Pewarnaan imunohistokimia (IHK) adalah metode pewarnaan bahan aktif pada suatu jaringan. Prinsip dasar dari teknik Imunohistokimia adalah terjadinya interaksi antara Antibodi spesifik dengan epitop dari Antigen spesifiknya pada suatu jaringan, maka teknik IHK dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit (sebagai antigen), bahkan boleh dikatakan bahwa IHK mempunyai spesifisitas yang tinggi sebagai alat diagnosa penyakit.
Adapun prosedur pewarnaan IHK:
1. Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu slide preparat di rendam dalam xylol I,II,III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat
dengan konsentrasi 100% (alkohol absolut I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70% masing-msing selama 3-5 menit.
3. Slide preparat dibilas dalam aquadest (DW) selama 5-10 menit.
4. Preparat dibilas dalam Phosphat buffered saline (PBS) selama 5-10 menit. 5. Preparat dipanaskan dalam citrat buffer (1,05 gram citric acid dalam 1
liter aquadest) dengan suhu 90-95oC selama 30-45 menit.
6. Kemudian preparat diinkubasi dalam citrat buffer pada suhu kamar selama 20 menit.
7. Preparat dibilas dengan PBS sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
8. Preparat direndam dalam H2O2 3% untuk memblok aktifitas endogenous
selama 20 menit pada suhu kamar.
9. Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
10.Preparat direndam dalam skim milk 10% (0,1 gr dalam 100 ml PBS) atau 10% normal goat serum selama 30 menit.
11.Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
13.Preparat diinkubasi dengan antibodi primer (monoclonal/polyclonal antibody: AB I) selama 1-2 jam dalam suhu kamar atau overnight pada suhu 4oC (refrigerator).
14.Preparat dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit. 15.Preparat diinkubasi dengan antibodi sekunder (AB II) selama 30 – 60
menit.
16.Preparat dibilas dengan DW 3 - 60 menit.
17.Preparat diwarnai dengan larutan kromogen DAB selama 30 – 90 detik. 18.Dilakukan counterstaining dengan hematoksillin selama 5 – 10 detik. 19.Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat, dimulai dari 70%, 80%,
90%, 95% dan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 20.Clearing preparat dengan xylol I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 21.Proses terakhir adalah mounting dilakukan dengan penutupan preparat
dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat balsem Canada atau Entellan.
22.Pengamatan di mikroskop.
v
Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken. Under direction of AGUS SETIYONO and IETJE WIENTARSIH.
The use of antiviral drugs had been caused resistance against H5N1 avian influenza virus, thus it was crucial to find more effective alternative medicine. The objective of this research was to study the effect of different concentration of ethanol extract formula of sambiloto, adas, and sirih merah in broiler infected with avian influenza virus. Samples were divided into two groups, vaccinated and unvaccinated. Each groups consist of five treatment, F1-5%, F2-7,5%, F3-10%, F4-simplisia, and control. All broilers were challenged with H5N1 AI virus after treated with herb ethanol-extract. Observations were done on performances, leukocyte differentiation, antibody titer, survival, and antigen distribution in lymphoid organ, liver, and intestine. The results showed that the body weight were statistically not significant (P>0.05) in the 4th and 6th week of old. Evaluation on leukocyte differentiation was also shown not significant statistically. The high level of antibody titer and survival bird was found in broiler treated with 5% ethanol extract of sambiloto, adas, and sirih merah, and vaccinated (II-FI 5%). Antigen distribution in the lymphoid organ, liver, and intestine was quite high in the vaccinated broiler, and vice versa.
Keywords : H5N1 AI Virus, Limphoid Organ, Medicinal Plants, AI Vaccine, Broiler Chicken.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Flu burung adalah penyakit viral disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) tipe A strain H5N1 dari famili Orthomyxoviridae. Dalam sejarah kesehatan, penyakit AI sempat menyita perhatian dunia karena menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar. Penyakit AI pada unggas di Indonesia merupakan subtipe H5N1 sudah mulai menyebar pada tahun 2003 (Dharmayanti et al. 2005). Pada awalnya virus AI H5N1 hanya menyerang unggas, namun saat ini telah menyerang manusia, anjing, babi dan kucing. Hal ini dikarenakan adanya mutasi virus yang memicu munculnya strain virus baru yang lebih patogen. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bila terjadi mutasi virus AI di Indonesia maka dapat menyebabkan pandemi dan menimbulkan jumlah korban jiwa lebih besar.
