• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen kimia dalam rumput laut dapat diperoleh sesuai kebutuhan dengan beberapa cara, salah satunya yaitu hidrolisis. Hidrolisis adalah pemecahan suatu senyawa menggunakan air, menghasilkan molekul-molekul yang lebih kecil. Hidrolisis dapat dilakukan dengan bahan kimia maupun enzimatis (Mastuti dan Setyawardhani 2010). Selulosa dan hemiselulosa merupakan komponen penting yang terdapat pada dinding sel rumput laut (Kumar et al. 2015). Selulosa merupakan polimer berantai lurus dari α-(1,4)-D-glukosa (Winarno 2008). Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis pada polimer organik, seperti selulosa menjadi komponen gula sederhana yaitu glukosa. Pada enzim selulase kompleks terdapat tiga enzim utama yaitu endoglukanase, eksoglukanase dan selobiose (β-glukosidase) (Winarno 2010).

Penapisan Kapang Laut untuk Hidrolisis Rumput Laut Coklat

Sargassum sp. (CP 01)

Penapisan kapang laut dilakukan untuk menentukan kapang yang sesuai untuk digunakan dalam proses hidrolisis rumput laut coklat Sargassum sp. (CP 01). Hasil uji aktivitas inhibitor tirosinase hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) dengan tiga jenis kapang laut yang berbeda yaitu kapang EN, Veronaea sp. KT 19, dan SMH disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Aktivitas inhibitor tirosinase hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) menggunakan kapang KT 19, SMH, dan EN

Sampel Inhibisi (%)

Kontrol positif (kojic acid) 80,10 Hidrolisat CP 01 menggunakan kapang KT 19 17,41 Hidrolisat CP 01 menggunakan kapang SMH 19,65 Hidrolisat CP 01 menggunakan kapang EN 22,64

9

Hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) yang dihidrolisis dengan tiga jenis kapang berbeda memiliki aktivitas inhibitor tirosinase yang berbeda yang dinyatakan dalam persen inhibisi. Hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) yang dihidrolisis menggunakan kapang EN memiliki aktivitas inhibitor tirosinase paling tinggi dibandingkan dengan kapang lainnya yaitu 22,64%. Kontrol positif (kojic acid) memiliki aktivitas inhibitor tirosinase sebesar 80,10%. Tingginya aktivitas inhibitor tirosinase Sargassum sp. (CP 01) yang dihidrolisis menggunakan kapang EN ini disebabkan kemampuan kapang EN menghidrolisis selulosa pada dinding sel Sargassum sehingga komponen aktif yang terdapat di dalam sel dapat larut dalam air. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Andhikawati et al. (2014) yang menemukan kapang EN memiliki aktivitas selulolitik yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kapang KT 19 dan SMH.

Kapang EN merupakan kapang endofit yang diisolasi dari lamun jenis

Enhalus sp. dari perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu (Oktavia et al. 2014). Kapang endofit dapat menghasilkan enzim-enzim penting, seperti enzim pendegradasi oligosakarida (selulase, xylanase, mannanase dan inulinase). Kapang laut endofit dapat menghasilkan hormon yang dapat memacu pertumbuhan inangnya, zat antibiotik dan metabolit sekunder lainnya yang bermanfaat (Ranghukumar 2008). Sebagian besar kapang endofit menghasilkan metabolit sekunder jika dikultur dan difermentasi, tetapi temperatur, komposisi media dan intensitas cahaya sangat menentukan jumlah dan komponen yang dihasilkan oleh kapang endofit (Cai et al. 2012).

Hidrolisis Rumput Laut Coklat Sargassum sp. (CP 01) Rendemen Hidrolisat Sargassum sp. (CP 01)

Mengacu pada hasil penapisan kapang yang menunjukkan bahwa aktivitas inhibitor tirosinase paling tinggi dimiliki oleh hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) yang dihidrolisis menggunakan kapang EN, maka pada proses hidrolisis selanjutnya yang digunakan hanya kapang EN. Kapang EN merupakan kapang endofit yang diisolasi dari lamun jenis Enhalus. Kapang ini diduga merupakan kapang laut yang fakultatif, karena dapat tumbuh pada kondisi media NaCl 3%, air tawar, dan air laut (Andhikawati et al. 2014). Kapang laut fakultatif merupakan kapang dari lingkungan tawar atau terrestrial yang mampu tumbuh dan bersporulasi di lingkungan laut (Gandjar et al. 2006).

