• Tidak ada hasil yang ditemukan

HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH BATURRADEN, PURWOKERTO

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP Baturraden sendiri terdiri dari empat wilayah, yaitu Farm Tegalsari, Farm Limpakuwus, area Munggangsari, dan Farm Manggala. BBPTU-SP Baturraden berada di bagian selatan lereng kaki Gunung Slamet. Farm Tegalsari sendiri berada di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden, tepatnya di dalam kawasan wisata Baturraden yang berjarak ±15 km ke arah Utara dari Purwokerto.

Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

Temperatur rata-rata di daerah ini adalah 18-28 C dengan kelembaban berkisar antara 70% - 80%. Keadaan klimatik di BBPTU-SP Baturraden tergolong nyaman untuk hidup dan berproduksi bagi sapi perah yang berasal dari iklim sedang seperti Friesian Holstein. Kisaran temperatur udara yang baik untuk sapi perah yang berasal dari Eropa adalah sekitar 5-21 C dengan kelembaban relatif 50% - 70% (Ensminger, 1980). Daerah ini juga memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu sekitar 6.000-9.000 mm/tahun. Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden memiliki ketinggian tempat sekitar ±675 m dpl yang tergolong ke dalam dataran sedang menurut Siregar (1990) karena berada pada kisaran ketinggian 250-750 m dpl. Siregar (1990) menyatakan bahwa dataran rendah memiliki ketinggian di bawah 250 m dpl sedangkan dataran tinggi memiliki ketinggian di atas 750 m dpl.

18 Gambar 5. Lahan Pastura Farm Tegalsari BBPTU-SP Baturraden

Area Farm Tegalsari memiliki luas sekitar 34,18 ha. Keadaan lahan permukaan relatif rata, kecuali di bagian Utara yang meninggi ke arah Utara sedangkan di bagian Selatan cenderung menurun (0-15) ke arah Selatan dimana hampir semuanya diperuntukan sebagai lahan tanaman pakan ternak. Lahan di bagian Utara diperuntukan sebagai lahan exercise atau penggembalaan sapi.

Produksi Susu

Sapi-sapi betina yang diamati memiliki periode laktasi yang berbeda. Periode laktasi tersebut berkisar antara laktasi pertama sampai laktasi ketujuh. Rataan produksi susu real dan produksi susu yang telah distandardisasi ke dalam lama laktasi 305 hari dan umur setara dewasa dari sapi Friesian Holstein betina di BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Produksi Susu per Laktasi di BBPTU-SP Baturraden

Periode

Laktasi n

Rataan Lama Produksi (hari)

Rataan Produksi Susu per Laktasi (kg) Sebelum koreksi Setelah koreksi

1 178 289 4.117±1.337 5.365±1.075 2 135 246 3.614±1.740 5.363±1.358 3 92 300 4.048±1.460 5.211±1.452 4 81 234 4.018±1.921 6.124±1.743 5 39 198 3.167±2.003 5.416±1.619 >5 12 174 2.518±2.194 4.644±1.563 Rata-rata 3.859±1.615 5.440±1.362 n: jumlah catatan

19 Produksi susu real dari laktasi pertama sampai laktasi yang lebih dari lima bervariasi dari 2.518 sampai 4.048 kg/laktasi, dengan rataan produksi susu per laktasi sekitar 3.859±1.615 kg/laktasi. Lama produksi dalam satu laktasi memberi pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah produksi susu. Produksi susu pada lama laktasi yang lebih panjang umumnya lebih besar dari jumlah produksi susu dengan masa laktasi yang lebih singkat. Lama produksi susu harus distandardisasi untuk meminimalisasi pengaruh lama laktasi terhadap jumlah produksi susu dalam satu periode laktasi.

Produksi susu real tertinggi terdapat pada laktasi ketiga yaitu sekitar 4.048±1.460 kg/laktasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Philips (2002) bahwa produksi air susu tertinggi diperoleh pada periode laktasi ketiga. Rataan panjang laktasi pada periode laktasi ketiga adalah 300 hari. Hal ini menunjukan bahwa rataan produksi susu per hari pada periode laktasi ketiga adalah 13,5 kg/hari. Rataan produksi susu per hari secara keseluruhan di BBPTU-SP Baturraden adalah sekitar 15 kg/hari.

