• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Hasil Evaluasi Histopatologi Hati

Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut persentase hasil skoring histopatologi organ hati dirangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3 Persentase lesio histopatologi organ hati pada setiap perlakuan setelah pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus AI H5N1

Kode SKOR

Perlakuan Perlakuan Lesio Histopatologi (%)

0 1 2 3 4 5 6

K 1a Virus AI H5N1 0 45 38 7 0 4 6

K2b Kontrol Negatif 0 38 38 0 0 21 3

P1b Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 48 1 47 0 4 0

P2b Sirih Merah 0 37 4.6 41 0 0.4 17

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p<0.05).

Keterangan :

Skor 0= normal Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan Skor 5 = infiltrasi sel radang

Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada kelompok K1 perubahan didominasi oleh kongesti sebesar 45%, kelompok K2 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi sebesar 38%, selanjutnya pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi difuse sebesar 48%, dan sama halnya pada kelompok P2 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar 41%. Kemudian, didapat hasil analisa statistik antara kelompok kontrol positif (K1) dengan kelompok perlakuan (P2), kelompok kontrol positif (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2), kelompok kontrol negatif (K1) dengan kelompok perlakuan (P1), adalah berbeda nyata. Namun lain halnya dengan kelompok kontrol positif (K2) dibandingkan kelompok perlakuan (P1) dan kelompok perlakuan (P1) dengan kelompok perlakuan (P2) adalah tidak berbeda nyata.

Perubahan patologi pada kelompok kontrol (K1) adalah kongesti, degenerasi dan nekrosis. Menurut Tabbu (2000), unggas yang terinfeksi virus AI H5N1 menimbulkan perubahan mikroskopik pada organ hati berupa degenerasi dan nekrosis. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiantono (2003) bahwa, perubahan organ hati yang dilihat secara mikroskopis akibat terinfeksi HPAI adalah kongesti, hemorhagi, degenerasi dan nekrosa. Hal ini dapat disebabkan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme baik pada organ hati maupun pada organ lain. Selain itu, hal ini sesuai dengan pendapat Winekler

et al. (1971) bahwa oksigen sangat penting bagi reaksi seluler sehingga terganggunya suplai oksigen berakibat reaksi seluler tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu suplai oksigen dapat disebabkan oleh terganggunya sirkulasi darah, misalnya pada keadaan kongesti sehingga mengakibatkan sel hati mengalami degenerasi hingga nekrosis karena kekurangan natrium dan oksigen. Sementara itu menurut Kwon et al. (2005) dalam kajian histologi unggas yang terkena HPAI ditemukan beberapa fokus nekrosis dengan sel inflamatoris pada multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati. Pada hati terlihat peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya hiperplasia dari sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada sistim portal hati.

Namun menurut Setiyono et al. (2008), dalam penelitian kali ini belum dapat diterangkan sejauh mana infeksi telah terjadi dan seberapa jauh agen patogen berhasil masuk ke dalam jaringan atau organ ayam yang diinfeksi virus AI H5N1. Kongesti terjadi pada semua kelompok perlakuan terutama pada vena sentralis dan sinusoid-sinusoid hati. Kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Sementara itu Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan.

Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu (1) kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu lokasi atau (2) penurunan jumlah darah yang mengalir dari suatu lokasi. Jika aliran darah ke dalam lokasi bertambah dan menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif. Sementara kongesti pasif tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu lokasi, tetapi lebih merupakan gangguan aliran dari lokasi itu. Apapun yang dapat menekan venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat menimbulkan kongesti pasif (Price dan Lorraine 2006).

Gambar 6 Hati : Kongesti sinusoid (a), kelompok K1 (Pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali).

Selanjutnya perubahan yang terlihat dari kelompok perlakuan (P2) didominasi oleh sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropik baik lokal maupun menyebar (difuse). Degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel (Jones et al. 1997).

Ada beberapa literatur terkait dengan degenerasi hidropik diantaranya menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur fungsi normal, biasanya progresif, dan tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Degenerasi yang terjadi umumnya adalah degenerasi hidropis. Menurut Underwood (1992) degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Gangguan metabolisme

a

a

a

sel biasanya di dahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh (Rusmiati dan Lestari 2004).