Pencegahan penyakit AI pada ayam dapat dilakukan dengan vaksinasi, penggunaan vaksin AI dengan strain virus vaksin AI sesuai subtipe virus AI kasus lapang dapat memberikan hasil vaksinasi yang efektif (Frame 2000). Vaksin AI yang tersedia selama ini, dikhawatirkan tidak efektif dalam beberapa waktu kedepan, karena virus AI merupakan virus yang memiliki banyak strain, diantaranya 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9), sehingga vaksin AI yang tersedia saat ini tidak sesuai dengan strain virus yang terjangkit di lapangan. Seperti dilaporkan Swayne (2009), bahwa penggunaan beberapa vaksin sudah tidak efektif untuk dijadikan sebagai upaya mencegah penyakit AI.
Pemerintah Indonesia menetapkan Oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI, Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum), namun Oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus AI (de Jong et al. 2005). Penyediaan bahan baku oseltamivir harus diimpor dari Vietnam atau Cina dengan biaya relatif mahal. Obat lain yang ditetapkan pemerintah adalah amantadine dan rimantadine, yang juga dilaporkan mengalami resistensi terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006).
Penggunaan beberapa obat anti AI seperti amantadine, rimantadine dan oseltamivir telah menimbulkan resistensi virus AI H5N1 (Arnold et al. 2008). Berdasarkan kenyataan resistensi virus AI, maka dipandang perlu ditemukan obat alternatif anti AI yang lebih efektif dengan biaya relatif murah serta menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Mengingat secara empiris tanaman obat telah banyak digunakan untuk menangani berbagai penyakit pada hewan dan manusia.
Beberapa tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat diantaranya berasal dari temu-temuan, sirih-sirihan, sambiloto dan adas. Penggunaan tanaman obat dengan formulasi yang tepat berpeluang sebagai feed additive dan imunomodulator untuk meningkatkan nafsu makan dan kekebalan tubuh pada hewan dan manusia . Setiyono et al. (2007) menyatakan melalui studi in vitro, penggunaan campuran ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan sirih merah memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan virus H5N1 pada jaringan sel lestari (cell line). Kombinasi sambiloto dan temu ireng merupakan hasil yang lebih baik dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada cell line.
Penelitian dengan menggunakan bahan tunggal ekstrak temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) secara in vitro telah terbukti memiliki potensi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan obat alternatif AI, sedangkan penggunaan bahan tunggal ekstrak adas (Foeniculum vulgare Mill) secara in vitro menunjukkan potensi yang kurang kuat dalam menghambat infeksi AI. Hasil uji secara in vitro sering kali tidak sama ketika diujikan secara in vivo, hal ini disebabkan kompleks reaksi yang ditimbulkan oleh tubuh makhluk hidup dan faktor-faktor yang berperan dalam tubuh seperti enzim, sistem kekebalan tubuh dan reaksi kimia lainnya (Nurbara 2009). Penelitian yang sama juga di lakukan oleh Taha (2009) terhadap penggunaan bahan tunggal ekstrak tanaman sambiloto secara in vitro terhadap hambatan pertumbuhan virus AI, hasil yang dilaporkan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto dapat menghambat perlekatan (attachment) virus ke sel lestari.
Penelitian secara in vivo pada ayam telah dilakukan dengan memberikan kombinasi ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan sirih merah dalam masing-masing pelarut heksana, etil asetat dan etanol dengan konsentrasi 2.5%,
menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat infeksi virus H5N1, jumlah ayam yang hidup mencapai 46,7% dari total populasi sampai hari ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian penggunaan ekstrak tanaman obat di atas, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula konsentrasi bertingkat untuk menemukan kekuatan daya hambat virus AI H5N1 yang lebih baik.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsentrasi dan formula efektif ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus H5N1 pada ayam pedaging yang telah ditantang virus AI H5N1.
2. Mengetahui gambaran darah ayam pedaging yang diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah.
3. Mengetahui distribusi antigen AI H5N1 pada organ pertahanan ayam (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan menggunakan metode imunohistokimia. 4. Mengetahui pengaruh infeksi virus AI H5N1 terhadap keamanan pangan
karkas ayam pedaging.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang konsentrasi efektif formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam pedaging.
2. Memberikan informasi tentang peran konsentrasi yang efektif dari formula ekstrak etanol tanaman obat dalam meningkatkan daya tahan tubuh ayam pedaging terhadap infeksi virus AI H5N1.
