• Tidak ada hasil yang ditemukan

Histopathology of Liver and Kidney of Chicken Post Piper crocatum Extract Treatment and Challenged by Avian Influenza Virus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Histopathology of Liver and Kidney of Chicken Post Piper crocatum Extract Treatment and Challenged by Avian Influenza Virus"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

ORGAN HATI DAN GINJAL AYAM BROILER SETELAH

PEMBERIAN EKSTRAK SIRIH MERAH DAN DIUJI

TANTANG VIRUS

AVIAN INFLUENZA

H5N1

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SUMBER SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Ayam Broiler Setelah Pemberian Ekstrak Sirih Merah dan Diuji Tantang Virus Avian Influenza H5N1 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2010

(3)

ABSTRAK

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA. Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Ayam Broiler Setelah Pemberian Ektrak Sirih Merah dan Diuji Tantang Virus AI H5N1. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan WIWIN WINARSIH.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ hati dan ginjal ayam broiler setelah pemberian ektrak ethanol sirih merah dan diuji tantang virus AI H5N1. Dalam penelitian ini terdapat empat perlakuan diantaranya adalah K1 (Kontrol Positif), K2 (Kontrol Negatif), P1 (Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sirih merah dan diuji tantang virus AI H5N1), dan P2 (kelompok perlakuan yang hanya diberi ekstrak sirih merah). Data hasil pengamatan histopatologi diolah dengan uji statistik Kruskall Wallis dan dilanjutkan dengan uji Dunn. Berdasarkan hasil data kematian, ekstrak sirih merah mampu menghambat kematian ayam sebesar 62.5%. lesio histopatologi yang terlihat adalah kongesti, degenerasi, dan nekrosis. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak sirih merah mampu menghambat kematian akibat infeksi virus AI, namun masih menyisakan perubahan patologis pada organ hati dan ginjal.

(4)

ABSTRACT

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA. Histopathology of Liver and Kidney of Chicken Post Piper crocatum Extract Treatment and Challenged by Avian Influenza Virus

Supervised by AGUS SETIYONO and WIWIN WINARSIH.

The objective of this study was to determine the potency of Piper crocatum ethanolic extract (PC) to prevent virus infection, and to describe the liver and kidney histopathology of broiler after challenged by H5N1 virus. There were four group treatments in this study, such as K1 (Positive Control), K2 (Negative Control), P1 (Chickens PC treatment and challenged by H5N1 virus), and P2 (Chicken PC treatment). The histopathological data was processed by Kruskall Wallis statistical analysis followed by Dunn test. Based on mortality data, PC in a single composition capable to reduce mortality up to 62.5%. Histopathological lesion that appeared in liver and kidney were congestion, cell degeneration, and necrose. It can be concluded that PC able to prevent the death of chicken due to infection of H5N1 virus, however remain lesion in the liver and kidney.

(5)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

ORGAN HATI DAN GINJAL AYAM BROILER SETELAH

PEMBERIAN EKSTRAK SIRIH MERAH DAN DIUJI

TANTANG VIRUS

AVIAN INFLUENZA

H5N1

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Setelah

Pemberian Ekstrak Ethanol Sirih Merah dan Diuji Tantang

Virus AI H5N1

Mahasiswa : Arifin Budiman Nugraha

B04062716

Disetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Dr.drh.Wiwin Winarsih, MSi, APVet

NIP.19630810 198803 1 004 NIP. 19630614 199002 2 001

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini

NIP. 19621205 198703 2 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 4 April 1988.

Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Aan Nugraha

Wiriadisastra dan Ibu Erna Mariana.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMAN 1 Bogor dan pada tahun yang sama

penulis diterima sebagai mahasiswa program sarjana di Institut Pertanian Bogor

melalui Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Setahun kemudian penulis masuk ke

Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui seleksi Tingkat Persiapan Bersama.

Selama mengikuti perkuliahan di FKH IPB penulis aktif menjadi pengurus

IMAKAHI cabang FKH IPB tahun 2007-2008, anggota divisi pendidikan Himpro

Satwa Liar FKH-IPB tahun 2007-2009, pengurus DKM An-Nahl FKH-IPB tahun

2009 dan menjadi Komisariat Tingkat (KOMTI) Angkatan 43 tahun

(8)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan pada Allah SWT atas

segala berkat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Proses penyusunan skripsi selama satu tahun ini merupakan perjalanan panjang

disertai usaha, doa, dan dukungan dari berbagai pihak, saya ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Ayahanda Aan Nugraha Wiriadisastra, Ibunda Erna Mariana dan kedua

kaka tercinta Kusna Haddi Nugraha, Annisa Kartinawati serta segenap

keluarga besar atas doa, dukungan, kasih sayang, dan semangat yang tidak

terkira.

2. Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet dan Dr. drh. Wiwin Winarsih,

MSi, APVet sebagai pembimbing dan atas ilmu, nasihat, saran, kritik,

serta kesabarannya dalam membimbing saya.

3. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet sebagai dosen penilai dan Bayu

Febram Prasetyo SSi, Apt, MSi sebagai moderator dalam seminar skripsi

saya juga atas saran-saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Dr. drh. H. Akhmad Arif

Amin sebagai penguji dan penilai dalam sidang skripsi saya juga atas

saran-saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

5. Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, MSi atas nasihat, saran, dukungan dan

doanya selama ini

6. Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Sholeh, Mbak Kiki, Mas Bangkit, Bibi dan

seluruh staf di Bagian Patologi, Departemen KRP.

7. Aesculapius 43 tercinta terima kasih atas kepercayaannya menjadikan saya

sebagai KOMTI dan kebersamaannya selama 3 tahun.

8. Rekan-rekan sepenelitian Ayaz, Bundo, Sekar, Ika, Corry, Sonny, Ardhi

9. WaOne Veteriner Copy Center atas dukungan dan doanya.

10. Sahabat-sahabat tercinta Pepenx, Elvira, Indri, Sela, Jayani, Anggun, dan

Qorry atas dukungan serta doanya selama ini.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... . x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang ... 1

2 Tujuan ... 2

3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 1 Flu burung dan Virus H5N1 ... 3

2 Sirih Merah ... 4

3 Hati ... 7

3.1 Anatomi dan Histologi Hati. ... 7

3.2 Fisiologi Hati ... 9

3.3 Intoksikasi Hati……….10

4 Ginjal 4.1 Anatomi dan Histologi Ginjal... 11

4.2 Fisiologi Ginjal ... 12

4.3 Intoksikasi Ginjal ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN 1 Waktu dan Tempat ... 15

2 Alat dan Bahan Penelitian ... 15

2.1 Bahan dan Alat di Kandang Hewan Laboratorium ... 15

2.2 Bahan dan Alat di Laboratorium Histopatologi ... 15

3 Metode Penelitian 3.1 Kelompok Perlakuan ... 15

3.2 Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ... 16

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 16

3.4 Evaluasi Histopatologi ... 17

3.5 Analisis Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1 Hasil Evaluasi Data Kematian Ayam ... 19

2 Hasil Evaluasi Histopatologi Hati ... 20

3 Hasil Evaluasi Histopatologi Hati ... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sirih Merah (Piper crocatum) ... 5

2. Struktur Histologi Hati Normal ... 8

3. Struktur Histologi Ginjal Normal ... .12

4. Ekstrak tanaman Obat yang Disimpan Di Dalam Botol Kaca ... .. 16

5. Pemberian Ekstrak Sirih Merah Secara Peroral... .. 17

6. Kongesti dan Sinusoid Hati (Pewarnaan HE dan Perbesaran objektif 20 kali) ... .. 23

7. Degenerasi Hidropis Sel Hepatosit dan Kongesti Sinusoid Hati (Pewarnaan HE dan Perbesaran objektif 40 kali) ... 25

8. Nekrosa Hepatosit (Pewarnaan HE dan Perbesaran objektif 40 kali) ... 26

9. Degenerasi Hidropis Sel Tubuli Ginjal dan Kongesti Interstitial Tubuli, (Pewarnaan HE dan Perbesaran objektif 40 kali) ... .. 29

