• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DAERAH RAWAN LONGSOR DAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN DAIRI PROVINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DAERAH RAWAN LONGSOR DAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN DAIRI PROVINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DAERAH RAWAN LONGSOR DAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN DAIRI

PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

DELA SUNDARI 151201058

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

HUBUNGAN ANTARA DAERAH RAWAN ONGSOR DAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN DAIRI PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

DELA SUNDARI 151201058

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universtas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Hubungan antara Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara

Nama : Dela Sundari NIM : 151201058

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas : Kehutanan

Tanggal Lulus : 19 Agustus 2019

(4)

PERNYATAAN ORISINILITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Dela Sundari NIM : 151201058

Judul Skripsi : Hubungan antara Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara

menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

(5)

ABSTRACT

DELA SUNDARI: The Correlation between Landslide Prone Area and Critical Land in Dairy Regency of North Sumatera, supervised by ACHMAD SIDDIK THOHA.

The increasing of degradation land in Indonesia more increasing with the existence og exploitation about land resources without followed by rehabilitation and conservation. This matter can increase the quantity of critical lands and potential disasters such as landslide. This research did to know the distribution of landslide prone area in Dairy Regency and to know the correlation of critical land with landslide prone area in Dair Regency. This research used the strorie index method and spatial analysis by using GIS device. The result of this research showed that the distribution of landslide prone areas is mostly at very low - low levels with a percentage of area reaching almost 80% of the area of Dairi Regency, which occupies high to very high landslide-prone levels with the largest area in three sub-districts, namely Tanah Pinem, Sumbul and Parbuluan. The area with high level landslide prone so high there was in the land with criticality level critical lands very critical. It showed that critical land had close reletion with potential landslide disaster.

Keywords: Critical Land, Landslide, Indeks Storie, Overlay

(6)

ABSTRAK

DELA SUNDARI: Hubungan antara Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara, dibimbing oleh ACHMAD SIDDIK THOHA.

Pertambahan lahan terdegradasi di Indonesia semakin meningkat dangan adanya eksploitasi terhadap sumberdaya lahan tanpa diikuti dengan tindakan rehabilitasi dan pelestarian. Hal ini dapat meningkatkan jumlah lahan kritis dan potensi bencana salah satunya longsor. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi dan mengetahui hubungan lahan kritis dengan daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi. Penelitian ini menggunakan metode indeks strorie dan analisis spasial dengan menggunakan perangkat GIS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran daerah rawan longsor sebagian besar pada tingkatan sangat rendah – rendah dengan persentase luas mencapai hampir 80% dari luas Kabupaten Dairi, yang menempati tingkat rawan longsor tinggi sampai sangat tinggi dengan luas terbesar ada di tiga kecamatan yaiti Kecamatan Tanah Pinem, Sumbul dan Parbuluan. Area dengan tingkat rawan longsor tinggi sampai sangat tinggi sebagian besar terdapat di lahan dengan tingkat kekritisan lahan kritis sampai sangat kritis. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan kritis memiliki hubungan kuat dengan potensi bencana longsor.

Kata kunci: Lahan Kritis, Longsor, Indeks Storie, Overlay

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sidomulyo, Kabupaten Asahan pada tanggal 08 Januari 1998 dari ayah Sukandar dan Ibu Jumiati. Penulis merupakan anak keempat empat bersaudara. Adapun pendidikan formal yang pernah ditempuh, pada tahun 2003 di tingkat dasar di SD Swasta Harapan Bunut Barat dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis memasuki pendidikan tingkat lanjut di SMP Negeri 2 Kisaran dan lulus pada tahun 2012. Tahun 2012 penulis memasuki pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 3 Kisaran dan lulus pada tahun 2015 dan pada tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Kehutanan USU melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2017 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Bulu, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 2018, penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Sekertaris Umum Badan Kemakmuran Musholah (BKM) Baytul Asy-Jaar Fakultas Kehutanan USU pada tahu 2017-2018 dan menjadi anggota Dana dan Usaha Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU tahun 2019.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia–Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut), Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga tidak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasi kepada

1. Kedua orang tua, Bapak Sukandar dan Ibu Jumiati, atas dukungan dari segi moral dan materi serta doa dan kasih sayang yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga dan saudara yang telah memberikan dukungan.

2. Bapak Dr. Achmad Siddik Thoha, S.Hut., M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberi saran kepada peulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Achmad Siddik Thoha, S.Hut., M.Si sebagai Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Dr. Nurdin Sulistiyono, S.Hut., M.Si selaku Sekretaris Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan Tim Divisi Mitigasi Bencana KSH, HIMAKOVI, HUT B 2015, Sahabat Liqa Raudhatul Jannah, BEMO, dan kepada sahabat saya yang telah membantu dan memberi semangat selama proses penelitian.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan memberikan manfaat serta menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2019

Dela Sundari

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINIL ... ii

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Dairi ... 4

Lahan Kritis ... 4

Tanah Longsor ... 6

Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 8

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 9

Alat dan Bahan ... 9

Prosedur Penelitian ... 10

1. Studi Literatur ... 10

2. Pengumpulan Data ... 10

3. Analisis Tingkat Rawan Longsor dan Lahan Kritis ... 10

4. Pemeriksaan Kelapangan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan Tingkat Rawan Longsor ... 14

A. Peta Kemiringan Lereng ... 14

B. Peta Tanah ... 15

C. Peta Penggunaan Lahan ... 16

D. Peta Curah Hujan ... 17

2. Analisis Tingkat Daerah Rawan Longsor ... 18

3. Kejadian – kejadian Longsor di Lokasi Studi ... 20

4. Matriks Hubungan Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis ... 27

5. Implementasi Hasil Penelitian untuk Mitigasi Longsor di Kabupaten Dairi .... 31

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(11)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Karakteristik Parameter Penentuan Rawan Longsor ... 11

2. Nilai Kisaran Harkat Kalsifikasi ... 12

3. Tally Sheet Sebaran Titik Longsor di Kabupaten Dairi ... 12

4. Nilai Hasil Harkat Parameter Kemiringan Lereng ... 15

5. Nilai Hasil Harkat Parameter Jenis Tanah ... 16

6. Nilai Hasil Harkat Parameter Tutupan Lahan ... 17

7. Nilai Hasil Harkat Parameter Curah Hujan ... 18

8. Nilai Kisaran dan Luas Tingkat Rawan Longsor ... 18

9. Data Kecamatan Tingkatan Rawan Longsor ... 20

10. Sebaran Titik Longsor di Kabupaten Dairi ... 20

11. Penggunaan Lahan pada Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Dairi ... 23

12. Tingkat Kerentanan Lahan Kritis di Daerah Rawan Longsor Tinggi dan Sangat Tinggi ... 28

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Lokasi Studi Penelitian ... 9

