• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Unit Keamanan Kampus (UKK)

Unit keamanan kampus merupakan unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melaksanakan tugas pengamanan fisik dalam rangka menyelenggarakan keamanan di lingkungan atau kawasan kerja IPB. Undang-undang nomor 2 tahun 2002 dan peraturan Kapolri nomor 24 tahun 2007 mengamanatkan bahwa security merupakan pengamanan internal yang mempunyai tugas dan kewenangan kepolisian terbatas di lingkungan kerjanya. Nama unit pengelola keamanan ini beberapa kali mengalami perubahan, pada tahun 2000 berada dibawah sub bagian rumah tangga, kemudian berpindah pengelola ke Unit Pembinaan Lingkungan Kampus (PLK) ditahun 2000-2003, dan pada akhirnya ditahun 2003 sampai dengan sekarang berada dibawah Unit Keamanan Kampus (UKK).

Kawasan kampus yang harus diamankan berada di empat titik wilayah yaitu, kampus IPB Dramaga Bogor berada di Kabupaten Bogor, kampus IPB Barangsiang berada di Kota Bogor, kampus IPB Diploma di Gunung Gede Kota Bogor, dan kampus IPB Taman Kencana di Kota Bogor. Berdasarkan letak lokasi tersebut peneliti hanya mengambil sampel di satu titik yaitu kawasan kampus IPB Dramaga yang berada di Kabupaten Bogor. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di kawasan tersebut berjumlah 251 orang yang terbagi menjadi 245 orang berjenis kelamin laki-laki dan 6 orang berjenis kelamin perempuan. Hasil analisis tingkat

kebutuhan SDM untuk kampus IPB Dramaga masih tergolong kurang karena SDM aktual yang dibutuhkan adalah 300 orang namun kenyataannya hanya berjumlah 251 orang.

Kegiatan pelatihan satuan pengamanan (satpam) kampus dalam rangka untuk meningkatkan mental, kemampuan fisik, keterampilan dasar, skill, etika, tugas pokok, fungsi, dan peranan satpam, maka anggota satpam dikirim untuk menjalani latihan Garda Pratama ke Lido Bogor. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Juli, Agustus, September, Oktober, dan November. Anggota yang dikirim per bulan tersebut masing-masiang berjumlah 15 orang atau 60 orang dalam setahun.

Karakteristik Subjek

Subjek penelitian berjumlah 72 orang yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dan berprofesi sebagai satpam kampus IPB. Usia, pendidikan, besar keluarga, dan pendapatan merupakan komponen dari karakteristik subjek penelitian. Sebaran subjek berdasarkan usia, pendidikan, besar keluarga, dan pendapatan ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan usia

Kategori n % Usia Dewasa Awal 30 41.67 Dewasa Madya 39 54.17 Dewasa Akhir 3 4.17 Total 72 100,00 Rata-rata±SD 38.63±9.54 Pendidikan Tidak sekolah 0 0.00 SD 3 4.17 SMP 2 2.78 SMA/Sederajat 67 93.06 PT 0 0.00 Total 72 100.00 Besar Keluarga Kecil 46 63.89 Sedang 22 30.56 Besar 4 5.56 Total 72 100 Pendapatan 1-2 juta 51 70.83 2-3 juta 15 20.83 3-4 juta 3 4.17 4-5 juta 3 4.17 >5 juta 0 0.00 Total 72 100.00

Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kebugaran tubuh. Andersen et. al 1978 membuktikan bahwa nilai kemampuan kardiorespiratori tertinggi terdapat pada umur 20 sampai dengan 30 tahun. Subjek pada penelitian ini berusia 24-65 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, sebaran subjek berdasarkan usia dibagi menjadi tiga kategori usia yaitu, dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa lanjut. Subjek yang masuk ke dalam golongan usia dewasa awal sebanyak 41.67%, usia dewasa madya 54.17% dan usia dewasa akhir 4.17%. Rata-rata usia subjek 38.63±9.54 tahun. Daya tahan kardiovaskuler akan terus meningkat ketika usia anak-anak hingga sekitar umur 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia antara 20-30 tahun (Morehouse 1972). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kebugaran kardiorespiratori tertinggi terdapat pada umur 20 hingga 30 tahun, setelah itu akan cenderung menurun (Andersen et. al 1978). Pendidikan