Produksi susu real distandardisasi untuk menghilangkan pengaruh non genetik. Rataan produksi susu yang telah distandardisasi dari laktasi pertama sampai laktasi yang lebih dari lima bervariasi dari 5.211 sampai 6.124 kg/laktasi, dengan rata-rata produksi per laktasi sekitar 5.440±1.362 kg/laktasi.

Gambar 6. Sapi Betina FH di BBPTU-SP Baturraden

Faktor koreksi dilakukan terhadap lama laktasi 305 hari dan umur induk dewasa. Produksi susu rata-rata sebelum dikoreksi adalah sekitar 3.859±1.615

kg/laktasi dengan keragaman sekitar 41,8%. Produksi susu rata-rata setelah dilakukan koreksi adalah 5.440±1.362 kg/laktasi dengan keragaman sekitar 25%.

20 Adanya penurunan keragaman ini menunjukan bahwa koreksi data yang dilakukan dapat menurunkan variasi produksi antar individu sebesar 16,8%. Hasil penelitian Ekasanti et al. (2002) juga menunjukan bahwa penurunan keragaman variasi produksi antar induvidu sebesar 8,41%.

Parameter Genetik

Parameter genetik yang diamati adalah heritabilitas (h2) dan ripitabilitas (r). Heritabilitas didasarkan pada metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation), sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam klasifikasi satu arah. Kedua parameter genetik ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai MPPA dan PBV dari masing-masing ternak. Nilai heritabilitas dan ripitabilitas dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden

Parameter Genetik Nilai

h2 0,40±0,36

r 0,84±0,02

Ripitabilitas

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas menunjukan sejauh mana hubungan antara produksi pertama dengan produksi berikutnya pada individu. Nilai ripitabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden yang diperoleh adalah sekitar 0,84±0,02. Nilai ripitabilitas ini tergolong tinggi. Noor (2010) menyampaikan bahwa ripitabilitas tergolong ke dalam kategori rendah jika nilainya lebih rendah dari 0,2, tergolong sedang jika nilainya berkisar antara 0,2–0,4, dan tegolong tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4.

Nilai ripitabilitas ini jelas lebih besar dari pernyataan Warwick dan Legates (1979) bahwa nilai ripitabilitas produksi susu berkisar antara 0,35–0,50. Lasley (1978) juga menyatakan bahwa nilai ripitabilitas produksi susu sapi perah adalah sekitar 0,41–0,64. Nilai ripitabilitas yang didapat juga lebih tinggi dari pernyataan Gushairiyanto (1994) yang menyatakan nilai ripitabilitas di BBPTU-SP Baturraden adalah sebesar 0,25±0,05. Hardjosubroto (1994) juga menyatakan bahwa nilai heritabilitas produksi susu umumnya adalah 0,4–0,6. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel dan metode yang digunakan.

21 Ripitabilitas yang didapatkan bernilai tinggi yang kemungkinan dikarenakan variasi produksi antar individu yang tinggi. Selain itu, variasi faktor lingkungan tetap yang tinggi juga dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap nilai ripitabilitas. Nilai ripitabilitas ini berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang akan datang dari ternak.

Heritabilitas

Nilai heritabilitas produksi susu di BBPTU-SP Baturraden dihitung dengan menggunakan korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation) dari 78 ekor pejantan. Nilai heritabilitas yang diperoleh yaitu 0,40±0,36. Nilai ini tergolong ke dalam heritabilitas yang tergolong sedang sebagaimana yang dinyatakan oleh Noor (2010) serta Warwick dan Legates (1979) bahwa nilai heritabilitas yang lebih kecil dari 0,2 tergolong rendah, kisaran 0,2-0,4 tergolong sedang dan tergolong tinggi jika nilainya lebih dari 0,4.

Hasil perhitungan heritabilitas ini sesuai dengan pernyataan Hardjosubroto (1994) bahwa nilai heritabilitas produksi susu sapi perah berkisar antara 0,2-0,4. Nilai heritabilitas ini juga lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Indrijani (2008) di tempat yang sama dengan nilai 0,352±0,04. Hal ini dapat dikarenakan beberapa faktor, antara lain perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatasan sampel, perbedaan metode yang digunakan dan managemen pada waktu pengamatan. Pendugaan nilai heritabilitas ini diharapkan dapat mewariskan sifat produksi susu pada keturunannya dengan kemajuan genetik yang tinggi (Bourdon, 1997).

