• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Hasil

Riwayat Kasus Signalemen

• Nama hewan : Didi

• Jenis : Kucing

• Ras : Siamese (campuran) • Jenis kelamin : Jantan

• Umur : 6 bulan

• Nama penemu : Ageng Syarif Dwidzuriputra Anamnesa

Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik.

Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari.

Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya infausta terkait penyembuhan post-operasi.

Pemberian pakan tidak boleh banyak karena lambung yang penuh dapat menekan paru-paru sehingga sulit bernafas, Didi diberikan pakan yang berserat tinggi sehingga makanannya selalu dicampurkan agar-agar supaya defekasinya mudah dan juga setiap hari diberikan Dulcolax® sehari 1 tablet. Selama 2 minggu kucing tersebut diberikan makanan recovery untuk pencernaannya sehingga kondisinya mulai membaik. Kondisi Didi yang tidak memungkinkan

3 Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ yang sudah difiksasi kemudian dipotong dengan ketebalan kurang lebih 5 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan dan diberi label kode sampel. Potongan organ dibuat preparat histopatologi kemudian diberi pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) (Lampiran 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Riwayat Kasus Signalemen

• Nama hewan : Didi

• Jenis : Kucing

• Ras : Siamese (campuran) • Jenis kelamin : Jantan

• Umur : 6 bulan

• Nama penemu : Ageng Syarif Dwidzuriputra Anamnesa

Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik.

Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari.

Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya infausta terkait penyembuhan post-operasi.

Pemberian pakan tidak boleh banyak karena lambung yang penuh dapat menekan paru-paru sehingga sulit bernafas, Didi diberikan pakan yang berserat tinggi sehingga makanannya selalu dicampurkan agar-agar supaya defekasinya mudah dan juga setiap hari diberikan Dulcolax® sehari 1 tablet. Selama 2 minggu kucing tersebut diberikan makanan recovery untuk pencernaannya sehingga kondisinya mulai membaik. Kondisi Didi yang tidak memungkinkan

4

untuk mengalami persembuhan menyebabkan hewan tersebut akhirnya mati dalam keadaan kolaps.

Gejala Klinis

Kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika menunjukkan gejala klinis yang telah disebutkan sebelumnya yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Diagnosa untuk kasus penyakit ini diperkuat dengan bantuan radiografi (Gambar 1). Hasil roentgen menunjukkan bahwa batas diafragma sudah tidak terlihat dan posisi organ-organ bagian abdomen tampak berubah yaitu masuk ke dalam rongga thoraks sehingga menyebabkan marginasi menjadi tidak jelas.

Gambar 1 Radiogram daerah thoraks. (A) Pada kesan ventrodorsal jantung (panah) masih dapat dilihat meskipun marginasi antara batas thoraks dan abdomen sudah tidak jelas. (B) Pada kesan lateral organ rongga thoraks sudah tidak bisa dibedakan dengan organ dalam abdomen

5 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

Sebelum dilakukan tahap nekropsi, pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis dan bagian flank tampak kosong (Gambar 2). Selain itu terdapat kelainan yang menunjukkan bahwa palpebrae yang terlihat pucat disertai kemunculan membrana nictitans disertai exophthalmos dan pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3).

Gambar 2 Tubuh kucing sebelum dilakukan nekropsi terlihat bahwa bentuk punggung cekung ke atas atau kiposis (panah a) dan bagian flank terlihat kosong (panah b)

Gambar 3 Kondisi kepala kucing pasca kematian menunjukkan wajah kucing tampak kurus (tirus) disertai keadaan mata yang mengalami exophthalmus (panah a) disertai dengan kemunculan membrana nictitans dan permukaan palpebrae yang pucat (panah b), selain itu mukosa hidung mengalami sianosis (panah c)

6

Setelah rongga thoraks dibuka, terlihat adanya perubahan situs viserum yaitu adanya perpindahan usus halus dan sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks dari rongga abdomen yang menyebabkan sebagian usus tersebut mengalami sianosis (Gambar 4). Rongga thoraks terlihat berisi cairan transudat berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks. Paru-paru nampak mengalami perubahan akibat penekanan yang dapat diduga mengalami atelectasis dan terdapat lesio pneumonia. Sedangkan jantung mengalami kongesti hingga bagian aorta (Gambar 5). Sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks mengalami perubahan seperti kongesti yang disertai dengan adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ yang biasa disebut dengan rib impressions (Gambar 6). Selain mengalami hidrothoraks, dapat dilihat juga bahwa kucing ini mengalami hemothoraks (Gambar 7).

