• Tidak ada hasil yang ditemukan

HOLSTEIN BETINA DI BBPTU SAPI PERAH BATURRADEN, PURWOKERTO

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Sapi Perah di Indonesia

Usaha peternakan sapi perah yang diusahakan oleh pribumi diperkirakan berdiri sekitar tahun 1925. Usaha ini berlanjut secara bertahap sampai saat ini. Peternak-peternak kecil juga melakukan usaha sampingan untuk menghasilkan susu dengan kepemilikan sekitar 2-3 ekor sapi perah. Sapi-sapi perah tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan susu yang telah mengalami kehancuran pada masa-masa Pemerintahan Penjajahan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Peternak umumnya para petani di daerah dataran tinggi yang memelihara sapi dengan tujuan utama untuk mendapatkan pupuk kandang, sedangkan susu hanya menjadi tujuan kedua.

Gambar 1. Produksi Susu Nasional (2007-2011) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

Industri ini mulai berkembang dengan pesat sejak awal tahun 1980. Pemerintah mulai melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi susu dalam negeri untuk kebutuhan masyarakat. Produksi susu di dalam negeri saat ini baru memenuhi sekitar 35% dari kebutuhan susu nasional. Produksi susu tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat walaupun terjadi peningkatan produksi di setiap tahunnya. Jika populasi sapi laktasi di Indonesia diestimasi sekitar 60% dari jumlah populasi seluruhnya, maka produksi susu saat ini adalah sekitar 925.800 ton dari 358.000 ekor sapi FH. Rataan produksi susu per tahunnya adalah sekitar 2.586 kg/tahun. Rataan produksi susu ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata

568 647 827 910 926 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 2007 2008 2009 2010 2011 P ro d u k si Su su ( rib u to n ) Tahun

4 produksi susu pada tahun 2007, yaitu sekitar 2.535 kg/tahun. Grafik produksi susu sejak tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.

Produksi susu nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Laju peningkatan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 28%. Laju peningkatan produksi susu dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 14%, 28%, 10%, dan 2%. Rataan laju peningkatan produksi susu di Indonesia sejak tahun 2007 sampai 2011 adalah sekitar 13,5%.

Populasi ternak sapi perah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Grafik populasi ternak sapi perah dapat dilihat pada Gambar 2. Populasi tersebut sebagian besar berada di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur (49,6%), Jawa Tengah (25,1%), dan Jawa Barat (23,4%). Laju peningkatan populasi paling tinggi yang sama terjadi pada tahun 2008 dan 2011 yaitu sebesar 22%. Laju peningkatan populasi sapi perah dari tahun 2007 sampai 2011 berturut-turut adalah 22%, 4%, 0,2%, dan 22%. Laju peningkatan populasi sapi perah di Indonesia sejak tahun 2007 sampai 2011 adalah sekitar 12%.

Gambar 2. Populasi Ternak Sapi Perah (2007-2011) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

Sapi Friesian Holstein

Sapi perah termasuk ke dalam family Bovidae, sub family Bovinae dan genus Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan dari

374 458 475 488 597 0 100 200 300 400 500 600 700 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m lah T er n ak ( rib u ek o r) Tahun

5 keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos taurus dan banyak dikembangkan antara lain adalah Holstein, Brown Swiss, Ayshire, Guernsey dan Jersey. Bangsa sapi perah yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa Friesian Holstein (FH). Sapi FH berasal dari provinsi Friesland, Belanda. Bangsa sapi ini adalah bangsa sapi perah yang tertua, terkenal, dan tersebar hampir di seluruh dunia (Sudono et al., 2003).

