• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

M JAMI RAMADHAN. Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH.

Seekor kucing ditemukan dalam keadaan yang kritis. Gejala klinis yang terlihat antara lain adanya perlukaan pada kulit, exophtalmus, anoreksia, kaheksia, dispnoe, anemia, konstipasi dan dehidrasi berat. Pengobatan telah dilakukan namun kucing gagal mengalami persembuhan. Radiografi menunjukkan garis diafragma tidak terlihat disertai adanya perpindahan organ abdomen ke dalam rongga thoraks. Pada pengamatan patologi anatomi terlihat bahwa diafragma mengalami kelainan. Secara umum lesio kongesti dan yang menyertainya ditemukan pada pengamatan histopatologi pada jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa, linfonodus, dan otak. Lesio pada beberapa organ tersebut muncul akibat perpindahan saluran pencernaan dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks karena adanya tekanan negatif. Oleh sebab itu jantung dan paru-paru tidak dapat bekerja normal yang memicu kematian akibat gagal jantung kongestif.

Kata kunci: hernia diafragmatika pada kucing, penyakit kucing, patologi kucing, anomali diafragma

ABSTRACT

M JAMI RAMADHAN.Case Report of Diaphragmatic Hernia in Cat. Supervised by SRI ESTUNINGSIH.

A cat was found with several critical conditions such as skin ulceration, exophthalmus, anorexia, cachexia, dyspnoe, anemia, constipation, and severe dehydration. The cat was well-treated with some medications but it failed. Radiographs show that diaphragm line was not seen with some abdominal contents displacement into the thoracic cavity. Necropsy study revealed many lesions in characteristic of congenital diaphragmatic hernia due to diaphragm anomalies. Histopathologically, congestion and other lesions were found in heart, lungs, liver, kidneys, spleen, lymph node, and brain. Those lesions were found due to negative pressure effect which moved the intestine and a part of liver into the thoracic cavity. Therefore, the heart and lungs could not work normal then consequence of the death was caused by congestive heart failure.

(2)

STUDI KASUS PATOLOGI

HERNIA DIAFRAGMATIKA PADA KUCING

M. JAMI RAMADHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Hernia Diafragmatika pada Kucing adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(5)

ABSTRAK

M JAMI RAMADHAN. Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH.

Seekor kucing ditemukan dalam keadaan yang kritis. Gejala klinis yang terlihat antara lain adanya perlukaan pada kulit, exophtalmus, anoreksia, kaheksia, dispnoe, anemia, konstipasi dan dehidrasi berat. Pengobatan telah dilakukan namun kucing gagal mengalami persembuhan. Radiografi menunjukkan garis diafragma tidak terlihat disertai adanya perpindahan organ abdomen ke dalam rongga thoraks. Pada pengamatan patologi anatomi terlihat bahwa diafragma mengalami kelainan. Secara umum lesio kongesti dan yang menyertainya ditemukan pada pengamatan histopatologi pada jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa, linfonodus, dan otak. Lesio pada beberapa organ tersebut muncul akibat perpindahan saluran pencernaan dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks karena adanya tekanan negatif. Oleh sebab itu jantung dan paru-paru tidak dapat bekerja normal yang memicu kematian akibat gagal jantung kongestif.

Kata kunci: hernia diafragmatika pada kucing, penyakit kucing, patologi kucing, anomali diafragma

ABSTRACT

M JAMI RAMADHAN.Case Report of Diaphragmatic Hernia in Cat. Supervised by SRI ESTUNINGSIH.

A cat was found with several critical conditions such as skin ulceration, exophthalmus, anorexia, cachexia, dyspnoe, anemia, constipation, and severe dehydration. The cat was well-treated with some medications but it failed. Radiographs show that diaphragm line was not seen with some abdominal contents displacement into the thoracic cavity. Necropsy study revealed many lesions in characteristic of congenital diaphragmatic hernia due to diaphragm anomalies. Histopathologically, congestion and other lesions were found in heart, lungs, liver, kidneys, spleen, lymph node, and brain. Those lesions were found due to negative pressure effect which moved the intestine and a part of liver into the thoracic cavity. Therefore, the heart and lungs could not work normal then consequence of the death was caused by congestive heart failure.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

STUDI KASUS PATOLOGI

HERNIA DIAFRAGMATIKA PADA KUCING

M. JAMI RAMADHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing Nama : M. Jami Ramadhan

NIM : B04080178

Disetujui oleh

Dr drh Sri Estuningsih, MSi APVet Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah studi kasus patologi penyakit pada hewan, dengan judul Studi Kasus Patologi Hernia Diafragmatika pada Kucing.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Sri Estuningsih, MSi APVet selaku pembimbing skripsi atas ilmu, waktu, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang telah diberikan selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, kedua kakak, dan keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang yang mendukung dan membantu penulis dalam menyusun skripsi: Mbak Kiki, Bibi, Pak Sholeh, dan seluruh staf Bagian Patologi FKH IPB. Sahabat-sahabat tersayang di Jakarta (Astriany, Niken, Dina D., Nopi, Danya, Ken, Ikhsan, Lia, Arief, Phinanthie, Titis, Teresa, Shadu, Tika), Paguyuban tersayang (Intan, Mutia, Susi, Ridwan, Tegar, Abdillah, Hafiz, Aji, Friska, Fatma, Farah, Cupu, Widia, Awan, Chandra, Rizal, Dian), Tim Kesekretariatan Kurban & NZC 2012 (Afdi, Zhaviera, Rahmah, Made, Khansaa, Marlina), Desrayni, Bolas, dan GPC atas semangat, bantuan, nasihat, dan dukungannya, asisten praktikum Patsis II (2012), serta seluruh sahabat Avenzoar dan nama-nama yang tidak bisa penulis cantumkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR iii

PENDAHULUAN 1

Pembuatan Preparat Histopatologi 3

(11)

Lesio pada Organ Jantung

Paru-paru Hati Ginjal Usus Limpa Limfonodus Otak

Patogenesis SIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Radiogram daerah thoraks 4

2 Patologi anatomi tubuh kucing sebelum nekropsi 5

3 Patologi anatomi keadaan wajah kucing 5

4 Patologi anatomi organ abdomen dalam rongga thoraks 5 Patologi anatomi organ rongga thoraks

6 Patologi anatomi hati

7 Patologi anatomi keadaan rongga thoraks 8 Patologi anatomi diafragma

9 Patologi anatomi ginjal 10 Patologi anatomi usus halus 11 Patologi anatomi limpa

12 Patologi anatomi jantung sebelum diinsisi 13 Patologi anatomi jantung setelah diinsisi 14 Patologi anatomi otak

15 Histopatologi pembuluh darah jantung 16 Histopatologi otot jantung

17 Histopatologi atelektasis pada jaringan paru-paru

5 18 Histopatologi emfisema pada jaringan paru-paru

19 Histopatologi edema pada jaringan paru-paru 20 Histopatologi bronkhiolitis

21 Histopatologi hiperplasia BALT

22 Histopatologi infiltrasi sel-sel radang disertai sel plasma pada jaringan paru-paru

23 Histopatologi penebalan septum interalveolaris

24 Histopatologi hemoragi disertai hemosiderin dan heart failure cells

25 Histopatologi kongesti pada jaringan hati 26 Histopatologi sel-sel hepatosit

27 Histopatologi deplesi folikel pada jaringan limpa 28 Histopatologi hemoragi pada pulpa putih limpa

(13)

29 Histopatologi trabekula dan ellipsoid pada jaringan limpa 30 Histopatologi kongesti pada jaringan pulpa merah limpa 31 Histopatologi deplesi folikel limfoid pada jaringan limfonodus 32 Histopatologi kongesti pembuluh darah pada jaringan

limfonodus

33 Histopatologi mikrokista pada bagian korteks jaringan ginjal 34 Histopatologi korteks ginjal

35 Histopatologi degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada tubulus

36 Histopatologi infiltrasi sel radang dan endapan hyalin pada tubulus

37 Histopatologi nekrosa tubuli dan pembuluh darah yang sangat berdilatasi pada jaringan ginjal

38 Histopatologi medula ginjal

39 Histopatologi perubahan bentuk dan apoptosis pada neuron 40 Histopatologi gliosis pada jaringan cerebrum

41 Histopatologi kongesti dan edema pada jaringan cerebrum dan cerebellum

42 Histopatologi edema perivaskular pada jaringan cerebrum 43 Histopatologi infiltrasi sel-sel mikroglia pada jaringan cerebrum 44 Histopatologi malacia pada jaringan cerebellum

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang umum dipelihara oleh manusia. Kematian pada hewan ini dapat terjadi akibat beberapa hal antara lain malformasi kongenital, trauma dan penyakit baik infeksius maupun noninfeksius termasuk tumor. Trauma dapat terjadi secara disengaja ataupun tidak disengaja pada hewan dan bisa menimbulkan adanya malformasi setelahnya. Sedangkan menurut PawPeds (2012), malformasi merupakan salah satu kelainan yang dapat diturunkan secara genetik dan juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor eksternal. Jika induk sakit atau terkena zat beracun selama kebuntingan maka dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan embrio.

