• Tidak ada hasil yang ditemukan

Avian Influenza

Virus Avian Influenza (AI) adalah virus Ribo Nucleic Acid (RNA) berpolaritas negatif tergolong dalam famili Ortomyxoviridae, dan diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Setiap tipe dari virus ditentukan oleh struktur antigenik protein nuklei dan matriks antigen yang saling berhubungan erat diantara virus AI tertentu. Virus AI tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia, sedangkan tipe A ditemukan pada unggas serta dapat menginfeksi berbagai macam spesies lainnya. Virus AI tipe A diklasifikasikan dalam beberapa subtipe berdasarkan pada kemampuan antigenitas dua protein permukaan seperti haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), secara antigenik virus AI tipe A memiliki 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9) (Fouchier et al. 2005). Pengelompokan antigen virus berguna untuk penentuan identitas serologik virus influenza dengan memakai nomor kombinasi H dan N yang sesuai dalam menandai virus, seperti H5N1, H7N2, H1N1 dan jenis virus lainnya. Wabah penyakit AI yang melanda Indonesia pada tahun 2003 disebabkan oleh Virus AI subtipe H5 dan kemungkinan besar merupakan subtipe H5N1 yang sangat patogen pada unggas (Wiyono et al. 2004).

Virus AI tipe A dapat menjadi pandemik karena virus ini bermutasi, baik pergeseran struktur antigen virus (antigenic shift) atau perubahan struktur antigen pada virus (antigenic drift) yang menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi. Sehingga memudahkan virus strain baru untuk menyebar dalam populasi yang tidak punya kekebalan. Perubahan struktur antigen pada virus AI menjadikan virus ini dapat menyebar luas dan bersifat zoonosis (Claas 2000). Pertengahan tahun 2005, virus AI telah mengakibatkan korban meninggal dunia di Indonesia. Data sekuen asam amino pada GenBank, sekuen asam amino di daerah cleavage site yang berasal dari korban manusia di Indonesia merupakan pertanda patogenisitas virus AI H5N1 (Dharmayanti et al. 2007).

Penyakit AI dapat dikenal dalam dua bentuk yaitu AI bentuk sangat patogenik atau highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan bentuk AI yang kurang patogenik atau low pathogenic avian influenza (LPAI). Virus HPAI

menyebabkan penyakit sistemik dengan kematian pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100%, sedangkan virus LPAI menyebabkan infeksi yang terlokalisasi dengan tidak menampakkan gejala klinis atau hanya sedikit gejala klinis (Horimoto dan Kawaoka 2001). Infeksi virus AI saat ini terjadi subklinis, yaitu hewan yang terserang virus terlihat sehat tetapi sebenarnya hewan tersebut terinfeksi virus atau sakit. Infeksi virus AI yang tidak terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyebaran penyakit AI di lapangan. Tingginya tingkat infeksi virus AI memungkinkan virus ini bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi dan/atau genetic reassortment (Claas 2000).

Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site. Kehilangan glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi, atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak bahwa perubahan virulensi dari rendah ketinggi, mengindikasikan virus HPAI yang memiliki pohon filogenik sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7 juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI (Capua dan Maragon 2007).

Kejadian infeksi virus influenza diawali dengan penempelan partikel virus pada reseptor permukaan sel induk semang, kemudian diikuti dengan internalisasi yang diperantarai oleh reseptor. Fusi virus dan membran endosomal diikuti oleh transfer nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Dharmayanti et al. 2007). Pada sel epitel saluran pernafasan dan saluran pencernaan, hemaglutinin dari semua virus influenza yang masuk dipotong oleh protease inang, mengaktifasi terjadinya fusi dan masuknya virus ke dalam sel. Patogenesa AI pada unggas berbeda dengan patogenesa AI pada mamalia, dalam hal ini replikasi virus di saluran pencernaan sama baiknya dengan replikasi virus di saluran pernafasan. Infeksi dari strain yang sangat virulen menimbulkan viremia, dilatasi sel-sel limfoid, multifokal

nekrosis dan menimbulkan pankreatitis, miokarditis, miositis dan ensefalitis (Murphy et al. 1999).