Fase adaptasi kapang EN terjadi hingga hari ketiga, selanjutnya merupakan fase eksponensial yang terjadi hingga hari ke 12, setelah hari ke 12 kapang EN memasuki fase stasioner. Isolat kapang EN ini memiliki potensi sebagai kapang selulolitik dengan media air tawar (Andhikawati et al. 2014), maka media hidrolisis yang digunakan pada penelitian ini adalah akuades. Aklimatisasi kapang EN dengan subsrtrat Sargassum sp. (CP 01) dilakukan selama 24 jam. Kapang yang telah diaklimatisasi selanjutnya digunakan pada proses hidrolisis. Hidrolisis

Sargassum sp. (CP 01) dilakukan selama 96 jam yaitu hari keempat, diduga pada hari keempat kapang EN berada pada fase pertumbuhan eksponensial (fase logaritmik). Menurut Andhikawati et al. (2014), saat berada pada fase logaritmik, kapang memanfaatkan sebagian besar nutrien untuk pertumbuhan. Data rendemen hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) per 24 jam disajikan pada Gambar 3.

10

Gambar 3 Data rendemen hidrolisat Sargassum sp. (CP 01)

Rendemen hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) terus meningkat dari 15,60 ± 0,00% pada jam ke-0 hingga 35,90 ± 4,10% pada jam ke-96. Contoh perhitungan rendemen hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) disajikan pada Lampiran 2. Hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak metanol

Sargassum sp. (CP 01) yaitu sebsar 6,02 ± 0,08% (Putri 2014). Perbedaan hasil rendemen tersebut disebabkan perbedaan metode yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa metode hidrolisis lebih efektif dibandingkan dengan metode ekstraksi. Rendemen yang diperoleh pada jam ke-0 mencapai 15,60 ± 0,00% disebabkan adanya proses sterilisasi menggunakan suhu 121 °C selama 25 meni. Hasil penelitian Toskas et al. (2011) menunjukkan bahwa hidrolisis Ulva rigida

menggunakan air dengan suhu 130 °C selama 30 menit menghasilkan rendemen 24,3%.

Rendemen yang dihasilkan selama hidrolisis terus meningkat hingga jam ke-96 akibat adanya aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang. Mekanisme pemotongan rantai ikatan oleh enzim selulase melibatkan sinergitas kerja 3 komponen besar yaitu endo-1,4-β-D-glukanase yang berfungsi memutuskan ikatan selulosa secara acak dengan memulai serangan pada sisi internal daerah amorf dari serat selulosa sehingga sisi yang terbuka dapat diserang oleh selobiohidrolase. Kemudian dilanjutkan oleh ekso-β-1,4- glukanase yang memotong ujung-ujung rantai selulosa. Ekso-β-1,4-glukanase atau disebut selobiohidrolase menyerang bagian luar dari selulosa sehingga dihasilkan selobiosa, kemudian dilanjutkan oleh β-glukosidase yang berfungsi memotong selobiosa menjadi molekul-molekul glukosa (Kodri et al. 2013).

Kapang mempunyai masa pertumbuhan yang bervariasi, dalam aktivitas metabolismenya kapang memiliki beberapa fase dalam pertumbuhnnya. Aktivitas metabolisme akan menurun setelah kapang melewati fase puncak pertumbuhannya. Fase pertumbuhan tersebut berpengaruh terhadap enzim yang dihasilkan oleh kapang untuk membantu mencerna makanannya. Aktivitas enzim selulase mencapai nilai maksimum pada fase logaritmik pertumbuhan kapang,

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 24 48 72 96 R ende m en (% )

11

karena pada fase logaritmik pertumbuhan kapang akan mengurai polimer yang lebih kompleks (selulosa) sebagai nutrisi pertumbuhannya (Gandjar et al. 2006).

Selulosa pada Sargassum akan terhidrolisis menjadi polisakarida yang larut air. Polisakarida merupakan senyawa karbohidrat yang tersusun dari banyak sakarida. Sifat dari polisakarida diantaranya tidak dapat mereduksi, tidak menunjukkan mutarotasi, tidak membentuk mutanon, dan stabil pada kondisi basa (Winarno 2010). Selulosa pada Sargassum dimanfaatkan oleh isolat kapang sebagai sumber karbon untuk proses pertumbuhannya. Molekul yang terlalu besar untuk diserap akan dihancurkan oleh enzim ekstraseluler sehingga pada fase ini aktivitas enzim akan maksimum (Andhikawati et al. 2014). Da silva et al. (2005) menyatakan bahwa sistem pemecahan selulosa menjadi glukosa melibatkan tiga jenis enzim selulase yaitu endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-glukosidase.