Malformasi kongenital yang terjadi pada kucing sebenarnya jarang terjadi. Salah satu contoh kasus malformasi kongenital yang terjadi pada kucing adalah hernia diafragmatika. Diafragma adalah otot yang memisahkan organ abdomen dari jantung dan paru-paru. Udara dapat memasuki paru-paru karena adanya tekanan negatif pada rongga thoraks. Kelainan berupa hernia diafragmatika memungkinkan organ-organ abdomen seperti lambung, hati, dan usus masuk ke dalam rongga thoraks akibat adanya tekanan negatif. Organ-organ ini kemudian terpindah menempati rongga thoraks sehingga menekan paru-paru dan jantung sehingga sulit untuk memperluas lapangan paru-paru saat mengambil napas dan menghambat sirkulasi darah pada jantung.

Hernia diafragmatika umumnya dikenal dalam praktek hewan kecil dan dapat terjadi akibat trauma atau kelainan yang bersifat kongenital. Penyakit yang biasanya menyerang anjing dan kucing ini kebanyakan merupakan hasil dari trauma, terutama akibat kecelakan kendaraan bermotor. Lokasi dan ukuran kerobekan tergantung pada posisi asal hewan sesaat sebelum kecelakaan dan lokasi organ yang terkena (Fossum et al. 2005). Mengingat kasus hernia diafragmatika jarang terjadi maka studi kasus ini penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui lesio patologi pada beberapa organ interna baik abdomen maupun thoraks akibat penyakit hernia diafragmatika pada kucing.

Manfaat Penelitian

(15)

2

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dimulai dari bulan Juli sampai September 2012. Penelitian diawali dengan pemeriksaan patologi anatomi kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika kemudian organ yang mengalami lesio dijadikan sediaan histopatologi untuk diperiksa lebih lanjut. Pembuatan histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium Diagnostik Patologi dan Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut), xylol, Lithium karbonat, pewarna Hematoxillin Mayer, pewarna Eosin, parafin Histoplast®, dan Canada Balsam.

Alat

Alat yang digunakan adalah peralatan nekropsi, gelas objek, rak gelas objek, gelas penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, tissue embedding console Sakura®, mikrotom Spencer®, inkubator, mikroskop cahaya Olympus CH-1®, kamera digital, dan eye piece digital camera.

Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri dari nekropsi, pemeriksaan patologi anatomi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisa histopatologi. Lesio patologi anatomi dan histopatologi dianalisa secara deskriptif. Penyusunan patogenesa dilakukan melalui studi literatur.

Nekropsi

Kucing yang telah mati diamati mulai dari keadaan umum luar tubuhnya dengan memeriksa keadaan kulit dan rambut lalu keadaan mukosa lubang kumlah mata, telinga, dan anus. Hewan diletakkan dengan bagian dorsal menempel di atas meja untuk pelaksanaan teknik nekropsi (Lampiran 1).

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Kucing yang sudah dinekropsi diamati lesio dan abnormalitas lain dari jaringan eksterna serta organ interna. Semua lesio dan abnormalitas didokumentasi dengan kamera digital.

Fiksasi

(16)

3 Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ yang sudah difiksasi kemudian dipotong dengan ketebalan kurang lebih 5 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan dan diberi label kode sampel. Potongan organ dibuat preparat histopatologi kemudian diberi pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) (Lampiran 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

• Nama penemu : Ageng Syarif Dwidzuriputra Anamnesa

Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik.

Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari.

Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya infausta terkait penyembuhan post-operasi.

(17)

4

untuk mengalami persembuhan menyebabkan hewan tersebut akhirnya mati dalam keadaan kolaps.

Gejala Klinis

Kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika menunjukkan gejala klinis yang telah disebutkan sebelumnya yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Diagnosa untuk kasus penyakit ini diperkuat dengan bantuan radiografi (Gambar 1). Hasil roentgen menunjukkan bahwa batas diafragma sudah tidak terlihat dan posisi organ-organ bagian abdomen tampak berubah yaitu masuk ke dalam rongga thoraks sehingga menyebabkan marginasi menjadi tidak jelas.

(18)

5 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

Sebelum dilakukan tahap nekropsi, pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis dan bagian flank tampak kosong (Gambar 2). Selain itu terdapat kelainan yang menunjukkan bahwa palpebrae yang terlihat pucat disertai kemunculan membrana nictitans disertai exophthalmos dan pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3).

Gambar 2 Tubuh kucing sebelum dilakukan nekropsi terlihat bahwa bentuk punggung cekung ke atas atau kiposis (panah a) dan bagian flank terlihat kosong (panah b)

(19)

6

Setelah rongga thoraks dibuka, terlihat adanya perubahan situs viserum yaitu adanya perpindahan usus halus dan sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks dari rongga abdomen yang menyebabkan sebagian usus tersebut mengalami sianosis (Gambar 4). Rongga thoraks terlihat berisi cairan transudat berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks. Paru-paru nampak mengalami perubahan akibat penekanan yang dapat diduga mengalami atelectasis dan terdapat lesio pneumonia. Sedangkan jantung mengalami kongesti hingga bagian aorta (Gambar 5). Sebagian hati yang masuk ke dalam rongga thoraks mengalami perubahan seperti kongesti yang disertai dengan adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ yang biasa disebut dengan rib impressions (Gambar 6). Selain mengalami hidrothoraks, dapat dilihat juga bahwa kucing ini mengalami hemothoraks (Gambar 7).

Gambar 4 Perpindahan sebagian besar usus dan sebagian hati ke dalam rongga thoraks juga terdapat lesio sianosis pada sebagian usus (tanda panah)

(20)

7

Gambar 6 Hati mengalami kongesti yang disertai dengan rib impression (panah)

Gambar 7 Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks (hemothoraks)

(21)

8

Gambar 8 Diafragma yang tidak utuh (tanda panah), tidak sempuna

Gambar 9 Kongesti pada ginjal dengan pembuluh darah terlihat jelas (tanda panah)

(22)

9 Bagian limpa yang telah disisihkan dari lambung diduga mengalami atrofi (Gambar 11). Selain limpa, penyisihan organ juga dilakukan pada jantung dan otak. Badan jantung normal hanya memiliki satu buah apeks, lain halnya dengan temuan organ jantung pada kucing ini yang terlihat memiliki dua apeks setelah diinsisi pada sulcus longitudinalis terlihat penebalan disertai dilatasi pada dinding otot jantung (Gambar 12 dan 13). Otak yang telah diambil dari kepala mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (Gambar 14).

Gambar 11 Limpa yang mengalami atrofi

Gambar 12 Jantung memiliki dua buah apeks (tanda panah)

(23)

10

Gambar 14 Kongesti pada otak terlihat jelas (tanda panah) Pengamatan Histopatologi (HP)

Pengamatan HP dilakukan untuk melihat lesio lebih detail pada jaringan organ yang setelah sebelumnya dilakukan pengamatan PA.

Jantung

Pembuluh darah mengalami dilatasi berisi sel darah merah akibat kongesti sehingga terjadi edema (Gambar 15). Pada jaringan jantung yang ditandai dengan bertambahnya jarak atau lebar antar serabut otot akibat edema (Gambar 15 dan 16) selain itu terjadi degenerasi hidropis pada otot jantung (Gambar 15 dan 16).

(24)

11

Gambar 16 Jaringan pada otot jantung mengalami degenerasi hidropis; akumulasi cairan di antara sel menyebabkan susunan sel menjadi tidak beraturan, pewarnaan HE

Paru-paru

(25)

12

Gambar 17 Jaringan paru-paru yang mengalami atelektasis ditandai dengan pengkerutan pada daerah alveoli dan disertai kongesti pada pembuluh darah di daerah sekitarnya, Atl= atelektasis, Kgs= kongesti, pewarnaan HE

(26)

13

Gambar 19 Jaringan paru-paru yang mengalami edema ditandai dengan adanya akumulasi cairan pada lumen alveoli dan terjadi infiltrasi sel radang pada jaringan paru-paru, Edm= edema, pewarnaan HE

(27)

14

Gambar 21 Hiperplasia jaringan limfoid (BALT) pada jaringan paru-paru (panah a) yang disertai kongesti pada pembuluh darah (panah b), pewarnaan HE

(28)

15

Gambar 23 Penebalan septum interalveolaris pada jaringan paru-paru, Psi= penebalan septum interalveolaris yang diisi oleh sejumlah besar sel radang yaitu makrofag dan limfosit menandakan pneumonia, pewarnaan HE

(29)

16 Hati

Perubahan HP pada organ hati yang tampak mencolok adalah kongesti. Akibat kongesti tersebut hati membengkak dan terjadi penekanan tulang rusuk pada organ yang meninggalkan cetakan tulang rusuk (rib impression). Rib impression dapat memicu adanya kejadian degenerasi pada sel-sel hati (hepatosit). Kongesti terjadi pada regio porta, vena sentralis (Gambar 25), dan sinusoid yang disertai adanya degenerasi hepatosit (Gambar 26).