Pengendalian penyebaran virus AI di lapangan dapat dilakukan melalui pengawasan daerah yang dicurigai terserang AI dengan tujuan mendeteksi penyakit HPAI pada unggas secara dini, sehingga dapat ditentukan zona bebas, terancam dan tertular, dapat ditentukan subtipe virus, dan dapat dideteksi virus HPAI pada spesies selain unggas serta dapat ditetapkan status bebas ditingkat peternakan. Berdasarkan monitoring penyakit HPAI yang dilakukan Damayanti et al. (2005) dengan metode imunohistokimia pada bulan Juni dan September 2004 terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Jawa barat, Jawa timur dan Banten, tidak terdeteksi adanya Virus AI, sedangkan monitoring bulan September 2004 di Provinsi DKI Jakarta berhasil dideteksi virus AI, namun pada bulan September 2004 hingga Februari 2005 berhasil dideteksi virus AI di daerah yang sebelumnya sudah tidak terdeteksi virus AI yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan DKI Jakarta.

Kebijakan Pemerintah melalui surat keputusan Departemen pertanian telah melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik untuk menghindari penularan virus AI ke wilayah Indonesia yang masih bebas penularan AI (Ditkeswan 2005). Setyawati (2010) menyatakan bahwa anak ayam umur satu hari telah terinfeksi virus AI dengan gejala subklinis dan anak ayam umur satu hari ini berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penularan AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah bebas AI.

Vaksin Avian Influenza

Vaksin adalah suspensi bibit penyakit yang hidup tetapi telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin berfungsi untuk menimbulkan kekebalan (antibodi) pada hewan yang divaksinasi sehingga dapat berguna untuk melindungi hewan dari serangan penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, dan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksin terdiri dari dua jenis yaitu: 1. vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya, 2. vaksin inaktif adalah vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat imunitasnya (Tizard 1988).

Virus aktif yang digunakan dalam vaksin terdiri dari tiga jenis virus yaitu; virus yang diisolasi dari hewan sehat sebagai virus yang secara alamiah tidak virulen, virus yang mulanya virulen tetapi setelah dipasase berkali kali di laboratorium dengan biakan jaringan atau hewan percobaan, virus-virus tersebut menjadi tidak virulen dan tetap imunogenik, dan virus-virus yang memiliki kesamaan antigen sehingga antara antibodi yang satu dengan antigen yang lainnya dapat saling menetralisasi. Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus virulen

yang diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia seperti formaldehida, β- propiolakton, asetiletilenimin, etilen oksida, etilenamin. Upaya meningkatkan daya imunogenik vaksin inaktif biasanya ditambah dengan adjuvan yang merupakan bahan campuran vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik secara humoral maupun seluler. Adjuvan yang sering dicampurkan dalam vaksin adalah lemak nabati, minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1987).

Prinsip dasar pemakaian virus vaksin adalah harus homolog dengan subtipe H atau N virus asal lapang. Menurut regulasi Office International Des Epizooties (OIE), vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil, memiliki proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen infeksius lainnya dan mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan adjuvan berkualitas tinggi dan memiliki tingkat keamanan, berpotensi serta efektifitas yang tinggi (uji laboratorik dan uji lapang) (Suarez 2005). Vaksin AI subtipe H5N1 yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang telah banyak diproduksi dan dipasarkan secara komersial, saat ini umumnya digunakan dalam

program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1 pada berbagai ternak unggas di Indonesia (Dharmayanti et al. 2006).

Pemerintah telah menetapkan obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus H5N1 seperti amantadine dan rimantadine serta oseltamivir carboxilate (Tamiflu®) dan Zanamivir (Relenza®). Oseltamivir merupakan salah satu obat yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase sedangkan amantadine bekerja sebagai ion chanel blocker. Menurut laporan Arnold et al. (2008), virus AI H5N1 resisten terhadap beberapa obat anti AI seperti oseltamivir dan amantadine. Berdasarkan resistensi virus terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah serta kurang efektifnya vaksin yang terjadi saat ini, maka perlu ditingkatkan pengembangan obat anti virus yang baru dengan menggunakan bahan baku tanaman obat asal Indonesia (Canopus Biopharma 2009).