Sapi perah Fries Holland berasal dari Belanda Utara atau Friesian Barat. Di Amerika dikenal antara lain sapi Friesian Holstein (FH) dan Holstein, sedangkan di Eropa dikenal sapi perah Friesian (Sudono et al., 2003). Sapi FH memiliki ciri-ciri seperti warna belang hitam (berwarna hitam putih), ujung ekor putih, bentuk kepala yang panjang, dahi seperti cawan, moncong luas dan ambing besar serta simetris (Dewan Standardisasi Indonesia, 1992). Menurut Blakely dan Blade (1994) sapi FH memiliki berat 675 kg dengan rata-rata produksi susu per tahun 5.750-6.250 kg dan berat lahir anak 42 kg. Karakteristik lainnya adalah temperamen tenang, kemampuan merumputnya sedang dan masak kelamin lambat. Kadar lemak susu dari sapi FH umumnya 3,5% - 3,7% dengan warna lemak kuning membentuk butiran-butiran (globula) sehingga aman untuk konsumsi susu segar.

Produksi susu sapi FH saat ini di Indonesia memiliki produksi rata-rata sekitar 10 liter/ekor/hari atau sekitar 3.471 kg/laktasi (Anggraeni, 2012). Meskipun demikian bangsa sapi FH menghasilkan jumlah susu yang cukup tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya baik di daerah subtropis maupun tropis.

Sifat Produksi Susu

Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya. Musim, curah hujan, hari hujan, temperatur, kelembaban, tahun pemeliharaan, dan peternakan juga merupakan faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi produksi susu. Kenyataannya, faktor-faktor tersebut seringkali berkaitan satu sama lain dalam menimbulkan keragaman produksi susu (Anggraeni, 1995; Indrijani, 2001). Falconer dan Mackay (1996) menjelaskan bahwa pada program pemuliaan ternak, yang lebih penting dan mendapat perhatian adalah faktor genetik karena faktor inilah yang diwariskan tetua kepada keturunannya. Faktor lingkungan berupa iklim, pakan, dan pengelolaan merupakan faktor yang tidak diwariskan (Kurnianto et al., 2008).

6 Kurva produksi susu dalam satu masa laktasi dapat dilihat pada Gambar 3. Produktivitas sapi perah dapat dievaluasi dengan cara pengukuran produksi susu selama satu masa laktasi. Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Penurunan produksi susu yang terjadi setelah mencapai puncak laktasi adalah sekitar 6% setiap bulannya (Tyler dan Ensminger, 2006).

Gambar 3. Kurva Produksi Susu Sumber: Blakely dan Blade (1994)

Puncak produksi tergantung pada kondisi induk saat melahirkan, keturunan, terbebasnya induk dari infeksi penyakit serta pakan setelah melahirkan. Induk yang mengalami penurunan produksi susu secara cepat setelah produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi adalah kemampuan induk sapi mempertahankan tingkat produksi selama masa laktasi. Persistensi ini dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi saat beranak, lama masa kering sebelumnya dan jumlah pakan (Akers, 2002).

Umumnya lama masa laktasi adalah 10 bulan (305 hari) pada sapi-sapi yang mempunyai selang beranak 12 bulan. Produksi air susu tertinggi diperoleh pada periode laktasi keempat (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Produksi susu total setiap laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun, atau pada laktasi ke-3 dan ke-4. Mulai dari laktasi pertama, produksi susu akan

7 meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi yang semakin bertambah menyebabkan penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi pertama adalah 70%, laktasi kedua adalah 80%, laktasi ketiga 90% dan laktasi keempat 95% dari produksi susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan dan beranak pertama pada umur dua tahun (Tyler dan Ensminger, 2006).

Produksi susu secara umum dipengaruhi oleh faktor biologis atau internal dan factor eksternal. Faktor internal adalah faktor genetik, periode laktasi, frekuensi pemerahan, umur dan ukuran tubuh ternak, masa kering, siklus estrus dan kebuntingan, ketosis dan milk fever (Sudono et al., 2003), sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar tubuh ternak seperti iklim, jumlah dan kualitas pakan, penyakit dan parasit (Indrijani, 2001).

