• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Polres Resor Kota Bogor

Polres Kota Bogor merupakan Kepolisian yang berada di wilayah Kota Bogor yang berdiri sejak pada tahun 1946. Pada tahun 2010 berubah menjadi Polres Resor Bogor Kota. Pada saat itu Polres Kota Bogor bertempat didaerah Jalan Kapten Muslihat. Pada tanggal 1 Mei Polres Kota Bogor pindah ke Jalan Jalan Raya Kedung Halang Km 6 Kelurahan Cibuluh hingga saat ini. Adapun pada tahun 2010 Polres Kota Bogor dengan Skep Kapolri Nomer 366/VI/2010, tanggal 14 Juni 2010, dengan likwidasi Polwil Bogor dihapuskan maka Polres Kota Bogor berganti namanya menjadi Polres Bogor Kota.

Terdapat dua mako yang pertama mako utama berada di Jalan Kapten Muslihat dengan fungsi untuk pelayanan kepada masyarakat yaitu Kapolres, Waka Polres, Bag Operasi, Bagian Administrasi, Sat Binmas, Kasium, Intelejen, Kesehatan, sedangkan yang mempuyai dua mako yaitu Sat Lantas untuk pelayanan tilang dan Laka Lantas berada di Kapten Muslihat sedangkan untuk pembuatan SIM masih beratempat di Kedung Halang. Sat Reskrim untuk penerimaan laporan berada di Mako Utama sedangkan untuk sidik lebih lanjut terdapat di Kedung Halang sama dengan Sat Narkoba, dan Logistik yang berkaitan dengan perkantoran berada di Jalan Kapten Muslihat. Persenjataan atau barang yang berfungsi untuk kebutuhan anggota terdapat di Mako lama dan bagian perencanaan ada di Kedung Halang, Sat Tahti.

Luas wilayah Polres Kota Bogor kurang lebih 11.850 Ha dengan curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun. Ditinjau dari segi administrasi, Pemda Kota

Bogor membawahi 6 kecamatan dengan Polsek sebayak 6 Polsekta yaitu Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal, sedangkan untuk Kelurahan seluruhnya terdiri dari 68 Kelurahan. Adapun jumlah penduduk Kota Bogor sekarang ini berjumlah 1.069.778 orang dengan perincian jumlah laki-laki sebanyak 552.020 orang dan jumlah perempuan sebanyak 517.758 orang (Juli 2010 Catatan dari Kanducapil Kota Bogor).

Sebagai penyandang Ibu Kota Bogor, Polres Kota Bogor sangat dibutuhkan pelayanan ektra kepada community disamping sebagai pelindung dan pengayom masyarakat harus memberi rasa aman bagi penduduk kota Bogor khususnya, dikarenakan sebagian besar penduduk Kota Bogor bekerja di Jakarta dan Kota Bogor hanya sebagai tempat istirahat saja, serta menjadi tempat wisata bagi turis lokal maupun mancanegara. personil Polres Kota Bogor sebanyak 1.030 orang, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk di wilayah hukum Polres kota Bogor sebanyak 1.052.138 orang, dengan perbandingan 1 : 1003 orang, sehingga kinerja dan produktivitas personil Polres Kota Bogor yang optimal sangat dibutuhkan.

Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek yang diteliti pada penelitian ini adalah usia (tahun), pendidikan, besar keluarga (orang), pendapatan (Rp/bulan), dan pengetahuan gizi (skor). Perbandingan karakteristik subjek hipertensi dan non-hipertensi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan karakteristik subjek hipertensi dan non-hipertensi

Variabel Karakteristik Subjek Rata-Rata n p Non-Hipertensi Hipertensi Usia (tahun) 43.8±8.1 47.2±7.1 70 0.065

Besar Keluarga (orang) 4.4±0.9 4.3±0.8 70 0.750 Pendapatan (Rp/bln) 6 310 000±3 775 065 8 800 000±13 510 000 70 0.925 Pengetahuan Gizi (skor) 56.0±15.8 58.6±15.4 70 0.375

