1. Penentuan Tingkat Rawan Longsor
Parameter yang digunakan dalam menentuan tingkat rawan longsor adalah: kemiringan lereng, jenis tanah, tutupan lahan dan curah hujan.
A. Peta Kemiringan Lereng
Sebaran kemiringan lereng dengan kriteria agak curam-sangat curam tersebar di wilayah perbatasan Kabupaten Dairi dengan Kabupaten Phakpak Barat, Kabupaten Aceh Tenggara dan kawasan pinggiran Danau Toba seperti pada Gambar 3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bachri dan Rajendra (2010) bahwa kerentanan longsor sedang ditandai dengan kelerengan cukup curam, sedangkan daerah dengan kerentanan longsor tinggi ditandai dengan kemiringan lereng curam (> 30%).
Gambar 3 Peta Kemiringan Lereng,
(Sumber : DEMNAS Badan Informasi Geopsasial, 2019)
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan lereng di Kabupaten Dairi didominasi dengan tingkat kemiringan lereng datar-landai dengan persentase 59,83%. Hal ini menunjukkan semakin datar suatu lereng maka tingkat rawan longsor semakin rendah.
15
Tabel 4. Nilai Hasil Harkat Parameter Kemiringan Lereng
No. Kemiringan Lereng Kriteria Luas (Ha) Persentase (%)
1. kemiringan 0 - 8% datar 72657,08 35,66
2. kemiringan 8 - 16% landai 49237,53 24,17
3. kemiringan 16 - 25% agak curam 3754,85 18,43
4. kemiringan 25 – 36% curam 30273,20 14,86
5. kemiringan 36 – 73% sangat curam 14017,09 6,88
Total 203730,35 100
B. Peta Jenis Tanah
Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa jenis tanah yang mendominasi di Kabupaten Dairi adalah jenis tanah Inceptisol dan Oxisol, dengan persentase 39,76 % dan 25,08% yang ditunjukkan pada Tabel 5. Jenis tanah oxisol merupaan tanah yang memiliki sifat unsur hara yang rendah, kesuburan sangat rendah, kandungan Al dapat dipertukarkan dan oksidasi besi (Simbolon et al., 2017).
Oxisol merupakan tanah yang mengandung liat yang tinggi menyebabkan mudah terjadi pencucian basa-basa sehingga Al dan Fe tertinggal dan dominan di dalam tanah (Herviyanti et al., 2012).
Gambar 4. Peta Jenis Tanah
(Sumber : Peta Landsystem Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat)
Tanah liat produk pelapukan massa batuan, berkontribusi terhadap terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi tidak hanya berkontribusi pada
16
pelapukan massa batuan, tetapi juga meningkatkan air dalam tanah liat yang mengakibatkan ke pengurangan stabilitas lereng alami (Yalcin, 2007).
Tabel 5. Hasil Nilai Harkat Parameter Jenis Tanah
No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase
1. Inceptisol 80899,40 39,76
2. Entisol 37846,05 18,59
3. Ultisol 33735,20 16,57
4. Oxisol 51021,79 25,08
Total 203502,44 100
C. Peta Penggunaan Lahan
Pengharkatan pada penggunaan lahan berdasarkan tingkat lebat jarangnya suatu vegetasi dan tingkat perakaran. Semakin jarang vegetasi dan semakin lemah perakaran maka tingkat longsor akan semakin tinggi. Daerah-daerah yang memiliki tutupan lahan dengan vegetasi yang baik tidak memiliki bukti aktivitas tanah longsor atau tidak ada tanda-tanda keruntuhan (Fu et al., 2016).
Gambar 5. Peta Tutupan Lahan
(Sumber: BPKH Sumatera Utara, 2017)
Pada Gambar 5 penggunaan tutupan lahan di Kabupaten Dairi masih didominasi dengan tutupan lahan rumput, semak, vegetasi sawah dan lahan pertanian. Persentase penggunaan tutupan lahan rumput, semak, vegetasi sawah dan lahan pertanian mencapai 68% yang ditunjukkan pada Tabel 6. Hal ini
17
dikarenakan banyaknya hutan yang dibuka menjadi sawah dan lahan terlantar seperti semak serta rerumputan sehingga dapat menunjukan tingginya tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi.
