyata, tetapi jumlah ginofor tidak jadi polong tertinggi terdapat

pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (T1K1) (30,20) dan yang terendah pada perlakuan pengolahan tanah konvensional dengan pemberian konsorsium mikroba 18g/kg benih (T2K3) (23,15).

Jumlah Polong Per Tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah polong per tanaman (Tabel 7).

Tabel 7. Rataan jumlah polong per tanaman pada olah tanah dan konsorsium mikroba

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 22,70 24,67 21,20 20,33 22,07

T2 18,93 21,33 19,47 20,33 20,02

Rataan 20,50 23,00 20,33 20,33 21,04

Tabel 7 menunjukkan bahwa pengolahan tanah terhadap jumlah polong per tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi (T1) (22,07). Sedangkan pemberian konsorsium mikroba terhadap jumlah polong per tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (K1) (23,00), tanpa pemberian konsorsium mikroba/ kontrol (K0) lebih baik dibandingkan dengan 12g/kg benih (K2) dan 18 g/kg benih (K3).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dengan pemberian konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata, tetapi jumlah polong per tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservsi dengan pemberian konsorsium mikroba 6g/kg benih (T1K1) (24,67) dan yang

terendah terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konvensional tanpa pemberian konsorsium mikroba (T2K0) (18,93).

Bobot 100 Biji

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan tanah dan pemberian konsorsium berpengaruh tidak nyata terhadap bobot 100 biji (Tabel 8). Tabel 8. Rataan bobot 100 biji pada olah tanah dan konsorsium mikroba (g)

Olah Tanah Konsorsium Mikroba Rataan

K0 K1 K2 K3

T1 60,85 66,99 66,17 67,12 65,28

T2 66,88 62,09 65,41 63,16 64,39

Rataan 63,87 64,54 65,79 65,14 64,84

Tabel 8 menunjukkan bahwa pengolahan tanah terhadap bobot 100 biji tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi (T1) (65,28 g). Sedangkan pemberian konsorsium mikroba terhadap bobot 100 biji tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian konsorsium mikroba 12g/kg benih (K2) (65,79 g), 18g/kg benih (K3) lebih baik dibandingkan 6g/kg benih (K1) lebih baik dibandingkan dengan tanpa perlakuan atau kontrol (K0).

Hasil penelitian menunjukan bahwa interaksi antara pengolahan tanah dengan pemberian konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata, tetapi bobot 100 biji tertinggi terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi dengan pemberian konsorsium 18g/kg benih (T1K3) (66,99 g) dan terendah terdapat pada perlakuan pengolahan tanah konservasi tanpa pemberian konsorsium mikroba (T1K0) (60,85 g).

Pembahasan

Pertumbuhan dan Produksi kacang tanah (Arachis hypogea L.) Terhadap Pengolahan Tanah

Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan pengolahan tanahberpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah bintil akar, bobot bintil akar, jumlah bintil akar efektif, jumlah ginofor tidak jadi polong, jumlah polong per tanaman, dan bobot 100 biji.Hal ini disebabkan oleh faktor cuaca yan berubah-ubah dengan kondisi hujan dan kemudian kering (Lampiran 6.) sehingga berbagai sistem pengolahan tanah tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini sesuai dengan literatur Sarlin, et al (2013) yang menyatakan bahwa faktor hujan dan penerimaan cahaya tidak efektif sehingga berbagai pengolahan tanah dan waktu penyiangan tidak memberikan pengaruh nyata pada tinggi tanaman kacang tanah.

Namun demikian, perlakuan olah tanah konservasi menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada tinggi tanaman terlihat pada pengamatan 4 MST (16,11 cm), jumlah cabang primer (8,35), jumlah ginofor tidak jadi polong (25,55), jumlah polong per tanaman (22,07), dan bobot 100 biji (65,28 g) dibandingkan dengan olah tanah konvensional. Hal ini disebabkan pengolahan tanah konservasi dapat mengurangi tingkat erosi dan penguapan air sehingga lebih banyak air yang tersimpan di akar dan membentuk permukaan tanah yang kasar dan bergulud dengan ditutupi oleh sisa-sisa tanaman, sebaiknya olah tanah konvensional lebih banyak air yang hilang. Hal ini sesuai dengan literatur Cibro (2008) yang menyatakan bahwa pengolahan tanah mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif yaitu jumlah cabang primer, Endriani (2010) menambahkan bahwa olah

tanah konservasi dapat mengurangi penguapan air sehingga air banyak tersimpan, infiltrasi meningkat dan penguapan menurun.