2. Bagan Alir Penelitian ... 13

3. Peta Kemiringan Lereng ... 13

4. Peta Jenis Tanah ... 15

5. Peta Tutupan Lahan... 16

6. Peta Curah Hujan ... 17

7. Peta Tingkatan Rawan Longsor ... 19

8. Peta Sebaran Titik Longsor ... 23

9. Kondisi Longsor di Jalan Paropo (a) dan kondisi Longsor di Jalan Lau Pondom (b) ... 24

10. Kondisi Pasca Longsor di Bongkaras (a) dan Lokasi Longsor di Bongkaras (b) ... 25

11. Tutupan Lahan di Desa Mangan Molih (a) dan Lokasi Longsor di Desa Mangan Molih (b) ... 27

12. Peta Lahan Kritis ... 29

13. Tutupan Lahan di Kecamatan Silahisabungan (a) dan Tutupan Lahan di Kecamatan Tanah Pinem ... 30

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertambahan lahan terdegradasi di Indonesia semakin meningkat.

Eksploitasi terhadap sumberdaya lahan semakin intensif, tanpa diikuti dengan tindakan rehabilitasi dan pelestarian. Hal ini berimplikasi pada semakin kecilnya jumlah tutupan hutan yang ada dan rentannya krisis lingkungan. Peningkatan luas lahan kritis merupakan kesatuan yang bersifat simultan antara kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebagai faktor produksi utama, serta penerapan kebijakan yang kurang mempertimbangkan kelestarian. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolahan lahan kritis dan tata air di suatu wilayah adalah menyeimbangkan perlindungan dan pelestarian sumberdaya tanah dan air yang terbatas dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia (Matatula, 2009).

Degradasi lahan memiliki korelasi dengan penggunaan tanah, terutama dalam kasus pertanian konvensional yang mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan praktik perladangan berpindah tanpa upaya konservasi tanah dan air. Di Indonesia, tanah terdegradasi hingga tingkat tertentu disebut Tanah Kritis. Tanah kritis didefinisikan sebagai tanah yang mengalami penurunan fungsi (degradasi) hingga tingkat yang diberikan dan diduga karena kerusakan lahan.

Fungsi yang dimaksud dalam definisi itu adalah produksi dan fungsi sistem air. Fungsi produksi berkaitan dengan fungsi lahan sebagai sumber nutrisi bagi tanaman. Sistem pengairan berhubungan dengan fungsi tanah sebagai basis akar dan menyimpan air tanah (Prasetyo et al., 2013).

Informasi tentang luas dan tingkat kekritisan lahan dapat diperoleh dengan cara memetakan lahan kritis sebagai salah satu upaya rehabilitasi hutan dan lahan.

Lahan termasuk sumber daya yang penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga dalam pengelolaannya harus digunakan secara baik sesuai kemampuannya agar tidak menurunkan produktivitas lahan. Dalam penggunaan lahan sering tidak memperhatikan kelestariannya terutama pada lahan-lahan yang mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus

(14)

2

dikhawatirkan akan terjadi lahan kritis yang mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanah (Auliana et al., 2017).

Salah satu dampak dari lahan kritis yang dibiarkan secara terus-menerus tanpa adanya perbaikan adalah tanah longsor yang dapat menyebabkan kerusakan pada suatu wilayah, baik kerusakan yang menimpa manusia ataupun kerusakan pada alam. Bencana tanah longsor dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang bisa berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial.

Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yang berada di dataran tinggi jajaran Bukit Barisan. Kabupaten Dairi banyak menawarkan keindahan panorama ekowisata bagi pecinta alam untuk berkemah di pinggiran Danau Toba. Kawasan ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan pada setiap harinya dan akan semakin bertambah apabila hari libur.

Topografi wilayahnya yang sebahagian besar lereng terjal bukit-bukit dengan kemiringan yang bervariasi menyebabkan Kabupaten Dairi termasuk wilayah yang rawan akan bencana longsor.

Longsor di penghujung tahun 2018 ini sering terjadi di beberapa daerah wilayah Kabupaten Dairi. Bencana longsor yang mengakibatkan kerugian cukup besar baik berupa harta maupun jiwa. Di Kabupaten Dairi tercatat terdapat 15 kawasan titik rawan longsor pada bulan Oktober 2018 yang disebabkan tingginya curah hujan. Umumnya longsor yang terjadi berupa jatuhnya material tanah dan batu yang menutup badan jalan atau berupa amblasnya badan jalan. Adapun wilayah yang mengalami longsor di Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Siempat, Kecamatan Sidikalang dan Kecamatan Silahisabungan (Jaya, 2018).

Oleh karena banyaknya bencana tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Dairi maka perlu dilakukannya penelitian ini untuk memberikan informasi yang aktual tentang sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi. Hal ini juga dapat membantu Pemerintah Kabupaten Dairi dalam mengantisipasi daerah- daerah yang rawan bencana longsor sehingga dapat menentukan kebijakan mitigasi longsor di Kabupaten Dairi dan dapat mengurangi kerugian dari risiko bencana longsor yang terjadi.

(15)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi

2. Mengetahui hubungan antara daerah rawan longsor dan lahan kritis di Kabupaten Dairi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengetahui sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi.

2. Sebagai acuan untuk menentukan daerah mitigasi bencana longsor di Kabupaten Dairi.

3. Memperkaya pengetahuan tentang upaya mitigasi bencana longsor di Kabupaten Dairi.

(16)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Kabupaten Dairi

Secara astronomis Kabupaten Dairi terletak di sebelah Barat Daya Provinsi Sumatera Utara, dengan ketinggian wilayah antara 400–1.700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Dairi 1.927,80 km2. Topografi wilayahnya sebagian besar lereng terjal (45,70%), lereng curam (14,43%), selebihnya bergelombang, berombak, dan sebagian kecil datar. Di sebagian besar wilayahnya didapati gunung-gunung dan bukit-bukit dengan kemiringan yang bervariasi.

Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Dairi memiliki batas-batas wilayah, yaitu: di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dan Kabupaten Tanah Karo, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Samosir.

Kabupaten Dairi adalah daerah yang beriklim tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Suhu udara rata-rata berkisar antara 15oC–

24oC dan kelembaban udara rata-rata 87,38 persen. Selama tahun 2015, jumlah curah hujan yang terjadi di Kabupaten Dairi tercatat sebanyak 2.997,50 mm, yang tertinggi adalah 346,80 mm pada bulan Oktober, dan yang terendah adalah 129,00 mm pada bulan Februari. Pola curah hujan ini dipengaruhi oleh letak geografis Kabupaten Dairi. Umumnya curah hujan semakin bertambah sesuai dengan ketinggian tempat, curah hujan terbanyak adalah pada ketinggian antara 600-900 m di atas permukaan laut. Disamping itu, jumlah hari hujan yang terjadi selama tahun 2015 adalah 205,80 hari, artinya selama tahun 2015 Dairi diguyur hujan selama 206 hari, atau rata-rata 17,15 hari hujan per bulan (BPS, 2018).