Faktor Koreksi Produksi Susu

Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Beberapa faktor internal seperti masa laktasi, umur beranak, dan masa kosong, ataupun faktor eksternal seperti kondisi perusahaan tempat berproduksi, tahun beranak dan musim beranak dapat memberikan kontribusi terhadap variasi produksi susu dalam satu laktasi. Keadaan ini akan menutupi keragaman produksi susu yang disebabkan oleh keragaman genetik (Anggraeni, 1995).

Produksi susu dapat disesuaikan atau dikoreksi ke arah standar tertentu. Faktor koreksi yang paling umum digunakan adalah faktor koreksi produksi susu yang disesuaikan ke arah lama laktasi 305 hari, umur induk dewasa dan pemerahan 2 kali perhari. Standardisasi lama laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa seekor sapi perah paling optimal dapat beranak satu kali dalam satu tahun dengan lama pengeringan 6 – 8 minggu. Umur dewasa sapi perah dicapai pada umur 66 – 72 bulan dan pada umur ini diharapkan telah mencapai produksi optimalnya (Hardjosubroto, 1994).

Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina umumnya menunjukan keragaman yang besar. Hasil-hasil yang telah diperoleh menunjukan bahwa lama laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Sapi betina dengan lama laktasi kurang dari 305 hari akan memiliki faktor koreksi yang nilainya

8 lebih besar dibandingkan dengan lama laktasi yang lebih dari 305 hari, sebaliknya faktor koreksi untuk lama laktasi yang lebih dari 305 hari akan lebih kecil.

Hal lain yang juga mempengaruhi produksi susu adalah umur beranak. Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Alasan mendasar dilakukan pengkoreksian dikarenakan umur beranak dapat menimbulkan bias dalam evaluasi mutu genetik sapi betina. Pembakuan menjadi satu hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir bias dalam evaluasi tersebut. Miller et al. (2002) menyatakan beberapa alasan dilakukannya pengkoreksian produksi susu terhadap umur beranak adalah agar terpenuhinya beberapa tujuan seperti 1) menghilangkan bias ketika membandingkan sapi betina dengan umur yang berbeda, 2) menurunkan keragaman karena umur yang tidak sama, dan 3) guna mengestimasi produksi susu saat umur dewasa yang mungkin dapat dihasilkan seekor sapi betina dalam kondisi faktor lingkungan yang sama.

Ripitabilitas

Kurnianto (2009) menyatakan bahwa konsep ripitabilitas (r) digunakan untuk mempelajari bagian ragam total suatu sifat pada suatu populasi yang disebabkan oleh keragaman antar individu yang bersifat permanen pada periode produksi yang berbeda. Ripitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor, 2010). Konsep angka pengulangan (repeatability) berguna untuk sifat- sifat yang muncul berkali-kali selama hidup ternak, misalnya produksi susu, produksi telur, produksi wool, dan lain-lain. Angka pengulangan (repeatibility) dapat didefinisikan sebagai korelasi fenotip antara performan sekarang dengan performan selanjutnya di masa yang akan datang pada satu individu.

Noor (2010) menyampaikan bahwa ripitabilitas digolongkan ke dalam rendah jika nilainya kurang dari 0,2, sedang jika nilainya berkisar antara 0,2 dan 0,4, dan tinggi jika nilainya lebih besar dari 0,4. Nilai ripitabilitas yang tinggi menunjukan bahwa kemampuan ternak untuk mengulang sifat produksi susu pada periode laktasi berikutnya juga akan tinggi. Sebaliknya, nilai ripitabilitas yang rendah menunjukan bahwa ternak tersebut memiliki kemampuan yang rendah untuk mengulang sifat produksi susu pada periode laktasi berikutnya.

9 Nilai ripitabilitas berguna untuk memperkirakan produktivitas di masa yang akan datang dari ternak. Nilai ripitabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan nilai ripitabilitas yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan cara mengambil sampel, jumlah sampel, serta metode yang digunakan.