Kecermatan perhitungan nilai heritabilitas akan lebih baik jika paling sedikit terdapat lima ekor penjantan dengan jumah anak sekitar 10 ekor per pejantan (Dalton, 1981). Penelitian ini mengggunakan lebih dari 10 ekor pejantan untuk pendugaan nilai heritabilitas, namun jumlah anak per pejantan tidak seluruhnya lebih dari 10 ekor. Hal ini dapat menjadi suatu kekurangan dalam kecermatan perhitungan heritabilitas.

Pendugaan Nilai MPPA

Kemampuan produksi individu sapi dapat diketahui dengan metode MPPA. Daya produksi susu yang diketahui dari perhitungan MPPA merupakan pendugaan produksi susu pada laktasi berikutnya. Ternak yang memiliki daya produksi yang

22 tinggi akan mempunyai peringkat MPPA yang tinggi dibandingkan dengan rataan populasi.

Rata-rata pendugaan nilai MPPA yang didapatkan adalah 5.443 kg. Nilai hasil pendugaan MPPA menunjukan bahwa sebesar 48% atau sekitar 102 ekor dari 213 ekor sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan sisanya berada di bawah nilai rataan. Pendugaan daya produksi susu tertaksir (MPPA) memperoleh hasil bahwa nilai tertinggi terdapat pada sapi dengan nomor identitas 125. Sapi ini mempunyai nilai pendugaan MPPA sebesar 7.701 kg. Sapi tersebut diperkirakan dapat menghasilkan susu 7.701 kg lebih tinggi pada laktasi-laktasi berikutnya. Hasil dari pendugaan ini menunjukan bahwa produksi susu sapi dengan nomor identitas 125 adalah 2.258 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan produksi susu dari sapi lain yang diamati di BBPTU-SP Baturraden.

Nilai terendah pada pendugaan nilai MPPA adalah 3.151 kg. Peringkat terendah ini terdapat pada sapi dengan nomor identitas 1878-07. Sapi dengan nomor identitas 1878-07 memiliki produksi susu 2.292 kg lebih rendah dibandingkan dengan sapi lainnya dalam populasi.

Peringkat MPPA digunakan untuk seleksi terhadap induk yang akan dipertahankan di peternakan berdasarkan produksinya yang tinggi. Umumnya ternak yang dipertahankan adalah sekitar 50% peringkat terbaik dari populasi (Direktorat Pembibitan, 2012). Data keseluruhan ternak beserta nilai MPPA dan PBV dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pendugaan Nilai PBV

PBV atau dugaan nilai pemuliaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam menghasilkan susu. Ternak dengan nilai pemuliaan terbaik diharapkan dapat mewariskan gen kepada keturunannya, sehingga keturunannya memiliki kemampuan produksi yang baik pula. Perhitungan yang dilakukan dengan metode ini diharapkan dapat mengevaluasi ternak yang memiliki kemampuan mewariskan sifat produksi susu kepada keturunannya.

Pendugaan nilai PBV dihitung sebagai estimasi dari nilai pemuliaan ternak. Nilai rata-rata pendugaan PBV dari 213 ekor sapi betina FH yang diamati adalah 5.462 kg. Nilai hasil pendugaan PBV juga menunjukan bahwa sebesar 48% atau

23 sekitar 102 ekor dari sapi betina yang diamati berada di atas nilai rataan, sedangkan sisanya berada di bawah nilai rataan.

Tabel 7. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Sapi FH Betina Terbaik di BBPTU-SP Baturraden

No Identitas n MPPA (kg) PBV (kg) Peringkat

125 1 7.701 6.533 1 1899-08 1 7.525 6.450 2 027 3 7.303 6.344 3 066 3 7.247 6.318 4 078 4 7.194 6.293 5 1886-07 1 7.172 6.282 6 008 1 7.115 6.255 7 056 1 7.031 6.215 8 1786-06 1 7.030 6.215 9 067 4 7.016 6.209 10 0030 4 7.008 6.205 11 1874-07ET 2 6.975 6.189 12 076 4 6.947 6.175 13 054 4 6.932 6.168 14 006 4 6.906 6.156 15 1890-08 1 6.857 6.133 16 016 4 6.832 6.121 17 028 4 6.818 6.115 18 1889-08 1 6.814 6.112 19 0306-07 2 6.752 6.083 20 0343-07 1 6.748 6.081 21 0269-07 1 6.716 6.066 22

n : jumlah catatan laktasi

Sapi betina dengan nilai PBV tertinggi adalah sapi dengan nomor identitas 125 yang memiliki nilai pendugaan PBV sebesar 6.533 kg. Sapi ini diduga memiliki keunggulan genetik produksi susu sebesar 6.533 kg. Hasil pendugaan ini menunjukan bahwa sapi dengan nomor identitas 125 memiliki keunggulan genetik