Lahan Kritis

Konversi hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Keberadaan

(17)

5

hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Apabila terjadi kerusakan pada hutan, maka komponen-komponen pendukung hutan akan terganggu pula. Tingkat gangguan ini bervariasi tergantung dari tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Kondisi ini menyebabkan perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lain seperti semak belukar, pertanian campuran, dan lahan terbuka. Terkait dengan penutupan lahan, pembukaan lahan menjadi daerah terbangun maupun jenis tutupan lahan lainnya menyebabkan lahan menjadi terbuka dan daerah resapan air menjadi semakin sedikit (Syam et al., 2012).

Intensitas pemanfaatan lahan pada kawasan perbukitan (upland area), khususnya untuk sektor pertanian mengalami peningkatan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan globalisasi perdagangan internasional, sehingga berakibat pada perilaku pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana untuk mengejar kepentingan jangka pendek. Lebih memprihatinkan dan mengkawatirkan perilaku pemanfaatan lahan yang tidak didasarkan pada pola prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya lahan, dan perilaku yang demikian itu tidak saja terjadi pada kawasan budidaya namun juga telah terjadi pada kawasan yang seharusnya dikonservasi.

Dampak ini menyebabkan terjadinya erosi dan longsor lahan, yang biasa ini berdampak kepada kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan dan lingkungan (Juhadi, 2007).

Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: (a) tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali; (b) ladang alang-alang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif; (c) areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah; (d) tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik; (e) tanah yang tingkat erosinya melebihi erosi yang diijinkan (Sunartomo, 2011).

(18)

6

Tanah Longsor

Longsor merupakan gerakan massa (mass movement) tanah, batuan atau kombinasinya pada bidang longsor. Longsor dapat terjadi karena faktor alam itu sendiri (controlling factor) dan faktor pemicu (triggering factor). Faktor alam erat kaitannya dengan kondisi topografi dan kondisi geologi seperti tekstur tanah, batuan, serta struktur batuan, sedangkan faktor pemicu antara lain curah hujan yang tinggi, gempa bumi, dan kegiatan manusia untuk membuka dan memanfaatkan lahan pada lereng (Azizi dan Muhammad, 2015).

Tanah longsor (landslide) adalah bentuk erosi pengangkutan dan pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar sekaligus. Tanah longsor terjadi jika terpenuhi 3 (tiga) keadaan yaitu; lereng cukup curam, terdapat bidang peluncuran yang kedap air, dibawah permukaan tanah dan terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Proses longsor bisa dipilah dalam tiga tingkatan, yakni massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor), massa tanah bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak dan massa tanah belum bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor) (Paimin et al., 2009).

Potensi bencana adalah keadaan, atau kondisi alam yang memungkinkan terjadinya bencana. Kondisi tanah yang labil dengan lereng yang curam adalah daerah yang rawan longsor, apabila terjadi cuaca ekstrim curah hujan yang tinggi maka kemungkinan akan longsor. Longsor dapat mendatangkan risiko bencana baik risiko sosial maupun risiko ekonomi (Arsjad dan Bambang, 2013).

Bencana tanah longsor merupakan gerakan masa batuan atau tanah pada suatu lereng karena pengaruh gaya gravitasi. Tanah longsor yang terjadi di Indonesia terjadi pada topografi terjal dengan sudut lereng sekitar 15°-45° dan pada batuan vulkanik lapuk dengan curah hujan tinggi. Faktor penyebab terjadinya tanah longsor secara alamiah. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam (Ramadhani dan Hertiari, 2017).

Ciri khas dari longsor adalah massa tanah yang bergerak secara gravitasi mengandung air yang banyak (jenuh). Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah adanya bidang luncur yang merupakan kontak litik (yaitu bidang

(19)

7

pertemuan antara lapisan atas yang relatif lolos air/poros dan lapisan bawah yang relatif kedap air). Pada bidang ini air tanah mengalir dalam bentuk resapan (seepage), zona ini banyak mengandung clay akibat pencucian dari lapisan atas.

(Arsjad dan Bambang, 2013).

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana kurangnya tutupan vegetasi. Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang ditimbulkannya akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali oleh adanya tanda-tanda akan terjadi tanah longsor. Dampak yang ditimbulkan oleh tanah longsor terhadap lingkungan adalah sebagai berikut: terjadinya kerusakan lahan, hilangnya vegetasi penutup lahan, terganggunya keseimbangan ekosistem, tanah menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis dan dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya (Damanik, 2015).

Faktor penyebab longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, struktur geologi, curah hujan dan kegempaan. Selain faktor alamiah juga disebabkan oleh aktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan penambangan (Mubekti dan Fauziah, 2008).

Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan tingginya intensitas aktifitas manusia dalam mengubah tata guna lahan akan mempertinggi tingkat resiko pada daerah rawan bencana tanah longsor. Keadaan ini terus saja berlangsung karena rendahnya tingkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah disamping lemahnya law enforcement terhadap pengawasan pembangunan dan perkembangan di kawasan rawan tanah longsor. Adanya tidak kestabilan tanah di suatu daerah dapat memberikan pengaruh yang bervariasi tergantung pada sifat besar dan jangkauan dari kawasan tanah longsor tersebut (Suranto, 2008).

Dalam Peraturan Menteri PU No.22/PRT/M/2007, pembagian wilayah terdiri dari 3 zona berpotensi longsor sesuai kondisi karakter dan kondisi fisik alaminya, yaitu: Zona berpotensi longsor tipe A, (kemiringan lereng >40%). Zona

(20)

8

berpotensi bencana longsor tipe B, (kemiringan lereng 20% s/d 40%). Zona berpotensi longsor tipe C, (kemiringan lereng 0 s/d 20%).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan data), memanipulasi data analisis, memberi uraian serta output (pengembangan produk dan percetakan). Overlay merupakan prosedur penting dalam analisis SIG.

Overlay adalah kemampuan untuk menempatkan grafis satu peta di atas grafis peta yang lain dan menampilkan hasilnya di layar komputer. Secara singkatnya, overlay menampilkan suatu peta digital yang lain beserta atribut-atributnya dan menghasilkan peta gabungan keduanya yang memiliki informasi atribut dari kedua peta tersebut (Auliana et al., 2017).

