• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effectiveness of Ethanolic Extracts of Sambiloto, Adas and Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effectiveness of Ethanolic Extracts of Sambiloto, Adas and Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

i

PADA AYAM PEDAGING

MASDA ADMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 14 Desember 2011

(4)
(5)

v

Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken. Under direction of AGUS SETIYONO and IETJE WIENTARSIH.

The use of antiviral drugs had been caused resistance against H5N1 avian influenza virus, thus it was crucial to find more effective alternative medicine. The objective of this research was to study the effect of different concentration of ethanol extract formula of sambiloto, adas, and sirih merah in broiler infected with avian influenza virus. Samples were divided into two groups, vaccinated and unvaccinated. Each groups consist of five treatment, F1-5%, F2-7,5%, F3-10%, F4-simplisia, and control. All broilers were challenged with H5N1 AI virus after treated with herb ethanol-extract. Observations were done on performances, leukocyte differentiation, antibody titer, survival, and antigen distribution in lymphoid organ, liver, and intestine. The results showed that the body weight were statistically not significant (P>0.05) in the 4th and 6th week of old. Evaluation on leukocyte differentiation was also shown not significant statistically. The high level of antibody titer and survival bird was found in broiler treated with 5% ethanol extract of sambiloto, adas, and sirih merah, and vaccinated (II-FI 5%). Antigen distribution in the lymphoid organ, liver, and intestine was quite high in the vaccinated broiler, and vice versa.

(6)
(7)

vii

dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan IETJE WIENTARSIH.

Avian Influenza (AI) atau flu burung merupakan penyakit viral pada unggas yang menyita perhatian dunia, karena memiliki dampak ekonomi yang penting dalam industri perunggasan dan kesehatan manusia. Upaya pencegahan penyebaran penyakit AI H5N1 pada unggas dilakukan dengan vaksinasi AI terhadap ayam peliharaan, namun saat ini dilaporkan menggunakan beberapa vaksin AI sudah tidak efektif untuk mencegah penyakit AI (Swayne 2009). Pemerintah Indonesia menetapkan oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, namun oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus (de Jong et al. 2005). Sementara obat lain yang ditetapkan pemerintah adalah amantadine dan rimantadine, dilaporkan telah mengalami resistensi terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006).

Resistensi virus AI terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah dan tidak efektifnya vaksin AI yang tersedia, sehingga perlu ditemukan obat alternatif anti AI yang lebih efektif untuk mengobati penderita AI, yang biayanya relatif murah dan dapat menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Beberapa tanaman obat dikenal memiliki potensi sebagai imunomodulator maupun antimikroba seperti sambiloto, adas dan sirih merah. Penelitian secara in vivo dengan menggunakan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 2.5% dapat menghambat infeksi virus AI H5N1 mencapai 46,7% ayam hidup dari total populasi hingga hari ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Pada penelitian ini, dengan menggunakan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula konsentrasi bertingkat diharapkan dapat menemukan kekuatan daya hambat infeksi virus AI H5N1 yang lebih baik.

Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah Sambiloto (Andrographis paniculata Ness), adas (Foeniculum vulgare Mill) dan sirih merah (Piper crocatum Ruiz). Penyiapan ekstrak tanaman obat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor. Formula (F) ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah disusun berdasarkan dugaan kandungan setara zat aktif dengan konsentrasi masing-masing 5%, 7.5%, 10% dan formula simplisia. Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging strain Cobb dengan bobot badan rata-rata 38g, dibagi dalam 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5 (lima) perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor anak ayam. Semua kelompok perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum.

(8)

viii

pada ayam umur 21 hari dan 44 hari. Ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1 dilakukan pembedahan (nekropsi) untuk diambil organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) yang selanjutnya dianalisa menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin dan imunohistokimia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tahan hidup ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 memberikan hasil yang baik pada kelompok perlakuan yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 5% dan ayam divaksin AI H5N1 (kelompok perlakuan II-F1-5%) dengan total ayam bertahan hidup 100% hingga hari terakhir masa pengamatan. Hasil pemeriksaan titer antibodi AI menunjukkan adanya titer antibodi AI pada ayam yang dilakukan vaksinasi sedangkan ayam yang tidak dilakukan vaksinasi AI tidak menunjukkan adanya titer antibodi AI yang protektif. Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensiasi leukosit ayam setelah pemberian ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi tidak menunjukkan adanya perubahan jumlah relatif leukosit ayam perlakuan. Pemeriksaan terhadap performance ayam selama penelitian tidak menunjukkan adanya pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat terhadap berat badan ayam pada semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanaman obat tidak berefek negatif terhadap kesehatan ayam, salah satunya termasuk pertumbuhan berat badan ayam penelitian.

Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin terlihat organ bursa Fabricius, limpa dan timus secara umum menunjukkan adanya deplesi sel limfoid, kongesti, edema, nekrotik folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi sel limfoid kortek timus dan nekrotik fokus medula timus. Hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia menunjukkan deteksi antigen AI pada ayam kelompok perlakuan yang tidak divaksin lebih sedikit daripada ayam perlakuan yang divaksin. Hal ini diduga virus tantang yang masuk kedalam tubuh ayam menyebabkan kerusakan sel limfoid dan kemungkinan virus telah menyebar ke organ atau jaringan lain. Sebaliknya organ yang mendapat vaksin AI H5N1 menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak. Hal ini dimungkinkan oleh antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI.

(9)

ix

©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

xi

PADA AYAM PEDAGING

MASDA ADMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

xii

(13)

xiii

Nama : Masda Admi

NRP : B351090041

Disetujui : Komisi Pembimbing

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Ketua

Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(14)
(15)

xv Bismillahirrahmanirrahiim.

Alhamdulillah, puji syukur kehadhirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Atas rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 dengan judul Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet, sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesis ini.

Penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada orang tua Ayahanda M. Thahir (Alm) dan Ibunda Nurhayati atas kasih sayang dan do’a yang tak pernah henti-hentinya mengiringi perjuangan penulis. Kepada Adinda Nasrul Effendi dan Ihksan serta Kakanda Safriadi yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan, serta terimakasih tak terhingga kepada Dr. drh Darmawi, M.Si beserta keluarga yang telah banyak membantu penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Buatnya Mardiana, SPdi, terimakasih atas dukungan do’a dan kasih sayang serta penantian panjang selama berlangsungnya pendidikan penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D, APVet, Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo P, MS, APVet, Dr. drh. Dewi Ratih, APVet, Dr. drh. Wiwin Winarsih, APVet, Dr. drh. Eva Herlina, M.Si, APVet, drh. Hernomoadi, MVS, APVet, Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet, yang senantiasa selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada para dosen pengasuh mata kuliah di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan mahasiswa seangkatan dan sejawat yang setia dan penuh pengorbanan drh. Mawar Subangkit, drh. Ibenu Ramadani, drh. Fakhrul Ulum, drh. Riki Siswandi dan terima kasih juga kepada, drh. Faisal Jamin, M.Si, drh. Siti Aisyah, M.Si, drh. Sri Wahyuni, M.Si, dan Dr. drh. Mustafa Sabri, MP. yang dengan setia menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.