Tabel 6. Hasil Nilai Harkat Parameter Tutupan Lahan
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase
(%)
1. Hutan 50646,15 25,84
2. Perkebunan 7129,43 3,64
3. Rumput, semak, vegetasi sawah, pertanian 134097,44 68,42
4. Tanpa vegetasi 4121,47 2,10
Total 195994,49 100
D. Peta Curah Hujan
Pengharkatan pada curah hujan didasarkan oleh besar kecilnya rata-rata curah hujan tahunan pada tahun 2018. Rata-rata curah hujan yang relatif besar memungkinkan dapat mengakibatkan tingkat rawan longsor semakin tinggi.
Gambar 6. Peta Curah Hujan
(Sumber : BPS Kabupaten Dairi, 2018)
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa curah hujan di Kabupaten Dairi berkisar 2517 mm/tahun, hal ini menunjukan nilai yang besar dalam pengharkatan curah hujan. Data curah hujan yang diperoleh dari BPS Kabupaten Dairi hanya satu data seperti Gambar 6, hal ini dikarenakan keterbatasan informasi data curah hujan yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Dairi.
18
Tabel 7. Nilai Hasil Harkat Parameter Curah Hujan
No. Curah Hujan Luas (Ha) Persentase (%)
1. 2517 mm/tahun 203735,31 100
Total 203735,31 100
2. Analisis Tingkat Daerah Rawan Longsor
Hasil analisis indeks storie pada Tabel 8 diperoleh nilai kisaran tingkatan rawan longsor yang diklasifikasikan atas 5 kelas atau tingkatan, yaitu : Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, dan Sangat Rendah. Dengan persentase terbesar yaitu pada tingkat rawan sangat rendah 45,68% dan rendah 33,24%.
Tabel 8. Nilai Kisaran dan Luas Tingkat Rawan Longsor
No. Tingkat rawan Kisaran Nilai Luas (Ha) Persentase (%)
1. Sangat Tinggi 0,36 – 0,70 867,23 0,44
2. Tinggi 0,21 – 0,36 7632,33 3,89
3. Sedang 0,12 – 0,21 32774,47 16,73
4. Rendah 0,07 – 0,12 65115,19 33,24
5. Sangat Rendah 0,01– 0,07 89494,88 45,68
Total 195884,10 100
Di Taiwan, tanah longsor adalah bencana yang sering terjadi terutama selama peristiwa ekstrem seperti gempa bumi dan topan yang mengakibatkan lereng menjadi tidak stabil. Siklus degradasi lahan dan ketidakpastian yang tinggi dengan karakteristik tanah longsor yang berulang telah menyebabkan terbentuknya tanah longsor dengan jumlah besar. Selanjutnya, longsor proses adalah mekanisme rumit yang semakin rumit oleh berbagai pemicu faktor-faktor dikombinasikan dengan faktor penyebab tergantung pada lokal karakteristik wilayah tertentu (Fu et al., 2016).
Gambar 7. Peta Tingkatan Rawan Longsor
20
Pada Gambar 7 menunjukkan sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi. Hasil analisis peta dapat diketahui bahwa sebaran longsor dengan tingkat tinggi banyak tersebar di daerah berbagai daerah. Hal di pengaruhi oleh parameter curah hujan, tutupan lahan, kemiringan lereng dan jenis tanah. Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa daerah yang menempati tingkat rawan longsor tinggi sampai sangat tinggi dengan luas terbesar ada di tiga kecamatan yaiti Kecamatan Tanah Pinem, Sumbul dan Parbuluan.