Usia

Subjek penelitian ini berusia 31-58 tahun. Secara keseluruhan proporsi usia subjek hampir tersebar merata. Rata-rata usia subjek adalah 45.5±7.71 tahun, dengan subjek terbanyak berusia > 45 tahun (57.1%). Berdasarkan Tabel 5, jumlah terbanyak subjek hipertensi terdapat pada usia > 45 tahun (65.7%), sedangkan pada subjek non-hipertensi jumlah subjek terbanyak terdapat pada usia ≤ 45 tahun (51.4%). Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.065 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara subjek hipertensi dan non-hipertensi. Namun, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata usia lebih tinggi daripada subjek non-hipertensi (Tabel 4).

Menurut Widjaja et al. (2013), seseorang dengan tekanan darah normal maupun prehipertensi dapat berisiko hipertensi, risiko ini akan meningkat dan terus berkembang pada usia > 45 tahun, sehingga pengelompokan usia didasarkan pada usia dibawah dan diatas 45 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa risiko hipertensi terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Black dan Hawks

2005). Menurut Price et al. (1995), dengan bertambahnya usia arteri akan kehilangan elastisitas atau kelenturan sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 31-55 tahun dan umumnya berkembang pada saat usia seseorang mencapai paruh baya. Angka peningkatan kejadian hipertensi akan terus bertambah khusunya pada usia lanjut atau pada usia 60 tahun ke atas (Krummel 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sugiharto (2007) yang menjelaskan bahwa adanya peningkatan kejadian hipertensi seiring bertambahnya usia, kelompok usia diatas 46 tahun memiliki risiko hipertensi lebih besar yaitu 19.91 kali dibandingkan kelompok dibawah usia 46 tahun. Berikut sebaran subjek berdasarkan usia dan pendidikan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan usia dan pendidikan

Karakteristik Subjek Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n % Usia (Tahun) ≤ 45 18 51.4 12 34.3 30 42.9 > 45 17 48.6 23 65.7 40 57.1 Total 35 100 35 100 Pendidikan SMA/Sederajat 29 82.9 30 85.7 59 84.3 Perguruan Tinggi 6 17.1 5 14.3 11 15.7 Total 35 100 35 100 70 100 Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat baik dari pendidikan formal maupun non-formal akan mempengaruhi kemampuan masyarakat terkait pola pikir dan pengetahuan yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan (Rifai dan Gulat 2003). Secara keseluruhan, pendidikan terakhir subjek adalah SMA/Sederajat dan perguruan tinggi dengan mayoritas pendidikan terakhir subjek adalah SMA/Sederajat (84.3%). Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar pendidikan terakhir subjek hipertensi (85.7%) dan non-hipertensi (82.9%) adalah SMA/Sederajat. Menurut Rifai dan Gulat (2003), tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku, baik perilaku dalam hal produksi maupun perilaku konsumsi pangan seseorang. Perilaku dalam pemilihan pangan dan pengaturan pola konsumsi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang cenderung memiliki pola pikir dan pengaturan konsumsi pangan lebih teratur, hal ini menjadikan faktor risiko terkena penyakit lebih rendah.

Besar Keluarga

Secara keseluruhan jumlah anggota keluarga subjek berkisar antara 1-7 orang dengan rata-rata besar keluarga subjek 4.33±0.81 orang. Berdasarkan Tabel 6, lebih dari 50% besar keluarga subjek (58.6%) termasuk kategori keluarga kecil (≤ 4 orang). Pada subjek hipertensi (60%) dan non–hipertensi (57.1%) besar keluarga terbanyak merupakan keluarga kecil. Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.750 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan besar keluarga yang signifikan antara subjek hipertensi

dan non-hipertensi. Subjek non-hipertensi cenderung memiliki rata-rata besar keluarga lebih tinggi daripada subjek hipertensi (Tabel 4).