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah Kematian Pada Ayam yang Ditantang Virus AI H5N1... 19

2. Analisa Kandungan Bahan Kimia Tanaman Obat Dengan

Metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa (GC-MS) ... .. 20

3. Persentase lesio histopatologi organ hati ... .. 21

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Proses Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 35

2. Hasil Analisa Statistik Kruskall Wallis Organ Hati dan Ginjal ... 37

3. Hasil Uji Lanjutan Analisa Statistik (Uji Dunn) Organ Ginjal ... 38

(13)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah

suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan

ditularkan oleh unggas. Penyakit flu burung disebabkan oleh virus avian infuenza

jenis H5N1. Penyakit flu burung pada unggas telah terjadi di Republik Korea,

Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, Cina, Indonesia, Pakistan,

Irak dan Turki. Sumber penyakit diduga berasal dari migrasi burung dan

transportasi unggas yang terinfeksi (Bombang dan Wahyudin 2005).

Menurut Bombang dan Wahyudin (2005), pada bulan Juli 2005 telah

dilaporkan terjadi kasus flu burung yang menginfeksi manusia di Tangerang,

Banten sehingga menyebabkan kematian. Sejak saat itu pembahasan mengenai flu

burung kembali lebih intensif dibanding sebelumnya. Kasus penyakit flu burung

sebenarnya sudah menyebar di Indonesia sebelumnya, tetapi hanya terbatas pada

unggas saja. Tepatnya pada tanggal 25 Januari 2004, pemerintah melalui

Departemen Pertanian secara resmi mengumumkan flu burung telah terjadi di

Indonesia. Bersamaan dengan itu penyakit flu burung telah mengakibatkan lebih

dari 5 juta ekor unggas mati, tetapi tidak ada seorangpun yang terjangkit / tertular

penyakit tersebut. Kemudian pada bulan Juli 2005 dilaporkan pertama kali wabah

ini telah menular ke manusia

Sementara itu, untuk penanggulangan penyakit flu burung, pemerintah

menetapkan oseltamivir carboxylate atau biasa disebut juga Tamiflu sebagai obat

untuk penyakit flu burung. Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang

bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum) yang harus

diimpor seluruhnya dari Vietnam atau China dengan biaya relatif mahal. Obat

lainnya adalah Amantadine, yang bekerja sebagai ion chanel blocker, namun

dilaporkan telah memicu resistensi pada virus. Pada bulan Januari 2006, Verkerk

et al. (2006) melaporkan bahwa 16% dari kasus H5N1 pada manusia mempunyai

tipe virus yang resisten terhadap Tamiflu. Berdasarkan kenyataan di atas maka

sangat perlu dan mendesak untuk segera ditemukan obat alami untuk penyakit flu

(14)

ketahui Indonesia merupakan negara tropis yang menyimpan banyak kekayaan

hayati yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk di dalamnya adalah

tanaman-tanaman obat yang biasa dijumpai dan juga digunakan pada manusia.

Untuk itu perlu adanya tanaman obat yang berasal dari Indonesia yang

dapat menanggulangi permasalahan penyakit flu burung ini. Tanaman obat yang

akan dipakai dalam penelitian ini adalah Sirih Merah (Piper crocatum). Karena

menurut Setiyono et al.(2008), setelah melakukan serangkaian penelitian pada

tahun 2007 hasil penelitian menunjukan bahwa Sambiloto, Temu Ireng, Sirih

Merah dan Adas memiliki potensi sebagai penghambat infeksi virus H5N1 ke sel

Vero.

Hati adalah organ pertama yang dicapai oleh obat atau zat sesudah

diabsorpsi oleh intestinum. Hati merupakan organ yang paling mudah mengalami

kerusakan sesudah terpapar oleh zat kimia, terutama dengan pemberian secara

peroral. Sedangkan, ginjal merupakan salah satu jalur eksretori dari berbagai obat,

sehingga apabila terdapat zat toksik maka ginjal merupakan organ sasaran utama

dari efek toksik tersebut, karena nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk

terhadap berbagai bagian ginjal (Price dan Lorraine 2006).

2. Tujuan

Tujuan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran histopatologi

ginjal dan hati ayam setelah pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan diuji

tantang virus H5N1.

3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui potensi tanaman asli

Indonesia (sirih merah) yang dapat digunakan untuk pencegahan terhadap

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Flu Burung dan Virus H5N1

Dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat

kepada semakin merebaknya penularan avian influenza A (H5N1), karena dengan

meningkatnya kasus infeksi H5N1 yang menyebabkan kematian pada manusia

sangat dikhawatirkan dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang berbahaya

bagi umat manusia di muka bumi ini. Sejak lebih dari satu abad yang lalu,

beberapa subtipe dari virus influenza A telah menjadi wabah penyakit pada

manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang

manusia dan telah menyebabkan pandemi, sehingga tidak mengherankan jika

kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung mendapatkan perhatian

yang serius.

Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili

Orthomyxoviridae. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen

gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung

atau simpai yang terdiri atas kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini

mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk melekat pada reseptor yang

spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes,

yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase

(NA), yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto & Kawaoka 2001).

Menurut Maksum (2006), virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang

terdiri atas protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA),

dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza

digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C. Virus influenza A sangat penting

dalam bidang kesehatan karena sangat patogen baik bagi manusia, maupun

binatang yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh

dunia. Virus Influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya

mereka bermutasi, baik berupa antigen drift ataupun antigenic shift sehingga

membentuk varian baru yang lebih patogen.

Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah

(16)

sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan

mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan

menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi

membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali

sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik

yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di

dalam sel nasofaring, dan di dalam sel gastrointestinal (Maksum 2006).

Masa inkubasi virus avian influenza A (H5N1) sekitar 2- 4 hari setelah

terinfeksi (Yue et al. 1998), namun berdasarkan hasil laporan terbaru masa

inkubasinya bisa mencapai antara 4-8 hari (Chotpitayasunondh et al. 2005).

Sebagian besar pasien memperlihatkan gejala awal berupa demam tinggi

(biasanya lebih dari 38o C) dan gejala flu serta kelainan pada saluran pernafasan..

Gejala lain yang dapat timbul adalah diare, muntah, sakit perut, sakit pada dada,

hipotensi, dan juga dapat terjadi perdarahan dari hidung dan gusi. Gejala sesak

nafas mulai terjadi setelah 1 minggu berikutnya.

Dewasa ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun

pencegahan terhadap influenza, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan

oseltamivir (tamiflu). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah

menghambat replikasi virus. Namun demikian kedua obat ini sudah tidak mampu

untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas (Beigel et al.2005).

2. Sirih Merah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan.

Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain

bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan

sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat

tradisional. Sampai saat ini obat tradisional dan tumbuhan masih banyak

digunakan oleh masyarakat. Oleh karenanya hal itu perlu dilestarikan, karena obat

tradisional harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan obat sintesis, serta

bahan-bahannya pun mudah didapat (Wijayakusuma 2000).

Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat

(17)

berasal dari Amerika Tengah, tetapi saat ini dianggap sebagai tanaman asli, karena

multikhasiat mengatasi beragam penyakit (Duryatmo 2006).