Gambar 4 Perpindahan sebagian besar usus dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks juga terdapat lesio sianosis pada sebagian usus (tanda panah)

Gambar 5 Akumulasi cairan terdapat di rongga thoraks (panah a) yang disertai dengan sebagian paru-paru yang mengalami atelektasis disertai lesio pneumonia pada lobus cranial (panah b) dan jantung mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (panah c)

7

Gambar 6 Hati mengalami kongesti yang disertai dengan rib impression (panah)

Gambar 7 Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks (hemothoraks)

Pada daerah abdomen yang seharusnya dibatasi oleh diafragma yang utuh, namun diafragma tidak tumbuh sempurna disertai tidak ditemukannya jaringan ikat yang menandakan bahwa diafragma tersebut telah mengalami perlukaan akibat trauma. Selain itu, dapat diduga kelainan ini ada sejak lahir (anomali kongenital) yaitu diafragma kira-kira hanya tumbuh seperempat bagian menutupi daerah abdomen (Gambar 8). Ginjal mengalami kongesti yang jelas (Gambar 9) dan untuk usus terlihat bahwa pembuluh darahnya juga mengalami dilatasi dan kongesti (Gambar 10).

8

Gambar 8 Diafragma yang tidak utuh (tanda panah), tidak sempuna

Gambar 9 Kongesti pada ginjal dengan pembuluh darah terlihat jelas (tanda panah)

Gambar 10 Kongesti disertai dengan dilatasi pembuluh darah daerah mesenterium usus terlihat jelas (tanda panah)

9 Bagian limpa yang telah disisihkan dari lambung diduga mengalami atrofi (Gambar 11). Selain limpa, penyisihan organ juga dilakukan pada jantung dan otak. Badan jantung normal hanya memiliki satu buah apeks, lain halnya dengan temuan organ jantung pada kucing ini yang terlihat memiliki dua apeks setelah diinsisi pada sulcus longitudinalis terlihat penebalan disertai dilatasi pada dinding otot jantung (Gambar 12 dan 13). Otak yang telah diambil dari kepala mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (Gambar 14).

Gambar 11 Limpa yang mengalami atrofi

Gambar 12 Jantung memiliki dua buah apeks (tanda panah)

10

Gambar 14 Kongesti pada otak terlihat jelas (tanda panah) Pengamatan Histopatologi (HP)

Pengamatan HP dilakukan untuk melihat lesio lebih detail pada jaringan organ yang setelah sebelumnya dilakukan pengamatan PA.

Jantung

Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti sehingga terjadi edema (Gambar 15). Pada jaringan jantung yang ditandai dengan bertambahnya jarak atau lebar antar serabut otot akibat edema (Gambar 15 dan 16) selain itu terjadi degenerasi hidropis pada otot jantung (Gambar 15 dan 16).

Gambar 15 Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti (tanda panah) yang disertai edema dengan adanya degenerasi sel otot jantung, Do= degenerasi otot jantung, Edm= edema, pewarnaan HE

11

Gambar 16 Jaringan pada otot jantung mengalami degenerasi hidropis; akumulasi cairan di antara sel menyebabkan susunan sel menjadi tidak beraturan, pewarnaan HE

Paru-paru

Lain halnya dengan organ paru-paru yang tidak hanya mengalami atelektasis saja namun juga terdapat berbagai macam lesio lainnya bila diamati HP organ tersebut. Atelektasis disertai kongesti dapat terlihat jelas keadaannya (Gambar 17) diikuti dengan keadaan emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19), bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti disertai dengan adanya hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada bronkhus (Gambar 21), infiltrasi sel-sel plasma (Gambar 22), penebalan septum interalveolar (Gambar 23), dan hemoragi yang disertai infiltrasi hemosiderofag (Gambar 24).