(30)

17

Gambar 26 Degenerasi lemak disertai nekrosa (tanda panah) pada hepatosit, pewarnaan HE

Limpa

(31)

18

Gambar 27 Folikel pada limpa mengalami deplesi yang ditandai dengan berkurangnya jumlah sel dalam di dalamnya (dalam lingkaran), pewarnaan HE

(32)

19

Gambar 29 Trabekula beserta ellipsoid (tanda panah) tampak aktif ditandai dengan jumlahnya yang bertambah dalam jaringan medula limpa, pewarnaan HE

(33)

20

Limfonodus

Apabila dilihat secara utuh limfonodus tidak dapat menunjukkan lesio yang mudah dikenal oleh karena itu dilakukan pengamatan HP. Lesio yang dapat terlihat antara lain deplesi folikel limfoid (Gambar 31), dan kongesti (Gambar 32).

(34)

21

Gambar 32 Kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada bagian medula limfonodus, pewarnaan HE

Ginjal

(35)

22

Gambar 33 Mikrokista terlihat pada bagian korteks disertai adanya perubahan pada jaringan yaitu dilatasi tubulus (panah a) dan glomerulus (panah b), Mkst= mikrokista, pewarnaan HE

(36)

23

Gambar 35 Degenerasi hidropis (panah a) dan degenerasi lemak (panah b) pada tubulus terjadi, pewarnaan HE

(37)

24

Gambar 37 Nekrosa pada sebagian jaringan tubulus (panah a) dan salah satu pembuluh darah pada jaringan sangat berdilatasi (panah b), pewarnaan HE

(38)

25 Otak

Lesio yang sampai ke otak menandakan bahwa kucing ini telah menderita hernia diafragmatika yang kronis. Lesio yang dapat ditemukan pada jaringan otak dalam pengamatan HP antara lain degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40), kongesti (Gambar 41), edema perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia (Gambar 43), dan malacia pada jaringan otak (Gambar 44).

(39)

26

Gambar 40 Reaksi sel-sel glia/ astrosit (gliosis) terhadap tiap sel neuron yang mengalami nekrosa terjadi dalam jaringan cerebrum (dalam lingkaran), pewarnaan HE

(40)

27

Gambar 42 Edema perivaskular yang disertai kongesti pembuluh darah (tanda panah) pada jaringan cerebrum, pewarnaan HE

(41)

28

Gambar 44 Malacia pada jaringan medulla cerebellum, pewarnaan HE. (A) Jaringan cerebellum yang mengalami malacia (dalam lingkaran). (B) Pembesaran jaringan cerebellum yang mengalami malacia (tanda panah)

Pembahasan

Gejala Klinis

Anamnesa yang telah didapat menyatakan kucing mengalami gejala klinis seperti anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dispnoe. Gejala klinis yang ditimbulkan sesuai dengan Catcoot dan Smithcors (1996) yang mengatakan bahwa penyakit ini menimbulkan gejala klinis termasuk dispnoe dan terhambatnya kerja jantung. Sedangkan menurut Ettinger (1975) kejadian hernia diafragmatika dapat menimbulkan gejala disphagia. Anoreksia dapat disebabkan salah satunya oleh disphagia yang dapat mungkin terjadi. Konstipasi terjadi akibat adanya perpindahan letak organ saluran pencernaan. Hal tersebut dapat sampai mempengaruhi penyaluran makanan yang seharusnya normal menjadi lebih lambat dan lama-kelamaan makanan yang sudah tercerna dalam usus besar seakan tertahan dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk pengeluarannya.

(42)

29 diafragma, (4) apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks. Secara umum hal tersebut sesuai dengan radiogram namun untuk poin ke-4 dapat dibuktikan kesesuaiannya pada saat pengamatan patologi anatomi.

Keadaan Luar Tubuh

Pengamatan setelah kematian memperlihatkan bahwa kucing mengalami kiposis disertai bagian flank yang tampak kosong (Gambar 2). Menurut Jubb et al. (2006), kiposis merupakan pertumbuhan abnormal/ displasia pada tulang belakang yang menyebabkan bagian dorsal tubuh mengalami kelengkungan. Selain itu dapat diduga juga bahwa kiposis merupakan kelainan yang merupakan bawaan sejak hewan dalam masa fetus yang terbentuk akibat massa organ abdomen yang tertahan dalam rongga thoraks. Sedangkan usus halus yang biasa menempati daerah flank telah terpindah masuk ke dalam rongga thoraks akibat hernia sehingga menyebabkan flank tampak kosong.

Kelainan lain menunjukkan wajah kucing terlihat kurus (tirus) akibat anoreksia yang disertai kemunculan membrana nictitans disertai keadaan palpebrae yang terlihat pucat dan exophthalmos. Pada hidung terlihat mengalami kebiruan atau sianosis (Gambar 3). Wajah kucing yang terlihat tirus sebagai penanda bahwa kucing ini mengalami kaheksia yang merupakan dampak anoreksia yang telah diderita oleh kucing sebelum kematian. Palpebrae yang tampak pucat merupakan akibat dari anemia yang dapat disebabkan oleh terhambatnya kerja jantung, hal ini sesuai dengan pernyataan Catcoot dan Smithcors (1996) bahwa gejala klinis yang ditimbulkan dari hernia diafragmatika antara lain dispnoe dan terhambatnya kerja jantung.

Membrana nictitans yang muncul dapat diduga sebagai respon tubuh terhadap keadaan kucing yang mengalami dehidrasi berat. Sedangkan pada bola mata yang mengalami exophthalmus diduga disebabkan oleh kegagalan sistem kardiovaskular sebagai akibat terhambatnya kerja jantung karena menurut Sorden dan Watts (1996), apabila terdapat kejadian exophthalmus unilateral yang tidak jelas terdapat trombus, benda asing atau tumor, bukti trauma, maupun edema pada daerah orbital maka hal ini mungkin disebabkan oleh kegagalan jantung bagian kanan yang dapat dihubungkan dengan kejadian myopathi pada otot jantung.

Mukosa hidung yang mengalami sianosis merupakan pertanda bahwa darah yang beredar kurang oksigen. Hemoglobin yang mengikat oksigen seperti darah dalam arteri akan berwarna merah yang secara langsung akan mewarnai kulit berpigmen dan jaringan menjadi merah muda, sebaliknya apabila hemoglobin tidak mengikat oksigen seperti darah dalam vena lebih banyak berwarna kebiruan, namun apabila darah yang dialirkan tidak mengandung cukup oksigen maka jaringan akan terlihat berwarna kebiruan (McGavin dan Zachary 2007). Sianosis yang terjadi dapat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi pada kucing ini yaitu dispnoe.

Keadaan Dalam Tubuh

(43)

30

posisinya memicu adanya penekanan terhadap vena cava caudal. Kondisi ini mempengaruhi usus halus yang mengalami sianosis. Menurut King (2004), aliran darah pada vena cava caudal yang tertekan akan mengalami penurunan sehingga dapat menyebabkan nekrosa pada lambung dan usus.

Rongga thoraks terlihat berisi cairan berwarna bening kekuningan yang menandakan bahwa kucing ini mengalami hidrothoraks disertai dengan adanya kongesti yang jelas pada bagian jantung dan paru-paru yang terlihat mengalami atelektasis (Gambar 5). Hidrothoraks dapat terjadi akibat hipoproteinemia dan gangguan sirkulasi di dalam tubuh. Menurut Bellah (2005), hidrothoraks dapat terjadi apabila hernia diafragmatika bersifat kronis atau bisa juga akibat dari penyakit yang lain. Dalam kasus ini tidak ditemukannya lesio edema umum seperti anasarca dan ascites sehingga kemungkinan kejadian hidrothoraks pada kucing ini disebabkan keadaan gangguan sirkulasi pada tubuh.

Gumpalan darah terlihat dalam rongga thoraks, dapat diduga selain mengalami hidrothoraks kucing ini juga mengalami hemothoraks (Gambar 7). Hemoragi dapat terjadi per rhexis atau diapedesis pada pembuluh darah organ dan menurut lokasi hemoraginya terbagi beberapa jenis hemoragi yang salah satunya adalah pada rongga thoraks yang disebut dengan hemothoraks (Chauhan 2007). Selain itu menurut Jubb et al. (2006), kejadian hemothoraks dapat disebabkan oleh keadaan hidrothoraks yang kronis karena dapat memicu pembuluh darah papila pada pleura terisi cairan hingga pecah bersama darah di dalam rongga thoraks.

Diafragma terlihat tidak utuh dan tidak menutup sempurna (Gambar 8). Bagian diafragma yang ditemukan adalah yang terletak melekat pada bagian dorsal batas antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Sedangkan pada bagian ventralnya menunjukkan pengeriputan akibat tidak adanya perlekatan otot. Ketebalan otot diafragma bervariasi yaitu bagian tengah tampak lebih tipis, namun tidak ditemukan bekas sobek ataupun luka trauma dan kondisi costae dan otot intercostalis terlihat normal. Pada diafragma juga tidak ditemukan jejak persembuhan dari luka trauma seperti cicatrix (pembentukan jaringan ikat sesudah penyembuhan luka). Hal ini menandakan kemungkinan besar diafragma tidak terbantuk sempurna sehingga dapat diduga diafragma mengalami anomali kongenital. Menurut Voges et al. (1997), sebagian besar kejadian hernia dapat terjadi akibat kelainan pada diafragma dan diperkirakan terjadi sebagai kelainan kongenital. Jaringan otot atau kolagennya tidak tumbuh antara pleura dan peritoneum secara sempurna sehingga diafragma tidak dapat memisahkan organ abdomen dari jantung dan paru-paru.