Tanaman Obat

Secara empiris tanaman obat banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Penggunaan tanaman obat dapat mencegah berbagai jenis penyakit, sehingga tanaman obat banyak digunakan dalam berbagai jenis jamu yang dipasarkan di masyarakat. Tanaman obat atau obat tradisional yang digunakan untuk pencegahan penyakit dikenal dengan nama Jamu. Industri obat tradisional di Indonesia berkembang sangat cepat. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terdapat ribuan industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, baik yang berskala besar maupun berskala kecil. Perkembangan industri obat yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat dapat menjadi gambaran tingginya konsumsi obat tradisional di Indonesia.

Kendala utama dalam penggunaan tanaman obat adalah kurang atau tidak stabilnya kandungan zat aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman obat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak sering kali dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi penanaman, waktu pemanenan, jenis varietas, dan metode ekstraksi yang digunakan, sehingga diperlukan cara untuk mengatasi variasi kualitas dan kuantitas kandungan zat aktif dari tanaman obat. Apabila hal ini dilakukan maka kualitas zat aktif tanaman obat dapat diseragamkan (Wijayakusuma et al. 1994).

Beberapa penggunaan tanaman obat sebagai anti viral seperti yang dilakukan negara Thailand, tentang penelitian khasiat tanaman obat Maeng Lak Kha (Hyptis suaveolens) yang telah memasuki pengujian klinis tahap kedua, diuji pada 1.000 orang sukarelawan. Pada pengujian tahap pertama, telah terbukti dapat membunuh virus AI pada 10 orang sukarelawan. Di Laos, tanaman yang sedang diteliti adalah Man On Ling (Poligonum multiforum), yang memiliki daya kerja neuraminidase inhibitor, dan menghambat atau mencegah terjadinya cytokine storm, yang dapat berakibat fatal. Negara lain seperti Cina dan Korea tidak kalah gencarnya meneliti tentang tanaman obat yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan obat AI (WHO 2007). Di Indonesia ketersediaan bahan tanaman obat sangat mudah didapatkan karena Indonesia sebagai negara tropis, mempunyai berbagai jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan sebagai salah satu sumber bahan obat untuk menggantikan obat AI yang tidak mampu mengatasi infeksi virus AI H5N1.

Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat alternatif terhadap infeksi AI sangat membantu dalam pengendalian penyakit AI pada manusia. Ketergantungan obat AI dari luar selama ini dapat dikurangi, memiliki ketersediaan yang memadai membuat pemberian obat AI pada penderita menjadi lebih cepat, terutama bila terjadi pada penderita yang berada di daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah pusat. Tanaman obat juga dapat menjadi obat alternatif karena dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis, atau pemberian obat sebelum terinfeksi AI. Pemberian obat sebagai profilaksis dilakukan pada masyarakat penderita AI, yang bertujuan untuk meminimalisir jumlah orang yang tertular AI. Tindakan ini dapat menghemat persediaan obat AI dan biaya pembelian obat AI dari luar negri (Sugarman 2005). Pemberian obat sedini mungkin merupakan suatu tindakan yang sangat efektif dalam penanganan AI. Selama ini yang menjadi masalah utama dalam penanganan AI adalah keterlambatan dalam pemberian obat bagi penderita AI, dikarenakan lokasi penderita berada di daerah yang jauh dari pusat penanganan AI, sehingga menyebabkan kematian pada penderita. Dengan adanya penemuan obat alternatif yang berbahan dasar tanaman obat diharapkan penanganan dan pengobatan pada penderita AI dapat ditanggulangi dengan cepat dan segera, serta dapat

meminimalisasi biaya produksi obat AI, sehingga dapat meningkatkan jumlah sediaan obat dan mudah dalam mendapatkan obat.