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae,

tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang

tumbuh berselang-seling dari batangnya, serta penampakan daun yang berwarna

merah keperakan dan mengkilap. Secara empiris sirih merah dapat

menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes militus, hepatitis, batu

ginjal, menurunkan kadar kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi,

radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan untuk

memperhalus kulit. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat

besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat

moderen. Adapun kedudukan tanaman sirih merah menurut Dasuki (1994) dalam

sistematik (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :

Gambar.1 Sirih Merah (Piper crocatum)

(Sumber: Manoi 2007).

Divisi : Magnoliphyta

Kelas : Liliopsida

Anak kelas : Aracidae

Bangsa : Arecales

Suku : Arecaeceae / palmae

Marga : Piper

(18)

Tanaman ini memproduksi berbagai macam senyawa kimia untuk tujuan

tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman

tersebut merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman

tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup

lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti

alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavonoid, cyanogenik, glukosida,

glukosinolat ,dan protein non asam amino. Menurut Sholikhah (2006), senyawa

fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkoloid, saponin, tannin

dan flavonoid, sedangkan menurut Sudewo (2005), dari hasil kromotografi dapat

dilihat bahwa daun sirih merah mengandung flavonoid, polifenolad, tannin dan

minyak atsiri.

Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir

semua jenis organisme, berbagai efek farmakologi yang ditimbulkan seperti

antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Alkaloid bersifat basa, di alam berada

sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah

memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Herborne 1987).

Selanjutnya, zat kimia yang terkandung yakni saponin. Saponin

merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis

dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin

merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan

kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987).

Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai antimikroba

(bakteri / virus).

Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni tannin.

Tannin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh,

dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya,

tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer kuat yang tidak larut

dalam air.

Kemudian zat kimia lainnya yakni flavonoid. Flavonoid adalah kelompok

senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat

warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan

(19)

isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang

memiliki gugus –OH. Senyawa polifenol ini adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif

dibandingkan vitamin E.

Zat terakhir yang terkandung di dalam tanaman sirih merah adalah minyak

atsiri. Minyak atsiri pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan

antiseptik. Menurut Achmad dan Fitriani (1999), sejak dahulu orang mengetahui

bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang

mudah menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri.

3. Hati

3.1 Anatomi dan Histologi Hati

Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar. Hati

terletak di bagian kanan atas dari rongga abdominal tepat di bawah difragma dan

terbagi dalam empat lobus, dikelilingi oleh suatu kapsul jaringan penyambung

yang mengandung sejumlah serat elastis. Ayam memiliki hati yang terletak

diantara saluran pencernaan dan organ jantung. Ginjal mempunyai lembaran

permukaan dari jaringan penyambung (kapsul Glisson), tertutup oleh suatu tunika

serosa yang tidak lengkap, yang berasal dari peritoneum. Pada tempat dimana

pembuluh-pembuluh utama aferens dan eferens dan saluran empedu eferens

memasuki dan meninggalkan hati (porta hepatis), kapsulnya mengelilingi

pembuluh-pembuluhnya dan mengikuti mereka sampai ke dalam organnya, untuk

membentuk suatu kerangka jaringan penyambung yang membagi kumpulan

hepatosit ke dalam bentuk lobulus (Junqueira et al. 1998)

Hati berkembang sebagai pertumbuhan dari dinding usus yang terletak

dalam jalan vitellina dan vena umbelikula. Ruang antara pembuluh-pembuluh

darahnya terbongkar menjadi sejumlah besar sinusoida-sinusoida kecil yang

mempunyai dinding yang sangat permeabel. Suplai darah sangat kompeks, dan

pemahaman susunan dan distribusinya adalah penting untuk dapat menilai secara

tepat bagaimana hati berfungsi. Terdapat dua sel yang berkaitan dengan fungsi

dari hati, yakni sel parenkim (hepatosit) yang membentuk plat-plat tipis atau

lembaran-lembaran yang terpisah oleh sinuisoida-sinuisoida, dan sel

(20)

tersebut. Sedangkan menurut Darmawan (1979), dalam hati terdapat tiga jenis

jaringan yang penting yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan

susunan saluran empedu.

Hepatosit merupakan sel yang terlibat dalam berbagai fungsi, diantaranya

dalam sintesa berbagai komponen sekresi empedu, penyerapan dan penimbunan

zat-zat makanan, pembuangan obat-obatan, zat-zat racun, serta senyawa-senyawa

yang terbentuk secara alami seperti hormon, dan dalam sintesa serta pelepasan

beberapa protein darah seperti albumin, pengangkutan globulin, dan

protein-protein yang membekukan darah. Sedangkan sel-sel fagosit terlibat dalam

penyaringan darah sewaktu melaui sinusoida. Sel- sel ini mempunyai peranan

penting dalam memelihara respons pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi.

Meskipun peranan hati dalam menjebak bakteri yang lolos ke dalam aliran darah

dari saluran usus, tetap merupakan perselisihan pendapat, namun penurunan

kapasitas fagositis karena penyakit hati, dapat mengakibatkan pengurangan

daya-tahan tubuh terhadap infeksi. Dengan demikian hati merupakan organ yang

kompleks, baik struktural maupun fungsional (Hartono 1992).

Peredaran darah pada hati berasal dari dua sumber yaitu 75% berasal dari

vena portal, dan 25% berasal dari arteri-arteri hati. Vena portal membawa darah

dari usus dan limpa bersama dengan cabang-cabang arteri hapatikus, masuk ke

dalam hati pada porta hepatis ( Gerrit et al.1988).

(21)

Sumber: www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35

Ductus empedu merupakan saluran keluar untuk sekresi empedu, suatu

cairan yang mengandung garam empedu (mempunyai kepentingan dalam

membuat lemak menjadi emulsi dan mempermudah penyerapan lemak dari usus),

serta sejumlah senyawa yang merupakan bentuk eksresi dari produk akhir

metabolisme hemoglobin (bilirubin) dan inaktivasi obat-obatan dan

hormon-hormon (berbagai glukuronida dan sulfat). Semua hepatosit senantiasa

membentuk sejumlah kecil empedu, yang dieksresikan ke dalam kanalikuli

empedu yang terletak antara hepatosit-hepatosit dalam lobulus hati ( Gerrit et

al.1988).

3.2 Fisiologi Hati

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Menurut Junquiera et al. (1998),

hati adalah organ tempat nutrien diserap dari saluran cerna, diolah dan disimpan

untuk dipakai oleh bagian tubuh yang lain, oleh karena itu hati menjadi perantara

antara sistem pencernaan dan darah. Hati memiliki berbagai fungsi dibandingkan

organ lain dalam tubuh. Fungsi utama hati yaitu metabolisme karbohidrat,

metabolisme lipid, metabolisme protein, penyimpanan glikogen, vitamin A, D dan

B12, zat besi dan darah, peyaringan darah, detosifikasi dan sekresi empedu. Fungsi

metabolisme karbohidrat dilakukan dengan mengubah glukosa darah menjadi

glikogen dan lemak, produksi glukosa dari glikogen hati dan molekul lain (asam

amino, asam laktat) melalui proses glukoneogenesis, juga mnesekresikan glikosa

ke dalam darah. Metabolisme lipid pada hati terjadi melalui sintesis trigliserida

dan kolesterol, eksresi kolesterol ke dalam empedu serta produksi badan keton

dari asam lemak yang akan dieksresikan ke dalam darah dalam jumlah besar

selama kelaparan atau dalam keadaan puasa.