Selain itu, perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan (P2) dapat juga diakibatkan belum menemukan dosis maksimal ekstrak sirih merah. Ketepatan dosis pemberian ekstrak sirih merah pun diduga dapat mempengaruhi, karena apabila ketepatan dosis yang diberikan tidak diperhitungkan secara baik, maka akan menjadi toksik bagi tubuh sehingga secara langsung akan menimbulkan kerusakan pada sel hati sebagai organ detoksikasi. Hati adalah organ pertama yang dicapai oleh obat atau zat sesudah diabsorpsi oleh intestinum. Sehingga di dalam hati, obat atau ekstrak sirih merah tersebut akan mengalami proses metabolisme dan detoksifikasi yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan konjugasi menjadi bentuk terlarut atau bentuk terionisasi sehingga dapat dieksresikan oleh ginjal. Hati merupakan organ yang paling mudah mengalami kerusakan sesudah terpapar oleh zat kimia, terutama dengan pemberian secara peroral. Pemberian obat atau zat yang bersifat toksik, setelah diabsorpsi dan mengalami seluruh proses yang terjadi dalam hati akan mempengaruhi hati dengan timbulnya perubahan patologis (Dewi 2005). Kerusakan dan perubahan patologi pada organ hati dapat disebabkan oleh ekstrak sirih merah yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, kemudian akan mengalami absorbsi di dalam usus halus. Ketika ekstrak ethanol sirih merah tersebut yang mengandung saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri, dan alkaloid mengalami detoksifikasi dan biotransformasi di dalam hati tidak sempurna, tentunya akan menimbulkan kerusakan hati, sehingga fungsi hati pun akan terganggu dan akan menyebabkan perubahan-perubahan patologis seperti kongesti, degenerasi dan nekrosis. Menurut Spector dan Spector (1993), bahwa tiga penyebab utama kematian dan disfungsi sel hati adalah virus, kekurangan oksigen dan keracunan sel, yaitu termasuk zat-zat toksik bakteri, yang berasal dari tumbuhan dan hewan atau sintetis.

Sementara itu menurut Henryk dan Peter (2010), degenerasi hidropik (ballooning degeneration, toxic swelling, vacuolar degeneration, hidropic change) merupakan perubahan hepatoseluler yang bersifat reversibel, namun perubahan ini akan bersifat letal apabila degenerasi hidropik ini berlangsung

dalam jangka waktu yang lama. Degenerasi hidropik dapat terjadi akibat virus, toksik (alkohol), dan kerusakan akibat iskemik hati, terutama pada lokasi sentrolobular (zona 3) hepatosit. Oleh karena itu dosis optimum untuk penggunaan ekstrak sirih merah ini perlu diteliti lebih lanjut, supaya ekstrak sirih merah tidak menjadi toksik dalam tubuh terutama pada organ hati .

Gambar 7 Hati : Degenerasi hidropis sel hepatosit (a), kongesti pada sinusoid hati (b) pada kelompok P2, (pewarnaan HE, pembesaran objektif 40 kali).

Perubahan – perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol K2 maupun kelompok perlakuan P1 dan P2 tidak terlepas dari faktor lingkungan dan faktor stress, tepatnya pada penangan ayam selama perlakuan pemberian ekstrak sirih merah, walaupun faktor stress ini hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap perubahan patologis. Faktor stress dalam jangka panjang akan mempengaruhi peningkatan kortisol di dalam tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Arifah dan Purwanti (2008) bahwa, peningkatan epinefrin dan kortisol secara terus menerus dapat terjadi pada stres kronis, sehingga dapat menyebabkan penurunan sistem imun secara keseluruhan yang ditandai dengan mudahnya individu terserang penyakit. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya produksi sel plasma akibat

b

a

a

menurunnya jumlah germinal center. Tekanan jangka panjang akan menekan kemampuan sistem imun dalam melawan virus, bakteri dan parasit, dimana stres kronis menurunkan kekebalan tubuh. Kemudian penurunan jumlah limfosit dapat disebabkan oleh penurunan proliferasi limfosit pada jaringan limfoid. Keadaan kortisol yang tinggi menimbulkan mobilisasi cadangan energi (glikogen) di hati dan otot. Peningkatan kortisol dan epinefrin terjadi pada keadaan semua jenis stres baik fisik, psikologis, lingkungan, kimiawi maupun trauma. Selain kortisol yang tinggi di dalam darah dapat menyebabkan ketidakseimbangan gula darah, penurunan densitas tulang, dan jaringan otot (Scott 2000).

Gambar 8 Hati : Fokus Nekrosis sel hepatosit (a) pada kelompok K1, (pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali).

Perubahan yang terjadi pada organ hati kelompok perlakuan (P1) dapat diakibatkan oleh pemberian ekstrak sirih merah maupun infeksi virus H5N1, juga dapat diduga bahwa ekstrak sirih merah belum mampu mengurangi perubahan patologis yang disebabkan oleh infeksi virus H5N1 pada organ hati tersebut.

Dokumen terkait