3. Memberikan informasi kepada masyakarat tentang keamanan karkas ayam pedaging yang terpapar virus H5N1.
Hipotesis
Konsentrasi dan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto (setara dengan zat aktif andrografolide), adas (setara dengan zat aktif anetol) dan sirih merah (setara dengan zat aktif piperin) dapat meningkatkan daya tahan tubuh ayam pedaging yang ditantang virus AI H5N1.
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza
Virus Avian Influenza (AI) adalah virus Ribo Nucleic Acid (RNA) berpolaritas negatif tergolong dalam famili Ortomyxoviridae, dan diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Setiap tipe dari virus ditentukan oleh struktur antigenik protein nuklei dan matriks antigen yang saling berhubungan erat diantara virus AI tertentu. Virus AI tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia, sedangkan tipe A ditemukan pada unggas serta dapat menginfeksi berbagai macam spesies lainnya. Virus AI tipe A diklasifikasikan dalam beberapa subtipe berdasarkan pada kemampuan antigenitas dua protein permukaan seperti haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), secara antigenik virus AI tipe A memiliki 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9) (Fouchier et al. 2005). Pengelompokan antigen virus berguna untuk penentuan identitas serologik virus influenza dengan memakai nomor kombinasi H dan N yang sesuai dalam menandai virus, seperti H5N1, H7N2, H1N1 dan jenis virus lainnya. Wabah penyakit AI yang melanda Indonesia pada tahun 2003 disebabkan oleh Virus AI subtipe H5 dan kemungkinan besar merupakan subtipe H5N1 yang sangat patogen pada unggas (Wiyono et al. 2004).
Virus AI tipe A dapat menjadi pandemik karena virus ini bermutasi, baik pergeseran struktur antigen virus (antigenic shift) atau perubahan struktur antigen pada virus (antigenic drift) yang menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi. Sehingga memudahkan virus strain baru untuk menyebar dalam populasi yang tidak punya kekebalan. Perubahan struktur antigen pada virus AI menjadikan virus ini dapat menyebar luas dan bersifat zoonosis (Claas 2000). Pertengahan tahun 2005, virus AI telah mengakibatkan korban meninggal dunia di Indonesia. Data sekuen asam amino pada GenBank, sekuen asam amino di daerah cleavage site yang berasal dari korban manusia di Indonesia merupakan pertanda patogenisitas virus AI H5N1 (Dharmayanti et al. 2007).
Penyakit AI dapat dikenal dalam dua bentuk yaitu AI bentuk sangat patogenik atau highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan bentuk AI yang kurang patogenik atau low pathogenic avian influenza (LPAI). Virus HPAI
menyebabkan penyakit sistemik dengan kematian pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100%, sedangkan virus LPAI menyebabkan infeksi yang terlokalisasi dengan tidak menampakkan gejala klinis atau hanya sedikit gejala klinis (Horimoto dan Kawaoka 2001). Infeksi virus AI saat ini terjadi subklinis, yaitu hewan yang terserang virus terlihat sehat tetapi sebenarnya hewan tersebut terinfeksi virus atau sakit. Infeksi virus AI yang tidak terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyebaran penyakit AI di lapangan. Tingginya tingkat infeksi virus AI memungkinkan virus ini bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi dan/atau genetic reassortment (Claas 2000).
Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site. Kehilangan glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi, atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak bahwa perubahan virulensi dari rendah ketinggi, mengindikasikan virus HPAI yang memiliki pohon filogenik sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7 juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI (Capua dan Maragon 2007).
Kejadian infeksi virus influenza diawali dengan penempelan partikel virus pada reseptor permukaan sel induk semang, kemudian diikuti dengan internalisasi yang diperantarai oleh reseptor. Fusi virus dan membran endosomal diikuti oleh transfer nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Dharmayanti et al. 2007). Pada sel epitel saluran pernafasan dan saluran pencernaan, hemaglutinin dari semua virus influenza yang masuk dipotong oleh protease inang, mengaktifasi terjadinya fusi dan masuknya virus ke dalam sel. Patogenesa AI pada unggas berbeda dengan patogenesa AI pada mamalia, dalam hal ini replikasi virus di saluran pencernaan sama baiknya dengan replikasi virus di saluran pernafasan. Infeksi dari strain yang sangat virulen menimbulkan viremia, dilatasi sel-sel limfoid, multifokal
nekrosis dan menimbulkan pankreatitis, miokarditis, miositis dan ensefalitis (Murphy et al. 1999).