Menurut Guyton dan Hall (1997), fungsi hati yang paling penting dalam

metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk

mengeluarkan amonia dalam cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan

interkonversi diantara asam amino yang berbeda, demikian juga dengan ikatan

penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Albumin plasma dan globulin

(22)

Globulin memiliki berbagai fungsi, termasuk diantaranya adalah transport

koleterol dan trigliserida, transport hormon steroid dan tiroid, inhibisi aktivitas

tripsin dan pembekuan darah. Hati juga memproduksi faktor pembekuan darah

yaitu faktor I (fibrinogen), II (protombin), III, V, VII, IX dan XI, serta dikenal

dengan angiotensinogen.

Daya regenerasi hati besar sekali. Pada hati normal diketahui bahwa

lobektomi sebanyak 70 % pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang

sangat giat, sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat

diganti kembali. Pengaturan regenerasi hati yang cepat ini masih belum diketahui

secara jelas, namun faktor pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growt factor, HGF)

sepertinya merupakan faktor yang paling penting untuk menyebabkan pembelahan

dan pertumbuhan sel hati (Guyton dan Hall 2006).

3.3 Intosikasi Hati

Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di

dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian

besar obat dan toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami

detosifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik.

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel

dalam sel hati, mengakibatkan berbagai kerusakan hati (Lu 1995). Sebagian besar

toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,

toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 1995). Beberapa kerusakan hati

diantaranya adalah :

a) Degenerasi

Degenerasi adalah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas

yang non fatal dan perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih

(reversible), tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya

mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Degenerasi terjadi akibat jejas sel,

setelah itu timbul perubahan metabolisme. Pada pemeriksaan, luas degenerasi

lebih penting dari jenis degenerasi. Macam atau jenis degenerasi antara lain

(23)

b) Nekrosis

Nekrosis adalah kematian sel. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,

petengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis bersifat akut (Lu 1995). Ciri

nekrosis ialah tampaknya fragmen atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau

tidak tampaknya sel disertai reaksi radang. Kerusakan pembuluh darah gingga

menimbulkan pembendungan eritrosit pada hati merupakan kelainan tingkat

lanjut dari degenerasi dan sifatnya tidak reversibel sebab nekrosis hati

merupakan kerusakan susunan enzim dari sel. Tampak atau tidaknya sisa sel

hati tergantung pada lama dan jenis nekrosis (Hodgson and Levi 2002).

4. Ginjal

4.1 Anatomi dan Histologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari

darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur

berguna dari filtrat, yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk buangan

plasma. Secara anatomi, posisi ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga

abdominal pada tiap sisi dari aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral

terhadap beberapa vertebrae lumbal yang pertama. Ginjal dikatakan

retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal. Ginjal kanan biasanya

terletak lebih kranial daripada yang kiri. Organ ginjal pada ayam memiliki bentuk

yang sedikit lebih memanjang

Secara makroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi

dua gambaran dan dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang beraspek

gelap disebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medula,yang

berbentuk piramida terbalik. Secara makroskopis, korteks yang gelap tampak

diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medula yang berwarna agak cerah,

disebut garis medula (medullary rays). Subtansi korteks di sekitar garis medula

disebut labirin korteks. Medula tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur

yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya

(Hartono 1992). Menurut Nabib (1987), secara histologi ginjal terdiri atas tiga

unsur utama yaitu (1) Glomerulus, yakni suatu gelung pembuluh darah kapiler

(24)

glomerulus membentuk nefron, suatu untit fungsional terkecil ginjal, dan (3)

Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.

Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari curah

jantung. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum, kemudian

bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, artei arkuata, arteri

interlobularis (juga disebut arteri radialis) dan arteri eferen, yang menuju ke

kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk

kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk

membentuk arteriol eferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler

peritubular yang mengelilingi tubulus ginjal (Guyton dan Hall 2006).

Gambar.3 Struktur histologi ginjal normal Sumber : www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35

4.2 Fisiologi Ginjal

Fungsi utama dari ginjal adalah menjernihkan atau membersihkan plasma

darah dari produk akhir metabolisme ketika zat-zat ini berjalan melalui alas

kapiler ginjal. Ginjal juga membuat seimbang komposisi cairan-cairan tubuh

dengan mempertahankan secara selektif atau mengeksresikan banyak zat

penyusun plasma. Sementara itu, menurut Price dan Lorraine (2006), fungsi utama

ginjal dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi eksresi dan non eskresi. Fungsi

ekresi ginjal adalah (1) mempertahankan osmolalitas plasma, (2) mempertahankan

volume cairan ektraseluler dan tekanan darah, (3) mempertahankan pH plasma,

(25)

rentang normal, (5) mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme

protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin), dan (6) bekerja sebagai jalur

eskretori untuk sebagian obat. Sedangkan fungsi noneskresi ginjal yaitu

mensintesis dan mengaktifkan hormon, yaitu renin, eritropoetin,

1,25-dihidroksivitamin D3, protaglandin, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin,

hormon pertumbuhan, hormon anti diuretik (ADH), hormon gastrointestinal, serta

degradasi hormon polipeptida.

Kapiler di bagian glomerulus ginjal menyaring antara 10% sampai 30%

plasma, ketika darah mengalir melalui alas kapiler ginjal yang sangat kompleks

(glomeruli) dan ultrafiltrat ini (plasma yang telah dibersihkan dari protein-protein

besar dan zat-zat partkel) masuk ke dalam tubula dari nefron sebagai satuan

fungsional ginjal. Ketika cairan saringan itu mengalir melalui tubula, maka hasil

ikutan metabolisme yang tidak dikehendaki seperti urea, kreatinin, tetap tertahan

dalam tubula, sedangkan zat-zat yang masih diperlukan seperti air, elektrolit,

glukosa, dan asam amino secara selektif dikembalikan pada darah (proses

reabsorpsi). Ketika urine terbentuk, dinding tubula juga mensekresi beberapa zat

ke dalam lumen. Urine yang lengkap terbentuk oleh proses filtrasi dan sekresi,

dan peyesuaian-penyesuaian dilakukan dalam komposisi urine sepanjang jalan

tubula oleh proses resorpsi. Pada ginjal terdapat alat-alat penginderaan

(juxtaglomerular aparatus) untuk membandingkan susunan elektrolit cairan tubuh

dengan kandungan urine, dan penyesuaian terakhir dapat dilakukan untuk

memungkinkan penahanan atau ekskresi elektrolit- elektrolit, seperti natrium,

kalium dan ion-ion klorida atau hidrogen. Oleh karena itu, secara fisiologis ginjal

merupakan suatu organ penting dalam pengaturan asam basa dan keseimbangan

cairan (Guyton dan Hall 2006).

Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring

plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi

tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal “membuang” zat yang tidak diinginkan dari filtrat dengan mengeksresikan melalui urin, sementara zat yang

dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Proses pembentukan urin dimulai

dengan filtrasi sejumlah cairan yang hampir bebas rotein dari kapiler glomerulus

(26)

secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula

Bowman hampir sama dengan plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini

meninggalkan kapsula Bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan ini

mengalami perubahan akibat adanya resorpsi air dan zat terlarut spesifik kembali

ke dalam darah atau sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus

(Guyton dan Hall 2006).

4.3 Intoksikasi Ginjal

Urine merupakan jalur utama eskresi sebagian besar toksikan yang ada di

dalam tubuh. Menurut Lu (1995), akibatnya ginjal mempunyai volume aliran

darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan

melalui tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya, ginjal merupakan

organ sasaran utama dari efek toksik.

Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk pada berbagai bagian ginjal,

yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsi. Kerusakan pada ginjal dapat

mengenai glomerulus diantaranya adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis

(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi Departemen Klinik

Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

mulai dari bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Februari 2009. Pemeliharaan

ayam pada saat perlakuan dilaksanakan di laboratorium Kandang Belakang FKH

IPB. Selanjutnya uji tantang virus AI H5N1 dilakukan di BSL 3 PT. Vaksindo

Nusantara, kemudian pengamatan histopatologi organ hati dan ginjal dilaksanakan

di Laboratorium Histopatologi FKH IPB.

2. Alat dan Bahan Penelitian

2.1 Alat dan Bahan di Kandang Hewan Laboratorium

Bahan yang digunakan di Kandang Hewan Laboratorium antara lain DOC

Srain Cobb CP 707 sebanyak 14 ekor, pakan konsentrat, air, litter kandang,

ekstrak tanaman obat sirih merah. Alat yang digunakan antara lain syringe 1 ml

tempat pakan dan minum, kandang hewan coba yang terbuat dari papan kayu,

lampu, timbangan elektronik, botol ekstrak, spidol, wadah plastik, pisau, scalpel,

pinset anatomis, pinset sirurgis, scalpel, pinset anatomis, pinset sirurgis, alkohol

70%, larutan fiksatif Bufferd Neutral Formalin (BNF) 10% dan stiker label.

2.2 Alat dan Bahan di Laboratorium Histopatologi

Alat yang digunakan antara lain preparat organ ginjal, preparat organ hati,

mikroskop cahaya, tissue processor, pulpen, dan buku tulis. Dalam proses

pembuatan sediaan histopatologi memerlukan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, dan

absolute, xylol, paraffin, inkubator, cetakan paraffin, mikrotom, Mayer

Hematoksilin Eosin.

3. Metode Penelitian

3.1 Kelompok Perlakuan

Dalam penelitian ini terdapat empat kelompok perlakuan, diantaranya

(28)

(Tidak diberi perlakuan), P1= Kelompok yang diberi ekstrak ethanol sirih merah

dan diuji tantang virus H5N1, P2= Kelompok ayam yang diberi ekstrak ethanol

sirih merah 10% saja

3.2 Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar

Penyiapan bahan baku dimulai dari panen bahan baku sampai proses pasca

panen dan pembuatan ekstraksi tanaman obat dilakukan dan disiapkan oleh Balai

Penelitian Tanaman obat dan Aromatik (BALITRO). Adapun prosedur pembuatan

sediaan berupa simplisia dan ekstrak adalah sebagai berikut : sortasi, pencucian,

pengeringan, penggilingan, ekstraksi, dan pengujian komponen fitokimia.

Gambar 4 Ekstrak tanaman obat yang disimpan di dalam botol kaca. Sumber : Dokumentasi Pribadi

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Pada hari pertama kedatangan, ayam dimasukan ke dalam kandang yang

terbuat dari papan, kemudian dipelihara terlebih dahulu selama 1 minggu tanpa

diberikan perlakuan apapun agar teradaptasi terhadap lingkungan sekitar, selain

itu, juga dilakukan vaksinasi terhadap penyakit ND (Newcastle Disease) dan

Gumboro. Setelah dipelihara selama 1 minggu ayam diberi ekstrak ethanol sirih

merah 10% dengan dicekok sebanyak 1 ml per ekor/ hari selama 3 minggu.

Selanjutnya ayam diuji tantang dengan virus AI H5N1 di BSL 3 (Biosafety Level

3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung putri, Bogor pada umur 28

hari. Kemudian ayam diuji tantang virus H5N1 dengan dosis 104,0x EID50/0,1 ml

(29)

merupakan virus yang diisolasi dari lapang pada kasus outbreak di wilayah

Tanggerang. Selanjutnya, setelah 7 hari post infeksi, baik ayam yang masih hidup

maupun yang sudah mati dilakukan nekropsi untuk pengambilan sampel organ

hati dan ginjal yang akan dibuat sediaan histopatologi.

Gambar 5 Pemberian ekstrak sirih merah secara peroral Sumber : Dokumentasi Pribadi

3.4 Evaluasi Histopatologi

Evaluasi histopatologi dilakukan terhadap organ hati dan ginjal

menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x10. Penilaian terhadap

perubahan mikroskopis organ hati dan ginjal dilakukan dengan metode scoring

(nilai) berdasarkan perubahan yang terjadi. Preparat organ yang digunakan untuk

pengamatan evaluasi histopatologi masing-masing perlakuan adalah sebanyak 2

buah preparat, sehingga total preparat yang digunakan adalah 8 buah. Dari

masing- masing organ dilakukan pemeriksaan sebanyak 20 lapang pandang dan

dibuat nilai skoring. Penilaian terhadap parenkim organ hati dan ginjal adalah

sebagai berikut :

skor 0= normal skor 4= pendarahan

skor1 = kongesti skor 5= infiltrasi sel radang

skor 2= degenerasi skor 6= nekrosis fokus/ multifokus.

(30)

3.5 Analisis Data

Hasil skoring histopatologi parenkim organ hati dan ginjal dianalisis

menggunakan uji statistik non parametrik dengan metode Kruskall-Wallis dan

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Evaluasi Data Kematian Ayam

Tanaman obat Sirih Merah (Piper crocatum) secara umum memiliki

potensi sebagai bahan pendukung (prekursor) untuk menangkal infeksi virus AI

H5N1 ke sel target pada ayam. Berdasarkan data kematian ayam yang diberi

ekstrak sirih merah kemudian diuji tantang dengan virus H5N1 ekstrak sirih

merah dalam komposisi tunggal mampu menghambat kematian ayam sebesar

62.5% setelah uji tantang virus H5N1 hingga hari ke 7 yakni dari 8 ayam yang

diinfeksi 3 ayam mati pada hari ke- 7 post infeksi. Walaupun demikian

kemampuan ekstrak sirih merah dalam menahan infeksi virus H5N1 masih harus

dilakukan kajian lebih lanjut lagi. Oleh karena itu ketika ekstrak sirih merah ini

terbukti dapat menghambat kematian ayam hingga hari ke-7 post infeksi, maka

sejauh mana esktrak sirih merah tersebut dapat dimetabolisme dengan baik di

dalam tubuh ayam, dan efek samping terhadap perubahan-perubahan patologis

secara mikroskopik. Oleh karena itu kajian lebih lanjut dilakukan dengan melihat

gambaran histopatologi pada organ hati dan ginjal baik diakibatkan secara

langsung ataupun tidak langsung oleh virus H5N1 dan ekstrak sirih merah.

Tabel 1 Jumlah Kematian Pada Ayam yang Ditantang Virus AI H5N1

Ekstrak Tanaman

Obat

Jumlah Ayam

Jumlah ayam mati pada hari ke- setelah tantangan Virus AI

Persentase Kematian

(%)

1 2 3 4 5 6 7

Kelompok P1 8 - - - 3 37,5

Kelompok K1 8 - - - 8 100

Dalam penelitian ini sebelumnya telah dilakukan analisa kandungan bahan

kimia sirih merah menggunakan metode Gas kromatografi spektrometri massa

(GC-MS) menunjukkan kadar komponen kimia yang terdapat di dalam kandungan

(32)

Tabel 2 Analisa Kandungan Bahan Kimia Tanaman Obat Dengan Metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa (GC-MS)

No. Tanaman Obat Komponen Kimia Konsentrasi

( ≥ 0,5 % )

1. Sirih Merah 1. Chavikol 2. Chavibetol

3. 5-amino-1,2,4-triazole

0,78 1,39 5,75

Sumber : (Setiyono et al. 2008)

Carvacrol, eugenol dan chavibetol merupakan isomer dari eugenol, sebagai

komponen antibakteria paling aktif. Mekanisme kerja komponen tersebut yakni

dengan merusak membran sitoplasma dan mengkoagulasi isi sel. Selain itu

chavibetol dan chavicol pun merupakan salah satu komponen yang mempunyai

peranan penting sebagai antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang

diperlukan tubuh menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang

ditimbulkan oleh radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektrolit yang

dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Radikal

bebas merupakan jenis oksigen yang memiliki tingkat reaktif yang tinggi dan

secara alami ada di dalam tubuh sebagai hasil dari reaksi biokimia tubuh, radikal

bebas juga terdapat di lingkungan sekitar kita yang berasal dari polusi udara, asap

tembakau, penguapan alkohol yg berlebihan, bahan pengawet dan pupuk, sinar

ultr violet, x-rays dan ozon (Rachmawati 2010). Sedangkan menurut Han et al.