Kandungan tanaman obat yang telah diidentifikasi memiliki aktivitas antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin, saponin, senyawa furil, alkaloid, polin, tiopen, protein dan peptide (Manoi 2007; Paparanza dan Marianto 2003; Rusmin dan Melati 2007). Meskipun memiliki kemampuan antiviral yang tinggi, namun komposisi kombinasi yang tepat belum banyak diketahui dalam menghambat infeksi virus (Jassim dan Naji 2003). Pengembangan penelitian terhadap mekanisme kerja dari bahan aktif yang terkandung dalam tanaman obat terus dilakukan, sehingga ditemukan beberapa bahan aktif dalam tanaman obat yang memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi, termasuk efek antiviral menghambat pembentukan DNA atau RNA virus atau menghambat aktivitas reproduksi virus (Ahmad 2006).

Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)

Tanaman sambiloto merupakan salah satu sumber bahan tanaman obat yang banyak dipakai di Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat asli sambiloto adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, semak-semak, ataupun rumpun. Sambiloto memiliki batang berkayu dengan bentuk bulat dan persegi serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk seperti pedang (lanset) dengan tepi daun rata dan permukaannya halus berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulat panjang) dengan pangkal dan ujungnya lancip. Di India, bunga dan buah dapat diamati pada bulan Oktober atau antara bulan Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat diamati antara bulan Nopember sampai Juni tahun berikutnya, sedangkan di Indonesia karena merupakan daerah tropis, maka bunga dan buah tanaman sambiloto dapat ditemukan sepanjang tahun (Hariana 2006).

Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh Indonesia dan dikenal dengan berbagai nama dalam bahasa daerah. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya dengan nama bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan sambiloto, masyarakat Jawa Barat menyebutnya dengan nama kioray,

takila, atau ki peurat, sedangkan masyarakat Bali lebih mengenal dengan nama samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan nama pepaitan atau ampadu. Sambiloto di Cina disebut dengan nama chuan xin lian, yi jianxi, dan lan he lian, di India disebut dengan nama kalmegh, kirayat, dan kirata, di Vietnam dikenal dengan nama xuyen tam lien dan congcong, negara Arab menyebutny dengan nama quasabhuva, di Persia dengan sebutan nainehavandi, serta di Inggris menyebutnya dengan nama green chiretta dan king of bitter. Wijayakusuma et al. (1994) menyebutkan taksonomi tanaman sambiloto adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Spermathophyta Kelas : Dycotyledonae Ordo : Personales Family : Acanthaceae Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Ness

Gambar 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)

Tanaman sambiloto mempunyai sifat khas seperti rasa pahit yang berasal dari bagian daun, batang dan akar. Rasa pahit yang dihasilkan oleh sambiloto diduga berasal dari kandungan andrografolide yang terdapat didalamnya. Semua bagian dari sambiloto seperti batang, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai obat. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dalam obat tradisional seperti jamu adalah daun dan batang. Sambiloto dapat berguna untuk menurunkan suhu

tubuh dan membersihkan darah serta sebagai obat anti diuretik, anti diabetik, anti inflamasi, anti tukak lambung, anti histamin (gatal-gatal), menurunkan tekanan darah, anti rematik, anti analgetik, imunomodulator, melindungi kerusakan hati dan jantung yang reversibel, anti spermatogenik/androgenik (Niranjan et al. 2008). Komponen utama sambiloto adalah andrografolide yang memiliki multi efek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker pada hati, payudara dan prostat. Efek farmakologisnya mampu merangsang daya tahan seluler dan memproduksi antibodi. Di samping itu hasil pengujian pra klinis sambiloto menunjukkan bahwa andrografolide, memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan telah dikembangkan sebagai obat modern anti virus dengan nama Androvir® (Maat 2001: Prapanza dan Marianto 2003).

Kandungan bahan aktif sambiloto secara kimia yaitu flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrografolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Zat aktif tanaman obat ini dapat ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography [HPLC] (Hu 1982). Analisa kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman sambiloto adalah lakton dan glikosida, andrografolide, deoksiandrografolide, 11, 14-didehidro-14-deoksi andrografolide, dan neoandrografolide. Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan dammar (Paparanza dan Marianto 2003).