(16)

xvi rahmat bagi kita semua. Amin

Bogor, 14 Desember 2011

(17)

xvii

Penulis dilahirkan di Kutablang, Aceh Selatan pada tanggal 26 November 1981 sebagai putera Pertama (tiga bersaudara) dari pasanga M. Thahir (Alm) dan Nurhayati. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA Negeri 1 Samadua pada Tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala melalui UMPTN, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2005 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan jenjang pendidikan Magister pada program Ilmu Biomedis Hewan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan biaya sendiri.

(18)
(19)

xix

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza………..………... ... 5

Vaksin Avian Influenza………..…………. ... 8

Tanaman Obat ……….……….... .. 9

Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ... 11

Sirih Merah (Piper crocatum) ………..……….. ... 14

Adas (Foeniculum vulgare)………. ... 16

Organ Limfoid ……….... ... 18

Bursa Fabricius ... 18

Limpa ... 19

Timus ... 20

Leukosit ... 21

Heterofil ... 22

Eosinofil ... 22

Basofil ... 22

Monosit ... 23

(20)

xx

Materi ... 25

Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ... 26

Pembuatan Formula ... 27

Metode ... 27

Uji Perlakuan Ekstrak Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam ... 27

Pemeriksaan Performance Ayam Perlakuan ... 28

Pengambilan Sampel Darah ... 29

Uji Tantang dengan Virus AI H5N1 ... 30

Pembuatan Preparat Histopatologi ... 30

Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ... 30

Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ... 31

Analisa Data ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan ... 33

Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan ... 35

Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N... 37

Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia ... 39

Performance Ayam Perlakuan ... 43

Tanaman Obat sebagai Pendukung (Prekursor) Vaksin ... 49

KESIMPULAN ... 53

(21)

xxi

Halaman

1. Metode Pemberian Formula Ekstrak Etanol Tanaman Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dengan Konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7,5%, F3 - 10% dan F4-Simplisia terhadap Ayam pada Kelompok

Perlakuan ... 28 2. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 21 Hari Selama

Pemberian Ekstrak Tanaman Obat………… ... 33 3. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 44 Hari Sebelum

Ditantang Virus AI H5N1………… ... 34 4. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 51 Hari, Setelah

Ditantang Virus AI H5N1 ... 35 5. Hasil Uji Titer Antibodi AI H5N1 terhadap Ayam Perlakuan

Berumur 21, 44 dan 51 Hari ... 36 6. Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1

Dosis 0.1 ml (106EID50), Selama 6 Hari Masa Pengamatan ... 38

7. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa dan Timus) Ayam yang Mati Setelah Ditantang

Virus AI H5N1 ... 40 8. Berat Badan Ayam Perlakuan Umur 1-6 Minggu (g/ekor) ... 44 9. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Hati dan Usus

(22)
(23)

xxiii

Halaman 1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI) ... 7 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ... 12 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz) ... 15 4. Adas (Foeniculum vulgare Mill)... 17 5. Pewarnaan HE terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa

dan Timus) Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada

Kelompok Perlakuan II-F2-75% ... 42 6. Pewarnaan IHK terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa

dan Timus), Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada

Kelompok Perlakuan II-F1-5%... ... 42 7. Grafik Rataan Berat Badan Ayam Pedaging Per Minggu (gr/ekor)

Umur 1-6 Minggu ... 45 8. Pewarnaan HE terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah

Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok II-Kontrol ... 48 9. Pewarnaan IHK terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah

(24)
(25)

xxv

(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Flu burung adalah penyakit viral disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) tipe A strain H5N1 dari famili Orthomyxoviridae. Dalam sejarah kesehatan, penyakit AI sempat menyita perhatian dunia karena menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar. Penyakit AI pada unggas di Indonesia merupakan subtipe H5N1 sudah mulai menyebar pada tahun 2003 (Dharmayanti et al. 2005). Pada awalnya virus AI H5N1 hanya menyerang unggas, namun saat ini telah menyerang manusia, anjing, babi dan kucing. Hal ini dikarenakan adanya mutasi virus yang memicu munculnya strain virus baru yang lebih patogen. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bila terjadi mutasi virus AI di

Indonesia maka dapat menyebabkan pandemi dan menimbulkan jumlah korban jiwa lebih besar.

Pencegahan penyakit AI pada ayam dapat dilakukan dengan vaksinasi, penggunaan vaksin AI dengan strain virus vaksin AI sesuai subtipe virus AI kasus lapang dapat memberikan hasil vaksinasi yang efektif (Frame 2000). Vaksin AI yang tersedia selama ini, dikhawatirkan tidak efektif dalam beberapa waktu kedepan, karena virus AI merupakan virus yang memiliki banyak strain, diantaranya 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9), sehingga vaksin AI yang tersedia saat ini tidak sesuai dengan strain virus yang terjangkit di lapangan. Seperti dilaporkan Swayne (2009), bahwa penggunaan beberapa vaksin sudah tidak efektif untuk dijadikan sebagai upaya mencegah penyakit AI.

Pemerintah Indonesia menetapkan Oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI, Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium

verum), namun Oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus AI (de

(27)

Penggunaan beberapa obat anti AI seperti amantadine, rimantadine dan oseltamivir telah menimbulkan resistensi virus AI H5N1 (Arnold et al. 2008). Berdasarkan kenyataan resistensi virus AI, maka dipandang perlu ditemukan obat alternatif anti AI yang lebih efektif dengan biaya relatif murah serta menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Mengingat secara empiris tanaman obat telah banyak digunakan untuk menangani berbagai penyakit pada hewan dan manusia.

Beberapa tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat diantaranya berasal dari temu-temuan, sirih-sirihan, sambiloto dan adas. Penggunaan tanaman obat dengan formulasi yang tepat berpeluang sebagai feed additive dan imunomodulator untuk meningkatkan nafsu makan dan kekebalan

tubuh pada hewan dan manusia . Setiyono et al. (2007) menyatakan melalui studi in vitro, penggunaan campuran ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan

sirih merah memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan virus H5N1 pada jaringan sel lestari (cell line). Kombinasi sambiloto dan temu ireng merupakan hasil yang lebih baik dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada cell line.