Tabel 9. Data Kecamatan Tingkatan Rawan Longsor
No. Tingkat Kerentanan Kecamatan Luasan
(Ha) 10. Tinggi - Sangat Tinggi Silahisabungan 532,46 0,27 11. Tinggi - Sangat Tinggi Silimapungga-pungga 423,67 0,22
12. Tinggi - Sangat Tinggi Sitinjo 89,85 0,04
13. Tinggi - Sangat Tinggi Sumbul 1801,82 0,92 14. Tinggi - Sangat Tinggi Tanah Pinem 2364,44 1,20 15. Tinggi - Sangat Tinggi Tiga Lingga 370,79 0,19
Total 8499,56 4,34
3. Kejadian-kejadian Longsor di Lokasi Studi
Hasil informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dairi dan KPH (Kesatuan Pengolahan Hutan) XIV wilayah Dairi bahwa kawasan rawan longsor di Kabupaten Dairi terdapat di 3 lokasi yaitu Kecamatan Silahisabungan, Kecamatan Silimapungga-pungga dan Kecamatan Tanah Pinem. Kemudian dilakukan pengecekan lapangan ke 3 kawasan yang ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Titik Longsor di Kabupaten Dairi
No Koordinat Tutupan Lahan
Pohon Pinus Tidak ada Silalahi III Tinggi Longsor 2,817138889
21
2,825361111 Pohon Pinus 4 98,52608333 Semak dan
Pohon Pinus Tidak ada Silalahi III Sangat Tinggi
Pondom Tinggi Longsor 2,803472222
11 98,50477778
Pohon Pinus Menyadap Pinus
Jalan Lau
Pondom Tinggi Longsor 2,804444444
12 98,50447222
Pohon Pinus Menyadap Pinus
Jalan Lau
Pondom Tinggi Longsor 2,804972222
13 98,504
Pohon Pinus Menyadap Pinus
Jalan Lau
Pondom Sedang Longsor 2,804222222
14 98,50341667
Pohon Pinus Menyadap Pinus
Jalan Lau
Pondom Sedang Longsor 2,803916667
15 98,50133333
Pohon Pinus Menyadap Pinus
Jalan Lau
Pondom Tinggi Longsor 2,799055556
16 98,17247222
Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,816805556
17 98,12963889
Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,820111111
18 98,12527778
Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,812861111
19 98,12758333
Rumput Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,825555556
20 98,12588889
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,811277778
21 98,12572222
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,810444444
22 98,1255
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,809111111
23 98,12694444
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,806194444
24 98,12825
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,805444444
25 98,12991667 Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat Longsor
22
2,804555556 Tinggi
26 98,12966667
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat
Tinggi Longsor 2,804361111
27 98,12972222
Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat
Tinggi Longsor 2,804694444
28 98,126806
Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat
Tinggi Longsor 2,804137
29 98,125629
Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat
Tinggi Longsor 2,804645
30 98,130619
Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat
Tinggi Longsor
Binanga Sedang Longsor 3,080305556
32 98,14352778
Semak Belukar Tidak Ada Jalan Tiga
Binanga Sedang Longsor 3,050694444
33 98,13811111
Semak Belukar Tidak Ada Mangan Molih Sedang Longsor 3,058833333
34 98,07508333
Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,059916667
35 98,07127778
Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,056722222
36 98,07113889
Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,055583333
37 98,06355556
Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,051333333
Bencana tanah longsor di Kabupaten Dairi terjadi sebanyak 86 kali, yaitu pada tahun 2012-2016. Kejadian tanah longsor umumnya terjadi di musim hujan, dan umumnya terjadi tanah longsor di kawasan bertebing dan/ perbukitan terjal.
Potensi tanah longsor akan meningkat jika pepohonan di atas bukit-bukit ditebangi dan jika ada pembangunan di kawasan dengan kemiringan lereng terjal (BPBD Dairi, 2017). Sebaran titik hasil ground check di Kabupten Dairi ditunjukkan pada Gambar 8.
23
Gambar 8. Peta Sebaran Titik Longsor
Daerah rawan longsor tinggi–sangat tinggi dominan terjadi di area dengan tipe penggunaan lahan rumput, semak, sawah, lahan pertanian dan tanpa vetegasi.