(2006) antioksidan merupakan molekul yang mempunyai fungsi sebagai pengikat

radikal bebas yang ada di dalam tubuh maupun sel, selain itu antioksidan pun

mempunyai peranan dalam meningkatkan sistim imun tubuh.

2. Hasil Evaluasi Histopatologi Hati

Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh

kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut

(33)

Tabel 3 Persentase lesio histopatologi organ hati pada setiap perlakuan setelah pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus AI H5N1

Kode SKOR

Perlakuan Perlakuan Lesio Histopatologi (%)

0 1 2 3 4 5 6

K 1a Virus AI H5N1 0 45 38 7 0 4 6

K2b Kontrol Negatif 0 38 38 0 0 21 3

P1b Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 48 1 47 0 4 0

P2b Sirih Merah 0 37 4.6 41 0 0.4 17

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p<0.05).

Keterangan :

Skor 0= normal Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan Skor 5 = infiltrasi sel radang

Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing

perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada

kelompok K1 perubahan didominasi oleh kongesti sebesar 45%, kelompok K2

perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi sebesar 38%, selanjutnya

pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi difuse

sebesar 48%, dan sama halnya pada kelompok P2 perubahan didominasi oleh

degenerasi difuse sebesar 41%. Kemudian, didapat hasil analisa statistik antara

kelompok kontrol positif (K1) dengan kelompok perlakuan (P2), kelompok

kontrol positif (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2), kelompok kontrol

negatif (K1) dengan kelompok perlakuan (P1), adalah berbeda nyata. Namun lain

halnya dengan kelompok kontrol positif (K2) dibandingkan kelompok perlakuan

(P1) dan kelompok perlakuan (P1) dengan kelompok perlakuan (P2) adalah tidak

berbeda nyata.

Perubahan patologi pada kelompok kontrol (K1) adalah kongesti,

degenerasi dan nekrosis. Menurut Tabbu (2000), unggas yang terinfeksi virus AI

H5N1 menimbulkan perubahan mikroskopik pada organ hati berupa degenerasi

dan nekrosis. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiantono

(2003) bahwa, perubahan organ hati yang dilihat secara mikroskopis akibat

terinfeksi HPAI adalah kongesti, hemorhagi, degenerasi dan nekrosa. Hal ini

dapat disebabkan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme baik pada organ

(34)

et al. (1971) bahwa oksigen sangat penting bagi reaksi seluler sehingga

terganggunya suplai oksigen berakibat reaksi seluler tidak berjalan dengan

semestinya. Selain itu suplai oksigen dapat disebabkan oleh terganggunya

sirkulasi darah, misalnya pada keadaan kongesti sehingga mengakibatkan sel hati

mengalami degenerasi hingga nekrosis karena kekurangan natrium dan oksigen.

Sementara itu menurut Kwon et al. (2005) dalam kajian histologi unggas yang

terkena HPAI ditemukan beberapa fokus nekrosis dengan sel inflamatoris pada

multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati. Pada hati terlihat

peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya hiperplasia dari

sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada sistim portal hati.

Namun menurut Setiyono et al. (2008), dalam penelitian kali ini belum

dapat diterangkan sejauh mana infeksi telah terjadi dan seberapa jauh agen

patogen berhasil masuk ke dalam jaringan atau organ ayam yang diinfeksi virus

AI H5N1. Kongesti terjadi pada semua kelompok perlakuan terutama pada vena

sentralis dan sinusoid-sinusoid hati. Kongesti adalah suatu keadaan yang disertai

meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat

atau bagian tubuh. Sementara itu Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat

toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen

dan zat-zat makanan.

Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu (1) kenaikan jumlah

darah yang mengalir ke suatu lokasi atau (2) penurunan jumlah darah yang

mengalir dari suatu lokasi. Jika aliran darah ke dalam lokasi bertambah dan

menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif. Sementara kongesti pasif

tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu lokasi, tetapi

lebih merupakan gangguan aliran dari lokasi itu. Apapun yang dapat menekan

venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat

(35)
[image:35.595.144.514.85.402.2]

Gambar 6 Hati : Kongesti sinusoid (a), kelompok K1 (Pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali).

Selanjutnya perubahan yang terlihat dari kelompok perlakuan (P2)

didominasi oleh sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropik baik lokal

maupun menyebar (difuse). Degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan

jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak

membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan

membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang

berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel (Jones et al.

1997).

Ada beberapa literatur terkait dengan degenerasi hidropik diantaranya

menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi dalam patologi dapat

didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur fungsi normal, biasanya

progresif, dan tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi

sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel.

Degenerasi yang terjadi umumnya adalah degenerasi hidropis. Menurut

Underwood (1992) degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan

metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Gangguan metabolisme

a

a

a

(36)

sel biasanya di dahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa

toksik ke dalam tubuh (Rusmiati dan Lestari 2004).

Selain itu, perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan (P2) dapat

juga diakibatkan belum menemukan dosis maksimal ekstrak sirih merah.

Ketepatan dosis pemberian ekstrak sirih merah pun diduga dapat mempengaruhi,

karena apabila ketepatan dosis yang diberikan tidak diperhitungkan secara baik,

maka akan menjadi toksik bagi tubuh sehingga secara langsung akan

menimbulkan kerusakan pada sel hati sebagai organ detoksikasi. Hati adalah

organ pertama yang dicapai oleh obat atau zat sesudah diabsorpsi oleh intestinum.

Sehingga di dalam hati, obat atau ekstrak sirih merah tersebut akan mengalami

proses metabolisme dan detoksifikasi yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi,

hidrolisis dan konjugasi menjadi bentuk terlarut atau bentuk terionisasi sehingga

dapat dieksresikan oleh ginjal. Hati merupakan organ yang paling mudah

mengalami kerusakan sesudah terpapar oleh zat kimia, terutama dengan

pemberian secara peroral. Pemberian obat atau zat yang bersifat toksik, setelah

diabsorpsi dan mengalami seluruh proses yang terjadi dalam hati akan

mempengaruhi hati dengan timbulnya perubahan patologis (Dewi 2005).

Kerusakan dan perubahan patologi pada organ hati dapat disebabkan oleh ekstrak

sirih merah yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, kemudian akan

mengalami absorbsi di dalam usus halus. Ketika ekstrak ethanol sirih merah

tersebut yang mengandung saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri, dan alkaloid

mengalami detoksifikasi dan biotransformasi di dalam hati tidak sempurna,

tentunya akan menimbulkan kerusakan hati, sehingga fungsi hati pun akan

terganggu dan akan menyebabkan perubahan-perubahan patologis seperti

kongesti, degenerasi dan nekrosis. Menurut Spector dan Spector (1993), bahwa

tiga penyebab utama kematian dan disfungsi sel hati adalah virus, kekurangan

oksigen dan keracunan sel, yaitu termasuk zat-zat toksik bakteri, yang berasal dari

tumbuhan dan hewan atau sintetis.