Salah satu aplikasi dari kemajuan teknologi yang terkait dengan tanah longsor adalah teknik analisis spasial overlay menggunakan sistem informasi geografis (SIG) untuk menghasilkan zona rentan dan tidak rentan. GIS adalah metode form overlay yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi bahaya gerakan tanah atau tanah longsor. Pemetaan distribusi bahaya longsor dengan menggunakan GIS digunakan untuk memberikan informasi lokasi yang memiliki risiko bahaya longsor, dan juga berfungsi untuk mencegah potensi risiko untuk meminimalkan dampak bahaya longsor, dan bahkan berfungsi sebagai perencanaan penggunaan lahan (Souisa et al., 2016).

(21)

9

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2019.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Lokasi Studi Penelitian

(Sumber: Badan Pertanahan Nasional Tahun 2010)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning System (GPS), laptop, Drone DJi Phantom 4 Pro, Perangkat lunak Software ArcGis, Microsoft Excel, Microsocft Word, Open Camera dan alat tulis. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan diperolah dari data Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Dairi, peta lahan kritis diperoleh dari Webgis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, peta kemiringan lereng diperoleh dari Digital Elevation Model (DEMNAS) Badan Informasi Geospasial, peta jenis tanah diperoleh dari Pusat Penelitian Pertanahan dan Agroklimat, peta

(22)

10

tutupan lahan yang diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sumatera Utara.

Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang diambil dalam prosedur penelitian ini berdasarkan Annisa et al., (2015), yaitu:

1. Studi Literatur

Studi literatur adalah studi kepustakaan guna mendapatkan dasar-dasar teori serta langkah-langkah penelitian yang berkaitan dengan analisis tanah longsor dan untuk mencari referensi penelitian yang sejenis.

2. Pengumpulan Data Sekunder dan Peta

Data curah hujan diperolah dari data Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Dairi, peta lahan kritis diperoleh dari Webgis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, peta kemiringan lereng diperoleh dari Digital Elevation Model (DEMNAS) Badan Informasi Geospasial, peta jenis tanah diperoleh dari Pusat Penelitian Pertanahan dan Agroklimat, peta tutupan lahan yang diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sumatera Utara.

3. Analisis Tingkat Rawan Longsor dan Lahan Kritis

3.1 Penentuan daerah rawan longsor dengan metode Indeks Storie

Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan yang diperoleh untuk analisis kelongsoran. Langkah awal yaitu pemberian skoring pada peta sesuai dengan parameter dan kriterianya.

Selanjutnya dilakukan proses tumpang susun (overlay), yaitu dengan mengoverlay beberapa peta parameter (peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta tutupan lahan).

Penentuan daerah rawan longsor menggunakan SIG dengan metode indeks storie yaitu perkalian setiap parameter-parameter. Hasil analisis itu nantinya akan menghasilkan nilai kisaran indeks storie. Selanjutnya nilai kisaran indeks storie ini dikonversi pada beberapa tingkatan rawan longsor (Arifin et al., 2006).

Analisis Indeks Storie

(23)

11

Keterangan

L = Skor Potensi Longsor

A = Skor Kemiringan Lereng (%) B = Skor Tataguna Lahan

C = Skor Jenis Tanah

D = Skor Curah Hujan (mm/tahun)

Tabel 1. Karakteristik Parameter Penentuan Rawan Longsor

No Variabel Kriteria Nilai

Harkat 1 Iklim - Curah Hujan> 3700 mm tahun

- Curah Hujan 3400 - 3700 mm tahun - Curah Hujan 3100 – 3400 mm tahun - Curah Hujan 2800 – 3100 mm tahun - Curah Hujan 2500 – 2800 mm tahun - Curah Hujan 2200 – 2500 mm tahun - Curah Hujan 1900 – 2200 mm tahun - Curah Hujan < 1900 mm tahun

8 7 6 5 4 3 2 1 2 Lereng - Terjal s/d sangat terjal, kemiringan > 75%

- Sangat curam s/d terjal, kemiringan 46 - 75%

- Curah s/d sangat curam, kemiringan 31 – 45%

- Agak curam, berbukit, kemiringan 16 – 30%

- Landai, berombak, bergelombang kemiringan 4 – 15%

- Datar, kemiringan 0 – 3%

6 5 4 3 2 1 3 Penggunaan

Lahan atau Vegetasi

- Tanpa vegetasi

- Rumput, semak, vegetasi sawah (padi, jagung) - Kebun campur, tanaman perkarangan

- Perkebunan (pohon-pohonan) - Hutan lebat

5 4 3 2 1 4 Tanah - Oxisol

- Ultisol - Alfisol - Mollisol - Enseptisol - Entisol - Histosol

7 6 5 4 3 2 1 Sumber: (Arifin et al., 2006)

Setelah penentuan daerah rawan longsor menggunakan sistem informasi geografis dengan metode Indeks Storie maka diperoleh nilai/skor potensi longsor.

Langkah selanjutnya nilai kisaran dikonversi pada beberapa tingkatan sesuai dengan kebutuhan, tingkat rawan longsor diklasifikasikan atas 5 kelas atau tingkatan, yaitu : Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, dan Sangat Rendah.

(24)

12

Tabel 2. Nilai Kisaran Harkat Klasifikasi

No Klasifikasi Klasifikasi Nilai

1. Sangat Tinggi >1,5

2. Tinggi 1,2 – 1,5

3. Sedang 0,8 – 1,1

4. Rendah 0,4 – 0,7

5. Sangat Rendah 0,001 – 0,3

Sumber: (Arifin et al.., 2006)

3.2 Penentuan hubungan daerah rawan longsor dan lahan kritis

Penentuan hubungan lahan kritis dengan daerah rawan longsor dilakukan proses tumpang susun (overlay), yaitu dengan mengoverlay peta daerah rawan longsor tingkat rawan tinggi-sangat tinggi dengan peta lahan kritis, sehingga diperoleh peta hubungan lahan kritis pada daerah rawan longsor rawan longsor tinggi-sangat tinggi. Hasil dari peta hubungan lahan kritis dan daerah rawan longsor kemudian dianalisis dan disajikan dalam tabel luasan lahan kritis di daerah rawan longsor tinggi dan sangat tinggi. Persentase luasan kekritisan lahan menentukan kuat tidaknya hubungan lahan kritis dengan daerah rawan longsor.

4. Pemeriksaan Kelapangan

Pemeriksaan lapangan pada lokasi penelitian di Kabupaten Dairi. Kejadian longsor yang terjadi di lokasi studi disesuaikan dengan lokasi-lokasi kejadian pada peta hasil analisis, berdasarkan nilai kisaran klasifikasi. Pemilihan lokasi penelitian dengan klasifikasi tingkat rawan longsor tinggi dan sangat tinggi.