Pola pikir, pengetahuan gizi, dan kesehatan dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang, baik dari pendidikan formal maupun pendidikan non-formal (Rifai dan Gulat 2003). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku konsumsi pangan ke arah yang lebih baik. Pendidikan terakhir subjek pada penelitian ini mayoritas adalah lulusan SMA/Sederajat (93.06%), lulusan SD (4.17%), dan lulusan SMP (2.78%). Permata (2012) menyebutkan bahwa selain dapat meningkatkan pengetahuan gizi dan kesehatan, tingkat pendidikan juga ikut berperan dalam peningkatan kemampuan akses pangan dan taraf hidup.

Besar Keluarga

Berdasarkan (BKKBN 1998) sebaran subjek penelitian ini digolongkan menjadi tiga kategori yaitu, kecil, sedang, dan besar dengan persentase tertinggi merupakan keluarga dengan kategori kecil (63.89%), sedang (30.56%) dan besar (5.56%). Deliarnov (2009) menyebutkan bahwa banyaknya keluarga tentu akan memengaruhi konsumsi pangan individu, oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus agar setiap individu anggota keluarga dapat mempunyai akses pangan dan dapat mengonsumsi pangan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu tersebut. Semakin banyak anggota keluarga maka semakin tinggi tanggung jawab orang tua untuk mencukupi kebutuhan sosial ekonomi anggota keluarganya. Pendapatan

Sumarwan (2003) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya pendapatan akan mempengaruhi daya beli, yang artinya akses jual beli pangan sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan. Subjek pada penelitian ini umumnya memiliki penghasilan 1000000-2000000 (70.83%) perbulan dari pekerjaannya sebagai satpam. Subjek penelitian mengeluhkan bahwa penghasilan dari pekerjaannya tersebut masih sangat rendah untuk mencukupi kebutuhan keluarga terutama dalam pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga dapat memengaruhi tingkat kecukupan gizi individu keluarganya. Tinggi rendahnya pendapatan tentu akan merubah gaya hidup sesorang, namun terkadang peningkatan pendapatan tidak jarang dapat merubah ke gaya hidup yang tidak sehat.

Gaya Hidup Konsumsi Kopi

Kopi merupakan minuman yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia terutama dikalangan pria. Konsumsi kopi berlebih diatas 3 gelas perhari akan memiliki efek samping yang akan mengganggu kesehatan, yaitu osteoporosis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, insomnia, infertilisasi, depresi, gelisah, tremor otot, dan menyebabkan kematian (ADF 2011). Konsumsi kopi pada subjek penelitian ini tertinggi pada kategori 1-2 gelas per hari sebanyak 32 orang (44.44%), 3-5 gelas per hari 18 orang (25.00%), <1 gelas per hari 13 orang (18.06%), >5 gelas per hari sebanyak 2 orang (2.78%), dan sisanya sebanyak 7 orang (9.72%) merupakan subjek yang tidak mengonsumsi kopi. Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi

Kategori n % Tidak ngopi 7 9.72 < 1 gelas 13 18.06 1-2 gelas 32 44.44 3-5 gelas 18 25.00 >5 gelas 2 2.78 Total 72 100.00

Jenis konsumsi kopi yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek adalah kopi hitam. Kopi hitam tersebut selain disukai oleh subjek, juga merupakan minuman yang diberikan kepada subjek untuk menunjang pekerjaannya. Jatah kopi hitam tersebut diberikan kepada setiap individu yang bertugas sebagai satpam, namun tidak jarang juga mereka mengonsumsi kopi kemasan yang banyak dijual di pasaran. Bhara (2009) menyatakan bahwa konsumsi kafein tidak boleh melebihi 300 mg/hari. Menurut Weinberg dan Bealer (2002), kandungan kafein kopi dalam ukuran rumah tangga mengandung 138,9 mg per satu gelas kopi (250 ml), sedangkan 180 ml kopi dalam kemasan mengandung sebanyak 100 mg kafein. Berdasarkan SNI (2006), satu sendok makan (sdm) kopi hitam mengandung sekitar 69,45 mg kafein dan produk minuman kopi dalam kemasan berkisar antara 50-150 mg per sajiannya. Mengonsumsi kopi 1-2 gelas (180 ml) dalam sehari sama dengan mengonsumsi 100-200 mg kafein.