Hasil rendemen menunjukkan bahwa etanol efektif untuk mengendapkan polisakarida. Etanol memiliki kemampuan melarutkan polisakarida yang relatif kecil, meskipun kemampuan dalam melarutkan zat–zat lain cukup besar (Haryani 2010). Wu et al. (2014) juga menyebutkan bahwa isolasi polisakarida dari Sargassum fusiforme dilakukan dengan metode ekstraksi panas menggunakan air, dan presipitasi dengan etanol. Dengan demikian etanol dapat digunakan dalam proses pengendapan polisakarida dari Sargassum sp. (CP 01).

Polisakarida yang diduga terdapat dalam hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) antara lain alginat, fukoidan, dan laminaran. Sinha et al. (2010) menyatakan bahwa S. tenerrimum setidaknya mengandung dua jenis polisakarida berbeda yaitu fukoidan dan alginat yang kaya akan asam guluronat. Hasil penelitian Handayani et al. (2004) menunjukkan bahwa talus S. crassifolium mengandung

alginat 37,91%. Ekstrak LME (Laminaran Modified Extraction) dari

S. crassifolium mempunyai finger print pada bilangan gelombang 884 cm-1 yang identik dengan β-(1,3)-D-glukopiranosil atau laminaran sedangkan LAE (Laminaran Acid Extraction) dari S. crassifolium mempunyai finger print pada bilangan gelombang 833 cm-1 yang mengindikasikan adanya grup sulfat axial yang identik dengan fukoidan (Chamidah 2013). Polisakarida yang terdapat dalam hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) merupakan jenis polisakarida larut air. Hasil penelitian Wu et al. (2014) menunjukkan bahwa polisakarida larut air yang diisolasi dari S. fusiforme tersusun dari manosa, glukosa, galaktosa, xilosa, fukosa, asam glukuronat atau asam galakturonat, dan asam uronat.

Perubahan pH Selama Hidrolisis

Pertumbuhan kapang umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya. Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan suasana pH selama proses hidrolisis menggunakan kapang EN. Enzim merupakan molekul amfoter yang mengandung sejumlah besar kelompok asam dan basa terutama terdapat pada permukaan. Muatan-muatan pada kelompok tersebut akan berubah berdasarkan konstanta disosiasi asam terhadap pH lingkungannya (Lehninger 1982). Nilai pH diukur selama proses hidrolis,

12

yaitu pada jam ke-0, jam ke-24, jam ke-48, jam ke-72, dan jam ke-96. Perubahan nilai pH selama hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik nilai pH selama proses hidrolisis

Nilai pH mengalami penurunan pada jam ke-24 dan kembali meningkat hingga jam ke-72 dan cenderung konstan hingga jam ke-96. Perubahan pH yang terjadi selama proses hidrolisis disebabkan oleh aktivitas kapang selama proses pertumbuhannya. Rentang pH optimum pertumbuhan kapang yaitu 4-7 (Srikandace et al. 2007). Nilai pH tersebut masih berada pada rentang yang sesuai untuk aktivitas enzim selulase, sehingga enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang EN dapat bekerja untuk menghidrolisis selulosa pada Sargassum sp. (CP 01). Menurut Harshvardhan et al. (2013), enzim selulase aktif pada kisaran pH 3-9. Yuan et al. (2012), menyatakan endoglukanase yang dihasilkan oleh

Fusarium oxysporum sangat reaktif pada pH 4,5-5,5.

Penurunan nilai pH yang terjadi pada jam ke-24 diduga disebabkan adanya pemecahan alginat menghasilkan asam uronat, asam manuronat, dan asam guluronat (Wu et al. 2014; Siswati et al. 2002). Adanya pemecahan protein pada

Sargassum menjadi asam amino juga menyebabkan turunnya nilai pH. Kapang membutuhkan nitrogen sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Sebagian besar kapang dapat mengasimilasi asam amino, amina, dan amida sebagai sumber nitrogen. Kebanyakan kapang memiliki kemampuan proteolitik, yaitu dapat menghidrolisis protein menjadi asam amino menggunakan enzim protease ekstraseluler (Kavanagh 2011).

Peningkatan nilai pH yang terjadi pada jam ke-48 hingga jam ke-72 diduga disebabkan pembentukan beberapa asam amino yang bersifat basa seperti arginin dan ornitrin (Moat et al. 2002). Prusky et al. (2001) melaporkan bahwa proses deaminasi asam amino oleh kapang menghasilkan amonia juga menyebabkan naiknya nilai pH. Beberapa jamur yang memproduksi amonia antara lain

Neurospora crasa, Aspergillus fumigatus, Metarhizium anisopliae, dan Candida albicans (Barelli et al. 2015). Metabolisme protein juga menghasilkan NH3 yang

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 24 48 72 96 pH

13

akan bereaksi dengan air membentuk NH4+ dan OH- yang bersifat basa (Sakhashiri 2008).