(44)

31 Lesio pada Organ

1. Jantung

Keadaan jantung secara makroskopis terlihat mengalami kongesti (Gambar 5) dan memiliki dua buah apeks (double apex) (Gambar 12). Kongesti yang terjadi pada jantung akibat adanya penyumbatan pada pembuluh darah yang tertekan oleh organ abdomen yang berpindah ke dalam rongga thoraks. Menurut Chauhan (2007), salah satu penyebab kongesti adalah penyumbatan pada pembuluh darah vena. Hal ini dapat memicu kejadian gagal jantung kongestif. Menurut McGavin dan Zachary (2007), gagal jantung kongestif biasanya diakibatkan berkurangnya efisiensi pemompaan darah secara bertahap terkait dengan peningkatan tekanan dan volume darah pada jantung. Akibatnya aliran darah ke jaringan perifer menurun dan terdapat akumulasi darah yang tertahan pada ruang jantung.

Selain itu penekanan pada jantung membuat badan jantung memiliki double apex. Kejadian hipertrofi ventrikel kiri jantung selalu disertai dilatasi pada lumen jantung kanan dan apabila terjadi pada bagian jantung sebelah kanan biasanya ditandai oleh pelebaran ukuran organ. Hal ini merupakan akibat dari lumen jantung kiri yang mengalami penyempitan (Rao 2010). Keadaan double apex terbentuk akibat kedua lumen baik kiri dan kanan bersamaan mengalami dilatasi sebelum mengalami kolaps. Menurut McGavin dan Zachary (2007), hipertrofi pada miokard dipicu oleh peningkatan tekanan pada jantung sedangkan dilatasi terjadi sebagai respon kompensasi jantung untuk meningkatkan cardiac output namun peregangan yang melampaui batas dapat menurunkan tekanan kontraktil sehingga kegagalan jantung terjadi. Insisi pada sulkus longitudinalis menunjukkan hipertrofi yang disertai dilatasi pada dinding otot ventrikel kiri jantung dan dilatasi pada lumen jantung kanan (Gambar 13). Apabila dilihat dari lebar lumennya maka jantung kanan yang lebih berdilatasi sehingga dapat diduga terjadi kegagalan jantung bagian kanan.

Pada histopatologi jantung ditemukan lesio kongesti dan edema disertai dengan degenerasi otot jantung (Gambar 15 dan 16). Edema yang terjadi merupakan akibat peningkatan tekanan hidrostatik pada vena yang mengalami kongesti sehingga cairan masuk ke ruang insterstisium jaringan otot jantung. Degenerasi otot jantung tersebut menurut Rao (2010) disebabkan hipertrofi yang membuat otot jantung berdegenerasi karena ukuran yang meningkat dari otot jantung membutuhkan pasokan nutrisi yang lebih namun tidak cukup disediakan oleh serat otot yang disalurkan melalui pembuluh darah koroner jantung. Penyaluran darah yang terhambat membuat metabolit yang terbentuk dalam serat otot tidak terbuang melalui aliran darah sehingga menumpuk dan mengakibatkan serat otot mengalami degenerasi. Otot terus bekerja sehingga menjadi hipertofi dan serat pada otot mengalami degenerasi. Pada akhirnya kegagalan kompensasi jantung terjadi yang membuat jantung tidak bekerja sehingga kucing ini mengalami kematian.

2. Paru-paru

(45)

32

Pada histopatologi paru-paru ditemukan lesio atelektasis (Gambar 17), emfisema (Gambar 18), edema (Gambar 19), bronkhiolitis (Gambar 20), kongesti dan terdapat hiperplasia BALT (Gambar 21), infiltrasi sel-sel radang disertai sel plasma (Gambar 22), penebalan septum interalveolaris (Gambar 23), dan ditemukan adanya hemosiderin pada jaringan (Gambar 24). Emfisema terlihat pada sebagian jaringan paru-paru. Menurut McGavin dan Zachary (2007), kejadian emfisema pada hewan merupakan lesio sekunder yang dihasilkan oleh berbagai lesio pada paru-paru. Umumnya emfisema disebabkan oleh terhalangnya aliran udara yang dipicu oleh kehadiran eksudat pada bronkhus dan bronkhiolus sehingga udara yang sudah masuk ke dalam alveolus tidak sebanding dengan jumlah udara yang dikeluarkan. Dalam kasus ini kejadian penghalangan aliran udara bisa saja akibat penekanan yang terjadi pada paru-paru oleh organ abdomen yang masuk ke dalam rongga thoraks dalam jangka waktu yang lama.

Edema terlihat pada sebagian jaringan paru-paru. Kejadian edema pada paru-paru ini dipicu oleh kegagalan jantung kongestif. Menurut Ettinger (1975), edema pada jaringan interstisial paru-paru umumnya juga terdapat pada kasus hernia diafragmatika yang dapat mengakibatkan pelebaran ruang kapiler alveolar sehingga aktifitas pertukaran oksigen dengan karbondioksida berkurang.

Bronkhiolitis ditandai dengan adanya eksudat dalam lumen bronkhiolus dan pada dinding bronkhiolus. Menurut Rao (2010), bronkhitis kronis yang disebabkan oleh iritasi ringan namun berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan lesio pada bronkhiolus yaitu bronkhiolitis obliteran. Bronkhiolitis obliteran ditandai dengan adanya fibrosis pada dinding epitel bronkhiolus yang akan berkembang menjadi polip lalu menghasilkan eksudat yang akan berbentuk polipoid ke dalam lumen. Bila dilihat dalam histopatologi bronkhiolusnya kondisi tersebut dalam tahap akut karena eksudat yang dihasilkan belum berbentuk polipoid namun masih mengandung neutrofil dan sel-sel debris.

Kongesti pada pembuluh darah dapat terlihat disertai dengan adanya hiperplasia bronchial assosiated lymphoid tissue (BALT) di sekitar jaringan tersebut dan selain itu terdapat infiltrasi dan sel-sel radang lain yang didominasi oleh limfosit dan makrofag pada jaringan paru. Kejadian kongesti pada paru-paru paling sering disebabkan oleh gagal jantung yang menyebabkan stagnasi darah di pembuluh darah paru-paru yang dapat memicu edema serta infiltrasi eritrosit ke dalam ruang alveolar. Proliferasi sel-sel limfosit pada daerah peribronkhiolar (hiperplasia BALT) merupakan penanda bahwa kejadian bronkhiolitis dalam tahap kronis. Adanya infiltrasi sel-sel plasma menandakan kondisi peradangan pada jaringan sudah dalam tahap kronis. (McGavin dan Zachary 2007). Pada kasus ini terlihat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh sel plasma menandakan bahwa peradangan yang terjadi pada bronkhiolus merupakan peradangan kronik aktif.

Penebalan septum interalveolaris pada sebagian jaringan paru-paru yang berisi sel-sel radang berupa makrofag merupakan reaksi jaringan terhadap kerusakan yang diderita oleh paru-paru. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian penebalan septum interalveolaris bersifat menyebar pada jaringan paru-paru yang dapat bersifat kronis dan salah satu penyebabnya adalah trauma hebat dan gagal jantung kronis.

(46)

33 merupakan kondisi yang sangat jarang terjadi dan ditandai dengan pendarahan paru-paru yang spontan namun sering dikaitkan dengan anemia defesiensi zat besi. Penyebabnya sebenarnya belum diketahui namun pernah dilaporkan penderita memiliki kelainan malformasi jantung atau pembuluh darah, dalam proses infeksi, vaskulitis, trauma, dan alergi protein (Etzel et al. 1998). Kemunculan hemosiderin yang menyebar di jaringan paru-paru dapat diakibatkan oleh trauma penekanan pada paru-paru selama kucing masih hidup dan pigmen ini juga menandakan adanya kegagalan pada jantung (heart failure cell). Adanya hemosiderin pada jaringan memicu kedatangan makrofag sebagai salah satu dari respon imun tubuh.

3. Hati

Keadaan hati secara makroskopis terlihat mengalami kongesti yang disertai adanya kompresi tulang rusuk pada permukaan organ tersebut (rib impression) (Gambar 6). Kongesti terjadi akibat sebagian dari hati terjepit oleh organ abdomen lainnya yang mengalami perpindahan ke dalam rongga thoraks dalam jangka waktu yang lama selain itu hal ini menyebabkan penekanan ke bagian tulang rusuk yang berada di sekitarnya sehingga terbentuk cetakan pada permukaan hati. Menurut Jubb et al. (2006), kejadian perpindahan posisi organ hati pada hernia diafragmatika biasanya hanya sebagian lobusnya saja yang ikut masuk ke dalam rongga thoraks sehingga suplai darah tidak dapat sampai ke lobus tersebut. Kejadian ini memicu timbulnya kongesti hebat pada hati. Selain itu letak paru-paru tidak berpindah sehingga hal ini berbeda dengan pernyataan Kealy et al. (2011) yaitu apabila hati mengalami hernia akan menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap perpindahan letak paru-paru dalam rongga thoraks.