12

Gambar 17 Jaringan paru-paru yang mengalami atelektasis ditandai dengan pengkerutan pada daerah alveoli dan disertai kongesti pada pembuluh darah di daerah sekitarnya, Atl= atelektasis, Kgs= kongesti, pewarnaan HE

Gambar 18 Jaringan paru-paru yang mengalami emfisema ditandai dengan adanya perluasan lumen alveoli dan disertai kongesti pada pembuluh darah di daerah sekitarnya, Emf= emfisema, Kgs= kongesti, pewarnaan HE

13

Gambar 19 Jaringan paru-paru yang mengalami edema ditandai dengan adanya akumulasi cairan pada lumen alveoli dan terjadi infiltrasi sel radang pada jaringan paru-paru, Edm= edema, pewarnaan HE

Gambar 20 Eksudat (tanda panah) dalam lumen bronkhiolus dan infiltrasi sel radang yang didominasi oleh limfosit dan makrofag pada epitel bronkhiolus jaringan sekitarnya merupakan penanda terjadinya peradangan (bronkhiolitis), pewarnaan HE

14

Gambar 21 Hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada jaringan paru-paru (panah a) yang disertai kongesti pada pembuluh darah (panah b), pewarnaan HE

Gambar 22 Ditemukan sel plasma (panah hitam) pada jaringan paru-paru yang mengalami lesio dan sel radang lain yang didominasi oleh limfosit (panah biru) dan makrofag (panah kuning), Kgs= kongesti, pewarnaan HE

15

Gambar 23 Penebalan septum interalveolaris pada jaringan paru-paru, Psi= penebalan septum interalveolaris yang diisi oleh sejumlah besar sel radang yaitu makrofag dan limfosit menandakan pneumonia, pewarnaan HE

Gambar 24 Hemosiderin dan hemosiderofag/ heart failure cells (dalam lingkaran) pada jaringan paru-paru yang mengalami hemoragi, pewarnaan HE

16 Hati

Perubahan HP pada organ hati yang tampak mencolok adalah kongesti. Akibat kongesti tersebut hati membengkak dan terjadi penekanan tulang rusuk pada organ yang meninggalkan cetakan tulang rusuk (rib impression). Rib impression dapat memicu adanya kejadian degenerasi pada sel-sel hati (hepatosit). Kongesti terjadi pada regio porta, vena sentralis (Gambar 25), dan sinusoid yang disertai adanya degenerasi hepatosit (Gambar 26).

Gambar 25 Kongesti pada pembuluh darah hati, pewarnaan HE. (A) Kongesti pada regio porta hati (panah a). (B) Sinusoid hati meluas berisi sel darah merah (panah b)

17

Gambar 26 Degenerasi lemak disertai nekrosa (tanda panah) pada hepatosit, pewarnaan HE

Limpa

Limpa yang mengalami atrofi dapat dilihat lebih jelas keadaan jaringannya pada pengamatan HP. Lesio yang terjadi adalah deplesi folikel yaitu berkurangnya populasi limfosit pada pulpa putih limpa (Gambar 27), hemoragi (Gambar 28), jarak trabekula tampak semakin berdekatan pada bagian medula limpa (Gambar 29), dan kongesti yang disertai hipertrofi dinding pembuluh darah (Gambar 30).