Aktivitas Inhibitor Tirosinase Hidrolisat Sargassum sp. (CP 01)

Tirosinase merupakan enzim yang terdistribusi secara luas pada mikroorganisme, tumbuhan, dan hewan. Tirosinase merupakan enzim yang terlibat dalam proses biosintesis melanin pada kulit manusia (Chang 2012). Tahap pertama dari proses melanogenesis yaitu oksidasi tirosin menjadi dopaquinon yang dikatalisis oleh enzim tirosinse. Selanjutnya, dopaquinon diubah menjadi dopa dan dopakrom melalui proses autooksidasi. Dopa juga merupakan substrat untuk enzim tirosinase dan dioksidasi menjadi dopaquinon kembali oleh enzim tirosinase. Produk akhir berupa eumelanin terbentuk melalui satu rangkaian reaksi oksidasi dihydroxylindole (DHI) dan dihydroxylindole-2-carboxylic acid

(DHICA), yang merupakan produk reaksi dari dopakrom. Apabila terdapat sejumlah cystein atau glutation, maka dopaquinon akan dikonversi menjadi

cysteinyldopa atau glutationyldopa, dan produk akhir yang terbentuk adalah pheomelanin (Chang 2009). Alur proses melanogenesis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Alur proses melanogenesis (Chang 2009)

Aktivitas inhibitor tirosinase hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS Jenwey 2030 pada panjang gelombang 475 nm. Indera et al. (2013) menyatakan bahwa panjang gelombang 475 nm merupakan panjang gelombang untuk spektrum warna biru. Penggunan panjang gelombang 475 nm didasarkan pada perubahan warna yang terjadi pada sampel, yaitu warna biru yang merupakan reaksi pembentukan dopakrom. Semakin kecil aktivitas inhibitor tirosinase pada sampel, maka semakin pekat warna biru yang

14

dihasilkan, hal ini ditandai dengan nilai absorbasi yang semakin tinggi. Chang (2012) menyatakan bahwa aktivitas inhibitor tirosinase suatu zat biasanya dinyatakan sebagai nilai IC50. Pengujian aktivitas inhibitor tirosinase dilakukan menggunakan substrat L-Tirosin dan L-DOPA, dengan kontrol positif arbutin dan

kojic acid. Hasil uji aktivitas inhibitor tirosinase hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan IC50 hidrolisat Sargassum sp. (CP 01), dan arbutin disajikan pada Lampiran 3, 4, dan 5.

Tabel 2 Nilai IC50 hidrolisat Sargassum sp. (CP 01), ekstrak metanol Sargassum

sp. (CP 01), kojic acid, dan arbutin

Sampel Nilai IC50 (µg/mL)

Substrat L-DOPA Substrat L-Tirosin Hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) 364,55 ± 32,18 120,29 ± 1,86 Ekstrak metanol Sargassum sp. (CP 01)

Kojic acid Arbutin 209,06 ± 64,96* 14,27 ± 0,73* - 27,50 ± 0,9* 3,45 ± 0,82* 12,43 ± 3,5 Keterangan: * Putri (2014)

Nilai IC50 hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IC50 ekstrak metanol Sargassum sp. (CP 01) dari hasil penelitian Putri (2014), hal ini disebabkan sebagian besar komponen yang terdapat pada hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) merupakan polisakarida, hanya sedikit komponen aktif yang terikat pada polisakarida dan ikut terendapkan selama proses presipitasi menggunakan etanol. Selain itu, proses sterilisasi menggunakan suhu tinggi diduga menyebabkan rusaknya komponen aktif yang terdapat pada

Sargassum. Oleh karena itu, aktivitas penghambatan terhadap enzim tirosinase menjadi rendah. Nilai IC50 hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) pada substrat L-DOPA lebih tinggi dibandingkan pada substrat L-Tirosin. Hal ini menunjukkan bahwa ktivitas inhibitor tirosinase hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) lebih efektif pada tahap monofenolase.

Sargassum memiliki komponen fenolik yang berfungsi mengikat radikal bebas untuk melindungi talus dari photo-destruction yang disebabkan radiasi sinar ultraviolet. Komponen fenolik merupakan aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil. Beberapa golongan fenolik telah diketahui dan salah satu yang terbesar adalah flavonoid (Harborne 1987). Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi jumlah komponen fenolik pada Sargassum yaitu intensitas cahaya, lama penyinaran, kedalaman, salinitas, nutrien, musim, umur, dan tipe jaringan (Kumar et al. 2015). Hasil analisis fitokimia secara kualitatif yang dilakukan pada penelitian Putri (2014) menunjukkan bahwa ekstrak

Sargassum sp. (CP 01) mengandung komponen flavonoid, saponin, fenol, steroid dan triterpenoid.