Pengendalian penyebaran virus AI di lapangan dapat dilakukan melalui pengawasan daerah yang dicurigai terserang AI dengan tujuan mendeteksi penyakit HPAI pada unggas secara dini, sehingga dapat ditentukan zona bebas, terancam dan tertular, dapat ditentukan subtipe virus, dan dapat dideteksi virus HPAI pada spesies selain unggas serta dapat ditetapkan status bebas ditingkat peternakan. Berdasarkan monitoring penyakit HPAI yang dilakukan Damayanti et al. (2005) dengan metode imunohistokimia pada bulan Juni dan September 2004 terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Jawa barat, Jawa timur dan Banten, tidak terdeteksi adanya Virus AI, sedangkan monitoring bulan September 2004 di Provinsi DKI Jakarta berhasil dideteksi virus AI, namun pada bulan September 2004 hingga Februari 2005 berhasil dideteksi virus AI di daerah yang sebelumnya sudah tidak terdeteksi virus AI yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan DKI Jakarta.
Kebijakan Pemerintah melalui surat keputusan Departemen pertanian telah melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik untuk menghindari penularan virus AI ke wilayah Indonesia yang masih bebas penularan AI (Ditkeswan 2005). Setyawati (2010) menyatakan bahwa anak ayam umur satu hari telah terinfeksi virus AI dengan gejala subklinis dan anak ayam umur satu hari ini berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penularan AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah bebas AI.
Vaksin Avian Influenza
Vaksin adalah suspensi bibit penyakit yang hidup tetapi telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin berfungsi untuk menimbulkan kekebalan (antibodi) pada hewan yang divaksinasi sehingga dapat berguna untuk melindungi hewan dari serangan penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, dan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksin terdiri dari dua jenis yaitu: 1. vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya, 2. vaksin inaktif adalah vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat imunitasnya (Tizard 1988).
Virus aktif yang digunakan dalam vaksin terdiri dari tiga jenis virus yaitu; virus yang diisolasi dari hewan sehat sebagai virus yang secara alamiah tidak virulen, virus yang mulanya virulen tetapi setelah dipasase berkali kali di laboratorium dengan biakan jaringan atau hewan percobaan, virus-virus tersebut menjadi tidak virulen dan tetap imunogenik, dan virus-virus yang memiliki kesamaan antigen sehingga antara antibodi yang satu dengan antigen yang lainnya dapat saling menetralisasi. Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus virulen
yang diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia seperti formaldehida, β- propiolakton, asetiletilenimin, etilen oksida, etilenamin. Upaya meningkatkan daya imunogenik vaksin inaktif biasanya ditambah dengan adjuvan yang merupakan bahan campuran vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik secara humoral maupun seluler. Adjuvan yang sering dicampurkan dalam vaksin adalah lemak nabati, minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1987).
Prinsip dasar pemakaian virus vaksin adalah harus homolog dengan subtipe H atau N virus asal lapang. Menurut regulasi Office International Des Epizooties (OIE), vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil, memiliki proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen infeksius lainnya dan mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan adjuvan berkualitas tinggi dan memiliki tingkat keamanan, berpotensi serta efektifitas yang tinggi (uji laboratorik dan uji lapang) (Suarez 2005). Vaksin AI subtipe H5N1 yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang telah banyak diproduksi dan dipasarkan secara komersial, saat ini umumnya digunakan dalam
program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1 pada berbagai ternak unggas di Indonesia (Dharmayanti et al. 2006).
Pemerintah telah menetapkan obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus H5N1 seperti amantadine dan rimantadine serta oseltamivir carboxilate (Tamiflu®) dan Zanamivir (Relenza®). Oseltamivir merupakan salah satu obat yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase sedangkan amantadine bekerja sebagai ion chanel blocker. Menurut laporan Arnold et al. (2008), virus AI H5N1 resisten terhadap beberapa obat anti AI seperti oseltamivir dan amantadine. Berdasarkan resistensi virus terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah serta kurang efektifnya vaksin yang terjadi saat ini, maka perlu ditingkatkan pengembangan obat anti virus yang baru dengan menggunakan bahan baku tanaman obat asal Indonesia (Canopus Biopharma 2009).