Penelitian dengan menggunakan bahan tunggal ekstrak temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) secara in vitro telah terbukti memiliki potensi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan obat alternatif AI, sedangkan penggunaan bahan tunggal ekstrak adas (Foeniculum vulgare Mill) secara in vitro menunjukkan potensi yang kurang kuat dalam menghambat infeksi AI. Hasil uji secara in vitro sering kali tidak sama ketika diujikan secara in vivo, hal ini disebabkan kompleks reaksi yang ditimbulkan oleh tubuh makhluk hidup dan faktor-faktor yang berperan dalam tubuh seperti enzim, sistem kekebalan tubuh dan reaksi kimia lainnya (Nurbara 2009). Penelitian yang sama juga di lakukan oleh Taha (2009) terhadap penggunaan bahan tunggal ekstrak tanaman sambiloto secara in vitro terhadap hambatan pertumbuhan virus AI, hasil yang dilaporkan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto dapat menghambat perlekatan (attachment) virus ke sel lestari.

(28)

menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat infeksi virus H5N1, jumlah ayam yang hidup mencapai 46,7% dari total populasi sampai hari ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian penggunaan ekstrak tanaman obat di atas, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula konsentrasi bertingkat untuk menemukan kekuatan daya hambat virus AI H5N1 yang lebih baik.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui konsentrasi dan formula efektif ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus H5N1 pada ayam pedaging yang telah ditantang virus AI H5N1.

2. Mengetahui gambaran darah ayam pedaging yang diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah.

3. Mengetahui distribusi antigen AI H5N1 pada organ pertahanan ayam (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan menggunakan metode imunohistokimia.

4. Mengetahui pengaruh infeksi virus AI H5N1 terhadap keamanan pangan karkas ayam pedaging.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang konsentrasi efektif formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam pedaging.

2. Memberikan informasi tentang peran konsentrasi yang efektif dari formula ekstrak etanol tanaman obat dalam meningkatkan daya tahan tubuh ayam pedaging terhadap infeksi virus AI H5N1.

3. Memberikan informasi kepada masyakarat tentang keamanan karkas ayam pedaging yang terpapar virus H5N1.

Hipotesis

(29)
(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Avian Influenza

Virus Avian Influenza (AI) adalah virus Ribo Nucleic Acid (RNA) berpolaritas negatif tergolong dalam famili Ortomyxoviridae, dan diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Setiap tipe dari virus ditentukan oleh struktur antigenik protein nuklei dan matriks antigen yang saling berhubungan erat diantara virus AI tertentu. Virus AI tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia, sedangkan tipe A ditemukan pada unggas serta dapat menginfeksi berbagai macam spesies lainnya. Virus AI tipe A diklasifikasikan dalam beberapa subtipe berdasarkan pada kemampuan antigenitas dua protein permukaan seperti haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), secara antigenik virus AI tipe A memiliki 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9) (Fouchier et al. 2005). Pengelompokan antigen virus berguna untuk penentuan identitas serologik virus influenza dengan memakai nomor kombinasi H dan N yang sesuai dalam menandai virus, seperti H5N1, H7N2, H1N1 dan jenis virus lainnya. Wabah penyakit AI yang melanda Indonesia pada tahun 2003 disebabkan oleh Virus AI subtipe H5 dan kemungkinan besar merupakan subtipe H5N1 yang sangat patogen pada unggas (Wiyono et al. 2004).

Virus AI tipe A dapat menjadi pandemik karena virus ini bermutasi, baik pergeseran struktur antigen virus (antigenic shift) atau perubahan struktur antigen pada virus (antigenic drift) yang menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi. Sehingga memudahkan virus strain baru untuk menyebar dalam populasi yang tidak punya kekebalan. Perubahan struktur antigen pada virus AI menjadikan virus ini dapat menyebar luas dan bersifat zoonosis (Claas 2000). Pertengahan tahun 2005, virus AI telah mengakibatkan korban meninggal dunia di Indonesia. Data sekuen asam amino pada GenBank, sekuen asam amino di daerah cleavage site yang berasal dari korban manusia di Indonesia merupakan pertanda patogenisitas virus AI H5N1 (Dharmayanti et al. 2007).

(31)

menyebabkan penyakit sistemik dengan kematian pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100%, sedangkan virus LPAI menyebabkan infeksi yang terlokalisasi dengan tidak menampakkan gejala klinis atau hanya sedikit gejala klinis (Horimoto dan Kawaoka 2001). Infeksi virus AI saat ini terjadi subklinis, yaitu hewan yang terserang virus terlihat sehat tetapi sebenarnya hewan tersebut terinfeksi virus atau sakit. Infeksi virus AI yang tidak terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyebaran penyakit AI di lapangan. Tingginya tingkat infeksi virus AI memungkinkan virus ini bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi dan/atau genetic reassortment (Claas 2000).

Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site. Kehilangan glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi,

atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak bahwa perubahan virulensi dari rendah ketinggi, mengindikasikan virus HPAI yang memiliki pohon filogenik sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7 juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI (Capua dan Maragon 2007).

(32)

nekrosis dan menimbulkan pankreatitis, miokarditis, miositis dan ensefalitis (Murphy et al. 1999).

Pengendalian penyebaran virus AI di lapangan dapat dilakukan melalui pengawasan daerah yang dicurigai terserang AI dengan tujuan mendeteksi penyakit HPAI pada unggas secara dini, sehingga dapat ditentukan zona bebas, terancam dan tertular, dapat ditentukan subtipe virus, dan dapat dideteksi virus HPAI pada spesies selain unggas serta dapat ditetapkan status bebas ditingkat peternakan. Berdasarkan monitoring penyakit HPAI yang dilakukan Damayanti et al. (2005) dengan metode imunohistokimia pada bulan Juni dan September 2004 terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Jawa barat, Jawa timur dan Banten, tidak terdeteksi adanya Virus AI, sedangkan monitoring bulan September 2004 di Provinsi DKI Jakarta berhasil dideteksi virus AI, namun pada bulan September 2004 hingga Februari 2005 berhasil dideteksi virus AI di daerah yang sebelumnya sudah tidak terdeteksi virus AI yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan DKI Jakarta.

Kebijakan Pemerintah melalui surat keputusan Departemen pertanian telah melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik untuk menghindari penularan virus AI ke wilayah Indonesia yang masih bebas penularan AI (Ditkeswan 2005). Setyawati (2010) menyatakan bahwa anak ayam umur satu hari telah terinfeksi virus AI dengan gejala subklinis dan anak ayam umur satu hari ini berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penularan AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah bebas AI.

(33)

Vaksin Avian Influenza

Vaksin adalah suspensi bibit penyakit yang hidup tetapi telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin berfungsi untuk menimbulkan kekebalan (antibodi) pada hewan yang divaksinasi sehingga dapat berguna untuk melindungi hewan dari serangan penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, dan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksin terdiri dari dua jenis yaitu: 1. vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya, 2. vaksin inaktif adalah vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat imunitasnya (Tizard 1988).