Dilakukan pengambilan titik koordinat GPS di lokasi-lokasi kejadian dengan memperhatikan kesesuaian dengan peta, hasil pengambilan titik disajikan dalam tally sheet sebagai berikut:

Tabel 3. Tally Sheet Sebaran Titik Longsor di Kabupaten Dairi No. Koordinat Tutupan

Lahan

Aktivitas

Manusia Desa Keterangan

Di Peta Di Lapangan 1.

2.

3.

(25)

13

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian

Peta Curah Hujan

Pengharkatan/Skoring

Tumpang Tindih/Overlay Peta

Analisis Indeks Storie:

Analisis Tingkatan Rawan Longsor

Peta Rawan Longsor Peta

Lereng

Peta Tanah

Peta tataguna

lahan

Tumpang Tindih/Overlay Peta

Analisis Hubungan Lahan Kritis dengan Rawan Longsor

Pembahasan dan Kesimpulan

Selesai

Peta lahan kritis

Peta Hubungan Lahan Kritis dengan Rawan Longsor

Mulai

(26)

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penentuan Tingkat Rawan Longsor

Parameter yang digunakan dalam menentuan tingkat rawan longsor adalah: kemiringan lereng, jenis tanah, tutupan lahan dan curah hujan.

A. Peta Kemiringan Lereng

Sebaran kemiringan lereng dengan kriteria agak curam-sangat curam tersebar di wilayah perbatasan Kabupaten Dairi dengan Kabupaten Phakpak Barat, Kabupaten Aceh Tenggara dan kawasan pinggiran Danau Toba seperti pada Gambar 3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bachri dan Rajendra (2010) bahwa kerentanan longsor sedang ditandai dengan kelerengan cukup curam, sedangkan daerah dengan kerentanan longsor tinggi ditandai dengan kemiringan lereng curam (> 30%).

Gambar 3 Peta Kemiringan Lereng,

(Sumber : DEMNAS Badan Informasi Geopsasial, 2019)

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan lereng di Kabupaten Dairi didominasi dengan tingkat kemiringan lereng datar-landai dengan persentase 59,83%. Hal ini menunjukkan semakin datar suatu lereng maka tingkat rawan longsor semakin rendah.

(27)

15

Tabel 4. Nilai Hasil Harkat Parameter Kemiringan Lereng

No. Kemiringan Lereng Kriteria Luas (Ha) Persentase (%)

1. kemiringan 0 - 8% datar 72657,08 35,66

2. kemiringan 8 - 16% landai 49237,53 24,17

3. kemiringan 16 - 25% agak curam 3754,85 18,43

4. kemiringan 25 – 36% curam 30273,20 14,86

5. kemiringan 36 – 73% sangat curam 14017,09 6,88

Total 203730,35 100

B. Peta Jenis Tanah

Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa jenis tanah yang mendominasi di Kabupaten Dairi adalah jenis tanah Inceptisol dan Oxisol, dengan persentase 39,76 % dan 25,08% yang ditunjukkan pada Tabel 5. Jenis tanah oxisol merupaan tanah yang memiliki sifat unsur hara yang rendah, kesuburan sangat rendah, kandungan Al dapat dipertukarkan dan oksidasi besi (Simbolon et al., 2017).

Oxisol merupakan tanah yang mengandung liat yang tinggi menyebabkan mudah terjadi pencucian basa-basa sehingga Al dan Fe tertinggal dan dominan di dalam tanah (Herviyanti et al., 2012).

Gambar 4. Peta Jenis Tanah

(Sumber : Peta Landsystem Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat)

Tanah liat produk pelapukan massa batuan, berkontribusi terhadap terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi tidak hanya berkontribusi pada

(28)

16

pelapukan massa batuan, tetapi juga meningkatkan air dalam tanah liat yang mengakibatkan ke pengurangan stabilitas lereng alami (Yalcin, 2007).

Tabel 5. Hasil Nilai Harkat Parameter Jenis Tanah

No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase

1. Inceptisol 80899,40 39,76

2. Entisol 37846,05 18,59

3. Ultisol 33735,20 16,57

4. Oxisol 51021,79 25,08

Total 203502,44 100

C. Peta Penggunaan Lahan

Pengharkatan pada penggunaan lahan berdasarkan tingkat lebat jarangnya suatu vegetasi dan tingkat perakaran. Semakin jarang vegetasi dan semakin lemah perakaran maka tingkat longsor akan semakin tinggi. Daerah-daerah yang memiliki tutupan lahan dengan vegetasi yang baik tidak memiliki bukti aktivitas tanah longsor atau tidak ada tanda-tanda keruntuhan (Fu et al., 2016).

Gambar 5. Peta Tutupan Lahan

(Sumber: BPKH Sumatera Utara, 2017)

Pada Gambar 5 penggunaan tutupan lahan di Kabupaten Dairi masih didominasi dengan tutupan lahan rumput, semak, vegetasi sawah dan lahan pertanian. Persentase penggunaan tutupan lahan rumput, semak, vegetasi sawah dan lahan pertanian mencapai 68% yang ditunjukkan pada Tabel 6. Hal ini

(29)

17

dikarenakan banyaknya hutan yang dibuka menjadi sawah dan lahan terlantar seperti semak serta rerumputan sehingga dapat menunjukan tingginya tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi.

Tabel 6. Hasil Nilai Harkat Parameter Tutupan Lahan

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase

(%)

1. Hutan 50646,15 25,84

2. Perkebunan 7129,43 3,64

3. Rumput, semak, vegetasi sawah, pertanian 134097,44 68,42

4. Tanpa vegetasi 4121,47 2,10

Total 195994,49 100

D. Peta Curah Hujan

Pengharkatan pada curah hujan didasarkan oleh besar kecilnya rata-rata curah hujan tahunan pada tahun 2018. Rata-rata curah hujan yang relatif besar memungkinkan dapat mengakibatkan tingkat rawan longsor semakin tinggi.

Gambar 6. Peta Curah Hujan

(Sumber : BPS Kabupaten Dairi, 2018)

Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa curah hujan di Kabupaten Dairi berkisar 2517 mm/tahun, hal ini menunjukan nilai yang besar dalam pengharkatan curah hujan. Data curah hujan yang diperoleh dari BPS Kabupaten Dairi hanya satu data seperti Gambar 6, hal ini dikarenakan keterbatasan informasi data curah hujan yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Dairi.