Besar keluarga atau banyaknya jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan pola hidup keluarga. Jika diasumsikan pendapatan keluarga adalah sama, maka semakin sedikit jumlah anggota atau tanggungan keluarga maka daya beli dan konsumsi keluarga akan berpotensi berlebih dan cenderung memiliki gaya hidup yang tidak tepat, hal ini dapat meningkatkan risiko obesitas dan terjadinya penyakit. Sebaliknya, semakin banyak jumlah anggota atau tanggungan keluarga maka jumlah dan jenis konsumsi yang dibutuhkan keluarga semakin banyak dan bervariasi, sehingga perlu menjadi perhatian agar konsumsi anggota keluarga dapat tercukupi secara merata untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap individu (Deliarnov 2009). Berikut sebaran subjek berdasarkan besar keluarga dan pendapatan per keluarga per bulan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan besar keluarga dan pendapatan/keluarga/bln

Karakteristik Subjek Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n % Besar Keluarga Belum Berkeluarga 1 2.9 1 2.9 2 2.9 Kecil 20 57.1 21 60 41 58.6 Sedang 13 37.1 13 37.1 26 37.1 Besar 1 2.9 0 0 1 1.4 Total 35 100 35 100 70 100 Pendapatan/Keluarga/Bulan ≤ 7 550 000 26 74.3 25 71.4 51 72.9 > 7 550 000 9 25.7 10 28.6 19 27.1 Total 35 100 35 100 70 100 Pendapatan

Peningkatan pendapatan akan mempengaruhi tingkat pengeluaran. Faktor ekonomi menjadi faktor penting dalam pembentukan pola konsumsi pangan individu maupun keluarga seperti ketersediaan finansial yang menentukan tingkat daya beli keluarga, faktor selera, budaya dan kebiasaan, serta lingkungan dimana keluarga tersebut tinggal (Rudjito 1987).

Secara keseluruhan pendapatan per keluarga per bulan subjek yaitu antara 1 500 000-80 000 000 rupiah/bulan dengan rata-rata pendapatan per keluarga per bulan sebesar 7 550 000±9 926 849 rupiah/bulan. Lebih dari 50% subjek (72.9%) menerima pendapatan per keluarga per bulan kurang dari rata-rata. Berdasarkan Tabel 6, pendapatan per keluarga per bulan terbanyak subjek hipertensi (71.4%) dan non-hipertensi (74.3%) adalah kurang dari rata-rata pendapatan per keluarga per bulan. Hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.925 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan pendapatan per keluarga per bulan yang signifikan antara subjek hipertensi dan non-hipertensi. Namun, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata pendapatan per keluarga per bulan lebih besar daripada subjek non-hipertensi (Tabel 4).

Seiring dengan adanya peningkatan pendapatan maka akan terjadi peningkatan pengeluaran yang cenderung dapat mengubah gaya hidup (life style) seseorang maupun keluarga (Suharyadi dan Purwanto 2009). Peningkatan pengeluaran di masyarakat pada umumnya tidak diarahkan kepada gaya hidup dan

pemilihan konsumsi pangan yang baik dan tepat, akan tetapi lebih kepada kebiasaan dan konsumsi makanan kurang baik yang mengandung tinggi lemak dan natrium. Gaya hidup seperti ini berisiko meningkatkan kejadian penyakit degeneratif seperti hipertensi (Suharyadi dan Purwanto 2009). Selain itu, peningkatan pendapatan juga dapat meningkatkan pemanfaatan kemajuan teknologi, hal ini disatu sisi berpotensi meningkatkan efisiensi dan produktivitas seperti penggunaan transportasi cepat, namun disisi lain menyebabkan seseorang kurang melakukan aktivitas fisik dan hidup terlalu santai mulai dari rumah tangga, perjalanan, tempat kerja dan tempat umum lainnya. Pola hidup seperti ini akan dapat berpengaruh terhadap kebugaran tubuh dan kesehatan seseorang (Kemenkes RI 2011).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan informasi terkait pangan, gizi, dan kesehatan yang didapatkan baik dari pendidikan formal maupun non-formal dan dapat disampaikan melalui sekumpulan pertanyaan (Rifai dan Gulat 2003). Secara keseluruhan rata-rata skor pengetahuan gizi subjek adalah 57.3±15.5 dengan nilai terendah 30 dan nilai tertinggi 90 dari total soal 10 item yang bernilai 10 disetiap item soal. Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi

Pengetahuan Gizi Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n %

Rendah 18 51.4 14 40 32 45.7

Sedang 15 42.9 19 54.3 34 48.6

Tinggi 2 5.7 2 5.7 4 5.7

Total 35 100 35 100 70 100

Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar subjek (48.6%) memiliki pengetahuan gizi kategori sedang (60-80%) dan hanya sedikit (5.7%) yang memiliki pengetahuan gizi tinggi (>80%). Lebih dari setengah subjek hipertensi (54.3%) memiliki pengetahuan gizi kategori sedang, sedangkan pada subjek non-hipertensi (51.4%) pengetahuan gizi terbanyak pada kategori rendah. Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.375 atau (p>0.05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan gizi subjek hipertensi dan non-hipertensi. Akan tetapi, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata skor pengetahuan gizi lebih baik daripada subjek non-hipertensi (Tabel 4).

Rendahnya pengetahuan terkait kesehatan dan manfaat makanan bergizi dapat mempengaruhi gaya hidup, perilaku dan pola konsumsi pangan seseorang. Pemilihan dan kebiasaan konsumsi pangan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan gizi tentu tidak terlepas dari pengaruh pengetahuan gizi dan lingkungan (Uliyah dan Hidayat 2008). Namun, pengetahuan gizi yang memadai juga bukan merupakan satu-satunya indikator seseorang dapat menerapkan pola hidup sehat dan menjamin seseorang terhindar dari penyakit. Penyakit hipertensi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor seperti gaya hidup yang tidak tepat, akan tetapi juga dari beberapa faktor risiko seperti keturunan, jenis kelamin, usia, dan ras (Black dan Hawks 2005).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan gizi subjek hipertensi lebih tinggi daripada subjek non-hipertensi. Gaya hidup subjek dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi seharusnya lebih terkontrol daripada subjek

dengan pengetahuan gizi lebih rendah. Menurut Wong et al. (2001), hal ini dimungkinkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya motivasi, dukungan dan dorongan dalam perubahan gaya hidup. Kesibukan juga merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang untuk membeli bahan makanan yang mudah disiapkan/diolah. Faktor lingkungan seseorang sangat mempengaruhi gaya hidup dan ketidaksiapan seseorang dalam mengubah pola makan atau gaya hidup mereka. Walaupun memiliki pengetahuan yang cukup atau tinggi namun ketidaksiapan untuk menerapkannya sebagai gaya hidup yang baik mengindikasikan bahwa pengetahuan gizi tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya indikator yang menggambarkan pola makan maupun gaya hidup seseorang (Berman et al. 2002).

Gaya Hidup

Gaya hidup yang diteliti pada penelitian ini adalah kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan konsumsi kopi, dan aktivitas fisik subjek. Perbandingan gaya hidup subjek hipertensi dan non-hipertensi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan gaya hidup subjek hipertensi dan non-hipertensi

Variabel Gaya Hidup Rata-rata n p

Non-Hipertensi Hipertensi

Kebiasaan Merokok

Jumlah konsumsi

rokok (batang/hari) 10.0±6.2 13±7.7 70 0.079 Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Jumlah konsumsi alkohol

(gelas/hari) 0.5±1.8 0.1±0.3 70 0.656

Frekuensi konsumsi

alkohol (kali/bulan) 0.5±1.1 0.5±1.6 70 0.731 Kebiasaan Konsumsi Kopi

Jumlah konsumsi kopi

(gelas/hari) 2.3±1.6 2.5±1.5 70 0.780

Aktivitas Fisik (PAL) 1.5±0.2 1.6±0.1 70 0.017*

* Berbeda signifikan jika p<0.05 Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok adalah perilaku merokok yang dilakukan secara berulang-ulang yang meliputi kategori jumlah rokok yang dihisap per hari oleh subjek dan dapat dikategorikan konsumsi rokok ringan, sedang, dan berat. Pada umumnya, pria lebih banyak dan lama mengisap rokok dari pada wanita. Wanita yang merokok hanya sedikit, dan bila merokok pun mereka hanya mengonsumsi sedikit (Cadwell 2001). Hal ini didukung oleh Global Health Profesional Survey (GHPS) yang menyatakan bahwa prevalensi pria perokok jauh lebih besar 21% dibandingkan wanita 2.3% dari studi yang dilakukan pada mahasiswa, sehingga penetapan jenis kelamin subjek didasarkan pada jenis kelamin pria (Sukendro 2007).