Pada tingkat sangat rendah-rendah dominan terjadi di lahan rumput, semak, vegetasi sawah, lahan pertanian dan hutan. Hal in menunjukkan bahwa keberadaan hutan dapat mengurangi tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi, dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Penggunaan Lahan pada Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Dairi Penggunaan Lahan Hutan 36342,65 16564,06 1695,48 489,67 55091,86
Perkebunan 4618,39 2786,44 90,3 4,51 7499,64
Rumput, semak, vegetasi sawah, lahan pertanian
51868,41 45918,87 29546,01 6576,82 824,54 134734,65 Tanpa vegetasi 349,97 1536,83 1966,26 869,58 123,67 4846,31
Total 66806,2 93179,42 33298,05 7940,58 948,21 202172,46 Kecamatan Silahisabungan merupakan daerah yang memiliki tingkat longsor yang sangat tinggi, yang ditemukan terdapat di beberapa titik longsor, yaitu desa Paropo I, Paropo II dan Jalan Lau Pondom. Berdasarkan penuturan dari salah satu warga Silahisabungan Bapak Harun bahwa Kecamatan Silahisabungan
24
merupakan daerah yang rawan longsor pada saat curah hujan tinggi atau pada curah hujan sedang namun dengan intensitas waktu yang lama. Kebanyakan longsor di Kecamatan Silahisabungan terjadi dipinggiran jalan seperti yang disajikan pada Gambar 9.a dan 9.b. Kondisi lereng yang terjal dan termasuk kedalam lahan kritis dimana lahan tersebut tidak bervegetasi, akan tetapi longsor yang terjadi tidak sampai menimbulkan adanya korban, hanya saja merusak sarana berupa jalan sehingga dapat mengganggu aktivitas masyarakat di Kecamatan Silahisabungan. Hal ini sesuai dengan peryataan Hardiyatmo (2012) yang mengemukakan bahwa curah hujan yang lebat atau hujan tidak begitu lebat namun dengan waktu yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya longsor, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tidak hanya bersifat langsung yaitu merusak fasilitas umum, akan tetapi juga bersifat tidak langsung seperti melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana.
(a) (b)
Gambar 9. Kondisi Longsor di Jalan Paropo (a) dan Kondisi Lonsor di Jalan Lau Pondom (b)
Pada Kecamatan Silimapungga-pungga tepatnya di Desa Bongkaras, dimana desa tersebut mengalami banjir bandang yang terjadi pada 18 Desember 2018. Seperti yang disajikan pada Gambar 10.a, banjir bandang yang terjadi membawa lumpur dan batang-batang kayu pohon. Banjir bandang teridentifikasi bahwa proses banjir didahului oleh tanah longsor yang menutup palung sungai sehingga membentuk dam penampung air. Sewaktu hujan turun dan dam yang terbentuk tidak muat menampung air limpasan mengakibatkan dam jebol dan dalam waktu singkat menghasilkan banjir bandang. Proses demikian sangat
25
berbahaya pada daerah yang sebelumnya tidak diperkirakan bakal kebanjiran, apalagi untuk daerah yang rawan kebanjiran (Paimin et al., 2009).
Longsor pada Desa Bongkaras yang diperkirakan penyebab utamanya adalah kondisi lereng yang terjal dan tingkat curah hujan yang tinggi. Tingkat curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan kejenuhan air tanah sehingga tanah tidak bisa menyimpan air lagi. Hal ini dapat mengakibatkan lemahnya kestabilan kuat geser tanah sehingga menyebabkan longsor. Hal ini sesuai dengan Suranto, (2008) yang mengemukankan bahwa hujan deras akan meningkatkan prepitasi dan kejenuhan tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini terjadi pada lereng dengan material penyusun tanah yang lemah maka akan menyebabkaan berkurangnya kuat geser tanah dan menambah berat massa tanah.
Hujan lebat dengan volume tinggi akan menjadi penyebab tanah longsor di daerah lereng curam. Semakin curam kemiringan lereng di suatu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah sudut di mana material ini akan tetap stabil. Sehingga jika curah hujan tinggi, mengguyur dalam tempo lama, dengan drainase yang kurang baik menyebabkan tanah menjadi jenuh dengan air, dan jika sudut lereng curam maka sangat rentan terjadi longsor. Pola aliran permukaan yang mengalir hanya lewat satu tempat sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsor (Atmojo, 2008).