Pada histopatologi hati ditemukan lesio kongesti (Gambar 25), dan degenerasi hepatosit (Gambar 26). Kejadian kongesti selain disebabkan oleh terjepitnya sebagian lobus hati dapat juga disebabkan oleh gagal jantung. Menurut McGavin dan Zachary (2007), kongesti pada hati pada setiap spesies hampir selalu disebabkan oleh gagal jantung. Kegagalan jantung bagian kanan menghasilkan peningkatan tekanan di dalam vena cava caudal yang kemudian melibatkan vena hepatik beserta cabang-cabangnya. Kongesti ini awalnya akan menyebabkan distensi pada vena sentralis dan sinusoid. Hipoksia pada bagian sentrilobular hati yang terus-menerus akan menyebabkan degenerasi hingga nekrosa pada hepatosit.

4. Ginjal

Keadaan ginjal secara makroskopis terlihat mengalami kongesti pada pembuluh darah dan organ (Gambar 9). Kejadian kongesti pada ginjal ini merupakan akibat dari aliran darah yang terhambat pada jantung. Menurut Vegad (2008), kongesti merupakan peningkatan jumlah darah dalam pembuluh darah vena sebagai hasil dari obstruksi pada pembuluh darah yang disebabkan perpindahan posisi organ sehingga dapat menekan lalu menghambat aliran darah pada organ lainnya.

(47)

34

dan degenerasi lemak jelas terlihat pada tubulus (Gambar 35), adanya infiltrasi sel radang pada glomerulus dan tubulus yang disertai temuan hyalin dalam tubulus yang sudah nekrosa (Gambar 36), nekrosa tubulus disertai dengan temuan pembuluh darah yang sangat berdilatasi (Gambar 37), dan temuan kongesti pada medula disertai jaringan tubulus di sekitarnya yang mengalami edema (Gambar 38). Ginjal yang memiliki kerusakan di salah satu bagian pada jaringan akan melibatkan kerusakan pada bagian yang lain.

Menurut Rao (2010), salah satu faktor yang mengganggu fungsi ginjal adalah adanya perubahan dalam sirkulasi ginjal. Lesio degenerasi yang disebut nefrosis mempengaruhi keadaan tubulus sehingga menjadi bengkak keruh, terdapat degenerasi lemak, hingga menjadi nekrosis. Sedangkan menurut Jubb et al. (2006), walaupun keadaan degenerasi lemak pada kucing jarang ditemukan, kasus ini pernah ditemukan dalam tubulus pada hewan yang mati akibat kelaparan. Selanjutnya keadaan dilatasi pada tubulus dan glomerulus kemungkinan dipengaruhi iskhemia yang disebabkan kongesti yang terjadi pada pembuluh darah ginjal. Menurut (Hard et al. 1999), dilatasi pada tubulus dapat disebabkan salah satunya oleh iskhemia yang sifatnya sementara atau dengan adanya degenerasi/ regenerasi pada tubulus.

Kista yang ditemukan pada bagian korteks merupakan akibat dari kerusakan hebat pada jaringan ginjal. Menurut Chang et al. (2007), hilangnya nefron akibat nekrosa memicu peningkatan kinerja tubulus yang tersisa hingga mengalami hipertrofi. Hipertrofi pada tubulus tersebut terus berkembang lalu berubah menjadi kista. Sedangkan adanya endapan hyalin baik dalam glomerulus, tubulus, dan jaringan instersisium ginjal merupakan respon jaringan terhadap iskhemia pada organ tersebut. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan Tighe (1977) bahwa reaksi kapiler glomerulus terhadap iskhemia akan kolaps lalu terkonversi menjadi massa hyalin. Keadaan glomerulus yang seharusnya memiliki laju filtrasi yang tinggi akan berkurang. Laju filtrasi yang lambat menyebabkan massa hyalin yang telah terbentuk akan lebih banyak direabsorbsi oleh tubulus sehingga menimbulkan endapan hyalin yang tersebar dalam jaringan ginjal. Oleh karena itu terjadi infiltrasi sel-sel radang sebagai respon tubuh terhadap jaringan yang rusak.

(48)

35 Sedangkan dilatasi pada pembuluh darah ginjal dapat disebabkan adanya kegagalan jantung kongestif dan nefrosis yang terjadi. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan McGavin dan Zachary (2007) yaitu gagal jantung kongestif akan mengurangi pengaliran darah pada ginjal. Hal ini akan menimbulkan hipoksia pada jaringan dan memicu pelepasan renin dari sel juxtaglomerular yang selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron. Retensi air dan natrium pada tubulus merupakan dampak yang diberikan diikuti peningkatan volume cairan plasma seperti edema. Selain itu menurut Vegad (2008), pengurangan ekskresi natrium dalam urin selain terjadi pada gagal jantung kongestif juga dapat ditemukan pada keadaan ginjal yang mengalami nefrosis. Retensi air dan natrium menyebabkan ekspansi volume cairan intravaskular yang dapat meningkatkan volume cairan pada interstisium. Dalam kasus ini tidak hanya tubulus saja yang dapat mengalami dilatasi akibat edema, namun lesio ini dapat juga ditemukan glomerulus dan pembuluh darah pada jaringan.

5. Usus

Usus yang mengalami sianosis setelah dikeluarkan terlihat organ tersebut mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya. Hal ini dapat disebabkan oleh perpindahan posisi organ tersebut. Kongesti dapat juga disebabkan oleh torsio atau volvulus yang terjadi pada suatu organ (Vegad 2008). Menurut Chauhan (2007), secara makroskopik pembuluh darah yang mengalami kongesti akan berdistensi sesuai akumulasi darah dalam aliran yang tersumbat. 6. Limpa

Keadaan limpa secara makroskopis mengalami atrofi karena ukurannya yang lebih kecil dari ukuran yang seharusnya (Gambar 11). Menurut Jubb et al. (2006) atrofi pada limpa terjadi akibat selenitas pada hewan yang terkait dengan kelaparan. Biarpun hewan ini masih muda namun gejala klinis menunjukkan adanya anoreksia sehingga dapat dikaitkan dengan rasa lapar yang diderita hewan tersebut dalam jangka waktu yang panjang sehingga menyebabkan limpa kekurangan asupan nutrisi yang untuk berkembang, akibatnya terjadi atrofi pada limpa.

Pada histopatologi limpa ditemukan lesio deplesi folikel limpa (Gambar 27), hemoragi pada pulpa putih (Gambar 28), trabekula dan ellipsoid aktif pada bagian medula (Gambar 29), dan kongesti pada pulpa merah yang disertai hipertrofi dinding pembuluh darah (Gambar 30). Deplesi pada folikel limfoid merupakan respon terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan temuan jumlah folikel yang sedikit, ukuran folikel yang kecil, hingga tidak terdapatnya folikel (Frith et al. 2000). Hemoragi yang terjadi pada pulpa putih dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada pembuluh kapiler limpa sedangkan untuk keadaan pulpa merahnya mengalami kongesti. Menurut McGavin dan Zachary (2007), hemoragi pada jaringan organ pada tubuh tergantung tingkat keparahannya yang salah satunya dapat terjadi akibat diapedesis yang berkaitan dengan kerusakan minor pada pembuluh darah.

(49)

36

suatu penyakit (Song et al. 2012). Sedangkan untuk keadaan kongesti pada pulpa merah limpa lesionya dapat disebabkan adanya kemungkinan gangguan sirkulasi pada jantung. Menurut Jubb et al. (2006), kongesti pada jantung atau paru-paru dapat mempengaruhi kejadian kongesti pada limpa namun hal ini tidak biasa terjadi.

7. Limfonodus

Limfonodus lebih jelas terlihat keadaannya dalam pengamatan histopatologi. Lesio yang ditemukan antara lain adanya deplesi folikel limfoid (Gambar 31) disertai kongesti pada daerah medula (Gambar 32). Sama halnya dengan limpa, deplesi pada folikel limfoid merupakan respon terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan temuan jumlah folikel yang sedikit, ukuran folikel yang kecil, hingga tidak terdapatnya folikel (Frith et al. 2000). Kejadian kongesti pada limfonodus dapat disebabkan oleh kegagalan jantung karena menurut McGavin dan Zachary (2007), penghambatan aliran darah ke seluruh tubuh akan terjadi setelah kegagalan pada jantung.

8. Otak

Keadaan otak secara makroskopis terlihat mengalami kongesti menandakan bahwa lesio yang diderita sudah bersifat kronis (Gambar 14). Otak yang mengalami kongesti disebabkan oleh kerja jantung dan paru-paru yang terhambat sehingga aliran darah yang menuju ke dalam otak menjadi tidak lancar hal ini bersesuaian dengan pernyataan Rao (2010) yang menyatakan kongesti yang sifatnya kronis pada otak terjadi akibat lesio pada jantung atau paru-paru. Kemungkinan gagal jantung menyebabkan iskhemia pada jaringan otak sehingga menyebabkan berbagai lesio pada jaringan otak.