Komponen kimia yang berperan sebagai inhibitor tirosinase dari hidrolisat

Sargassum sp. (CP 01) termasuk jenis inhibitor kompetitif. Inhibitor ini akan berkompetisi dengan substrat untuk berikatan dengan enzim tirosinase, sehingga produk akhir berupa melanin tidak terbentuk. Kim (2004) menyatakan bahwa beberapa komponen fenolik dikenal berperan sebagai agen depigmentasi, karena struktur kimia komponen fenolik memiliki kemiripan dengan tirosin yang merupakan substrat dari reaksi tirosin-tirosinase. Hal ini sesuai dengan penelitian

15

Chang (2012) yang menyatakan bahwa beberapa komponen fenolik bertindak sebagai alternatif substrat tirosinase. Ketika komponen fenolik menunjukkan afinitas yang baik terhadap tirosinase, pembentukan dopakrom akan dicegah. Oleh karena itu, komponen fenolik tersebut dapat berfungsi sebagai inhibitor tirosinase. Suatu inhibitor kompetitif biasanya merupakan substrat analog atau turunan L-Tirosin atau L-DOPA yang akan mengikat ion Cu+2 dari enzim tirosinase.

Komponen aktif yang terdeteksi dominan pada Sargassum sp. (CP 01) adalah flavonoid. Struktur flavonoid pada prinsipnya kompatibel dengan peran dari kedua substrat dan bersifat kompetitif sebagai inhibitor tirosinase. Penghambatan yang dilakukan salah satunya oleh flavonol, yang merupakan kelompok flavonoid yaitu sebagai inhibitor kompetitif pada oksidasi L-DOPA oleh tirosinase dan 3-hidroksi-4-keto yang merupakan bagian dari struktur flavonol yang berperan sebagai kunci dalam pengkelat logam (Chang 2009). Senyawa fenolik dari flavonoid berikatan dengan atom Cu+2 pada sisi aktif tirosinase yang menyebabkan tidak terjadi reaksi oksidasi yang dikatalisis tirosinase sehingga pembentukan senyawa dopakuinon dan dopakrom menjadi berkurang (Juwita 2011).

Saponin merupakan glikosida triterpen dan sterol yang terdeteksi pada lebih dari 90 jenis tumbuhan. Saponin merupakan senyawa yang bersifat seperti sabun yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuan membentuk busa (Harborne 1987). Zhang dan Zhou (2013) melaporkan bahwa saponin yang diisolasi dari

Xanthoceras sorbifolia pada konsentrasi 0,96 mg/mL dapat menghambat kerja tirosinase sebesar 52%. Mekanisme saponin dalam menghambat kerja tirosinase adalah meningkatkan nilai konstanta Michaelis-Menten (Km) tetapi menurunkan laju oksidasi yang terindikasi dari rendahnya nilai kecepatan maksimum (Vmax).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 yaitu sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol (Harbone 1987). Senyawa steroid yang terdapat pada Sargassum sp. (CP 01) diduga memiliki kemampuan menghambat kerja enzim tirosinase. Chang (2009) menyatakan bahwa tiga macam steroid yang diisolasi dari Trifolium balansae

menunjukkan hasil inhibisi pada fase diphenolase yang lebih tinggi dari pada kojic acid yang merupakan kontrol positif.

Selain itu, komponen lain dari hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) yang diduga berperan dalam menghambat proses melanogenesis yaitu fukosantin. Thomas dan Kim (2013) menyatakan bahwa fukosantin yang diisolasi dari Laminaria japonica

dapat menekan aktivitas tirosinase pada babi yang diradiasi UVB. Sargassum siliquastrum dapat memproduksi fukosantin yang memiliki efek fotoprotektif yaitu menangkal radiasi UV-B yang berbahaya bagi sel (Heo dan Jeon 2009). Peran fukosantin dari hidrolisat Sargassum sp. (CP 01) diduga sangat kecil karena rusaknya fukosantin akibat proses sterilisasi yang menggunakan suhu tinggi. Fukosantin mudah terdegradasi oleh panas, paparan cahaya, dan pH yang rendah (Hi et al. 2010). Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan ikatan ganda dalam molekul karotenoid dan menyebabkan degradasi pigmen (Boon et al. 2010).

16

Dokumen terkait