(a) (b)
Gambar 10. Kondisi Pasca Bencana Longsor di Bongkaras (a) dan Lokasi Longsor di Bongkaras (b)
Banjir bandang terjadi di kawasan yang bervegetasi lebat seperti disajikan pada Gambar 10.b, yang didominasi oleh tanaman gambir (Uncaria gambir) dan jagung (Zea mays). Perubahan vegetasi hutan dari pepohonan menjadi tumbuhan perdu berupa gambir juga merupakan salah satu penyebab terjadinya longsor di
26
kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunus (2002) yang mengemukankan bahwa pembudidayaan tanaman gambir umumnya dilakukan oleh petani di lereng-lereng bukit yang memiliki kemiringan agak curam (15%-25%) sampai dengan sangat curam (>45%). Sebelum ditanami dengan gambir, terlebih dahulu hutan atau semak belukar dibersihkan dengan cara menebas/menebang dan membakamya. Hal ini dapat menurunkan daya dukung lahan di sekitar lereng tersebut dan dapat berdampak erosi dan longsor di musim penghujan.
Tumbuhan gambir yang banyak tumbuh di lereng perbukitan tidak mampu menahan besarnya intensitas hujan yang kemudian membuat air terhempas ke bawah bersama dengan tumbuhan gambir. Tumbuhan gambir adalah tumbuhan perdu yang termasuk tumbuhan menjalar sebangsa kopi-kopian (keluarga rubiaceae). Batang tumbuhan ini dapat menjalar ke atas apabila berdekatan dengan tumbuhan lain. Akarnya adalah akar tunggang yang berbentuk kerucut panjang hal ini mendorong terjadinya longsor dimana akar tunggang tidak dapat mencengkram kuat tanah sehingga meningkatkan laju pergerakan tanah, beda halnya dengan akar serabut yang mampu mencengkram tanah dengan kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riyanto (2016) yang mengemukakan pemilihan vegetasi yang sesuai untuk mencegah longsor salah satunya memiliki morfologi akar dengan jenis perakaran yang dalam dan akar serabut yang banyak, dikarenakan dapat meningkatkan daya cengkram tanah oleh akar dan akan mampu mengurangi kemungkinan terjadinya pergerakan tanah. Contoh vegetasi berupa kemiri (Aleurites moluccana) dan pinus (pinus merkusii).
Risiko bencana yang ditimbulkan akibat banjir bandang banyak masyarakat yang kehilangan sawah padi, ladang, jagung dan gambir, sehingga masyarakat kehilangan mata pencarianya. Tidak hanya kehilangan mata pencarian, masyarakat juga kehilangan sanak saudara yang pada saat kejadian sedang berada di lokasi banjir bandang tersebut. Hal ini sesuai dengan arahan BPBD (2017) bahwa risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatukawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
27
Longsor yang terjadi di Kecamatan Tanah Pinem tepatnya di Desa Mangan Molih banyak terjadi di area perladangan dan disekitaran jalan. Alih fungsi hutan menjadi perladangan yang dilakukan masyarakat merupakan penyeabab utama terjadinya longsor di kawasan ini. Seperti yang disajikan pada Gambar 11.a, kawasan perbukitan yang dahulunya ditumbuhi oleh vegetasi kemiri (Aleurites moluccana) kini telah diganti oleh masyarakat menjadi perladangan jagung (Zea mays). Tidak adanya lahan untuk berladang membuat masyarakat harus membuka lahan diperbukitan terjal menjadi ladang jagung sebagai mata pencarian untuk memenui kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan peryataan Suranto (2008) bahwa penduduk terpaksa menempati lokasi yang tak layak huni sebagai tempat tinggal dan beraktivitas ekonomi. Aktivitas masyarakat tersebut menyebabkan tingkat kerawanan bencana menjadi semakin meningkat, manakala lahan dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung lahan.
Banyaknya aktivitas masyarakat yang selalu melewati jalan-jalan dilerang perbukitan membuat lereng–lereng tersebut rawan longsor. Pada Gambar 11.b, menunjukan bahwa tidak adanya pembatas lereng jalan membuat jalan menjadi sangat berbahaya jika longsor. Hal ini sesuai dengan peryataan Hardiyatmo (2012) yang mengemukakan bahwa bencana alam gerakan massa cenderung terjadi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia.