18

Gambar 27 Folikel pada limpa mengalami deplesi yang ditandai dengan berkurangnya jumlah sel dalam di dalamnya (dalam lingkaran), pewarnaan HE

Gambar 28 Hemoragi (dalam lingkaran) pada pulpa putih ditandai dengan sel-sel darah yang keluar dari pembuluh darah beredar ke dalam jaringan pulpa putih limpa, pewarnaan HE

19

Gambar 29 Trabekula beserta ellipsoid (tanda panah) tampak aktif ditandai dengan jumlahnya yang bertambah dalam jaringan medula limpa, pewarnaan HE

Gambar 30 Kongesti pada pulpa merah limpa disertai hipertrofi dinding pembuluh darah, pewarnaan HE. (A) Kongesti pada sinusoid (panah a) dan pembuluh darah limpa menebal (panah b).

20

Limfonodus

Apabila dilihat secara utuh limfonodus tidak dapat menunjukkan lesio yang mudah dikenal oleh karena itu dilakukan pengamatan HP. Lesio yang dapat terlihat antara lain deplesi folikel limfoid (Gambar 31), dan kongesti (Gambar 32).

Gambar 31 Deplesi folikel limfoid pada limfonodus (panah a) dan keberadaan folikel limfoid yang sudah hilang akibat deplesi (panah b) disertai adanya kongesti pada bagian korteks, pewarnaan HE

21

Gambar 32 Kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada bagian medula limfonodus, pewarnaan HE

Ginjal

Pengamatan PA pada ginjal menunjukkan adanya kongesti yang jelas pada pembuluh darahnya namun tidak hanya itu pada pengamatan HP. Lesio yang ditemukan yaitu mikrokista pada korteks yang disertai dilatasi tubulus dan glomerulus pada jaringan tersebut (Gambar 33), lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin, kongesti, degenerasi tubulus distal dan proksimal, penebalan dinding pembuluh darah (Gambar 34), degenerasi hidropis dan degenerasi lemak jelas terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel radang pada glomerulus dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus yang sudah nekrosa (Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan pembuluh darah yang sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada medula disertai jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar 38).

22

Gambar 33 Mikrokista terlihat pada bagian korteks disertai adanya perubahan pada jaringan yaitu dilatasi tubulus (panah a) dan glomerulus (panah b), Mkst= mikrokista, pewarnaan HE

Gambar 34 Keadaan korteks ginjal lebih dalam lagi terdapat endapan hyalin pada interstisium (panah a), degenerasi tubulus distal (panah b), kongesti (panah c), (degenerasi tubulus proksimal (panah d), dan dinding pada pembuluh darah mengalami penebalan (panah e), pewarnaan HE

23

Gambar 35 Degenerasi hidropis (panah a) dan degenerasi lemak (panah b) pada tubulus terjadi, pewarnaan HE

Gambar 36 Infiltrasi sel radang yang didominasi limfosit pada glomerulus dan tubulus (panah a) disertai endapan hyalin dalam tubulus yang sudah mengalami nekrosa (panah b), pewarnaan HE

24

Gambar 37 Nekrosa pada sebagian jaringan tubulus (panah a) dan salah satu pembuluh darah pada jaringan sangat berdilatasi (panah b), pewarnaan HE

Gambar 38 Kongesti pada medula ginjal (dalam lingkaran) yang dikelilingi oleh tubulus yang sudah berdegenerasi akibat edema pada sekitar daerah tersebut, pewarnaan HE

25 Otak

Lesio yang sampai ke otak menandakan bahwa kucing ini telah menderita hernia diafragmatika yang kronis. Lesio yang dapat ditemukan pada jaringan otak dalam pengamatan HP antara lain degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40), kongesti (Gambar 41), edema perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia (Gambar 43), dan malacia pada jaringan otak (Gambar 44).