Secara keseluruhan, jumlah konsumsi rokok per hari subjek termasuk kategori sedang (35.7%) dengan rata-rata jumlah konsumsi rokok per hari subjek

sebanyak 11.49±7.09 batang. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah konsumsi rokok per hari subjek non-hipertensi terbanyak (42.9%) termasuk kategori perokok sedang (11-20 batang per hari), sedangkan subjek hipertensi terbanyak (40%) tergolong kategori perokok berat (≥ 21 batang per hari). Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.079 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah konsumsi rokok per hari yang signifikan antara subjek hipertensi dan non-hipertensi. Akan tetapi, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata jumlah konsumsi batang rokok per hari lebih tinggi daripada subjek non-hipertensi (Tabel 8).

Menurut Cahyono (2012), seseorang akan menderita penyakit degeneratif seperti hipertensi akibat rokok atau tidak, tergantung pada lama dan jumlah rokok yang dihisap. Semakin lama dan semakin banyak yang dikonsumsi maka semakin tinggi risikonya. Hal ini disebabkan nikotin yang terkandung di dalam tembakau dapat meningkatkan kerja jantung dan menciutkan arteri hingga sirkulasi darah berkurang dan tekanan darah meningkat. Karbonmonoksida (CO) dalam asap mengikat hemoglobin lebih cepat dan lebih kuat daripada oksigen, sehingga penyerapan O2 di paru-paru sangat dikurangi. Selain itu, nikotin dalam asap bersifat karsinogenik dan pada jangka panjang dapat merusak dinding pembuluh darah dengan efek atherosclerosis yang akan bermanifestasi salah satunya yaitu penyakit hipertensi (Tjay dan Kirana 2007).

Kebiasaan merokok terbukti sebagai faktor risiko hipertensi, ditunjukkan dengan hasil penelitian Sugiharto (2007) yang menjelaskan bahwa perokok berat terbukti memiliki risiko 2.47 kali lebih besar menderita hipertensi daripada individu yang bukan perokok. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Rahayu (2012), seseorang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko terserang penyakit hipertensi 1.077 kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak merokok. Berikut sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok

Kebiasaan Merokok Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n %

Jumlah konsumsi rokok/hr

Tidak konsumsi rokok 7 20 6 17.1 13 18.6

Ringan 8 22.9 5 14.3 13 18.6

Sedang 15 42.9 10 28.6 25 35.7

Berat 5 14.3 14 40 19 27.1

Total 35 100 35 100 70 100

Frekuensi merokok berkorelasi positif terhadap kejadian dan perkembangan penyakit hipertensi (Cahyono 2012). Merokok dengan frekuensi tinggi memiliki puluhan kali lipat rentan terhadap penyakit degeneratif (Husaini 2007). Seseorang yang merokok dengan frekuensi tinggi dalam sehari berisiko besar mengalami gangguan kesehatan seperti hipertensi sebagai akibat dari asam nikotinat pada tembakau yang dapat memicu pelepasan katekolamin sehingga menyebabkan kontraksi arteri (Muttaqin 2009). Kejadian hipertensi dapat dicegah sekitar 50% apabila dapat menghilangkan faktor kebiasaan merokok frekuensi atau intensitas sedang dan tinggi (Anggraini et al. 2009).

Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Jumlah konsumsi alkohol

Kebiasaan konsumsi alkohol merupakan perilaku mengonsumsi minuman beralkohol yang meliputi jumlah konsumsi alkohol (gelas/hari) dan frekuensi konsumsi alkohol per bulan yang dilakukan subjek secara berulang dengan sengaja dan sadar. Jumlah konsumsi alkohol adalah ukuran alat rumah tangga maupun besaran volume minuman beralkohol yang dikonsumsi subjek. Secara keseluruhan rata-rata jumlah konsumsi alkohol subjek adalah 0.29±1.26 gelas sehari. Dapat dilihat pada Tabel 10, lebih dari 50% subjek (84.3%) tidak mengonsumsi alkohol. Sebagian besar konsumsi alkohol (gelas/hari) subjek hipertensi (14.3%) dan non-hipertensi (11.4%) tergolong kategori ringan (< 2 gelas/hari). Menurut hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.656 atau (p>0.05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah konsumsi alkohol (gelas/hari) subjek hipertensi dan non-hipertensi. Namun, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata konsumsi alkohol (gelas/hari) lebih rendah daripada subjek non-hipertensi (Tabel 8).

Sebagian besar orang mengasumsikan bahwa konsumsi alkohol hanya akan menimbulkan berbagai macam penyakit, padahal satu sisi alkohol memiliki manfaat juga bagi kesehatan. Menurut Handoyo (2007), konsumsi alkohol dalam jumlah sedang atau satu minuman sehari memang terbukti baik bagi kesehatan arteri dan jantung, walaupun bagi sebagian orang dengan keluhan penyakit tertentu memang perlu dibatasi bahkan tidak dianjurkan untuk mengonsumsi alkohol. Beberapa studi dan riset sepakat bahwa tanpa melebihi batas, mengonsumsi alkohol dalam jumlah sedang baik untuk kesehatan. Namun sebaliknya, konsumsi alkohol secara tidak terkontrol atau berlebih justru akan sangat merugikan kesehatan dan meningkatkan risiko terjadinya berbagai macam penyakit. Hal ini didukung oleh McKhann dan Marilyn (2010) yang menjelaskan batasan maksimal konsumsi minuman beralkohol sehari sebanyak 12 ons bir (1 botol). Berikut sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi alkohol disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi alkohol

Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n %

Jumlah Konsumsi Alkohol

(gelas/hari) Tidak Konsumsi 29 82.9 30 85.7 59 84.3 Ringan 4 11.4 5 14.3 9 12.9 Sedang 1 2.9 0 0 1 1.4 Berat 1 2.9 0 0 1 1.4 Total 35 100 35 100 70 100 Frekuensi Konsumsi Alkohol/bulan Tidak Konsumsi 29 82.9 30 85.7 59 84.3 Rendah 4 11.4 4 11.4 8 11.4 Sedang 2 5.7 0 0 2 2.9 Tinggi 0 0 0 0 0 0 Sangat Tinggi 0 0 1 2.9 1 1.4 Total 35 100 35 100 70 100

Frekuensi konsumsi alkohol

Frekuensi konsumsi alkohol per bulan adalah indikator waktu yang meliputi intensitas rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi konsumsi alkohol subjek per bulan. Secara keseluruhan rata-rata frekuensi konsumsi alkohol per bulan subjek adalah 0.47±1.37 kali dengan subjek terbanyak (84.3%) didapatkan tidak mengonsumsi alkohol. Berdasarkan Tabel 10 subjek hipertensi (11.4%) dan non-hipertensi (11.4%) terbanyak diketahui memiliki frekuensi konsumsi alkohol per bulan kategori intensitas rendah (1-2x/bulan). Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.731 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan frekuensi konsumsi alkohol per bulan yang signifikan antara subjek hipertensi dan non-hipertensi. Akan tetapi, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata frekuensi konsumsi alkohol per bulan lebih tinggi daripada subjek non-hipertensi (Tabel 8).