(a) (b)
Gambar 11. Tutupan Lahan di Desa Mangan Molih (a) dan Lokasi Longsor di Desa Mangan Molih (b)
Kurangnya penyuluhan di daerah rawan longsor membuat masyarakat tidak begitu memahami betapa bahayanya melakukan aktivitas budidaya kawsan di lereng perbukitan yang terjal. menurut peraturan Kepala Badan Nasinal
28
Penanggulagan Bencana (BNPB) nomor 4 tahun 2008 dinyatakan bahwa masyarakat sebagai pelaku awal penanggulanagan bencana sealigus korban bencana harus mampu dlam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang keskala yang lebih besar. Masyarakat perlu pemahaman tentang upaya mengahdapi risisko bencana longsor yang dapat mengancam keselamatan (Juhadi, 2016).
4. Matriks Hubungan Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis
Gambaran lahan kritis dan daerah sangat longsor di Kabupaten Dairi ditunjukan pada Tabel 12 yang menjelaskan adanya indikasi kuat hubungan lahan kritis dengan daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi.
Tabel 12. Tingkat Kerentanan Lahan Kritis di Daerah Rawan Longsor Tinggi dan Sangat Tinggi
No Tingkat Kerentanan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Tidak Kritis 181,45 2,14
2 Potensial kritis 369,04 4,36
3 Agak Kritis 2667,31 31,49
4 Kritis 4280,19 50,54
5 Sangat Kritis 970,68 11,46
Total 8468,67 100
Luas tingkat lahan kritis pada daerah tingkat rawan longsor tinggi dan sangat tinggi mencapai lebih dari 60% pada tingkatan kritis dan sangat kritis. Hal ini membuktikan adanya lahan kritis dapat meningkatkan tingginya tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi. Pada Gambar 12 menunjukkan sebaran lahan kritis yang terdapat di Kabupaten Dairi.
Areal longsor pada umumnya terjadi di kawasan dengan penggunaan lahan semak belukar dan tidak adanya aktivitas masyarakat, hal ini mengindikasikan bahwa lahan tersebut tidak dikelolah dengan baik. Lahan yang tidak dikelolah dengan baik maka akan meningkatkan laju kerusakan lahan yang menyebabkan lahan tersebut tergolong menjadi lahan kritis.
29
Gambar 12. Peta Lahan Kritis
(Sumber: WEBGIS Kementerian Kehutanan, 2017)
Tutupan lahan yang kurang vegetasi seperti semak belukar dapat menyebabkan longsor seperti pada kawasan di Kecamatan Silahisabungan, dimana perbukitan ditepi jalan Paropo–Silalahi sangat sedikit ditumbuhi vegetasi.
Vegetasi yang tumbuh hanya ada beberapa pohon pinus dan hamparan bukit yang ditumbuhi semak belukar dan rerumputan seperti yang disajikan pada Gambar 13.a. Hal ini dapat memicu terjadinya longsor karena tidak adanya vegetasi yang dapat mencengkram tanah jika terjadi hujan sehingga dapat menyebabkan longsor
Pada Kecamatan Tanah Pinem, banyaknya masyarakat yang beraktivitas dan memanfaatkan lahan di perbukitan sebagai lahan perladangan jagung membuat tanah disekitar perbukitan dapat berpotensi menjadi kawasan rawan longsor seperti ditunjukan pada Gambar 13.b. Pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat di awali dengan pembakaran lahan yang kemudian ditanamani dengan komoditas jagung disepanjang lereng perbukitan tersebut. Lahan yang telah panen dibiarkan begitu saja sehingga dapat meningkatkan jumlah lahan kritis di area tersebut, apabila terjadi hujan maka kawasan tersebut rawan akan longsor. Hal ini sudah terbukti dengan adanya erosi alur yang terjadi di sela-sela perladangan jagung milik masyarakat dan adanya longsor di sebagian lahan masyarakat akibat
30
alih fungsi lahan yang dilakukan. Meluasnya Lahan kritis dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain, adanya tekanan pertambahan penduduk, perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah, pengelolaan hutan yang tidak baik dan pembakaran yang tidak terkendali (Sunartomo, 2011).