Pada histopatologi otak ditemukan lesio degenerasi disertai apoptosis pada sel-sel neuron (Gambar 39), gliosis (Gambar 40) kongesti disertai edema submeningen (Gambar 41), edema perivaskular (Gambar 42), infiltrasi sel-sel mikroglia/ gliosis (Gambar 43), dan malacia pada jaringan otak (Gambar 44). Menurut Rao (2010), neuron bersifat mudah rentan terhadap cedera akibat hipoksia yang akan menyebabkan perubahan degeneratif dan nekrotik. Karakterasi penyusutan neuron yaitu bentuk sel menjadi tidak teratur, ukuran inti sel yang mengalami piknosis, dan kondensasi pada badan Nissl. Gangguan vaskular yang terjadi pada jaringan otak yakni edema perivaskular dan kongesti. Edema perivaskular merupakan kejadian yang dipicu oleh perubahan fungsi endotel mikrovaskuler menjadi ekstravasasi komponen plasma ke dalam dinding arteriolar sehingga menjadi edema perivaskular (Mărgăritescu et al. 2009).

(50)

37 keadaan iskhemia. Menurut Banasiak (2000), sel yang mengalami apoptosis ditandai dengan penyusutan sitoplasma dan inti tanpa disertai kerusakan pada membran sel.

Mikroglia merupakan turunan dari fagosit mononuklear yang memiliki fungsi utama sebagai makrofag dalam sistem saraf pusat. Mikroglia akan teraktifasi bila ada kerusakan pada jaringan lalu melepaskan sitokin sebagai pertahanan lalu merekrut makrofag lainnya untuk menuju situs cedera (Jubb et al. 2006). Ploriferasi astrosit yang biasa disebut dengan gliosis juga dapat terjadi pada kerusakan sistem saraf pusat. Astrosit melindungi sel yang berdegenerasi dengan mengelilingi daerah yang akan nekrosa tersebut (McGavin dan Zachary 2007). Malacia pada otak merupakan kematian jaringan sistem saraf pusat. Perubahan dari tahap nekrosis, pembuangan jaringan yang sudah mati, hingga restorasi sama terhadap setiap kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya malacia. Malacia dapat disebabkan oleh gangguan sistem vaskular dan trauma (Jubb et al. 2006).

Patogenesis

Menurut petMD (2012), kucing ras Himalaya menunjukkan lebih banyak mengalami kelainan kongenital yaitu terbentuknya celah pada diafragma sejak lahir sehingga penyakit hernia diafragmatika dapat terjadi. Hal tersebut bisa dihubungkan dengan jenis ras kucing ini yang mungkin merupakan keturunan ras Himalaya. Ras Himalaya merupakan persilangan antara ras Persia dan ras Siamese sehingga kelainan yang diturunkan dapat memicu timbulnya penyakit hernia diafragmatika yang bersifat kongenital. Hal ini juga didukung dengan keadaan diafragma pada kucing yang tidak menutup sempurna membentuk lengkung terbuka yang cukup luas. Diafragma yang terlihat hanya menutup kurang lebih 25% dari yang seharusnya.

Menurut Ettinger (1975), adanya celah yang terbentuk mengakibatkan tekanan yang tidak sama antara sisi peritoneum dan sisi pleura pada diafragma. Celah yang terbentuk pada kucing ini cukup besar sehingga sangat memungkinkan adanya hernia. Kejadian ini juga didukung dengan adanya perubahan tekanan negatif pada rongga thoraks. Menurut Muttaqin (2008), tekanan negatif memiliki prinsip tekanan dalam rongga thoraks lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dapat bergerak ke paru-paru selama inspirasi. Namun, pada kasus ini akibat diafragma yang tumbuh tidak sempurna dapat mempengaruhi tekanan negatif dari rongga thoraks. Adanya tekanan negatif menyebabkan usus dan hati terpindah masuk ke dalam rongga thoraks lalu menekan jantung dan paru-paru sehingga mengganggu pernapasan dan sirkulasi darah pada jantung.

(51)

38

Lesio secara sistemik pada setiap organ terjadi karena terkait kinerja jantung yang terganggu sehingga mengalami gagal jantung kongestif yang menyebabkan kematian pada kucing. Kegagalan pada jantung ini dapat dibuktikan pada pengamatan patologi anatomi kucing mengalami exophthalmus dan pada pengamatan histopatologi otot jantung mengalami degenerasi akibat keadaan jantung yang dilihat sebelumnya dalam pengamatan patologi anatomi mengalami hipertrofi disertai dilatasi sehingga memicu keadaan double apex. Penambahan apeks tersebut dipicu oleh penyempitan lumen ventrikel kiri jantung akibat penekanan organ abdomen yang tertahan di dalam rongga thoraks sehingga kedua lumen baik kiri dan kanan bersamaan mengalami dilatasi sebelum mengalami kolaps. Pada akhirnya kegagalan kompensasi jantung terjadi yang membuat jantung tidak dapat lagi bekerja.

SIMPULAN

Penyakit hernia diafragmatika yang diderita kucing ini dapat diduga tidak terjadi akibat trauma karena tidak ditemukannya temuan jejak persembuhan pada diafragma, namun dapat dikaitkan dengan kelainan bawaan yang mungkin diturunkan oleh jenis ras kucing tersebut dan juga disertai dengan kemungkinan tidak terbentuknya beberapa komponen pembentuk diafragma sebelum kucing dilahirkan. Hal tersebut memicu perpindahan organ abdomen ke dalam rongga thoraks. Lesio yang ditemukan pada jantung, paru-paru, usus, hati, limpa, limfonodus, ginjal, dan otak menandakan bahwa penyakit ini sudah bersifat sistemik terkait kegagalan pada sistem kerja jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Banasiak KJ, Xia Y, Haddad GG. 2000. Mechanisms Underlying hypoxia-induced neuronal apoptosis. Progress in Neurobiology, 62: 215-249. Hlm: 217. Basso N, Terragno, Norberto A. 2001. History About The Discovery of The

Renin-Angiotensin System. Hypertension, 38(6): 1246-1249. Hlm: 1246-1248. Bellah JR. 2005. Diaphragmatic Hernias. Standards of Care Emergency and

Critical Care Medicine, 7.5: 1-7. Hlm: 3.

Catcoot EJ, Smithcors JF. 1966. Progress in Feline Practice (Including Caged Birds and Exotic Animals). Amerika Serikat: American Veterinarian Publication, Inc. Hlm: 28-314.

Chauhan RS. 2007. Illustrated Veterinary Pathology (General & Systemic Pathology). Lucknow: International Book Distributing Co. Hlm: 50-52.

(52)

39 Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology, Third Edition. Amerika

Serikat: Blackwell Publishing. Hlm: 19-22.

Ettinger SJ. 1975. Textbook of Veterinary Internal Medicine (Diseases of The Dog and Cat), Volume 1. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Hlm: 641-645.

Etzel RA, Montana E, Sorenson WG, Kullman GJ, Allan TM, Dearborn DG. 1998. Acute Pulmonary Hemorrhage in Infants Associated With Exposure to Stachbotrys atra and Other Fungi. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine 152: 757-762. Hlm: 757.

Fossum TW, Tom, Chair JR. 2005. Diaphragmatic Hernia: Surgical Treatment. IVIS: In 50th Congresso Nazionale Multisala SCIVAC. Hlm: 1-2.

Frith CH, Ward JM, Chandra M, Losco PE. 2000. Non-ploriferative Lesions of the Hematopoietic System in Rats. Guides for Toxicologic Pathology: 1-21. Hlm: 2.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: EGC.

Terjemahan dari: Textbook of Medical Phisiology. Hlm: 463-468.

Hard GC, Alden CL, Bruner RH, Frith CH, Lewis RM, Owen RA, Krig K, Durchfeld-Meyer B. 1999. Non-ploriferative Lesions of the Kidney and Lower Urinary Tracts in Rats. Guides for Toxicologic Pathology: 1-32. Hlm: 5.

Humason GL. 1972. Animal Tissue Technique. New York: W.H. Freeman and Company. Hlm: 3-154.

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer NC. 2006. Pathology of Domestic Animals, Fifth Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. Hlm: 2:92-93.

Kealy JK, McAllister H, Graham JP. 2011. Diagnostic Radiology and Ultrasonography of The Dog and Cat, Fifth Edition. St. Louis: Saunders. Hlm: 254.

King LG. 2004. Textbook of Respiratory Disease in Dogs and Cats. Amerika Serikat: Elsivier Saunders. Hlm: 625-631.

Klabunde RE. 2007. Cardiovasculary physiology concepts. [terhubung berkala]. http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP001.htm. [20 Januari 2013]

Lipton, P. 1999. Ischemic Cell Death in Brain Neurons. Physiological Reviews, 79(4): 1431-1566. Hlm: 1452-1460.