Tabel 1. Ripitabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah

No Lokasi Ripitabilitas Sumber

1 BPT-HMT Baturraden 0,25±0,05 Gushairiyanto (1994) 2 Yayasan Santa Maria Rawaseneng 0,40±0,05 Mekir (1982)

3 PT Baru Adjak 0,62±0,03 Gushairiyanto (1994)

4 PT Taurus Dairy Farm 0,64±0,03 Gushairiyanto (1994) 5 Sumber Susu Indonesia 0,56±0,06 Maylinda (1986) 6 Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang 0,43±0,08 Maylinda (1986)

Heritabilitas

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa angka pewarisan (heritability) dapat didefinisikan sebagai proporsi dari ragam genetik terhadap ragam fenotip. Heritabilitas (h2) merupakan nilai yang mengukur kepentingan relatif antara pengaruh genetik dan lingkungan untuk suatu sifat pada suatu populasi. Heritabilitas juga dapat didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukan tingkat kesamaan penampilan antara anak-anak dengan tetuanya. Selain itu, heritabilitas juga merupakan suatu ukuran yang menggambarkan hubungan antara nilai fenotipik dengan nilai pemuliaan (breeding value) untuk suatu sifat pada suatu populasi (Kurnianto, 2009).

Nilai heritabilitas berselang antara 0 sampai 1. Kurnianto (2009) menyatakan bahwa heritabilitas dikategorikan rendah (lowly heritable) jika nilai berselang antara 0 dan 0,15, dikategorikan sedang (moderately heritable) jika nilai berselang antara 0,15 dan 0,30 dan dikategorikan tinggi (highly heritable) jika nilai heritabilitas yang didapat lebih dari 0,3. Nilai h2 yang mendekati 1 menunjukan bahwa suatu sifat memberikan respon yang lebih baik terhadap perlakuan seleksi. Sebaliknya nilai h2 yang rendah untuk suatu sifat menunjukan bahwa respon seleksi akan lambat. Seekor ternak yang menunjukan nilai heritabilitas yang tinggi pada suatu sifat diharapkan dapat mempunyai anak dengan keunggulan yang sama pada sifat tersebut.

10 Sebaliknya, bila nilai heritabilitas dari sifat tersebut rendah maka keturunan dari ternak tersebut tidak dipastikan mempunyai keunggulan sifat yang sama, karena hanya sebagian kecil saja dari keunggulannya yang diwariskan kepada keturunannya. Beberapa nilai heritabilitas produksi susu sapi FH di berbagai wilayah dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai pendugaan heritabilitas umumnya bervariasi tergantung pada perbedaan cara pengambilan sampel, keterbatassan sampel, perbedaan metode yang digunakan, dan managemen pada waktu pengamatan dilakukan.

Tabel 2. Heritabilitas Produksi Susu Sapi FH di Berbagai Wilayah

No Lokasi Heritabilitas Sumber

1 BPT-HMT Baturraden 0,48±0,24 Gushairiyanto (1994) BPT-HMT Baturraden 0,32±0,34 Hidayat (2000) BPT-HMT Baturraden 0,23±0,08 Ekasanti et al. (2002) BBPTU-SP Baturraden 0,352±0,04 Indrijani (2008) 2 Yayasan Santa Maria Rawaseneng 0,23±0,25 Mekir (1982) 3 Sumber Susu Indonesia 0,43±0,74 Maylinda (1986) 4 Sekolah Peternakan Menengah Atas Malang 0,22±0,74 Maylinda (1986)

5 PT Baru Adjak 0,79±0,35 Kurnianto (1991)

0,67±0,22 Gushairiyanto (1994) 6 PT Surya Dairy Farm 0,19±0,53 Kurnianto (1991) 7 PT Taurus Dairy Farm 0,39±0,38 Kurnianto (1991)

8 BPPT Cikole 0,31±0,05 Indrijani (2001)

0,237±0,07 Indrijani (2008) 0,326±0,19 Indrijani (2008) 9 PT Bandang Dairy Farm 0,350±0,11 Indrijani (2008)

Seleksi

Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk bereproduksi. Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan (Noor, 2010). Kurnianto (2009) menjelaskan bahwa seleksi dalam ilmu pemuliaan diartikan sebagai upaya memilih dan mempertahankan ternak-ternak yang dianggap baik untuk terus dipelihara sebagai tetua bagi generasi yang akan datang dan mengeluarkan (culling) ternak-ternak yang dianggap kurang baik.