Tanaman Obat
Secara empiris tanaman obat banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Penggunaan tanaman obat dapat mencegah berbagai jenis penyakit, sehingga tanaman obat banyak digunakan dalam berbagai jenis jamu yang dipasarkan di masyarakat. Tanaman obat atau obat tradisional yang digunakan untuk pencegahan penyakit dikenal dengan nama Jamu. Industri obat tradisional di Indonesia berkembang sangat cepat. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terdapat ribuan industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, baik yang berskala besar maupun berskala kecil. Perkembangan industri obat yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat dapat menjadi gambaran tingginya konsumsi obat tradisional di Indonesia.
Kendala utama dalam penggunaan tanaman obat adalah kurang atau tidak stabilnya kandungan zat aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman obat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak sering kali dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi penanaman, waktu pemanenan, jenis varietas, dan metode ekstraksi yang digunakan, sehingga diperlukan cara untuk mengatasi variasi kualitas dan kuantitas kandungan zat aktif dari tanaman obat. Apabila hal ini dilakukan maka kualitas zat aktif tanaman obat dapat diseragamkan (Wijayakusuma et al. 1994).
Beberapa penggunaan tanaman obat sebagai anti viral seperti yang dilakukan negara Thailand, tentang penelitian khasiat tanaman obat Maeng Lak Kha (Hyptis suaveolens) yang telah memasuki pengujian klinis tahap kedua, diuji pada 1.000 orang sukarelawan. Pada pengujian tahap pertama, telah terbukti dapat membunuh virus AI pada 10 orang sukarelawan. Di Laos, tanaman yang sedang diteliti adalah Man On Ling (Poligonum multiforum), yang memiliki daya kerja neuraminidase inhibitor, dan menghambat atau mencegah terjadinya cytokine storm, yang dapat berakibat fatal. Negara lain seperti Cina dan Korea tidak kalah gencarnya meneliti tentang tanaman obat yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan obat AI (WHO 2007). Di Indonesia ketersediaan bahan tanaman obat sangat mudah didapatkan karena Indonesia sebagai negara tropis, mempunyai berbagai jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan sebagai salah satu sumber bahan obat untuk menggantikan obat AI yang tidak mampu mengatasi infeksi virus AI H5N1.
Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat alternatif terhadap infeksi AI sangat membantu dalam pengendalian penyakit AI pada manusia. Ketergantungan obat AI dari luar selama ini dapat dikurangi, memiliki ketersediaan yang memadai membuat pemberian obat AI pada penderita menjadi lebih cepat, terutama bila terjadi pada penderita yang berada di daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah pusat. Tanaman obat juga dapat menjadi obat alternatif karena dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis, atau pemberian obat sebelum terinfeksi AI. Pemberian obat sebagai profilaksis dilakukan pada masyarakat penderita AI, yang bertujuan untuk meminimalisir jumlah orang yang tertular AI. Tindakan ini dapat menghemat persediaan obat AI dan biaya pembelian obat AI dari luar negri (Sugarman 2005). Pemberian obat sedini mungkin merupakan suatu tindakan yang sangat efektif dalam penanganan AI. Selama ini yang menjadi masalah utama dalam penanganan AI adalah keterlambatan dalam pemberian obat bagi penderita AI, dikarenakan lokasi penderita berada di daerah yang jauh dari pusat penanganan AI, sehingga menyebabkan kematian pada penderita. Dengan adanya penemuan obat alternatif yang berbahan dasar tanaman obat diharapkan penanganan dan pengobatan pada penderita AI dapat ditanggulangi dengan cepat dan segera, serta dapat
meminimalisasi biaya produksi obat AI, sehingga dapat meningkatkan jumlah sediaan obat dan mudah dalam mendapatkan obat.
Kandungan tanaman obat yang telah diidentifikasi memiliki aktivitas antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin, saponin, senyawa furil, alkaloid, polin, tiopen, protein dan peptide (Manoi 2007; Paparanza dan Marianto 2003; Rusmin dan Melati 2007). Meskipun memiliki kemampuan antiviral yang tinggi, namun komposisi kombinasi yang tepat belum banyak diketahui dalam menghambat infeksi virus (Jassim dan Naji 2003). Pengembangan penelitian terhadap mekanisme kerja dari bahan aktif yang terkandung dalam tanaman obat terus dilakukan, sehingga ditemukan beberapa