Mărgăritescu O, Mogoantă L, Pirici I, Pirici D, Cernea D, Mărgăritescu, C. 2009. Histopatholigical Changes in Acute Ischemic Stroke. Romanian Journal of Morphology and Embryology, 50(3): 327-339. Hlm: 335

McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. St. Louis: Mosby Elsevier. Hlm: 351-1003

(53)

40

PawPeds. 2012. Breeding A Litter. [terhubung berkala]. http://pawpeds.com/pawacademy/beginnerscorner/breedingalitter/defects.html. [4 Juni 2012].

petMD. 2012. Abnormal Diaphragm Opening in Cats. [terhubung berkala] http://www.petmd.com/cat/conditions/cardiovascular/c_ct_diaphragmatic_hern ia#.T4K2g-CPVXI. [8 April 2012].

Rao DG. 2010. A Text Book on Systemic Pathology of Domestic Animals. Lucknow: ibdc publisher. Hlm: 205-425.

Song H, Peng K, Li S, Wang Y, Wei L, Tang L. 2012. Morphological Characterization of The Immune Organs in Ostrich Chicks. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences. 36(2): 89-100. Hlm: 98.

Sorden SD, Watts TC. 1996. Spontaneous Cardiomiopathy and Exophtalmos in Cotton Rats (Sigmodon hispidus), Veterinary Pathology 33: 375-382. Hlm: 381-382.

Tighe JR. 1977. The Pathology of Renal Ischaemia. Journal of Clinical Pathology, 11: 114-124. Hlm: 118.

Vegad JL. 2008. A Textbook of Veterinary General Pathology. Lucknow: International Book Distributing Co. Hlm: 223.

Voges AK, Bertrand S, Hill RC, Neuwirth L, Schaer M. 1997. True Diaphragmatic Hernia In A Cat. Veterinary Radiology & Ultrasound, 38: 116-119. Hlm: 118.

(54)

41 Lampiran 1

Teknik nekropsi hewan kecil

1. Hewan yang telah mati, setelah keadaan luarnya sudah diamati lubang kumlah kemudian diletakkan dengan bagian dorsal menempel di atas meja nekropsi. Lipatan ketiak disayat hingga persendian di axilla dan scapula terlepas. Lipatan paha disayat hingga os femur pada persendian coxo-femoral terlepas dari acetabulumnya.

2. Keadaan subkutis diperiksa dengan menguakkan jaringan ikat longgar subkutis ke arah kanan dan kiri tubuh. Keadaan yang diamati antara lain kelembaban, perlemakan, keadaan limfoglandula perifer (lgl. Submandibularis, lgl. Prescapularis, lgl. Axillaris, lgl. Poplitea), pada perubahan warna dan ukuran dan adanya eksudasi.

3. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan cara otot perut digunting pada linea alba kemudian pada batas costae ke arah kanan dan kiri. Pemeriksaan tekanan negatif rongga dada dilakukan dengan cara melubangi otot intercostalis dengan tusukan pisau. Diafragma digunting di dekat perlekatannya dengan costae. Costae dipotong pada perbatasan tulang rawan dan tulang keras. Setelah pembukaan rongga abdomen maka diperiksa bagian situs viserum untuk melihat adanya cairan, perubahan posisi organ, valvulus, perlekatan organ antara usus dengan usus atau usus dengan peritoneum. Selain itu periksa juga keadaan situs viserum rongga dada apakah terdapat akumulasi cairan, perubahan posisi organ, hernia diafragmatika, perlekatan organ antara pleura costalis atau pleura pulmonum dengan perikardium. Jika ada cairan dan jumlahnya cukup banyak diukur.

4. Alat tubuh rongga dada dikeluarkan dengan menyayat otot yang bertaut pada os Mandibula hingga lidah dapat ditarik ke arah ventral. Lidah bersama dengan esofagus dan trachea diangkat lalu sayat alat penggantung sehingga paru-paru dan jantung bisa dikeluarkan dari rongga dada. Perbatasan esofagus dan lambung dipotong setelah sebelumnya dilakukan ikatan ganda. Jantung dan pembuluh darah (aorta serta a. pulmonum) dipisahkan dari pertautannya dengan paru-paru. Laring, trakhea, dan bronchus diperiksa dengan menggunting bagian tersebut pada bagian dimana cincin tulang rawan terbuka lalu pengguntingannya dilanjutkan hingga cabang-cabang bronkhus. Pengamatan PA dilakukan terhadap isi lumen dan keadaan mukosa.

5. Paru-paru diperiksa dengan menginspeksi adanya perubahan warna, penggembungan, pengempisan, ada atau tidaknya bungkul. Palpasi selanjutnya dilakukan untuk memeriksa kepadatan konsistensi, adanya krepitasi yang berlebihan, dan dapat terabanya bungkul ataupun pasir padat pada permukaan organ. Insisi dapat dilakukan pada bagian yang diduga berisi darah, cairan berbusa, nanah, ataupun benda asing. Paru-paru juga diuji apung apakah akan tenggelam atau tidak untuk memeriksa kejadian pneumonia. 6. Sebelum jantung diperiksa, keadaan perikardium dan epikardium dilihat

(55)

42

penipisan dinding jantung dan juga penebalan pada katup bikuspidalis, trikuspidalis, dan semilunaris. Palpasi pada daerah dinding jantung untuk memastikan dinding tersebut melembek atau mengeras. Insisi perlu dilakukan untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada dinding ventrikel.

7. Saluran pencernaan diperiksa mulai dari rongga mulut untuk melihat keadaan gigi, gusi, dan mukosa pipi. Pemeriksaan dilanjutkan ke esofagus, lambung, dan usus terhadap lumen dan keadaan mukosanya. Lambung sebelumnya digunting terlebih dahulu pada kurvatura mayor sedangkan usus sebelumnya digunting terlebih dahulu di dekat alat penggantungnya. Penyumbatan pada saluran empedu mungkin dapat terjadi, untuk memeriksanya dilakukan penekanan pada kantung empedu dan muara saluran empedu pada duodenum lalu diamati.

8. Hati diperiksa secara inspeksi untuk melihat adanya perubahan warna, pola lobulasi yang jelas serta perubahan bentuk. Palpasi dilakukan selanjutnya apabila ditemukan kemungkinan adanya perubahan konsistensi pada organ tersebut. Selain itu insisi juga dilakukan untuk melihat adanya perubahan warna pada bidang sayatan dan pengeluaran darah setelah dilakukan penyayatan. Sedangkan pankreas diperiksa dengan cara inspeksi untuk melihat adanya perubahan warna dan bentuk lalu dipalpasi untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi serta insisi dilakukan untuk melihat adanya perubahan warna pada bidang sayatan.

9. Limpa diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna, bentuk, dan keadaan pada tiap tepi organ beserta kapsulanya. Palpasi pada limpa dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi yang terjadi. Insisi dilakukan sejajar dengan hilus. Permukaan bidang sayatan diusap untuk melihat adakah pulpa merah yang terikut.

10. Organ urinari diperiksa dengan mengenali posisi ureter yang menghubungkan ginjal dengan vesika urinaria. Pengeluaran uretra dilakukan dengan menggergaji os pubis di sebelah kanan dan kiri dari symphisis pelvis. Ginjal diperiksa secara inspeksi untuk melihat perubahan warna sesudah kapsula dibuka dan bentuk permukaannya. Palpasi pada ginjal dilakukan untuk memeriksa adanya perubahan konsistensi yang terjadi. Insisi dilakukan untuk melihat perubahan warna dan batas pada korteks dan medulla serta memeriksa adanya batu ginjal pada pyelum. Sedangkan untuk vesika urinaria dilakukan pemeriksaan adakah penyumbatan uretra dengan menekannya lalu diamati pengeluaran urin melalui uretra. Dinding vesika digunting lalu dilakukan pengamatan terhadap isi dan permukaan mukosa. Pemeriksaan ureter dan uretra dilakukan jika ditemukan adanya indikasi penyumbatan pada saluran tersebut.

(56)

43 Pembuatan sediaan histopatologi

1. Dehidrasi

Organ yang telah berada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam ruang kedap udara mesin tissue processor untuk dilakukan dehidrasi, penjernihan (clearing) dan infiltrasi jaringan oleh paraffin (infiltring). Dehidrasi dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut II, setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol, dua kali.

2. Infiltrasi parafin

Jaringan diinfiltrasi dalam parafin Histoplast® dengan merendamnya dalam parafin cair sebanyak tiga kali ulangan.

3. Perendaman (Embedding) dan pencetakan (Block)

Sediaan yang telah diinfiltrasi oleh parafin (infiltring) ditanam dalam cetakan yang telah berisi parafin cair setengah volume dinding cetakan, setelah mulai membeku parafin cair ditambahkan lagi hingga cetakan penuh. Proses dilakukan di mesin tissue embedding console Sakura®. Proses ini sebaiknya dilakukan dekat sumber panas agar parafin tidak cepat membeku. Sediaan tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam refrigerator untuk memudahkan dalam pemotongan.

4. Pemotongan

Jaringan dipotong setebal 5-6 µm menggunakan mikrotom Spencer® dan hasil potongan diletakkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan akibat pemotongan, sediaan dilekatkan di atas gelas objek, kemudian dikeringkan dalam inkubator.