Virus aktif yang digunakan dalam vaksin terdiri dari tiga jenis virus yaitu; virus yang diisolasi dari hewan sehat sebagai virus yang secara alamiah tidak virulen, virus yang mulanya virulen tetapi setelah dipasase berkali kali di laboratorium dengan biakan jaringan atau hewan percobaan, virus-virus tersebut menjadi tidak virulen dan tetap imunogenik, dan virus-virus yang memiliki kesamaan antigen sehingga antara antibodi yang satu dengan antigen yang lainnya dapat saling menetralisasi. Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus virulen

yang diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia seperti formaldehida, β -propiolakton, asetiletilenimin, etilen oksida, etilenamin. Upaya meningkatkan daya imunogenik vaksin inaktif biasanya ditambah dengan adjuvan yang merupakan bahan campuran vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik secara humoral maupun seluler. Adjuvan yang sering dicampurkan dalam vaksin adalah lemak nabati, minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1987).

Prinsip dasar pemakaian virus vaksin adalah harus homolog dengan subtipe H atau N virus asal lapang. Menurut regulasi Office International Des Epizooties (OIE), vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil,

(34)

program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1 pada berbagai ternak unggas di Indonesia (Dharmayanti et al. 2006).

Pemerintah telah menetapkan obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus H5N1 seperti amantadine dan rimantadine serta oseltamivir carboxilate (Tamiflu®) dan Zanamivir (Relenza®). Oseltamivir merupakan salah satu obat yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase sedangkan amantadine bekerja sebagai ion chanel blocker. Menurut laporan Arnold et al. (2008), virus AI H5N1 resisten terhadap beberapa obat anti AI seperti oseltamivir dan amantadine. Berdasarkan resistensi virus terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah serta kurang efektifnya vaksin yang terjadi saat ini, maka perlu ditingkatkan pengembangan obat anti virus yang baru dengan menggunakan bahan baku tanaman obat asal Indonesia (Canopus Biopharma 2009).

Tanaman Obat

Secara empiris tanaman obat banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Penggunaan tanaman obat dapat mencegah berbagai jenis penyakit, sehingga tanaman obat banyak digunakan dalam berbagai jenis jamu yang dipasarkan di masyarakat. Tanaman obat atau obat tradisional yang digunakan untuk pencegahan penyakit dikenal dengan nama Jamu. Industri obat tradisional di Indonesia berkembang sangat cepat. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terdapat ribuan industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, baik yang berskala besar maupun berskala kecil. Perkembangan industri obat yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat dapat menjadi gambaran tingginya konsumsi obat tradisional di Indonesia.

(35)

Beberapa penggunaan tanaman obat sebagai anti viral seperti yang dilakukan negara Thailand, tentang penelitian khasiat tanaman obat Maeng Lak Kha (Hyptis suaveolens) yang telah memasuki pengujian klinis tahap kedua, diuji

pada 1.000 orang sukarelawan. Pada pengujian tahap pertama, telah terbukti dapat membunuh virus AI pada 10 orang sukarelawan. Di Laos, tanaman yang sedang diteliti adalah Man On Ling (Poligonum multiforum), yang memiliki daya kerja neuraminidase inhibitor, dan menghambat atau mencegah terjadinya cytokine storm, yang dapat berakibat fatal. Negara lain seperti Cina dan Korea

tidak kalah gencarnya meneliti tentang tanaman obat yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan obat AI (WHO 2007). Di Indonesia ketersediaan bahan tanaman obat sangat mudah didapatkan karena Indonesia sebagai negara tropis, mempunyai berbagai jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan sebagai salah satu sumber bahan obat untuk menggantikan obat AI yang tidak mampu mengatasi infeksi virus AI H5N1.

(36)

meminimalisasi biaya produksi obat AI, sehingga dapat meningkatkan jumlah sediaan obat dan mudah dalam mendapatkan obat.

Kandungan tanaman obat yang telah diidentifikasi memiliki aktivitas antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin, saponin, senyawa furil, alkaloid, polin, tiopen, protein dan peptide (Manoi 2007; Paparanza dan Marianto 2003; Rusmin dan Melati 2007). Meskipun memiliki kemampuan antiviral yang tinggi, namun komposisi kombinasi yang tepat belum banyak diketahui dalam menghambat infeksi virus (Jassim dan Naji 2003). Pengembangan penelitian terhadap mekanisme kerja dari bahan aktif yang terkandung dalam tanaman obat terus dilakukan, sehingga ditemukan beberapa bahan aktif dalam tanaman obat yang memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi, termasuk efek antiviral menghambat pembentukan DNA atau RNA virus atau menghambat aktivitas reproduksi virus (Ahmad 2006).

Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)

Tanaman sambiloto merupakan salah satu sumber bahan tanaman obat yang banyak dipakai di Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat asli sambiloto adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, semak-semak, ataupun rumpun. Sambiloto memiliki batang berkayu dengan bentuk bulat dan persegi serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk seperti pedang (lanset) dengan tepi daun rata dan permukaannya halus berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulat panjang) dengan pangkal dan ujungnya lancip. Di India, bunga dan buah dapat diamati pada bulan Oktober atau antara bulan Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat diamati antara bulan Nopember sampai Juni tahun berikutnya, sedangkan di Indonesia karena merupakan daerah tropis, maka bunga dan buah tanaman sambiloto dapat ditemukan sepanjang tahun (Hariana 2006).

(37)

takila, atau ki peurat, sedangkan masyarakat Bali lebih mengenal dengan nama samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan nama pepaitan atau ampadu. Sambiloto di Cina disebut dengan nama chuan xin lian, yi jianxi, dan lan he lian, di India disebut dengan nama kalmegh, kirayat, dan kirata, di Vietnam dikenal dengan nama xuyen tam lien dan congcong, negara Arab menyebutny dengan nama quasabhuva, di Persia

dengan sebutan nainehavandi, serta di Inggris menyebutnya dengan nama green chiretta dan king of bitter. Wijayakusuma et al. (1994) menyebutkan taksonomi

tanaman sambiloto adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathophyta Kelas : Dycotyledonae Ordo : Personales Family : Acanthaceae Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Ness

Gambar 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)

(38)

tubuh dan membersihkan darah serta sebagai obat anti diuretik, anti diabetik, anti inflamasi, anti tukak lambung, anti histamin (gatal-gatal), menurunkan tekanan darah, anti rematik, anti analgetik, imunomodulator, melindungi kerusakan hati dan jantung yang reversibel, anti spermatogenik/androgenik (Niranjan et al. 2008). Komponen utama sambiloto adalah andrografolide yang memiliki multi efek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker pada hati, payudara dan prostat. Efek farmakologisnya mampu merangsang daya tahan seluler dan memproduksi antibodi. Di samping itu hasil pengujian pra klinis sambiloto menunjukkan bahwa andrografolide, memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan telah dikembangkan sebagai obat modern anti virus dengan nama Androvir® (Maat 2001: Prapanza dan Marianto 2003).