Konsumsi alkohol tidak hanya memiliki dampak negatif bagi kesehatan, akan tetapi mengonsumsi alkohol juga memiliki banyak khasiat antara lain vasodilatasi, peningkatan HDL kolesterol, fibrinolitis, dan mengurangi kecenderungan pembekuan darah jika dalam batas kadar tertentu. Namun, mengonsumsi alkohol secara berlebihan dan dengan frekuensi tinggi memiliki efek dapat merangsang timbulnya penyakit hipertensi karena adanya peningkatan sintesis katekholamin yang dalam jumlah besar yang dapat memicu kenaikan tekanan darah (Dalimartha et al. 2008). Berdasarkan Tabel 10, subjek hipertensi mengonsumsi alkohol dalam takaran ringan akan tetapi frekuensi konsumsi alkohol tergolong ringan dan sangat tinggi, hal ini dapat meningkatkan risiko hipertensi. Menurut Black dan Izzo (1999), mengonsumsi alkohol secara berlebihan dan frekuensi tinggi dapat meningkatkan angka kejadian hipertensi, penurunan sensitivitas tubuh terhadap obat antihipertensi, dan hipertensi yang sulit disembuhkan. Pencegahan terhadap faktor risiko hipertensi salah satunya yaitu dengan membatasi konsumsi alkohol sampai kurang dari 2-3 kali minum sehari atau 1-2x dalam sebulan (USDA dan HHS 2010). Menurut hasil penelitian Sugiharto (2007), konsumsi alkohol ringan hingga sedang tidak terbukti sebagai faktor risiko hipertensi (p>0.05). Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Enggar dan Puruhita (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi alkohol dengan tekanan darah (p<0.05).

Kebiasaan Konsumsi Kopi

Kebiasaan konsumsi kopi merupakan perilaku yang dilakukan subjek secara berulang dengan sengaja dan sadar, meliputi jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) yang hasilnya diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner, yang dikategorikan rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Sebagian besar subjek (55.7%) memiliki jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) kategori sedang (1-3 gelas/hari) dengan rata-rata jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) subjek adalah 2.37±1.55 gelas. Berdasarkan Tabel 11, jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) terbanyak subjek hipertensi (62.9%) dan non-hipertensi (48.6%) tergolong kategori sedang. Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi disajikan pada Tabel 11 sebagai berikut.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi

Kebiasaan Konsumsi Kopi Non-Hipertensi Hipertensi Total

n % n % n %

Jumlah konsumsi kopi/gls/hr

Tidak konsumsi 7 20 6 17.1 13 18.6 Ringan 6 17.1 4 11.4 10 14.3 Sedang 17 48.6 22 62.9 39 55.7 Tinggi 4 11.4 2 5.7 6 8.6 Sangat Tinggi 1 2.9 1 2.9 2 2.9 Total 35 100 35 100 70 100

Berdasarkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi p=0.780 atau (p>0.05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) yang signifikan antara subjek hipertensi dan non-hipertensi. Namun, subjek hipertensi cenderung memiliki rata-rata jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) lebih tinggi dibandingkan subjek non-hipertensi (Tabel 8).

Pada sebagian orang kafein tidak menimbulkan efek terhadap peningkatan tekanan darah sehingga ada orang yang biasa mengonsumsi kafein dalam jumlah besar tidak mempunyai tekanan darah tinggi, tetapi pada sebagian orang yang lain kafein terbukti dapat meningkatkan tekanan darah secara drastis meskipun hanya sementara. Meminum satu cangkir kopi akan meningkatkan tekanan darah setelah 30-45 menit kemudian. Penggunaan kafein dalam jumlah yang terlalu banyak atau berlebih dalam darah akan menimbulkan efek kurang baik terhadap kesehatan tubuh (Marliani dan Tantan 2007). Menurut Zhang et al. (2011), peningkatan tekanan darah ini terjadi melalui mekanisme biologi antara lain kafein mengikat reseptor adenosine, mengaktifasi sitem saraf simpatik dengan meningkatkan konsentrasi katekolamin dalam plasma, dan menstimulasi kelenjar adrenalin serta meningkatkan produksi kortisol. Hal ini berdampak pada vasokontriksi dan meningkatkan total resistensi perifer yang dapat menyebabkan tekanan darah meningkat (Cuno et al. 2007).

Berdasarkan jumlah konsumsi kopi (gelas/hari) subjek didapatkan rata-rata jumlah konsumsi kafein per hari sebanyak 301.6±217 mg. Pada subjek hipertensi rata-rata jumlah konsumsi kafein per hari 341.3±214 mg, sedangkan pada subjek

Dokumen terkait