11 Seleksi dapat dilakukan pada ternak jantan maupun betina. Seleksi terhadap sapi betina merupakan hal yang penting karena pemasukan utama bagi peternak adalah hasil dari penjualan susu, maka produktivitas sapi betina merupakan hal yang penting untuk diketahui. Sapi-sapi betina diurutkan berdasarkan produksi susunya dari yang tertinggi sampai yang terendah. Informasi mengenai silsilah juga merupakan salah satu hal yang harus diketahui khususnya untuk sapi dara yang dipilih dengan tujuan sebagai pengganti (replacement) (Ensminger, 1980). Produktivitas dari sapi betina tersebut juga dapat diturunkan kepada anaknya yang diharapkan memiliki produktivitas yang sama atau lebih tinggi lagi.

Data sapi betina yang umumnya didapat saat akan melakukan seleksi antara lain produksi per laktasi, kadar lemak susu, lama laktasi dan umur beranak. Faktor- faktor yang harus diperhatikan dalam memilih sapi betina yang akan dijadikan bibit antara lain, bangsa sapi, umur sapi, silsilah (pedigree), penampakan luar (eksterior), produksi dan kesehatan (Zein dan Sumaprastowo, 1985).

The Most Probable Producing Ability (MPPA)

Lasley (1978) menyatakan bahwa MPPA adalah regresi dari pencatatan masa yang akan datang terhadap pencatatan saat ini, atau derajat dimana suatu catatan berulang akan menghasilkan seleksi yang lebih efektif untuk produksi yang berikutnya. MPPA digunakan untuk mengestimasi kemampuan produksi pada masa yang akan datang, sehingga berdasarkan nilai MPPA yang tertinggi akan dapat ditentukan induk-induk yang produktivitasnya tinggi sehingga dapat dipilih induk- induk yang akan dipertahankan.

MPPA mencerminkan kemampuan berulang seekor sapi perah dalam produksi susu. Parameter genetik yang digunakan dalam metode ini adalah ripitabilitas. Kegunaan ripitabilitas diantaranya adalah untuk menduga nilai maksimum yang dapat dicapai heritabilitas, untuk menduga kemampuan produksi dalam masa produksi seekor ternak (MPPA) dan untuk meningkatkan ketepatan seleksi.

Predicted Breeding Value (PBV)

Nilai pemuliaan (breeding value) didefinisikan sebagai nilai seekor ternak sebagai tetua (the value of an individual as a parent) yang diperoleh dari perkawinan

12 acak. Nilai pemuliaan memberikan gambaran tentang dugaan kemampuan mewariskan sifat (Kurnianto, 2009). Pendugaan nilai pemuliaan sapi perah induk dapat dilakukan dengan pengamatan catatan produksinya sendiri dan dapat ditambah dengan catatan produksi kerabatnya. Induk yang memiliki nilai pendugaan PBV yang tinggi (di atas rata-rata populasi) diharapkan dapat menghasilkan keturunan dengan sifat produksi yang sama baiknya atau lebih baik dari produksi induknya, khususnya jika dikawinkan dengan pejantan unggul.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai pemuliaan sapi induk adalah Predicted Breeding Value (PBV). PBV sering dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata populasi. Seleksi dengan dasar penampilan individu PBV dari seekor ternak yang dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata kelompok atau populasi.

13

Dokumen terkait