Kandungan bahan aktif sambiloto secara kimia yaitu flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrografolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Zat aktif tanaman obat ini dapat ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography [HPLC] (Hu 1982). Analisa kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman sambiloto adalah lakton dan glikosida, andrografolide, deoksiandrografolide, 11, 14-didehidro-14-deoksi andrografolide, dan neoandrografolide. Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan dammar (Paparanza dan Marianto 2003).

(39)

sebagai anti oksidan, anti diabetes, anti fertilitas, anti human immunodeficiency virus (HIV-1), anti flu, anti adesi intraperitoneal, anti malaria, anti diare, anti

hepatoprotektif, anti koleretik, dan anti kolekinetik. Sambiloto sebagai salah satu obat tradisional sudah di uji, baik praklinis maupun uji klinis. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrografolide dan senyawa lain yang terkandung dalam tanaman sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah (Birdane 2007).

Ekstrak sambiloto dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen baik yang spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil dan basofil untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya (Wibudi 2006).

Sirih Merah (Piper crocatum)

Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Disamping itu sirih merah juga memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi, termasuk dalam suatu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap rangkaian acara adat di Yogyakarta (Manoi 2007). Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti sirih hijau, batangnya bersulur dan beruas dengan setiap buku tumbuh bakal akar, daunnya bertangkai berbentuk jantung dengan bagian atas meruncing, mempunyai warna yang khas yaitu permukaan atas hijau gelap berpadu dengan tulang daun berwarna merah hati keunguan, daun berasa pahit, berlendir, serta mempunyai bau yang khas seperti sirih (Duryatmo 2005).

(40)

dilakukan pemupukan, tetapi pertumbuhan di lapangan tergantung pada jumlah air dan cahaya matahari yang cukup yaitu berkisar 60-75% (Manoi 2007).

Sirih merah menurut Backer (1963) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monochlamydeae Ordo : Piperales

Family : Piperaceae Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum

Gambar 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz)

Sirih merah mengandung senyawa aktif yakni alkaloid, saponin, tanin, flavonoid dan minyak atsiri. Sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan

(41)

Senyawa flavonoid dan tanin bersifat anti kanker, anti oksidan, anti septik dan anti inflamasi (Ziaran et al. 2005)

Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa

kompleks terhadap protein ekstra seluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat bersifat sebagai koagulator protein. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri, dengan dugaan mekanisme kerjanya adalah mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson et al. 1991). Tanin memiliki aktivitas toksisitas yang dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan kompleks antara ikatan tanin terhadap ion logam dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama 2001).

Kandungan minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan mengalami peruraian yang cepat, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel yang menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein sedangkan pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan lisisnya membran sel (Parwata et al. 2008).

Adas (Foeniculum vulgare)

(42)

Taksonomi dari buah adas adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Apiales Family : Apiaceae Genus : Foeniculum

Spesies : Foeniculum vulgare Mill (Bean dan Russo 1988)

Gambar 3. Adas (Foeniculum vulgare Mill)

Adas terdiri dari dua varietas, yaitu adas pahit (Varietas vulgare) dan adas manis (Varietas ducle). Tanaman adas dengan ciri tinggi, tanaman 1-2 meter dan memiliki banyak percabangan, batang beralur, daun berbagi menyirip berbentuk bulat telur sampai segitiga dengan panjang 0.3 cm, bunga berwarna kuning membentuk payung yang besar dan terdiri dari 15-40 payung kecil dengan panjang tangkai bunga 1-6 cm. Buah adas yang biasa digunakan adalah buah adas yang kering berwarna cokelat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam buah adas adalah minyak atsiri yang mengandung anethole atau phenylphropanoid sebanyak 0.1-36%, α-pinene (1–21%), limonene (1–17%) dan ά-terpinene (<1– 4%) (Edoardo et al. 2010).

(43)

abnormalitas yang terjadi pada ginjal dan pankreas tikus diabetes (El-soud et al. 2011). Kandungan senyawa trans dan cis-anetol serta estragol yang terdapat dalam adas juga bermanfaat sebagai anti jamur (Mironescu et al. 2010). Tanaman adas (Foeniculum vulgare) diduga memiliki efek anti inflamasi, namun jumlah persentase zat aktif yang bekerja sebagai anti inflamasi belum dapat ditentukan (Albano et al. 2010).

Organ Limfoid

Organ limfoid secara umum dapat diklasifikasi berdasarkan perannya dalam menghasilkan limfosit, mengatur produksi limfosit dan menyiapkan kondisi lingkungan untuk interaksi antara antigen yang sudah diproses dengan sel peka antigen. Organ limfoid unggas dibagi dalam dua kelompok besar yaitu organ limfoid primer yang berfungsi mengatur produksi dan diferensial limfosit, yang termasuk dalam organ limfoid ini adalah timus dan bursa Fabricius. Organ limfoid sekunder bersifat responsif terhadap stimulasi antigenik, organ limfoid ini kaya akan makrofag dan sel dendritik yang menangkap serta memproses antigen dan limfosit T dan B, yang memperantarai reaksi kebal. Termasuk dalam organ limfoid sekunder adalah limpa, simpul limfe, saluran respirasi, saluran urogenital dan limfonodul pada saluran gastrointestinal (Tizzard 1987).

Bursa Fabricius

(44)

Korteks dan medula merupakan bagian dari bursa Fabricius, kedua bagian ini dipisahkan oleh membran basal yang berhubungan dengan permukaan epitel. Permukaan medula dari membran basal folikular terdiri dari lapisan sel epitel squamous atau kubus. Stroma jaringan epitel secara ekstensif terdapat di dalam

medula. Akibat kerja dari jaringan ini, kehadiran limfosit dan makrofag sulit untuk dilihat. Bagian korteks terdiri dari sel-sel limfosit, sel plasma dan makrofag, sedangkan bagian medulanya hanya berisi sel limfosit. Sel plasma kaya akan ribosom yang akan menghasilkan antibodi dan kemampuan mengenali suatu rentetan partikel yang mempunyai ukuran menengah diantara linfosit dan sel plasma. Sel plasma sebenarnya sel efektor yang mengsekresi immunoglobulin dan menetralisir antigen. Sel plasma kaya akan ribosom yang akan menghasilkan antibodi, aparat golgi yang besar sebagai tempat keluarnya antibodi (Eerola et al. 1987 dan Tizzard 1987).

Bursa Fabricius mempunyai fungsi sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari sistem pembentuk antibodi. Bursa juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang salurannya (Tizzard 1987).

Limpa

Secara histologis, limpa terdiri dari stroma (kapsula, trabekula) dan parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai kelenjar-kelenjar limfe. Kapsul limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri atas serat kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena spenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ

(45)

pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi), patologi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain (Thomas 2006).

Limpa merupakan organ pertahanan ayam yang berfungsi untuk memproduksi sel-sel limfosit. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa

merah dan pulpa putih. Pulpa merah memiliki fungsi “menyaring” darah,dan

sebagai tempat penyimpanan sel darah merah, penjeratan antigen dan eritropoietis pada fetus, sedangkan bagian pulpa putih merupakan sebagai tempat terjadinya tanggap kebal (Tizzard 1988).