Kebiasaan merokok

Rokok merupakan salah satu penyebab menurunnya kesehatan dan menjadi sebagai salah satu faktor resiko penyakit kardivaskular (Bullock 1996). Berdasarkan hasil penelitian ini, subjek tertinggi berada dalam kategori sedang (38.89%), subjek pada kelompok ini mengonsumsi kopi sebanyak 11-20 batang dalam sehari. Subjek yang termasuk dalam kategori ringan (34.72%), kategori berat (8.33%), dan sisanya merupakan subjek yang tidak merokok (18.06%). Tingkat konsumsi rokok juga dapat diduga sebagai salah satu faktor yang memengaruhi konsumsi pangan subjek. Konsumsi rokok perharinya mungkin dapat menurunkan jatah atau besaran alokasi uang pendapatan mereka untuk konsumsi pangan. Berikut ditampilkan sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok Kategori n % Tidak merokok 13 18.06 Ringan 25 34.72 Sedang 28 38.89 Berat 6 8.33 Total 72 100.00

Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas VO2 max karena dapat menurunkan jumlah udara yang dapat dihirup oleh paru-paru sehingga mengakibatkan terbatasnya penggunaan oksigen (Indrawagita 2009). Zat-zat berbahaya yang terkandung dalam rokok antara lain, nikotin, karbon monoksida, tar, zat aditif untuk rasa dan aroma, serta gas beracun lainnya. Efek yang ditimbulkan dari zat tersebut yaitu meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan metabolisme serta memengaruhi transportasi oksigen ke seluruh tubuh dan menghambat aktivitas organ-organ tubuh.

Aktivitas Fisik

Aktivitas merupakan suatu kegiatan yang melibatkan kekuatan otot-otot tubuh dan sistem yang dapat menunjangnya. Kegiatan tersebut tentu memerlukan tenaga yang dihasilkan dari pemecahan zat-zat gizi menjadi energi. Banyaknya energi yang digunakan tergantung tingkat aktivitas fisik yang dilakukan, semakin banyak otot-otot yang terlibat dalam aktivitas fisik maka semakin tinggi energi yang diperlukan untuk kegiatan tersebut (Almatsier 2006). Berdasarkan hasil penelitian, subjek yang berjumlah 72 orang memiliki aktivitas fisik yang tergolong rendah 69 orang (95.83%), dan sisanya 3 orang dengan aktivitas fisik yang tergolong sedang (4.17%). Aktivitas fisik yang rendah ini berdasarkan observasi recall activity 2x24 jam disebabkan karena aktivitas pekerjaan yang banyak duduk. Selama 12 jam bekerja, subjek hanya menghabiskan waktunya untuk duduk santai dan sekali-kali berkeliling untuk memantau keamanan area tugas mereka. Kebiasaan olahraga yang merupakan aktivitas fisik yang lumayan berat jarang dilakukan oleh subjek. Aktivitas olahraga rutin yang diselenggarakan oleh satpam adalah olahraga sepak bola, namun tidak banyak yang rutin untuk menggeluti olahraga tersebut. Tingkat aktivitas fisik dihitung menggunakan PAL (Phyisical Activity Level) diperoleh hasil sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik

Kategori n %

Rendah 69 95.83

Sedang 3 4.17

Tinggi 0 0.00

Total 72 100.00

Tingkat kerja fisik mengindikasikan tinggi rendahnya kadar daya tahan kardiorespiratori. Aktivitas fisik terdiri dari 3 komponen yaitu, pekerjaan, latihan fisik atau olahraga, dan aktivitas pada waktu luang (Baecke 1982). Daya tahan aerobik dapat ditingkatkan sebesar 5% sampai 25% pada orang dewasa sehat yang sebelumnya tidak terlatih dengan melakukan latihan secara teratur, sehingga jumlah

maksimal oksigen yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas fisikpun meningkat (Anspaugh 1997).