(30)

18

Tabel 7. Nilai Hasil Harkat Parameter Curah Hujan

No. Curah Hujan Luas (Ha) Persentase (%)

1. 2517 mm/tahun 203735,31 100

Total 203735,31 100

2. Analisis Tingkat Daerah Rawan Longsor

Hasil analisis indeks storie pada Tabel 8 diperoleh nilai kisaran tingkatan rawan longsor yang diklasifikasikan atas 5 kelas atau tingkatan, yaitu : Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, dan Sangat Rendah. Dengan persentase terbesar yaitu pada tingkat rawan sangat rendah 45,68% dan rendah 33,24%.

Tabel 8. Nilai Kisaran dan Luas Tingkat Rawan Longsor

No. Tingkat rawan Kisaran Nilai Luas (Ha) Persentase (%)

1. Sangat Tinggi 0,36 – 0,70 867,23 0,44

2. Tinggi 0,21 – 0,36 7632,33 3,89

3. Sedang 0,12 – 0,21 32774,47 16,73

4. Rendah 0,07 – 0,12 65115,19 33,24

5. Sangat Rendah 0,01– 0,07 89494,88 45,68

Total 195884,10 100

Di Taiwan, tanah longsor adalah bencana yang sering terjadi terutama selama peristiwa ekstrem seperti gempa bumi dan topan yang mengakibatkan lereng menjadi tidak stabil. Siklus degradasi lahan dan ketidakpastian yang tinggi dengan karakteristik tanah longsor yang berulang telah menyebabkan terbentuknya tanah longsor dengan jumlah besar. Selanjutnya, longsor proses adalah mekanisme rumit yang semakin rumit oleh berbagai pemicu faktor-faktor dikombinasikan dengan faktor penyebab tergantung pada lokal karakteristik wilayah tertentu (Fu et al., 2016).

(31)

Gambar 7. Peta Tingkatan Rawan Longsor

(32)
(33)

20

Pada Gambar 7 menunjukkan sebaran daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi. Hasil analisis peta dapat diketahui bahwa sebaran longsor dengan tingkat tinggi banyak tersebar di daerah berbagai daerah. Hal di pengaruhi oleh parameter curah hujan, tutupan lahan, kemiringan lereng dan jenis tanah. Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa daerah yang menempati tingkat rawan longsor tinggi sampai sangat tinggi dengan luas terbesar ada di tiga kecamatan yaiti Kecamatan Tanah Pinem, Sumbul dan Parbuluan.

Tabel 9. Data Kecamatan Tingkatan Rawan Longsor

No. Tingkat Kerentanan Kecamatan Luasan

(Ha)

Persentase (%)

1. Tinggi - Sangat Tinggi Berampu 252,44 0,13

2. Tinggi - Sangat Tinggi Gunung Sitember 348,18 0,18 3. Tinggi - Sangat Tinggi Lae Parira 357,19 0,18 4. Tinggi - Sangat Tinggi Parbuluan 854,76 0,44 5. Tinggi - Sangat Tinggi Pegagan Hilir 447,19 0,23 6. Tinggi - Sangat Tinggi Sidikalang 119,72 0,06 7. Tinggi - Sangat Tinggi Siempat Nempu 75,30 0,04 8. Tinggi - Sangat Tinggi Siempat Nempu Hilir 338,34 0,17 9 Tinggi - Sangat Tinggi Siempat Nempu Hulu 123,41 0,06 10. Tinggi - Sangat Tinggi Silahisabungan 532,46 0,27 11. Tinggi - Sangat Tinggi Silimapungga-pungga 423,67 0,22

12. Tinggi - Sangat Tinggi Sitinjo 89,85 0,04

13. Tinggi - Sangat Tinggi Sumbul 1801,82 0,92 14. Tinggi - Sangat Tinggi Tanah Pinem 2364,44 1,20 15. Tinggi - Sangat Tinggi Tiga Lingga 370,79 0,19

Total 8499,56 4,34

3. Kejadian-kejadian Longsor di Lokasi Studi

Hasil informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dairi dan KPH (Kesatuan Pengolahan Hutan) XIV wilayah Dairi bahwa kawasan rawan longsor di Kabupaten Dairi terdapat di 3 lokasi yaitu Kecamatan Silahisabungan, Kecamatan Silimapungga-pungga dan Kecamatan Tanah Pinem. Kemudian dilakukan pengecekan lapangan ke 3 kawasan yang ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran Titik Longsor di Kabupaten Dairi

No Koordinat Tutupan Lahan

Aktivitas

Manusia Desa

Keterangan Di Peta Di

Lapangan 1 98,52572222 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Silalahi III Tinggi Longsor 2,817138889

2 98,52775 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Silalahi III Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,823638889

3 98,52675 Semak dan Tidak ada Silalahi III Tinggi Longsor

(34)

21

2,825361111 Pohon Pinus 4 98,52608333 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Silalahi III Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,841666667

5 98,52230556 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Paropo I Tinggi Longsor 2,869472222

6 98,52286111 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Paropo I Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,8735

7 98,52069444 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Paropo I Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,874861111

8 98,51941667 Semak dan

Pohon Pinus Tidak ada Paropo I Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,875833333

9 98,54186111

Semak Belukar Tidak ada Silalahi I Sangat Tinggi

Rawan Longsor 2,785888889

10 98,507

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Tinggi Longsor 2,803472222

11 98,50477778

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Tinggi Longsor 2,804444444

12 98,50447222

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Tinggi Longsor 2,804972222

13 98,504

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Sedang Longsor 2,804222222

14 98,50341667

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Sedang Longsor 2,803916667

15 98,50133333

Pohon Pinus Menyadap Pinus

Jalan Lau

Pondom Tinggi Longsor 2,799055556

16 98,17247222

Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,816805556

17 98,12963889

Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,820111111

18 98,12527778

Rumput Tidak Ada Bongkaras Sedang Longsor 2,812861111

19 98,12758333

Rumput Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,825555556

20 98,12588889

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,811277778

21 98,12572222

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,810444444

22 98,1255

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,809111111

23 98,12694444

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,806194444

24 98,12825

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Tinggi Longsor 2,805444444

25 98,12991667 Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat Longsor

(35)

22

2,804555556 Tinggi

26 98,12966667

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat

Tinggi Longsor 2,804361111

27 98,12972222

Semak Belukar Tidak Ada Bongkaras Sangat

Tinggi Longsor 2,804694444

28 98,126806

Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat

Tinggi Longsor 2,804137

29 98,125629

Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat

Tinggi Longsor 2,804645

30 98,130619

Ladang Gambir Berladang Bongkaras Sangat

Tinggi Longsor 2,804424

31 98,17819444

Semak Belukar Tambang Batu

Jalan Tiga

Binanga Sedang Longsor 3,080305556

32 98,14352778

Semak Belukar Tidak Ada Jalan Tiga

Binanga Sedang Longsor 3,050694444

33 98,13811111

Semak Belukar Tidak Ada Mangan Molih Sedang Longsor 3,058833333

34 98,07508333

Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,059916667

35 98,07127778

Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,056722222

36 98,07113889

Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,055583333

37 98,06355556

Jagung Berladang Mangan Molih Sedang Longsor 3,051333333

Bencana tanah longsor di Kabupaten Dairi terjadi sebanyak 86 kali, yaitu pada tahun 2012-2016. Kejadian tanah longsor umumnya terjadi di musim hujan, dan umumnya terjadi tanah longsor di kawasan bertebing dan/ perbukitan terjal.