Timus

Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar dan setiap lobus dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Bagian tengah tiap lobus disebut medula sedangkan bagian tepinya disebut korteks. Korteks timus paling utama terdiri dari retikulum epitel dan lmfosit. Sel epitel timus memiliki inti lonjong, besar dan pucat dengan penjuluran bercabang panjang yang mengandung banyak filament mikro dan saling berhubungan kuat melalui desmosom organel tidak jelas. Sel-sel epitel membentuk balutan berkesinambungan pada tepi lobus dan sekitar ruang perivaskuler. Ini merupakan bagian penting dari barier antara darah dan timus (Dellman dan Brown 1989).

Ukuran timus sangat bervariasi, ukuran relatif paling besar terdapat pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada saat hewan pubertas (Tizzard 1987). Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks, pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel retikuler epitel membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman dan Brown 1989).

(46)

polipeptida kecil yang bekerja pada sel sumsum tulang untuk pematangan sel T. Timoepoetin adalah polipeptida yang menyebabkan pendahulu sel T berdiferensiasi dan mempertinggi fungsi sel T dengan menekan tingkat AMP siklik. FTS adalah peptide yang disekresi oleh sel epithelial yang mampu mengembalikan sebagian fungsi sel T pada hewan yang mengalami timektomi (Tizzard 1987).

Leukosit

Leukosit atau sel darah putih memiliki peran utama dalam sistem pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan sel leukosit di dalam aliran darah bersifat non fungsional karena hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan (Franson 1992). Jumlah leukosit jauh dibawah jumlah eritrosit dan bervariasi tergantung jenis hewannya. Jumlah leukosit yang tinggi dipengaruhi oleh genetik, hormon, status nutrisi yang bervariasi antara individu hewan. Fluktuasi jumlah leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Tizzard 1987)

Fungsi leukosit adalah menghancurkan agen infeksi dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (kekebalan). Pengamatan terhadap leukosit merupakan suatu cara untuk mendiagnosis suatu kondisi atau status kekebalan tubuh. Respon pertahanan atau kekebalan tubuh yang tertekan disebabkan oleh rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk atau mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan misalnya, bursa Fabricius, limpa, timus, sumsum tulang dan jaringan lainnya, karena pada jaringan tersebut dibentuk sel pertahanan tubuh yaitu leukosit (Unandar 2003).

Leukosit atau sel darah putih terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu, granulosit dan agranulosit. Sel darah putih yang termasuk ke dalam kelompok granulosit adalah heterofil, basofil dan eosinofil. Neutrofil pada unggas dikenal dengan nama heterofil. Monosit dan limfosit termasuk ke dalam kelompok agranulosit atau leukosit yang tidak bergranul (Guyton 2008).

(47)

atau sebagai antigen tunggal misalnya protein dan polisakarida (Leanears dan Hendriksen 2005).

Komponen-komponen yang mendasar dalam mekanisme respon kekebalan antigen-spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T, sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil (heterofil), monosit (didalam jaringan disebut makrofag), eosinofil dan basofil, dari semua komponen dasar yang berperan dalam mekanisme kekebalan tersebut berasal dari stem sel (Roitt dan Delves 2001).

Heterofil

Heterofil dibentuk di sumsum tulang dan dideposit di sumsum tulang hingga dibutuhkan oleh tubuh, jumlah total heterofil dalam leukosit sebanyak 15-40% dari total leukosit yang bersirkulasi pada tubuh makhluk hidup secara umum (Jain 1986). Heterofil akan muncul pada saat peradangan, jumlah heterofil dapat digunakan untuk mendiagnosis keadaan stres pada unggas (Sturkie 1976).

Fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis, heterofil merupakan garis pertahanan utama tubuh dalam melawan infeksi bakteri, virus dan agen yang merugikan tubuh (Meyer and Harvey 2009). Sel-sel heterofil ketika memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel dewasa/matang sehingga dapat langsung memulai fagositosis, sebuah sel-sel heterofil dapat memfagositosis 5-20 bakteri. Sel heterofil mempunyai sejumlah besar enzim lisosom yang berisi enzim preteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan-bahan protein asing (Guyton 1986).

Eosinofil

Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan menunjukkan fenomena kemotaksis. Jumlah eosinofil normalnya mencakup 1.5-6% dari jumlah total leukosit (Jain 1986). Eosinofil diduga berfungsi pada reaksi antigen antibodi dan meningkat pada serangan asma, reaksi obat-obatan dan infestasi parasit tertentu (Price et al. 1995).

Basofil

(48)

Jumlah basofil paling sedikit 1.7% dari total jumlah leukosit (Sturkie 1976). Keadaan jumlah basofil yang meningkat ditemukan pada gangguan mieloproliferatif, yaitu gangguan proliferatif dari sel-sel pembentuk darah (Price et al. 1995).

Monosit

Monosit dibentuk di sumsum tulang dan disimpan sampai diperlukan di sistem sirkulasi. Monosit meninggalkan sirkulasi dan menjadi makrofag jaringan serta merupakan sebagian dari system monosit makrofag. Monosit memiliki fungsi fagosit, membuang sel-sel nekrosis, fragmen-fragmen sel dan mikroorganisme (seperti pada endokarditis bakterial) (Price et al. 1995). Struktur monosit secara histologis terlihat memiliki ukuran terbesar 15-20 mikron, inti yang bulat atau menyerupai tapal kuda, dan sitoplasma basofilik tidak bergranul (Clark et al. 2009).

Limfosit

Limfosit paling banyak terdapat di jaringan limfogen khususnya di kelenjar limfe. Limfosit juga dapat dijumpai dalam jaringan limfoid khusus seperti limpa, timus, tonsil, dan berbagai jaringan limfoid lainnya yaitu Plak Peyer di bawah epitel usus dan sumsum tulang. Limfosit memiliki fungsi utama

sebagai pembentuk antibodi terhadap antigen yang berkembang dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson 1992). Limfosit juga berfungsi sebagai penghasil antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (Ganong 1995). Fungsi lain dari limfosit adalah sebagai inti dari suatu imun spesifik karena limfosit memiliki kemampuan menyingkirkan antigen setelah mengalami aktivasi (Kresno et al. 2001).