Penelitian pada hewan percobaan dengan pemberian andrografolide menunjukkan bahwa setelah 48 jam, komponen ini tersebar luas ke seluruh organ tubuh, diantaranya jumlah konsentrasi yang terdapat di otak sebesar 20,9%, limpa 14,9%, jantung 11,1%, paruparu 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati 5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus halus sebesar 3,2% (Niranjan et al. 2008). Distribusi yang luas di jaringan dan organ tubuh serta adanya khasiat yang mengatur dan meningkatkan sistem imun menyebabkan sambiloto menjadi calon ideal untuk mencegah berbagai penyakit. Secara empiris, sambiloto dimanfaatkan

sebagai anti oksidan, anti diabetes, anti fertilitas, anti human immunodeficiency virus (HIV-1), anti flu, anti adesi intraperitoneal, anti malaria, anti diare, anti hepatoprotektif, anti koleretik, dan anti kolekinetik. Sambiloto sebagai salah satu obat tradisional sudah di uji, baik praklinis maupun uji klinis. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrografolide dan senyawa lain yang terkandung dalam tanaman sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah (Birdane 2007).

Ekstrak sambiloto dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen baik yang spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil dan basofil untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya (Wibudi 2006).

Sirih Merah (Piper crocatum)

Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Disamping itu sirih merah juga memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi, termasuk dalam suatu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap rangkaian acara adat di Yogyakarta (Manoi 2007). Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti sirih hijau, batangnya bersulur dan beruas dengan setiap buku tumbuh bakal akar, daunnya bertangkai berbentuk jantung dengan bagian atas meruncing, mempunyai warna yang khas yaitu permukaan atas hijau gelap berpadu dengan tulang daun berwarna merah hati keunguan, daun berasa pahit, berlendir, serta mempunyai bau yang khas seperti sirih (Duryatmo 2005).

Budidaya sirih merah dapat dilakukan secara vegetatif dengan penyetekan atau pencangkokan, karena tanaman ini tidak berbunga. Penyetekan dapat dilakukan dengan menggunakan sulur yang panjangnya 20-30 cm. Sulur sebaiknya dipilih dari yang telah mengeluarkan akar dan mempunyai 2-3 daun atau 2-3 buku. Untuk mengurangi penguapan, daun dikurangi sebagian atau dibuang seluruhnya. Sulur diambil dari tanaman yang sehat dan telah berumur lebih dari setahun. Penanaman di lapangan sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan, sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah dan tidak terlalu sulit dalam pemeliharaannya. Selama ini sirih merah tumbuh tanpa

dilakukan pemupukan, tetapi pertumbuhan di lapangan tergantung pada jumlah air dan cahaya matahari yang cukup yaitu berkisar 60-75% (Manoi 2007).

Sirih merah menurut Backer (1963) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monochlamydeae Ordo : Piperales Family : Piperaceae Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum

Gambar 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz)

Sirih merah mengandung senyawa aktif yakni alkaloid, saponin, tanin, flavonoid dan minyak atsiri. Sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, prostatitis, radang mata, keputihan, tukak lambung, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak sirih merah hingga dosis 20g/kg berat badan, menunjukkan aman untuk dikonsumsi dan tidak bersifat toksik (Manoi 2007). Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimia. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat modern.

Senyawa flavonoid dan tanin bersifat anti kanker, anti oksidan, anti septik dan anti inflamasi (Ziaran et al. 2005)

Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstra seluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat bersifat sebagai koagulator protein. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri, dengan dugaan mekanisme kerjanya adalah mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson et al. 1991). Tanin memiliki aktivitas toksisitas yang dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan kompleks antara ikatan tanin terhadap ion logam dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama 2001).

Kandungan minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan mengalami peruraian yang cepat, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel yang menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein sedangkan pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan lisisnya membran sel (Parwata et

Dokumen terkait