Gambar 39 Perubahan bentuk neuron menjadi segitiga (panah a) dan neuron yang mengalami nekrosa tanpa disertai respon sel glia di sekitarnya (apoptosis) (panah b), pewarnaan HE

26

Gambar 40 Reaksi sel-sel glia/ astrosit (gliosis) terhadap tiap sel neuron yang mengalami nekrosa terjadi dalam jaringan cerebrum (dalam lingkaran), pewarnaan HE

Gambar 41 Pada cerebellum (A) terdapat kongesti meningen (panah a) dan kongesti yang disertai edema perivaskular (panah b). Pada cerebrum (B) kongesti yang disertai edema submeningen (panah c) dan kongesti yang disertai edema perivaskular, pewarnaan HE

27

Gambar 42 Edema perivaskular yang disertai kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada jaringan cerebrum, pewarnaan HE

Gambar 43 Infiltrasi sel-sel mikroglia hampir menyebar pada jaringan cerebrum (tanda panah), pewarnaan HE

28

Gambar 44 Malacia pada jaringan medulla cerebellum, pewarnaan HE. (A) Jaringan cerebellum yang mengalami malacia (dalam lingkaran). (B) Pembesaran jaringan cerebellum yang mengalami malacia (tanda panah)

Pembahasan

Gejala Klinis

Anamnesa yang telah didapat menyatakan kucing mengalami gejala klinis seperti anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Gejala klinis yang ditimbulkan sesuai dengan Catcoot dan Smithcors (1996) yang mengatakan bahwa penyakit ini menimbulkan gejala klinis termasuk dispnoe dan terhambatnya kerja jantung. Sedangkan menurut Ettinger (1975) kejadian hernia diafragmatika dapat menimbulkan gejala disphagia. Anoreksia dapat disebabkan salah satunya oleh disphagia yang dapat mungkin terjadi. Konstipasi terjadi akibat adanya perpindahan letak organ saluran pencernaan. Hal tersebut dapat sampai mempengaruhi penyaluran makanan yang seharusnya normal menjadi lebih lambat dan lama-kelamaan makanan yang sudah tercerna dalam usus besar seakan tertahan dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk pengeluarannya.

Selain itu radiografi dilakukan untuk memperkuat diagnose. Hasil menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan marginasi antara peletakan organ pada rongga thoraks dan abdomen dalam tubuh kucing (Gambar 1). Menurut Kealy et al. (2011), ciri-ciri utama hewan yang mengalami hernia diafragmatika bila diamati secara radiologi antara lain: (1) bagian dari saluran pencernaan seperti lambung, usus halus, usus besar dapat terpindah letaknya lebih cranial masuk ke dalam rongga thoraks, (2) terdapat peningkatan opasitas pada rongga thoraks, (3) batas garis diafragma terlihat samar-samar tergantung lokasi celah/ robekan pada

29 diafragma, (4) apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks. Secara umum hal tersebut sesuai dengan radiogram namun untuk poin ke-4 dapat dibuktikan kesesuaiannya pada saat pengamatan patologi anatomi.

Keadaan Luar Tubuh

Pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis disertai bagian flank yang tampak kosong (Gambar 2). Menurut Jubb et al. (2006), kiposis merupakan pertumbuhan abnormal/ displasia pada tulang belakang yang menyebabkan bagian dorsal tubuh mengalami kelengkungan. Selain itu dapat diduga juga bahwa kiposis merupakan kelainan yang merupakan bawaan sejak hewan dalam masa fetus yang terbentuk akibat massa organ abdomen yang tertahan dalam rongga thoraks. Sedangkan usus halus yang biasa menempati daerah flank telah terpindah masuk ke dalam rongga thoraks akibat hernia sehingga menyebabkan flank tampak kosong.

Kelainan lain menunjukkan wajah kucing terlihat kurus (tirus) akibat anoreksia yang disertai kemunculan membrana nictitans disertai keadaan palpebrae yang terlihat pucat dan exophthalmos. Pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3). Wajah kucing yang terlihat tirus sebagai penanda bahwa kucing ini mengalami kaheksia yang merupakan dampak anoreksia yang telah diderita oleh kucing sebelum kematian. Palpebrae yang tampak pucat merupakan akibat dari anemia yang dapat disebabkan oleh terhambatnya kerja jantung, hal ini sesuai dengan pernyataan Catcoot dan Smithcors (1996) bahwa gejala klinis yang ditimbulkan dari hernia diafragmatika antara lain dispnoe dan terhambatnya kerja jantung.