(49)

Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan. Dua bentuk limfosit yang aktif dapat dikenali sebagai limfosit T yang menghasilkan sel T, yang berasal dari timus dan limfosit B berasal dari sel B dihasilkan oleh bursa Fabricius (Dellman dan Brown 1989). Pada bangsa unggas prekusor yang

(50)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 - April 2011. Ekstraksi tanaman obat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), pemeliharaan ayam dilakukan di kandang FKH IPB, dan uji tantang virus Avian Influenza H5N1 dilakukan di Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri,

Bogor. Pemeriksaan patologi dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging dengan bobot badan rata-rata 38g, dipelihara dengan pemberian pakan dan minum ad libitum. Pemberian Vaksin Newcastle Disease (ND) pada umur 4 hari dan pemberian vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) pada umur 11 hari.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, penggiling, tabung steril, gelas ukur, corong pisah, sentrifus, labu penyuling, inkubator, vorteks, penangas air, tabung elenmeyer, blender, kapas, tissue, tabung kromatografi, tabung destruksi, labu penyaring, alat penyaring, pipa kapiler, kandang dan kelengkapannya, alat peniup, alat pengering, pendingin tegak, ekstraktor, spuit, seperangkat alat bedah, kaset histologi, gelas piala, gelas objek, cover glass, pipet, mikropipet, mikrotip, mikrotom rotari, dan mikroskop.

Bahan yang digunakan adalah virus AI subtipe H5N1/Legok/2003, tanaman Sambiloto, Adas dan Sirih Merah, metanol, etanol, aseton dingin, etil asetat, kloroform, aquades, asetat hidrat dan H2SO4, larutan Giemsa, Buffered

Neutral Formaline (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%,

(51)

3%, antibodi primer (monoclonal anti-AI H5N1 antibody), antibodi sekunder (rabbit anti-chicken IgG), diaminobenzidine (DAB), entelan, hematoksilin dan eosin.

Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar

Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah :

1. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) 2. Adas (Foeniculum vulgare Mill)

3. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz)

Bahan baku tanaman obat untuk ekstraksi dipanen dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di lingkup kebun BALITTRO. Ekstraksi dipersiapkan dengan mengikuti prosedur standar pembuatan sediaan berupa simplisia yang meliputi : Sortasi yaitu tanaman yang telah dipanen sebelum dicuci masing-masing bahan disortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang baik dengan yang rusak. Pencucian yaitu masing-masing bahan yang telah disortir (yang baik) dicuci dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari dan ditutup kain hitam dilanjutkan dengan oven pada suhu 400C hingga kering (kadar air ±10%). Masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat penggiling.

Ekstraksi Tanaman Obat

(52)

Pembuatan Formula

Formula yang digunakan dalam penelitian dibuat dengan cara mencampurkan ekstrak etanol sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin. Perbandingan konsentrasi kandungan zat aktif yang setara dalam masing-masing ekstrak tanaman obat disusun berdasarkan metode penelitian yang dilakukan Setiyono et al. (2010). Variasi konsentrasi ekstrak tanaman obat disusun dalam formula sebagai berikut :

1. Sambiloto setara dengan zat aktif Andrografolide : 5%; 7.5%; 10% 2. Adas setara dengan zat aktif Anetol : 5%; 7.5%; 10% 3. Sirih merah setara dengan zat aktif Piperin : 5%; 7.5%; 10% 4. Simplisia Sambiloto, Adas dan Sirih merah

Semua bahan formula ditambah dengan emulsifer tween-80, antioksidan, asam askorbat sebagai penstabil, pengencer digunakan air bersih. Total formula yang diperlukan dalam perlakuan adalah 6 liter. Untuk mengetahui komposisi kimia formula, dilakukan analisis dengan Gas Chromatography Massa Spectrophotometry (GCMS).

Metode

Pemeliharaan Hewan Coba

Sebanyak 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging dengan berat badan rata-rata 38g, dibagi dalam 2 (dua) kelompok (kelompok ayam tidak divaksin AI H5N1 dan kelompok ayam yang divaksin AI H5N1) dan terdiri dari 5 (lima) perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor anak ayam, semua ayam kelompok perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum.

Uji Perlakuan Ekstrak Etanol Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam :

Kelompok perlakuan diberi ekstrak tanaman obat dengan komposisi formula sebagai berikut :

(53)

Formula 2 (F2 - 7.5%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 7.5%

Formula 3 (F3 - 10%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 10%

Formula 4 (F4 - simplisia) = Formula Simplisia tanaman sambiloto, adas dan sirih merah

Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah terhadap ayam perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7.5%, F3 - 10% dan F4-simplisia terhadap ayam pada kelompok perlakuan

Kelompok

(54)

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah ayam pada kelompok perlakuan (I dan II) dilakukan sebanyak tiga kali diantaranya, pada saat ayam berumur 21 hari, ayam berumur 44 hari dan saat ayam berumur 51 hari. Tujuan pengambilan darah adalah untuk dilakukan pemeriksaan diferensial leukosit dan uji titer antibodi AI. Darah diambil sebanyak 1-2 ml melalui vena brachialis, kemudian diletakkan pada suhu ruang selama lebih kurang satu jam atau sampai serum terpisah dari darah. Serum yang diperoleh disimpan dalam tempat penyimpanan dengan suhu 40C.

Pemeriksaan yang dilakukan dari sampel darah meliputi : Pemeriksaan Diferensial Leukosit

Pemeriksaan diferensial leukosit terhadap sampel darah dilakukan dengan cara meletakkan setetes darah pada objek gelas dan mengulas tipis, dilakukan pewarnaan dengan Giemsa dan diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui jumlah sel leukosit yang terdapat dalam darah kemudian dilakukan perhitungan terhadap 100 sel leukosit yang meliputi sel limfosit, monosit, heterofil, eosinofil dan basofil dengan menggunakan pembesaran 1.000 X.

Uji Hemaglutinin Inhibisi (HI)

Uji HI dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.025 ml Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7.2 dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan mikro

yang terdiri dari 96 lubang. Kemudian ditambahkan 0.025 ml serum sampel dan serum positif pada lubang pertama lalu ditambahkan serial kelipatan 2 dari lubang pertama hingga lubang ke-11 dan lubang ke-12 dipergunakan sebagai kontrol sel darah merah. Selanjutnya 0.025 ml antigen virus AI H5N1 sebesar 4 Haemaglutination Unit (HAU) ditambahkan ke dalam setiap lubang kecuali pada

(55)

lubang-lubang cawan mikro, apabila cawan mikro dimiringkan terlihat sel darah merah mengendap yang serupa dengan sel darah merah kontrol.

Uji Tantang dengan Virus AI H5N1

Ayam yang telah diberi formula ekstrak etanol tanaman obat selama 21 hari dan diadaptasikan selama 19 hari kemudian dibawa ke Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung

Putri, Bogor untuk dilakukan uji tantang virus AI H5N1 secara intranasal dengan dosis 0.1 ml (106EID50) per ekor. Pengamatan daya tahan hidup ayam dilakukan

selama 6 hari setelah semua ayam ditantang dengan virus AI H5N1. Ayam yang mati pada hari pengamatan setelah ditantang dengan virus AI, atau ditemukan semua ayam masih hidup sampai hari ke-6 setelah ditantang dengan virus AI, maka ayam tersebut dimatikan dan diambil organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan membedah (nekropsi) ayam yang mati tersebut untuk dievaluasi dengan pembuatan preparat histopatologi menggunakan perwarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan Imunohistokimia (IHK).