Pola Konsumsi Pangan Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan akan sangat menentukan tingkat kecukupan terhadap energi dan zat gizi subjek. Waktu makan digolongkan menjadi 5 kali waktu makan yaitu makan pagi, selingan pagi, makan siang, selingan sore, dan makan malam. Subjek dalam penelitian ini paling banyak memiliki frekuensi waktu makan 4 kali (56.94%), 5 kali (23.61%), 3 kali (15.28%) dan 2 kali (4.17%). Sebaran subjek berdasarkan frekuensi waktu makan sehari ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan frekuansi makan sehari

Frekuensi makan sehari n %

1 kali 0 0.00 2 kali 3 4.17 3 kali 11 15.28 4 kali 41 56.94 5 kali 17 23.61 Total 72 100.00

Menurut Winarno (2002), kontribusi zat gizi untuk satu kali sarapan pagi menyumbang 20-25% dari kebutuhan energi total. Waktu makan yang paling sering dilewatkan oleh responden adalah waktu makan siang (30.99%), makan pagi (25.35%), selingan pagi (16.90%), selingan sore (15.49%), dan makan malam (11.27%). Melewatkan satu kali waktu makan berarti menurunkan tingkat kecukupan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Asupan yang tidak adekuat tentunya dapat menurunkan kemampuan melakukan aktivitas fisik sehingga dapat menjadi faktor rendahnya tingkat kebugaran tubuh.

Frekuensi Konsumsi

Frekuensi konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan Food Frequency Questionare (FFQ). Frekuensi konsumsi pangan digolongkan menjadi 6 jenis bahan pangan yaitu, karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayuran, buah-buahan, dan kelompok jajanan. Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan subjek disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran frekuensi konsumsi pangan subjek

Jenis bahan pangan kali/hari kali/minggu

Karbohidrat Nasi Putih 2,65 20.17 Mie 0,42 3.22 Kentang 0,22 1.68 Protein Hewani Ikan 0,61 4.67 Telur ayam 0,61 4.63 Susu sapi 0,31 2.32

Jenis bahan pangan kali/hari kali/minggu Ayam 0,30 2.26 Protein Nabati Tempe 0,81 6.15 Tahu 0,72 5.48 Kacang tanah 0,14 1.06 Sayuran Wortel 0,34 2.61 Bayam 0,30 2.25 Kangkung 0,26 1.96 Buah-buahan Rambutan 0,38 2.89 Pisang 0,22 1.65 Jeruk manis 0,20 1.52 Jajanaan Gorengan 0,82 6.22 Bakso 0,23 1.72

Pangan sumber karbohidrat subjek yang paling sering dikonsumsi adalah nasi putih yaitu, 2.65 kali/hari, mie 0.42 kali/hari dan kentang 0.22 kali/hari dengan jumlah konsumsi golongan karbohidrat sebanyak 3.29 kali/hari. Hal tersebut sudah sesuai dengan anjuran gizi seimbang yang menyarankan untuk mengonsumsi sumber karbohidrat setidaknya 3-4 piring nasi, namun perlu diperhatikan porsi yang dianjurkan agar dapat memenuhi kebutuhan energi subjek sehingga tidak terjadi defesiensi energi. Protein hewani yang paling sering dikonsumsi adalah ikan 0.61 kali/hari. Jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan asin, ikan tongkol, ikan kembung, ikan mas dan ikan nila. Telur ayam juga merupakan pangan hewani yang paling sering dikonsumsi oleh subjek yaitu, 0.61 kali/hari, susu sapi 0.31 kali/hari, dan ayam 0.30 kali/hari dengan jumlah total konsumsi golongan pangan sumber protein hewani adalah 1.83 kali/hari. Konsumsi pangan sumber pangan hewani masih kurang untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dalam sehari. Konsumsi daging, hati yang merupakan sumber zat besi jarang dikonsumsi subjek, padahal menurut anjuran gizi seimbang konsumsi pangan kelompok daging-dagingan merupakan kelompok pangan sumber zat besi yang dapat mencegah terjadinya anemia. Konsumsi pangan kelompok protein nabati paling sering dikonsumsi adalah tempe yaitu, 0.81 kali/hari, tahu 0.71 kali/hari, dan kacang tanah 0.14 kali/hari dengan jumlah konsumsi pangan sumber protein nabati 1.66 kali/hari. Konsumsi pangan sumber protein nabati dapat meningkatkan asupan protein subjek dan saling melengkapi dengan konsumsi pangan sumber protein hewani.