Potensi tanah longsor akan meningkat jika pepohonan di atas bukit-bukit ditebangi dan jika ada pembangunan di kawasan dengan kemiringan lereng terjal (BPBD Dairi, 2017). Sebaran titik hasil ground check di Kabupten Dairi ditunjukkan pada Gambar 8.

(36)

23

Gambar 8. Peta Sebaran Titik Longsor

Daerah rawan longsor tinggi–sangat tinggi dominan terjadi di area dengan tipe penggunaan lahan rumput, semak, sawah, lahan pertanian dan tanpa vetegasi.

Pada tingkat sangat rendah-rendah dominan terjadi di lahan rumput, semak, vegetasi sawah, lahan pertanian dan hutan. Hal in menunjukkan bahwa keberadaan hutan dapat mengurangi tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi, dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Penggunaan Lahan pada Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Dairi Penggunaan Lahan

Sangat Rendah

(Ha)

Rendah (Ha)

Sedang (Ha)

Tinggi (Ha)

Sangat Tinggi (Ha)

Total (Ha) Hutan 36342,65 16564,06 1695,48 489,67 55091,86

Perkebunan 4618,39 2786,44 90,3 4,51 7499,64

Rumput, semak, vegetasi sawah, lahan pertanian

51868,41 45918,87 29546,01 6576,82 824,54 134734,65 Tanpa vegetasi 349,97 1536,83 1966,26 869,58 123,67 4846,31

Total 66806,2 93179,42 33298,05 7940,58 948,21 202172,46 Kecamatan Silahisabungan merupakan daerah yang memiliki tingkat longsor yang sangat tinggi, yang ditemukan terdapat di beberapa titik longsor, yaitu desa Paropo I, Paropo II dan Jalan Lau Pondom. Berdasarkan penuturan dari salah satu warga Silahisabungan Bapak Harun bahwa Kecamatan Silahisabungan

(37)

24

merupakan daerah yang rawan longsor pada saat curah hujan tinggi atau pada curah hujan sedang namun dengan intensitas waktu yang lama. Kebanyakan longsor di Kecamatan Silahisabungan terjadi dipinggiran jalan seperti yang disajikan pada Gambar 9.a dan 9.b. Kondisi lereng yang terjal dan termasuk kedalam lahan kritis dimana lahan tersebut tidak bervegetasi, akan tetapi longsor yang terjadi tidak sampai menimbulkan adanya korban, hanya saja merusak sarana berupa jalan sehingga dapat mengganggu aktivitas masyarakat di Kecamatan Silahisabungan. Hal ini sesuai dengan peryataan Hardiyatmo (2012) yang mengemukakan bahwa curah hujan yang lebat atau hujan tidak begitu lebat namun dengan waktu yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya longsor, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tidak hanya bersifat langsung yaitu merusak fasilitas umum, akan tetapi juga bersifat tidak langsung seperti melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana.

(a) (b)

Gambar 9. Kondisi Longsor di Jalan Paropo (a) dan Kondisi Lonsor di Jalan Lau Pondom (b)

Pada Kecamatan Silimapungga-pungga tepatnya di Desa Bongkaras, dimana desa tersebut mengalami banjir bandang yang terjadi pada 18 Desember 2018. Seperti yang disajikan pada Gambar 10.a, banjir bandang yang terjadi membawa lumpur dan batang-batang kayu pohon. Banjir bandang teridentifikasi bahwa proses banjir didahului oleh tanah longsor yang menutup palung sungai sehingga membentuk dam penampung air. Sewaktu hujan turun dan dam yang terbentuk tidak muat menampung air limpasan mengakibatkan dam jebol dan dalam waktu singkat menghasilkan banjir bandang. Proses demikian sangat

(38)

25

berbahaya pada daerah yang sebelumnya tidak diperkirakan bakal kebanjiran, apalagi untuk daerah yang rawan kebanjiran (Paimin et al., 2009).

Longsor pada Desa Bongkaras yang diperkirakan penyebab utamanya adalah kondisi lereng yang terjal dan tingkat curah hujan yang tinggi. Tingkat curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan kejenuhan air tanah sehingga tanah tidak bisa menyimpan air lagi. Hal ini dapat mengakibatkan lemahnya kestabilan kuat geser tanah sehingga menyebabkan longsor. Hal ini sesuai dengan Suranto, (2008) yang mengemukankan bahwa hujan deras akan meningkatkan prepitasi dan kejenuhan tanah serta naiknya muka air tanah. Jika hal ini terjadi pada lereng dengan material penyusun tanah yang lemah maka akan menyebabkaan berkurangnya kuat geser tanah dan menambah berat massa tanah.

Hujan lebat dengan volume tinggi akan menjadi penyebab tanah longsor di daerah lereng curam. Semakin curam kemiringan lereng di suatu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah sudut di mana material ini akan tetap stabil. Sehingga jika curah hujan tinggi, mengguyur dalam tempo lama, dengan drainase yang kurang baik menyebabkan tanah menjadi jenuh dengan air, dan jika sudut lereng curam maka sangat rentan terjadi longsor. Pola aliran permukaan yang mengalir hanya lewat satu tempat sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsor (Atmojo, 2008).

(a) (b)

Gambar 10. Kondisi Pasca Bencana Longsor di Bongkaras (a) dan Lokasi Longsor di Bongkaras (b)

Banjir bandang terjadi di kawasan yang bervegetasi lebat seperti disajikan pada Gambar 10.b, yang didominasi oleh tanaman gambir (Uncaria gambir) dan jagung (Zea mays). Perubahan vegetasi hutan dari pepohonan menjadi tumbuhan perdu berupa gambir juga merupakan salah satu penyebab terjadinya longsor di

(39)

26

kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunus (2002) yang mengemukankan bahwa pembudidayaan tanaman gambir umumnya dilakukan oleh petani di lereng-lereng bukit yang memiliki kemiringan agak curam (15%- 25%) sampai dengan sangat curam (>45%). Sebelum ditanami dengan gambir, terlebih dahulu hutan atau semak belukar dibersihkan dengan cara menebas/menebang dan membakamya. Hal ini dapat menurunkan daya dukung lahan di sekitar lereng tersebut dan dapat berdampak erosi dan longsor di musim penghujan.