Pembuatan Preparat Histopatologi

Organ terpilih dimasukkan kedalam BNF 10% untuk difiksasi, kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan mesin tissue processor dengan alkohol bertingkat, selanjutnya direndam dalam parafin cair sebelum diblok. Selanjutnya proses embedding dalam parafin dan didinginkan pada suhu kamar sehingga menjadi blok parafin kemudian dipotong dengan mikrotom setebal 3-4 µm lalu ditempelkan pada objek gelas (preparat) yang sebelumnya dilapisi dengan gelatin dan kromium potasium sulfat (CrK(SO4)). Selanjutnya, preparat dideparafinisasi

dan rehidrasi sebelum dilakukan pewarnaan secara imunohistokimia dan hematoksilin eosin.

Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

(56)

menit. Kemudian direndam dalam hematoksilin selama 1 menit, lalu dicuci dengan air kran atau DW selama 5 menit. Selanjutnya direndam dalam eosin selama 2 menit, lalu dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70% sampai alkohol absolut dan dilanjutkan dengan clearing dengan xylol I, II, III. Kemudian mounting dengan entelen dan ditutup dengan cover glass dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop. Hasil dari pewarnaan HE akan terlihat inti sel berwarna kebiruan dan sitoplasma terlihat berwarna merah muda.

Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)

Metode pewarnaan deteksi antigen AI ini mengacu pada metode Temasek Laboratorium Singapura dengan menggunakan citrat buffer untuk unmasking antigen. Blocking aktifitas endogenus menggunakan hidrogen peroksida (H2O2)

3% selama 20 menit, kemudian dicuci dengan PBS tween selanjutnya direndam dengan skim milk 0.1% dalam PBS selama 30 menit untuk meminimalisir reaksi non-spesifik dan dicuci kembali dengan PBS tween. Antibodi primer yang

digunakan adalah antibodi monoklonal H5N1 (Astawa et al. 2001) dan diinkubasi selama 24 jam di suhu 40C. Setelah 24 jam preparat dibilas dengan PBS tween kemudian ditambahkan antibodi sekunder (chicken anti IgG) yang akan berikatan dengan antibodi primer, dan selanjutnya diinkubasi selama 1 jam. Sebagai kromogen digunakan diamino benzidine (DAB), dilakukan setelah antibodi sekunder, dibilas dengan DW. Counterstain menggunakan Lillie Mayer Hematoksilin untuk mendapatkan warna kebiruan sebagai latar belakang jaringan

dan antigen AI yang telah terwarnai dengan kromogen akan berwarna coklat kemerahan. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila ditemukannya antigen AI yang berwarna kecoklatan dan negatif apabila tidak ditemukan antigen AI H5N1.

(57)

Analisa Data

(58)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan

Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan tahap pertama dilakukan pada ayam berumur 21 hari, yaitu semua ayam kelompok perlakuan kecuali kelompok kontrol, diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah selama 16 hari. Hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam umur 21 hari disajikan pada Tabel 2 di bawah.

Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat

Kelompok Perlakuan

Pengamatan diferensial leukosit (%)

Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil

I-F1-5% 75.0±5.04e 16.4±4.39cd 6.0±2.23b 1.4±0.89ab 1.4±0.89ab

II-F2-7.5% 77.4±48.20e 14.4±7.16c 3.4±2.30ab 2.6±2.07ab 2.2±2.28ab

III-F3-10% 77.2±2.58e 16.0±2.44cd 4.4±1.14ab 1.0±0.70ab 1.4±1.51ab

IV-F4-simplisia 77.8±7.69e 19.2±4.54cd 0.8±0.83ab 2.2±3.89ab 0.0±0.00a K-(kontrol) 77.6±6.87e 20.8±7.25d 0.8±0.44ab 0.8±0.44ab 0.0±0.00a

Nilai referensi* 63.0 30.1 4.0 2.5 0.1

Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), *Davis et al. 2008.

Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam berumur 21 hari pada tahap pertama (Tabel 2), secara umum menunjukkan jumlah rataan leukosit ayam tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lavinia et al. (2009), bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dan minyak esensial tidak berpengaruh terhadap gambaran darah tepi (darah perifer) ayam broiler. Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini adalah 75.0-77.8%, Menurut Davis et al. (2008) jumlah rataan limfosit pada ayam adalah 63.0% dalam keadaan normal. Perbedaan antara rataan jumlah limfosit ayam perlakuan dengan rataan jumlah limfosit ayam pada referensi (menurut Davis) diduga akibat dari respon fisiologis tubuh ayam yang diamati, serta akibat perbedaan lingkungan tempat berlangsungnya penelitian.

(59)

sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari. Adapun tujuan dari pemeriksaan pada tahap kedua ini adalah untuk mengamati perbedaan respon leukosit ayam yang tidak divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan I) dengan ayam yang divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan II). Hasil pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua terhadap ayam perlakuan berumur 44 hari disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 44 hari sebelum ditantang virus AI H5N1

Kelompok Perlakuan

Pengamatan diferensial leukosit (%)

Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil

I-F1- 5% 72.8±9.52h 18.8±11.09 defg 8.0±2.54abcde 0.2±0.44a 0.2±0.44a

I-F2- 7.5% 73.6±9.76h 15.0±8.74cdefg 9.8±3.11abcdef 0.2±0.44a 1.4±3.13a

I-F3- 10% 82.8±3.27h 5.2±2.16abc 12.0±4.0abcdefg 0.0±0.00a 0.0±0.00a

I-F4-simplisia 75.2±9.17h 12.8±5.35cdefg 7.2±6.72abcd 4.6±5.45ab 0.2±0.44a

I-K 71.2±11.84h 21.4±13.83fg 4.2±2.58ab 3.2±1.92ab 0.0±0.00a

II-F1- 5% 81.0±5.91h 10.6±3.91abcdef 4.6±3.71ab 0.0±0.00a 3.8±2.28ab

II-F2- 7.5% 74.4±12.87h 20.4±11.58efg 2.4±2.50ab 1.6±1.67a 1.2±2.68a

II-F3- 10% 75.2±10.49h 17.6±8.50cdefg 4.2±3.11ab 3.0±3.74ab 0.0±0.00a

II-F4-simplisia 74.8±16.75h 23.4±15.05g 1.2±1.64a 0.6±0.89a 0.0±0.00a

II-K 72.8±27.36h 18.2±29.29g 6.8±6.90abcd 1.4±2.07a 0.8±1.09a

Nilai referensi* 65.55±2.33 30.65±0.63 3.05±0.63 2.55±0.21 1.05±0.21 Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

hasil berbeda nyata (P<0.05), * Lavinia et al. 2009

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI)
Gambar 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
Gambar 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz)
Gambar 3. Adas (Foeniculum vulgare Mill)
+7

Referensi

Dokumen terkait