5. Pewarnaan HE

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staning) karena menggunakan dua jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan, sehingga inti yang bersifat asam akan berwarna bitu karena berikatan dengan hematoxillin yang bersifat basa, dan sitoplasma yang bersifat basa akan berwarna merah karena berikatan dengan eosin yang bersifat asam. Tujuan pewarnaan ganda agar terlihat kontras antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengamatan bagian tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat.

Setelah proses pewarnaan selesai, sediaan dikeringkan kemudian dilakukan mounting yang merupakan proses penutupan preparat dengan cover glass yaitu dengan cara meneteskan Canada Balsam sebanyak 1-2 tetes pada bagian yang ada jaringannya, lalu preparat ditutup dengan cover glass dan selanjutnya dapat dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop (Humason 1972).

6. Pemeriksaan histopatologi

(57)

44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 27 Maret 1991. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan S. Toto Budhy Warsito dan Nurhayati Aziz. Penulis mengenyam pendidikan formal di SD Negeri 06 Cipinang Muara Jakarta (2002), SMP Negeri 255 Jakarta (2005), dan SMA Negeri 12 Jakarta (2008).

(58)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang umum dipelihara oleh manusia. Kematian pada hewan ini dapat terjadi akibat beberapa hal antara lain malformasi kongenital, trauma dan penyakit baik infeksius maupun noninfeksius termasuk tumor. Trauma dapat terjadi secara disengaja ataupun tidak disengaja pada hewan dan bisa menimbulkan adanya malformasi setelahnya. Sedangkan menurut PawPeds (2012), malformasi merupakan salah satu kelainan yang dapat diturunkan secara genetik dan juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor eksternal. Jika induk sakit atau terkena zat beracun selama kebuntingan maka dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan embrio.

Malformasi kongenital yang terjadi pada kucing sebenarnya jarang terjadi. Salah satu contoh kasus malformasi kongenital yang terjadi pada kucing adalah hernia diafragmatika. Diafragma adalah otot yang memisahkan organ abdomen dari jantung dan paru-paru. Udara dapat memasuki paru-paru karena adanya tekanan negatif pada rongga thoraks. Kelainan berupa hernia diafragmatika memungkinkan organ-organ abdomen seperti lambung, hati, dan usus masuk ke dalam rongga thoraks akibat adanya tekanan negatif. Organ-organ ini kemudian terpindah menempati rongga thoraks sehingga menekan paru-paru dan jantung sehingga sulit untuk memperluas lapangan paru-paru saat mengambil napas dan menghambat sirkulasi darah pada jantung.

Hernia diafragmatika umumnya dikenal dalam praktek hewan kecil dan dapat terjadi akibat trauma atau kelainan yang bersifat kongenital. Penyakit yang biasanya menyerang anjing dan kucing ini kebanyakan merupakan hasil dari trauma, terutama akibat kecelakan kendaraan bermotor. Lokasi dan ukuran kerobekan tergantung pada posisi asal hewan sesaat sebelum kecelakaan dan lokasi organ yang terkena (Fossum et al. 2005). Mengingat kasus hernia diafragmatika jarang terjadi maka studi kasus ini penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui lesio patologi pada beberapa organ interna baik abdomen maupun thoraks akibat penyakit hernia diafragmatika pada kucing.

Manfaat Penelitian

(59)

2

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dimulai dari bulan Juli sampai September 2012. Penelitian diawali dengan pemeriksaan patologi anatomi kucing yang diduga menderita hernia diafragmatika kemudian organ yang mengalami lesio dijadikan sediaan histopatologi untuk diperiksa lebih lanjut. Pembuatan histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium Diagnostik Patologi dan Histopatologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut), xylol, Lithium karbonat, pewarna Hematoxillin Mayer, pewarna Eosin, parafin Histoplast®, dan Canada Balsam.

Alat

Alat yang digunakan adalah peralatan nekropsi, gelas objek, rak gelas objek, gelas penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, tissue embedding console Sakura®, mikrotom Spencer®, inkubator, mikroskop cahaya Olympus CH-1®, kamera digital, dan eye piece digital camera.

Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang dilakukan terdiri dari nekropsi, pemeriksaan patologi anatomi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisa histopatologi. Lesio patologi anatomi dan histopatologi dianalisa secara deskriptif. Penyusunan patogenesa dilakukan melalui studi literatur.

Nekropsi

Kucing yang telah mati diamati mulai dari keadaan umum luar tubuhnya dengan memeriksa keadaan kulit dan rambut lalu keadaan mukosa lubang kumlah mata, telinga, dan anus. Hewan diletakkan dengan bagian dorsal menempel di atas meja untuk pelaksanaan teknik nekropsi (Lampiran 1).

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Kucing yang sudah dinekropsi diamati lesio dan abnormalitas lain dari jaringan eksterna serta organ interna. Semua lesio dan abnormalitas didokumentasi dengan kamera digital.

Fiksasi

(60)

3 Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ yang sudah difiksasi kemudian dipotong dengan ketebalan kurang lebih 5 mm dan potongan tersebut dimasukkan ke dalam kaset jaringan dan diberi label kode sampel. Potongan organ dibuat preparat histopatologi kemudian diberi pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) (Lampiran 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

• Nama penemu : Ageng Syarif Dwidzuriputra Anamnesa

Seekor kucing ditemukan dengan keadaan sebagian tubuhnya memiliki luka yang bernanah dan bau, bagian bantalan jari (pad) yang sudah hampir terlepas dari bagian telapak kaki dan terdapat robekan yang dalam pada bagian ekornya yang hampir putus karena terjadi perlukaaan yang melingkar, dan kondisinya pun diperparah dengan keadaan dehidrasi berat. Kucing tersebut sudah diberikan bantuan dengan penambahan cairan infus melalui daerah subkutan dan bagian-bagian tubuhnya yang mengalami perlukaan diolesi dengan antiseptik.

Gejala klinis yang terlihat selain perlukaan yaitu anoreksia, kaheksia, exophthalmus, anemia, konstipasi, dan dipsnoe. Bantuan untuk defekasi diberikan setelah dibawa ke Rumah Sakit Hewan IPB yaitu dengan menggunakan bahan pelicin berupa minyak yang dimasukan ke dalam anusnya untuk dilakukan pijatan selanjutnya agar fesesnya dapat keluar dengan cara dipaksa. Keadaan feses keras kadang berdarah dan berlendir. Kemudian diberikan infus menggunakan larutan NaCl fisiologis melalui intarvena selama 4 hari.

Penemu melakukan roentgen pada Didi untuk melihat daerah thoraks dan menghasilkan interpretasi bahwa susunan organ abdomennya sudah tidak beraturan dengan kondisi diafragma yang hancur dan paru-paru yang sudah tidak terlihat. Didi menderita hernia diafragmatika, namun tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk kasus ini dan juga tidak dilakukan operasi karena prognosanya infausta terkait penyembuhan post-operasi.

Gambar

Gambar 1  Radiogram daerah thoraks. (A) Pada kesan ventrodorsal jantung (panah) masih dapat dilihat meskipun marginasi antara batas thoraks dan abdomen sudah tidak jelas
Gambar 5  Akumulasi cairan terdapat di rongga thoraks (panah a) yang disertai dengan sebagian paru-paru yang mengalami atelektasis disertai lesio pneumonia pada lobus cranial (panah b) dan jantung mengalami kongesti dan dilatasi pada pembuluh darahnya (panah c)
Gambar 6  Hati mengalami kongesti yang disertai dengan  rib impression (panah)
Gambar 13  Penebalan disertai dilatasi dinding otot jantung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Paru-paru juga mengalami pembendungan atau kongesti, yang diakibatkan oleh adanya gagal jantung karena menurunnya laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal.. Menurut

Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) pada organ jantung, paru-paru, lambung, usus, hati, pankreas, ginjal, limpa, dan ovarium komodo ditemukan lesio berupa

dan ) pada saat berumur dua bulan, dan belum dilakukan booster. Setelah dilakukan roentgen, pada foto roentgen paru terlihat kecil dengan kesan paru-paru tidak jelas terlihat

Pada pewarnaan ZN, bakteri pada sampel ikan dapat mempertahankan warna merah ketika dibilas dengan asam, sehingga dapat dikelompokkan dalam bakteri tahan Gambar

Berdasarkan temuan patologi anatomi dan histopatologi pada anak kucing ini, dapat disimpulkan bahwa anak kucing mengalami infeksi virus Feline Infectious Peritonitis tipe

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami kasus penyakit ikan hias air tawar (ikan paradise) yang ditemukan di budidaya ikan hias sehingga diharapkan studi kasus

Kelainan yang ditemukan pada ginjal antara lain enam kasus nefritis menunjukkan adanya penebalan korteks renalis dengan area hyperechoic.. Enam kasus mengarah kepada hidronefrosis

Adaptasi anatomi pada batang hasil seleksi lini yaitu mempunyai, jaringan kolenkim sel sklereid yang menyebar dari korteks ke daerah pembuluh, parenkim udara persegi empat,