Pertumbuhan dan produksi Kacang Tanah (Arachis Hypogea L.) Terhadap Pemberian Konsorsium Mikroba

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan tanah berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah bintil akar, bobot bintil akar, jumlah bintil akar efektif, jumlah ginofor tidak jadi polong, jumlah polong per tanaman, dan bobot 100 biji. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang sudah tergolong baik dan kandungan unsur hara N, P,dan K sudah tergolong tinggi ketersediannya (Lampiran 5) sehingga pemberian konsorsium mikroba berpengaruh tidak nyata pada tanaman kacang tanah. Konsorsium mikroba yang mengandung beberapa jenis mikroba seperti Rhizobium sp., Bacillus sp. Azospirillium sp. yang masing-masing mikroba memiliki peran, karena kandungan N, P, dan K tanah yang cukup tinggi maka kacang tanah mendapatkan kebutuhan N, P maupun K dari tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Oktaviani, et al (2011) yang menyatakan bahwa mikroba yang terdapat pada konsorsium mikroba juga terdiri atas mikroba yang dapat membantu akar tanaman dalam penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman seperti fosfor. Mikroba yang berperan adalah Bacillus sp. dan Pseudomonas sp.

Namun demikian pada pemberian konsorsium 6g/kg benih memiliki hasil yang lebih tinggi pada pengamatan tinggi tanaman 4 MST (16,46 cm) dan jumlah polong per tanaman (23,00). Pada pemberian konsorsium 12g/kg benih memiliki hasil yang lebih tinggi pada pengamatan jumlah cabang primer 3 MST (4,90), 4 MST (7,43), 5 MST (8,54) dan pada bobot 100 biji (65,79 g). Hal ini disebabkan

karena pemberian konsorsium mikroba yang terdiri dari beberapa mikroba yang bersinergi dalam menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kacang tanah. Jenis mikroba yang berperan dalam pertumbuhan tanaman kacang tanah yang terdapat pada konsorsium mikroba antara lain Rhizobium sp. sebagai penambat N dari udara, Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. sebagai pelarut pospat dan penghasil fitohormon dan Ochrobactrum sp. sebagai pemacu pertumbuhan pembungaan. Hal ini didukung oleh Prihastuti (2008) yang menyatakan bahwa

Pseudomonas sp. yang dapat memacu pertumbuhan kecambah kedelai dan

mampu memproduksi fitohormon (IAA) dan bakteri endofitik yakni Ocrobactrum

pseudogrigmonense yang hidup didalam tanaman sebagai anti patogen.

Pada perlakuan tanpa pemberian konsorsium memiliki hasil yang lebih tinggi pada pengamatan jumlah bntil akar (96,08), dan jumlah bintil efektif (76,00). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah bintik akar terbentuk maka semakin banyak pula jumlah bintil akar efektif. Hal ini didukung oleh Oktaviani (2014) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah bintil akar efektif maka bobot bintil akar juga meningkat. Bintil akar efektif mengandung leghemoglobin yang berfungsi memfiksasi nitrogen dari udara.

Pertumbuhan dan produksi Kacang Tanah (Arachis Hypogea L.) Terhadap Pengolahan Tanah dan Pemberian Konsorsium Mikroba

Berdasarkan hasil penelitian interaksi antara pengolahan tanah dan pemberian konsorsium mikroba terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah bintil akar, bobot bintil akar, jumlah bintil akar fektif, jumlah ginofor tidak jadi polong, jumlah polong per tanaman, dan bobot 100 biji. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang lebih dominan dari faktor lainnya atau

kedua faktor tidak saling bersinergis satu sama lain untuk pertumbuhan dan produksi kacang tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pane dkk (2013) yang menyatakan bahwa kedua faktor perlakuan memberikan respon masing-masing sebagai faktor tunggal tanpa adanya interaksi. Didukung pula oleh Steel and Torrie (1993) yang menyatakan bila pengaruh-pengaruh sederhana suatu faktor berbeda lebih besar daripada yang dapat ditimbulkan oleh faktor kebetulan, beda respon ini disebut interaksi antara kedua faktor itu. Bila interaksinya tidak nyata, maka disimpulkan bahwa faktor-faktornya bertindak bebas satu sama lain. Walaupun secara statistik berpengaruh tidak nyata namun kombinasi dari masing- masing perlakuan memberikan dampak positif pada komponen pertumbuhan dan produksi.

Produksi kacang tanah pada pada luas lahan penelitian adalah sebesar 1556,03 g/105 m2 maka setara dengan 1,5 ton/ 1,05 ha. Berdasarkan angka tersebut, produksi kacang tanah pada luasan penelitian setara ataru lebih baik dari nilai rata-rata produksi pada umumnya. Hal ini didukung oleh literatur BPS Sumatera Utara (2011) yang menyatakan bahwa pada tahun 2007 produksi 20.329 ton dengan produktivitas 11,49 Kw/Ha, produksi pada tahun 2008 turun menjadi 19.316 ton dengan produktivitas 11,62 Kw/Ha, produksi kembali turun pada tahun tahun 2009 menjadi 16.771 ton dengan produktivitas 11,73 Kw/Ha, hal serupa terjadi pada tahun 2010 dengan produksi 16.449 ton dengan produktivitas 11,33 Kw/Ha. Sedangkan pada tahun 2011, hanya mencapai angka produksi sekitar 12.110 ton dengan produktivitas 10,61 Kw/Ha.

Dokumen terkait