(a) (b)
Gambar 13. Tutupan Lahan di Kecamatan Silahisabungan (a) dan Tutupan Lahan di Kecamatan Tanah Pinem (b)
Fenomena kejadian banjir, tanah longsor, dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan pada sub Das Riam Kanan kabupaten banjar, merupakan indikasi adanya kerusakan lahan. Kekritisan lahan pada suatu DAS merupakan suatu kondisi yang ditunjukkan oleh rendahnya kesuburan tanah karena lapisan tanah atas (top soil) telah hilang, lapisan ini sebagai media bagi micro flora dan micro fauna.
Hilangnya lapisan tanah atas sebagian besar disebabkan oleh erosi, sehingga untuk melihat kekritisan suatu lahan dapat pula ditunjukkan oleh besarnya erosi yang terjadi. Makin curam topografinya, klasifikasinya semakin kritis lahannya.
Makin besar intensitas curah hujannya klasifikasinya semakin kritis. Semakin terang vegetasi penutup lahannya (kecuali sawah-sawah dan pemukiman) semakin besar tingkatkekritisan lahannya. Semakin peka jenis tanahnya, klasifikasinya semakin besar tingkat kekritisan lahannya. Semakin padat penduduknya, klasifikasinya semakin besar tingkat kekritisan lahannya (Sismanto, 2009).
Kejadian longsor di Kabupaten Bangli, terjadi di kawasan dengan di tutupan lahan di sekitar lokasi longsor berupa pertanian musiman seperti bawang dan tomat. Akar tanaman musiman umumnya serabut, sehingga kurang maksimal dalam mencegah erosi. Akibatnya, volume tanah yang mengalami transportasi akan semakin besar dan meningkatkan beban di atas bidang gelincir. Berdasarkan
31
hasil interpretasi foto udara, kejadian longsor dipengaruhi oleh struktur jalan yang berkelok dan curam. Jalan yang berkelok menyebabkan kemungkinan aliran permukaan dari air hujan akan terpusat pada titik tertentu. Kondisi jalan yang curam menyebabkan volume air yang terkumpul cukup banyak dalam waktu yang singkat. Selanjutnya, aliran permukaan akan meresap ke dalam tanah dan mempengaruhi bidang gelincir. Jenuhnya tanah oleh air akan menyebabkan kestabilan tanah terganggu (dipadukan dengan faktor kemiringan lereng) dan menyebabkan terjadinya longsor (Wulan, 2017)
5. Implementasi Hasil Penelitian untuk Mitigasi Longsor di Kabupaten Dairi Beberapa dampak tanah longsor, dapat diasumsikan sebagai dasar yang digunakan untuk menganalisis kejadian longsor yang akan datang di masa depan.
Hal ini sesuai pernyataan (Bachri dan Rajendra, 2010), bahwa tanah longsor biasanya terjadi secara berkala terletak pada kondisi fisik tertentu di daerah tertentu seperti kondisi geologi, kemiringan dan tanah yang dikategorikan sebagai faktor yang tak terpisahkan. Tanah longsor yang terjadi di masa lalu dapat terjadi di masa depan di dengan kondisi dan area yang serupa.
Hasil ini akan membantu pembuat keputusan untuk meningkatkan informasi referensi dalam memperkirakan terjadinya tanah longsor di masa depan.
Hal ini dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem peringatan dini, respons yang cepat mekanisme, protokol evakuasi dan solusi mitigasi jangka panjang (Fu et al., 2016). Manajemen bencana tanah longsor bisa berhasil hanya ketika pengetahuan rinci diperoleh tentang frekuensi yang diharapkan, karakter dan
Hal ini dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem peringatan dini, respons yang cepat mekanisme, protokol evakuasi dan solusi mitigasi jangka panjang (Fu et al., 2016). Manajemen bencana tanah longsor bisa berhasil hanya ketika pengetahuan rinci diperoleh tentang frekuensi yang diharapkan, karakter dan