Sayuran yang paling diminati oleh subjek adalah sayur wortel yaitu, 0.34 kali/hari, bayam 0.30 kali/hari, dan kangkung 0.26 kali/hari dengan jumlah konsumsi golongan sayuran adalah 0.90 kali/hari. Konsumsi buah paling tinggi adalah rambutan yaitu, 0.38 kali/hari. Buah ini dikonsumsi subjek karena pada saat dilaksanakan penelitian, rambutan sedang mengalami masa panen. Konsumsi buah lainnya adalah pisang yaitu, 0.22 kali/hari, dan jeruk manis 0.20 kali/hari dengan jumlah konsumsi kelompok pangan buah-buahan adalah 0.80 kali/hari. Konsumsi sayur dan buah sebagai sumber serat masih digolongkan kurang berdasarkan

anjuran gizi seimbang. Konsumsi sayur dan buah yang dianjurkan adalah 5 porsi dalam sehari sedangkan konsumsi sayur dan buah subjek sebanyak 1.70 kali/hari. Konsumsi sayur dan buah subjek perlu ditingkatkan. Konsumsi sayur dan buah sebagai sumber serat memiliki dampak kesehatan yang baik dan sebagai sumber vitamin dan mineral dalam pemenuhan zat gizi mikro subjek. Konsumsi jajanan tersering adalah konsumsi gorengan yaitu, 0.82 kali/hari yang artinya hampir setiap hari konsumsi jajanan subjek adalah gorengan. Konsumsi gorengan sebagai sumber lemak akan meningkatkan konsumsi lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan misalnya, jantung koroner, arteroslerosis, dan hipertensi (Khomsan dan Faisal 2008), selanjutnya dapat menurunkan status kesehatan dan meningkatnya nilai IMT sehingga kemampuan aktivitas fisik menjadi menurun.

Tingkat Kecukupan Gizi

Konsumsi makanan merupakan sumber tenaga bagi tubuh untuk melakukan aktivitas fisik. Konsumsi makanan yang seimbang penting untuk memenuhi kebutuhan gizi. Asupan energi, protein, lemak dan zat gizi lainnya akan sangat menentuan banyak hal yaitu, status gizi, status kesehatan, dan performa dalam melakukan aktivitas fisik.

Tingkat Kecukupan Energi (TKE)

Kebutuhan energi individual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, usia, jenis kelamain, berat badan, tinggi badan, dan tingkat aktivitas keseharian. Tingkat kecukupan gizi ini dihitung dari hasil wawancara food recall dikonversi kekandungan zat gizi dan kemudian disesuaikan dengan Angka kecukupan Gizi (AKG 2013) individu. Hasil tingkat kecukupan energi dan zat gizi diklasifikasikan menjadi 5 kategori menurut (Depkes 1996). Berikut sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi ditampilkan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan TKE

Kategori n % Defisit berat 50 69.44 Defisit sedang 13 18.06 Defisit ringan 4 5.56 Normal 4 5.56 Lebih 1 1.39 Total 72 100.00 Rata-rata±SD 1759.57±391.86 kkal

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi subjek adalah 1759.57±391.86 kkal, dengan kelompok kategori tertinggi berada pada kategori defisit berat (69.44%), defisit sedang (18.06%), defisit ringan (5.56%), normal (5.56%), dan lebih (1.39%). Hal ini diduga disebabkan banyak subjek yang tidak biasa sarapan dan cenderung beberapa kali meninggalkan waktu makan dalam sehari. Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa setidaknya ada 71 kali kejadian waktu makan yang ditinggalkan subjek.