Membrana nictitans yang muncul dapat diduga sebagai respon tubuh terhadap keadaan kucing yang mengalami dehidrasi berat. Sedangkan pada bola mata yang mengalami exophthalmus diduga disebabkan oleh kegagalan sistem kardiovaskular sebagai akibat terhambatnya kerja jantung karena menurut Sorden dan Watts (1996), apabila terdapat kejadian exophthalmus unilateral yang tidak jelas terdapat trombus, benda asing atau tumor, bukti trauma, maupun edema pada daerah orbital maka hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung bagian kanan yang dapat dihubungkan dengan kejadian myopathi pada otot jantung.

Mukosa hidung yang mengalami sianosis merupakan pertanda bahwa darah yang beredar kurang oksigen. Hemoglobin yang mengikat oksigen seperti darah dalam arteri akan berwarna merah yang secara langsung akan mewarnai kulit berpigmen dan jaringan menjadi merah muda, sebaliknya apabila hemoglobin tidak mengikat oksigen seperti darah dalam vena lebih banyak berwarna kebiruan, namun apabila darah yang dialirkan tidak mengandung cukup oksigen maka jaringan akan terlihat berwarna kebiruan (McGavin dan Zachary 2007). Sianosis yang terjadi dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi pada kucing ini yaitu dispnoe.

Keadaan Dalam Tubuh

Bagian thoraks hingga abdomen memperlihatkan adanya perpindahan usus halus dan sebagian usus besar serta sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks dari rongga abdomen (Gambar 4). Lambung terlihat dalam posisi dan bentuk yang normal, namun sebagian dari usus halus dan hati jika dilihat dari

30

posisinya memicu adanya penekanan terhadap vena cava caudal. Kondisi ini mempengaruhi usus halus yang mengalami sianosis. Menurut King (2004), aliran darah pada vena cava caudal yang tertekan akan mengalami penurunan sehingga dapat menyebabkan nekrosa pada lambung dan usus.

Rongga thoraks terlihat berisi cairan berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks disertai dengan adanya kongesti yang jelas pada bagian jantung dan paru-paru yang terlihat mengalami atelektasis (Gambar 5). Hidrothoraks dapat terjadi akibat hipoproteinemia dan gangguan sirkulasi di dalam tubuh. Menurut Bellah (2005), hidrothoraks dapat terjadi apabila hernia diafragmatika bersifat kronis atau bisa juga akibat dari penyakit yang lain. Dalam kasus ini tidak ditemukannya lesio edema umum seperti anasarca dan ascites sehingga kemungkinan kejadian hidrothoraks pada kucing ini disebabkan keadaan gangguan sirkulasi pada tubuh.

Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks, dapat diduga selain mengalami hidrothoraks kucing ini juga mengalami hemothoraks (Gambar 7). Hemoragi dapat terjadi per rhexis atau diapedesis pada pembuluh darah organ dan menurut lokasi hemoraginya terbagi beberapa jenis hemoragi yang salah satunya adalah pada rongga thoraks yang disebut dengan hemothoraks (Chauhan 2007). Selain itu menurut Jubb et al. (2006), kejadian hemothoraks dapat disebabkan oleh keadaan hidrothoraks yang kronis karena dapat memicu pembuluh darah papila pada pleura terisi cairan hingga pecah bersama darah di dalam rongga thoraks.

Diafragma terlihat tidak utuh dan tidak menutup sempurna (Gambar 8). Bagian diafragma yang ditemukan adalah yang terletak melekat pada bagian dorsal batas antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Sedangkan pada bagian ventralnya menunjukkan pengeriputan akibat tidak adanya perlekatan otot. Ketebalan otot diafragma bervariasi yaitu bagian tengah tampak lebih tipis, namun tidak ditemukan bekas sobek ataupun luka trauma dan kondisi costae dan otot intercostalis terlihat normal. Pada diafragma juga tidak ditemukan jejak persembuhan dari luka trauma seperti cicatrix (pembentukan jaringan ikat sesudah

Dokumen terkait