Sementara itu menurut Henryk dan Peter (2010), degenerasi hidropik

(ballooning degeneration, toxic swelling, vacuolar degeneration, hidropic

change) merupakan perubahan hepatoseluler yang bersifat reversibel, namun

(37)

dalam jangka waktu yang lama. Degenerasi hidropik dapat terjadi akibat virus,

toksik (alkohol), dan kerusakan akibat iskemik hati, terutama pada lokasi

sentrolobular (zona 3) hepatosit. Oleh karena itu dosis optimum untuk

penggunaan ekstrak sirih merah ini perlu diteliti lebih lanjut, supaya ekstrak sirih

merah tidak menjadi toksik dalam tubuh terutama pada organ hati .

Gambar 7 Hati : Degenerasi hidropis sel hepatosit (a), kongesti pada sinusoid hati (b) pada kelompok P2, (pewarnaan HE, pembesaran objektif 40 kali).

Perubahan – perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol K2 maupun kelompok perlakuan P1 dan P2 tidak terlepas dari faktor lingkungan dan faktor

stress, tepatnya pada penangan ayam selama perlakuan pemberian ekstrak sirih

merah, walaupun faktor stress ini hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap

perubahan patologis. Faktor stress dalam jangka panjang akan mempengaruhi

peningkatan kortisol di dalam tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Arifah dan

Purwanti (2008) bahwa, peningkatan epinefrin dan kortisol secara terus menerus

dapat terjadi pada stres kronis, sehingga dapat menyebabkan penurunan sistem

imun secara keseluruhan yang ditandai dengan mudahnya individu terserang

penyakit. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya produksi sel plasma akibat

b

a

a

[image:37.595.131.511.206.489.2]
(38)

menurunnya jumlah germinal center. Tekanan jangka panjang akan menekan

kemampuan sistem imun dalam melawan virus, bakteri dan parasit, dimana stres

kronis menurunkan kekebalan tubuh. Kemudian penurunan jumlah limfosit dapat

disebabkan oleh penurunan proliferasi limfosit pada jaringan limfoid. Keadaan

kortisol yang tinggi menimbulkan mobilisasi cadangan energi (glikogen) di hati

dan otot. Peningkatan kortisol dan epinefrin terjadi pada keadaan semua jenis stres

baik fisik, psikologis, lingkungan, kimiawi maupun trauma. Selain kortisol yang

tinggi di dalam darah dapat menyebabkan ketidakseimbangan gula darah,

penurunan densitas tulang, dan jaringan otot (Scott 2000).

Gambar 8 Hati : Fokus Nekrosis sel hepatosit (a) pada kelompok K1, (pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali).

Perubahan yang terjadi pada organ hati kelompok perlakuan (P1) dapat

diakibatkan oleh pemberian ekstrak sirih merah maupun infeksi virus H5N1, juga

dapat diduga bahwa ekstrak sirih merah belum mampu mengurangi perubahan

patologis yang disebabkan oleh infeksi virus H5N1 pada organ hati tersebut.

[image:38.595.108.515.83.802.2]
(39)

3. Hasil Evaluasi Histopatologi Ginjal

Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi organ ginjal perubahan patologi

terjadi pada seluruh kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok

perlakuan. Kongesti, degenerasi maupun nekrosa terjadi pada kelompok kontrol.

Hal ini diduga bahwa organ ginjal merupakan salah satu tempat virus H5N1 untuk

melakukan replikasi, hal tersebut sesuai dengan Swayne dan Slemons (1992),

bahwa ginjal yang terisolasi virus H5N1 mempunyai perubahan seperti nefrosis

dan akut nefritis serta nukleoprotein dari virus influenza terlihat di nukleus dan

sitoplasma dari epitel tubuli ginjal yang nekrosis, serta ditemukan fokus nekrosis

dan sel inflamatoris pada multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati.

Pada hati terlihat peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya

hiperplasia dari sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada

sistim portal hati. Sementara itu Kwon et al. (2005) bahwa, pada kajian histologi

organ ginjal yang terkena HPAI mempunyai ciri ditemukannya fokus nekrosis

dari epitel tubuli ginjal.

Selain itu perubahan patologi seperti kematian sel dapat disebabkan oleh

berbagai faktor, salah satunya adalah hipoksia akibat terganggunya sistem

sirkulasi oleh zat toksik yang masuk. Bagian korteks ginjal merupakan bagian

yang sangat sensitif terhadap terjadinya hipoksia. Khususnya pada tubulus

proksimal. Cedera hipoksia bergantung pada kecepatan transport ion di dalam

tubulus proksimal dan jerat Henle. Hipoksia dipengaruhi oleh permintaan energi

dan penggunaan oksigen. Jerat Henle asenden (menaik) secara selektif sangat

mudah mengalami defisiensi oksigen karena aktifitas transportnya yang tinggi dan

kurang mendapat suplai oksigen (Cheville 1999). Selain hipoksia, kematian sel

juga dapat disebabkan karena iskemia. Menurut Price dan Lorraine (2006),

kerusakan tubulus yang disebabkan oleh iskemia sangat bervariasi bergantung

pada luas dan durasi penurunan aliran darah ginjal.

Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh

kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut

(40)

Tabel 4 Persentase lesio histopatologi organ ginjal pada setiap perlakuan setelah pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus H5N1

Kode SKOR

Perlakuan Perlakuan Lesio Histopatologi (%)

0 1 2 3 4 5 6

K 1b Virus AI H5N1 0 22 0 41 0 0 37

K2a Kontrol Negatif 0 0 0 73 0 0 27

P1ab Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 33 0 34 0 1 32

P2a Sirih Merah 0 44 0 49 0 2 5

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p<0.05).

Keterangan :

Skor 0= normal Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan Skor 5 = infiltrasi sel radang

Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing

perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada

kelompok K1 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar 41%,

kelompok K2 perubahan didominasi oleh degenerasi sebesar 73%, selanjutnya

pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar 34%,

sedangkan pada klompok P2 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar

49%. Selanjutnya, didapat hasil analisa statistik antara kelompok kontrol positif

(K1) dengan kelompok perlakuan (P1), kelompok perlakuan (P1) dengan

kelompok perlakuan (P2) adalah tidak berbeda nyata. Sedangkan pada kelompok

kontrol positif (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2), dan antara kelompok

kontrol positif (K1) dengan kelompok perlakuan (P2) adalah berbeda nyata

Dari hasil pengamatan histopatologi organ ginjal pada kelompok

perlakuan P2 yakni kelompok perlakuan yang hanya diberi ekstrak sirih merah

terdapat beberapa perubahan patologis diantaranya adalah kongesti, degenerasi,

nekrosis. Dengan adanya perubahan patologis terutama nekrosis pada sel tubular

ginjal, maka diduga bahwa pemberian ekstrak sirih merah sebanyak 1 ml/ hari

(41)

Gambar 9 Ginjal : Degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal (a) dan kongesti pada interstisial tubuli (b), (pewarnaan HE, pembesaran objektif 40 kali).

Perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan (P2) diduga dapat

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengaruh zat yang terkandung

di dalam ekstrak sirih merah terhadap organ ginjal sebagai organ eksretori. Seperti

yang kita ketahui ginjal merupakan salah satu jalur eksretori dari berbagai obat,

sehingga apabila terdapat zat toksik maka ginjal merupakan organ sasaran utama

dari efek toksik tersebut, karena nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk

terhadap berbagai bagian ginjal. Selain itu karena dalam sirih merah mengandung

senyawa flavonoid, hal ini pun diduga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan

patologis pada organ ginjal tersebut, karena menurut Jiang et al. (2008) bahwa

mengkonsumsi tanaman herbal yang mengandung flavonoid dengan kadar tinggi

setelah dilakukan pemeriksaan biopsi pada organ ginjal, ditemukan kerusakan – kerusakan seperti tubular nekrosis, nefritis interstitial, dan kerusakan hemoglobin.

Oleh karena itu untuk mendapatkan dosis optimal agar ekstrak sirih merah ini

dapat dijadikan sebagai imunomodulator terhadap pencegahan infeksi virus H5N1

serta tidak menimbulkan kerusakan pada organ ginjal, maka harus dilakukan

penelitian lebih lanjut.

a

b

b

[image:41.595.142.512.81.375.2]
(42)
[image:42.595.143.513.82.376.2]

Gambar 10 Ginjal : Nekrosa (a) dan degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal (b) pada kelompok K1, (pewarnaan HE, pembesaran objektif 40 kali).

Namun, terdapat perbedaan yang tidak nyata antara kelompok kontrol K1

dengan kelompok perlakuan P1, hal tersebut dapat disebabkan bahwa ekstrak sirih

merah yang diberikan pada kelompok perlakuan P1 belum mampu memberikan

efek yang signifikan terhadap mengurangi perubahan sel akibat infeksi virus

H5N1, terutama efek terhadap organ ginjal.

a

a

(43)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perubahan yang terjadi pada organ hati dan ginjal setelah pemberian

ekstrak sirih merah dan diuji tantang virus AI adalah kongesti, degenerasi,

pendarahan, infiltrasi sel radang dan nekrosa.

2. Pemberian ekstrak sirih merah 10% mampu menahan/ mengurangi

perubahan patologis hati dan ginjal akibat infeksi virus AI.

3. Pemberian ekstrak sirih merah mampu menghambat kematian ayam akibat

infeksi virus AI H5N1.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan dosis ekstrak

sirih merah guna pencegahan infeksi virus H5N1 dengan toksisitas yang

rendah sehingga tidak menimbulkan perubahan patologis pada organ hati

(44)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Liver Histology.www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35 [23 Juni 2009].

[Anonim]. 2009. Kidney Histology.www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35 [23 Juni 2009].

Beigel JH, Farrar J, Han AM. 2005. Avian influenza (H5N1) infecttion in humans. N Engl J Med. 1374-1385.

Bevelander G, Ramaley JA. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Ed ke-8. Jakarta : Erlangga.

Budiantono. 2003. Kajian Histopatologi Kasus HPAI di Bali Tahun 2003. Bali : badan Pengujian dan Penyelidikan Veteriner, Regional VI, Denpasar.

Bombang H, Wahyudin B. 2005. Flu Burung (Avian Influenza). Jurnal Medis Nusantara 26;216-221 [19 Februari 2010].

Chotpitayasunondh T, Ungchusak K, Hanshaoworakul W. 2004. Human disease from influenza A (H5N1), Thailand Emerg Infect Dis 2005; 11 : 201-209.

Darmawan S. 1979. Hati dan saluran Empedu. Di dalam: Himawan, editor Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dasuki U. 1994. Sistematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati. ITB.

Duryatmo S. 2006. Wajah Ganda Sirih Merah. Dalam Majalah Trubus 434; 93.

Fitriani R. 1999. Minyak Atsiri, Pati, Vitamin dan Mineral Rimpang Kencur. Skripsi program sarjana strata 1 Pendidikan Kimia Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Gerrit B, Judith A. 1988. Dasar-Dasar Histologi. Jakarta : Erlangga.

Guyton AC & Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bndung: Institut Tekhnologi Bandung.

Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert M. 1999. Liver and Gallbladder. Di dalam : Maronpot RR, editor. Pathology of the Mouse : Reference and Atlas. United States of America: Cache River Press

Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Bogor: IPB.

(45)

Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin Microbiol Rev. 14(1) : 129-149.

Jia-Jung Lee, MD, Hung-Chun Chen, Md. 2006. Flavonoid Induced Acute Nephopathy by Cupressus funebris Endl (Mourning Cypress).American Journal of Kidney Disease. Vol 48. Hlm 81-85 [ 21 Juni 2010].

Jie Han, Xinchu Weng, Kaisun Bi. 2006. Antioxidant from Chinese medicinal herb-Lithospermum erythorhizon. Journal of Food Chemistry 196 (2008)2-10. [23 Maret 2010].

Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 1997. Veterinary Pathology. 6th ed. Baltimore: Blackwell Publishing.

Jubb KVF, Peter CK, Nogel P. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th ed. CaliforniaL Academic Press.

Junqueira LC, Jose C, Robert OK. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta: EGC.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi ke 2. Jakarta: UI Press.

Manoi F.2007. Sirih Merah Sebagai Tanaman Multi Fungsi,Warta Puslitbangbun Vol.13 (2).

Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Bogor: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi IPB.

Price SA, Lorraine MW. 2006. Ptofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Terjemahan dari : Pathophisiology Clinical Concept of Disesase Processes.

RachmawatiH.2010.Antioksidanrarafarmasi.staff.umm.ac.id/files/2010/01/ANTIO KSIDA. Diakses tanggal 9 Juli 2010.

Radji M. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan dan Penyebaran pada Manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (2); 55-65.

Rusmiati, Lestari A. 2004. Struktur histologis organ hepar dan ren mencit (Mus Musculus L) jantan setelah perlakuan dengan ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L). Vol 1. No 1. Hlm 23-30.

(46)

Sholikhah A. 2006. Sirih Merah Menurunkan Kadar Glukosa Darah. //http:www.pustakatani.com. diakses pada tanggal 14 Oktober 2009.

Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi ke 3. Soetjipto NS, penerjemah. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press

Sudewo B. 2005. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.

Tabbu C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Cetakan Pertama, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Underwood JCE. 1992. General Syste

Gambar

Gambar 2  Struktur histologi hati normal
Gambar.3 Struktur histologi ginjal normal Sumber : www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35
Gambar 5 Pemberian ekstrak sirih merah secara peroral
Gambar 6   Hati : Kongesti sinusoid (a), kelompok K1 (Pewarnaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian sambungan balok kayu bibir miring berkait menunjukkan bahwa, jika ditinjau dari beban yang sama sebesar 250 kg, balok pada variasi panjang

[r]

Air laut mengandung senyawa-senyawa yang dapat bekerja sebagai pengendap (koagulan). Penelitian ini diawali dengan pengenceran air limbah kertas dengan aquadest dengan perbandingan

Dari hasil pengujian yang dilakukan terhadap pengaruh dari partisipasi penyusunan anggaran, motivasi dan komitmen organisasi terhadap kinerja manajerial di PDAM Delta Tirta

Untuk meramaikan pasar dan agar tidak kalah oleh pesaing pada jenis produk yang sama maka Sirup ABC meluncurkan beberapa produk baru yaitu rasa apel cranberry yang

Berdasarkan hasil uji regresi linear berganda, diketahui bahwa hipotesis yang menyatakan d iduga terdapat pengaruh CAR (Capital Adequacy Ratio), NPL (Non Performing Loan), dan

Pada infeksi kronis terlihat pembengkakan dan pernanahan pial, yang sering disebut wattle disease, kelumpuhan akibat artritis dan adanya torticollis yang disebabkan oleh

Overview on the proposed methodology: the original point cloud is either kept or downsampled via voxel-grid filtering; local neighborhoods are subsequently recovered to