Waktu makan paling sering ditinggalkan subjek adalah waktu makan siang (30.99%), waktu makan pagi (25.35%). Waktu makan siang yang ditinggalkan subjek ini tentu dapat mengurangi konsumsi makan dan memengaruhi asupan zat gizi subjek. Waktu makan siang dapat menghilangkan setidaknya 30% dari asupan gizi dari kebutuhan individu perharinya, sedangkan waktu makan pagi dapat menghilangkan kontribusi asupan zat gizi sehari sebesar 20% dari total asupan yang dibutuhkan oleh tubuh. Faktor lainnya yang membuat subjek dapat meninggalkan waktu makannya adalah konsumsi kopi.

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata responden yang mengonsumsi kopi sebelum waktu makannya cenderung merasakan kenyang dan akhirnya menunda bahkan meninggalkan waktu makannya. Efek ini terjadi karena kandungan kafein dalam kopi dapat menekan nafsu makan subjek. Kulkosky (1981) menyebutkan bahwa efek dari kafein dapat menunda rasa lapar, dan menekan nafsu makan. Penelitian tersebut dibuktikan dengan tikus yang diberikan pil kafein. Selain itu penelitian lainnya menyatakan bahwa apabila berat badan bertambah pada penderita anoreksia nervosa maka mereka akan mengonsumsi kopi atau sumber kafein lainnya untuk menekan dan menghilangkan selera makannya (Sours 1983). Bray (2000) mekanisme kerja kafein dalam menekan nafsu makan berhubungan dengan aktifnya sistem saraf simpatik oleh kafein dengan memunculkan rasa kenyang sehingga berpengaruh terhadap konsumsi makanan dan asupan zat gizi.

Tingkat Kecukupan Protein (TKP)

Williams (2002) menyatakan bahwa diet protein tinggi pada atlet dapat meningkatkan performa atlet. Protein merupakan zat gizi yang paling utama dalam menjalankan fungsi sebagai zat pembangun, pertumbuhan, pembentukan enzim, hormon, neurotransmitter, antibodi, memperbaiki jaringan rusak, dan membentuk struktur tubuh. Rata-rata konsumsi subjek 46.61±12.21 g dalam sehari, berdasarkan usia dan berat badan yang dianjurkan (AKG 2013) subjek tertinggi masuk kedalam golongan defisit berat (58.33%), defisit sedang (19.44%), normal (11.11%), defisit ringan (9.72%), dan lebih (1.39%). Sebaran subjek berdasarkan tinkat kecukupan protein ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan TKP

Kategori n % Defisit berat 42 58.33 Defisit sedang 14 19.44 Defisit ringan 7 9.72 Normal 8 11.11 Lebih 1 1.39 Total 72 100.00 Rata-rata±SD 46.61±12.21 g

Asupan protein diperoleh dari jenis pangan sumber protein hewani dan protein nabati. Sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi oleh subjek adalah ikan (4.67 kali/minggu) sedangkan protein nabati adalah tempe (6.15 kali/minggu). Putra (2014) menyatakan bahwa protein berpengaruh positif terhadap kebugaran kardiorespiratori pada mahasiswa UKM dan Non-UKM sepakbola di

IPB. Transportasi oksigen ke dalam eritrosit dibantu oleh hemoglobin dan transportasi oksigen ke otot dibantu oleh mioglobin yang merupakan salah satu peran protein. Oleh karena itu protein merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi daya tahan kardiorespiratori.