24 produksi susu 1.071 kg lebih tinggi dibandingkan dengan rataan produksi susu dari sapi-sapi lain yang diamati pada penelitian ini. Nilai pendugaan PBV terendah adalah 4.375 kg pada sapi dengan nomor identitas 1878-09. Sapi ini memiliki keunggulan genetik produksi susu 1.087 kg lebih rendah dibandingkan dengan rataan populasi yang diamati.

Nilai pendugaan PBV umumnya digunakan untuk melakukan seleksi terhadap induk yang akan menghasilkan bibit serta untuk replacement stock. Umumnya ternak yang digunakan sebagai bibit adalah 10% terbaik dari seluruh betina yang diseleksi dalam populasi (Direktorat Jenderal Pembibitan, 2012). Nilai MPPA dan PBV dari 10% betina terbaik di BBPTU-SP Baturraden dapat dilihat pada Tabel 7. Replacement stock ditujukan untuk menggantikan induk yang ada sebelumnya sehingga produksi susu dapat terus berjalan. Sapi betina yang dapat digunakan sebagai replacement stock dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil perankingan menunjukan bahwa seekor ternak selalu mendapat peringkat yang sama berdasarkan nilai MPPA dan PBV. Hal ini menunjukan bahwa ternak yang mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi juga akan memiliki kemampuan pewarisan sifat yang tinggi. Penelitian mengenai kemampuan produksi tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh Nugroho (2004) di PT. Taurus Dairy Farm, yang memperoleh hasil bahwa ternak yang memperoleh peringkat tinggi pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada perhitungan kemampuan produksi tertaksir.

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Rataan produksi susu real per laktasi yang paling tinggi didapat pada laktasi ketiga yaitu sekitar 4.048±1.460 kg, dengan rataan produksi susu per ekor secara keseluruhan sekitar 15 kg per hari. Nilai ripitabilitas produksi susu yang diperoleh adalah 0,84±0,02. Daya pengulangan sifat produksi susu tergolong tinggi. Nilai ini sangat tinggi kemungkinan dikarenakan variasi produksi antar individu yang tinggi pula. Nilai heritabilitas produksi susu yang diperoleh adalah 0,40±0,36 yang tergolong sedang dimana kemampuan induk untuk menurunkan sifat produksi susu cukup baik kepada anaknya. Sapi yang dipertahankan dan dijadikan sebagai replacement stock merupakan sapi dengan peringkat 50% terbaik, sedangkan sapi yang digunakan bibit adalah sapi dengan peringkat 10% terbaik. Sapi terbaik berdasarkan nilai pendugaan MPPA dan PBV adalah sapi dengan nomor identitas 125 dengan nilai pendugaan masing-masing 7.701 kg dan 6.533 kg.

Saran

Upaya peningkatan akurasi dalam pendugaan parameter genetik (ripitabilitas dan heritabilitas) perlu didukung oleh kelengkapan data. Pendugaan nilai heritabilitas perlu didukung oleh jumlah anak per pejantan untuk meningkatkan akurasi. Pendugaan ripitabilitas perlu didukung oleh kelengkapan catatan produksi susu setiap laktasinya. Pertimbangan pemilihan sapi betina untuk bibit dan replacement stock berdasarkan nilai PBV perlu mempertimbangkan jumlah dan kelengkapan catatan serta umur ternak tersebut. Pertimbangan dalam mempertahankan ternak dalam peternakan dapat diestimasi berdasarkan peringkat nilai PBV. Manajemen pemeliharaan, reproduksi, dan pemuliaan harus tetap diterapkan dan ditingkatkan. Evaluasi terhadap efektivitas program yang ada di BBPTU-SP juga perlu dilakukan agar dapat terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi FH betina yang ada disana.

26

Dokumen terkait