Tingkat Kecukupan Lemak (TKL)

Lemak merupakan komponen zat gizi yang menyumbang energi terbesar 9 kkal/gram lemak yang dikonsumsi. Hardinsyah dan Tambunan dalam WNPG VIII (2004), asupan lemak hanya dianjurkan untuk dikonsumsi maksimal 30% dari kebutuhan energi individu yang dianjurkan menurut AKG 2013. Rata-rata konsumsi lemak subjek 45.54±14.28 g, konsumsi lemak subjek dikategorikan kurang (91.67), cukup (6.94%) dan kategori lebih (1.39%). Konsumsi lemak subjek mayoritas kurang. Konsumsi lemak subjek berasal dari jajanan gorengan yang hampir tiap hari. Konsumsi gorengan mencapai 0.82 kali/hari. Selain itu konsumsi makanan yang cenderung menggunakan minyak pada pengolahannya juga disukai dan paling sering dikonsumsi oleh subjek. Namun, konsumsi lemak yang kurang pada subjek disebabkan karena konsumsi pangan pada saat penelitian sedikit karena adanya kecenderungan pengurangan konsumsi pangan secara sengaja yang dilakukan oleh subjek, sehingga berdampak pada tingkat kecukupan lemak dan energi subjek. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukapan lemak ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan TKL

Kategori n % Kurang 66 91.67 Cukup 5 6.94 Lebih 1 1.39 Total 72 100.00 Rata-rata±SD 45.54±14.28 g

Khomsan dan Faisal (2008), konsumsi lemak dan minyak dapat meningkatkan asupan energi, namun konsumsi lemak secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif sehingga memicu timbulnya berbagai penyakit diantaranya jantung koroner, arterosklerosis dan hipertensi. Konsumsi makanan yang cenderung tinggi lemak dapat juga memicu peningkatan berat badan (Gibney et. al 2008).

Status Gizi (IMT)

Status gizi merupakan gambaran keadaan kesehatan tubuh sebagai akibat konsumsi, penggunaan zat gizi dan penyerapan zat-zat gizi dari makanan. Tubuh yang mendapatkan asupan zat gizi sesuai dengan kebutuhan maka akan mendapatkan tingkat status gizi yang optimal (Sediaoetama 2008). Rata-rata IMT subjek 24.24±3.76 kg/m2 diklasifikasikan menjadi empat kategori berdasarkan Depkes (2008). Kategori tertinggi subjek berada pada IMT normal (52.78%), obesitas (26.39%), overweight (16.67%), dan kurus (4.17%). Sebaran subjek berdasarkan nilai IMT ditampilkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan IMT Kategori n % Kurus 3 4.17 Normal 38 52.78 Overweight 12 16.67 Obesitas 19 26.39 Total 72 100.00 Rata-rata±SD 24.24±3.76

Kurang gizi dan gizi lebih merupakan suatu masalah gizi ganda di Indonesia saat ini. Masalah gizi tersebut dapat menurunkan fungsi imun tubuh, memengaruhi pragnosisi penyakit, memperlama pemulihan terhadap penyakit, dan rentan terhadap penyakit (Deschamp et. al 2002). Nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) tinggi akan memengaruhi ketidakmampuan fisik tubuh, penurunan aktivitas fisik dan kualitas hidup. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa status gizi berpengaruh terhadap status kesehatan dan tingkat aktivitas individu.

Menurut Bovet (2007), kebugaran pada siswa yang memiliki IMT yang normal lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kelebihan berat badan. Penelitian tersebut dilakukan di daerah Afrika pada 4599 siswa. Hasil penelitan menunujukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara IMT dengan daya tahan kardiorespiratori. Marley (1982) menyatakan bahwa menurunnya daya tahan jantung paru merupakan akibat jumlah lemak yang berlebih dalam tubuh sehingga menghambat kemampuan tubuh dalam melakukan aktivitas fisik.

Tingkat kecukupan energi maupun protein subjek menunjukkan hasil yang tertinggi pada kelompok defisit berat namun status gizi subjek 12 orang tergolong overweight dan 19 orang obesitas. Hal ini dikarenakan subjek tersebut mungkin cenderung menutupi konsumsi sebenarnya yang disebabkan oleh keinginan untuk mendapatkan perhatian khusus terkait dengan pendapatan mereka, dan terdapat subjek yang melaksanakan ibadah puasa. Selain itu salah satu faktor yang dapat meningkatkan berat badan adalah tingkat konsumsi lemak. Konsumsi lemak pada semua subjek rata-rata masuk kedalam kategori lebih (>30%), berdasarakan

Dokumen terkait