Tumbuhan gambir yang banyak tumbuh di lereng perbukitan tidak mampu menahan besarnya intensitas hujan yang kemudian membuat air terhempas ke bawah bersama dengan tumbuhan gambir. Tumbuhan gambir adalah tumbuhan perdu yang termasuk tumbuhan menjalar sebangsa kopi-kopian (keluarga rubiaceae). Batang tumbuhan ini dapat menjalar ke atas apabila berdekatan dengan tumbuhan lain. Akarnya adalah akar tunggang yang berbentuk kerucut panjang hal ini mendorong terjadinya longsor dimana akar tunggang tidak dapat mencengkram kuat tanah sehingga meningkatkan laju pergerakan tanah, beda halnya dengan akar serabut yang mampu mencengkram tanah dengan kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riyanto (2016) yang mengemukakan pemilihan vegetasi yang sesuai untuk mencegah longsor salah satunya memiliki morfologi akar dengan jenis perakaran yang dalam dan akar serabut yang banyak, dikarenakan dapat meningkatkan daya cengkram tanah oleh akar dan akan mampu mengurangi kemungkinan terjadinya pergerakan tanah. Contoh vegetasi berupa kemiri (Aleurites moluccana) dan pinus (pinus merkusii).

Risiko bencana yang ditimbulkan akibat banjir bandang banyak masyarakat yang kehilangan sawah padi, ladang, jagung dan gambir, sehingga masyarakat kehilangan mata pencarianya. Tidak hanya kehilangan mata pencarian, masyarakat juga kehilangan sanak saudara yang pada saat kejadian sedang berada di lokasi banjir bandang tersebut. Hal ini sesuai dengan arahan BPBD (2017) bahwa risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatukawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

(40)

27

Longsor yang terjadi di Kecamatan Tanah Pinem tepatnya di Desa Mangan Molih banyak terjadi di area perladangan dan disekitaran jalan. Alih fungsi hutan menjadi perladangan yang dilakukan masyarakat merupakan penyeabab utama terjadinya longsor di kawasan ini. Seperti yang disajikan pada Gambar 11.a, kawasan perbukitan yang dahulunya ditumbuhi oleh vegetasi kemiri (Aleurites moluccana) kini telah diganti oleh masyarakat menjadi perladangan jagung (Zea mays). Tidak adanya lahan untuk berladang membuat masyarakat harus membuka lahan diperbukitan terjal menjadi ladang jagung sebagai mata pencarian untuk memenui kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan peryataan Suranto (2008) bahwa penduduk terpaksa menempati lokasi yang tak layak huni sebagai tempat tinggal dan beraktivitas ekonomi. Aktivitas masyarakat tersebut menyebabkan tingkat kerawanan bencana menjadi semakin meningkat, manakala lahan dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung lahan.

Banyaknya aktivitas masyarakat yang selalu melewati jalan-jalan dilerang perbukitan membuat lereng–lereng tersebut rawan longsor. Pada Gambar 11.b, menunjukan bahwa tidak adanya pembatas lereng jalan membuat jalan menjadi sangat berbahaya jika longsor. Hal ini sesuai dengan peryataan Hardiyatmo (2012) yang mengemukakan bahwa bencana alam gerakan massa cenderung terjadi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia.

(a) (b)

Gambar 11. Tutupan Lahan di Desa Mangan Molih (a) dan Lokasi Longsor di Desa Mangan Molih (b)

Kurangnya penyuluhan di daerah rawan longsor membuat masyarakat tidak begitu memahami betapa bahayanya melakukan aktivitas budidaya kawsan di lereng perbukitan yang terjal. menurut peraturan Kepala Badan Nasinal

(41)

28

Penanggulagan Bencana (BNPB) nomor 4 tahun 2008 dinyatakan bahwa masyarakat sebagai pelaku awal penanggulanagan bencana sealigus korban bencana harus mampu dlam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang keskala yang lebih besar. Masyarakat perlu pemahaman tentang upaya mengahdapi risisko bencana longsor yang dapat mengancam keselamatan (Juhadi, 2016).

4. Matriks Hubungan Daerah Rawan Longsor dan Lahan Kritis

Gambaran lahan kritis dan daerah sangat longsor di Kabupaten Dairi ditunjukan pada Tabel 12 yang menjelaskan adanya indikasi kuat hubungan lahan kritis dengan daerah rawan longsor di Kabupaten Dairi.

Tabel 12. Tingkat Kerentanan Lahan Kritis di Daerah Rawan Longsor Tinggi dan Sangat Tinggi

No Tingkat Kerentanan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Tidak Kritis 181,45 2,14

2 Potensial kritis 369,04 4,36

3 Agak Kritis 2667,31 31,49

4 Kritis 4280,19 50,54

5 Sangat Kritis 970,68 11,46

Total 8468,67 100

Luas tingkat lahan kritis pada daerah tingkat rawan longsor tinggi dan sangat tinggi mencapai lebih dari 60% pada tingkatan kritis dan sangat kritis. Hal ini membuktikan adanya lahan kritis dapat meningkatkan tingginya tingkat rawan longsor di Kabupaten Dairi. Pada Gambar 12 menunjukkan sebaran lahan kritis yang terdapat di Kabupaten Dairi.

Areal longsor pada umumnya terjadi di kawasan dengan penggunaan lahan semak belukar dan tidak adanya aktivitas masyarakat, hal ini mengindikasikan bahwa lahan tersebut tidak dikelolah dengan baik. Lahan yang tidak dikelolah dengan baik maka akan meningkatkan laju kerusakan lahan yang menyebabkan lahan tersebut tergolong menjadi lahan kritis.

(42)

29

Gambar 12. Peta Lahan Kritis

(Sumber: WEBGIS Kementerian Kehutanan, 2017)

Tutupan lahan yang kurang vegetasi seperti semak belukar dapat menyebabkan longsor seperti pada kawasan di Kecamatan Silahisabungan, dimana perbukitan ditepi jalan Paropo–Silalahi sangat sedikit ditumbuhi vegetasi.

Vegetasi yang tumbuh hanya ada beberapa pohon pinus dan hamparan bukit yang ditumbuhi semak belukar dan rerumputan seperti yang disajikan pada Gambar 13.a. Hal ini dapat memicu terjadinya longsor karena tidak adanya vegetasi yang dapat mencengkram tanah jika terjadi hujan sehingga dapat menyebabkan longsor

Pada Kecamatan Tanah Pinem, banyaknya masyarakat yang beraktivitas dan memanfaatkan lahan di perbukitan sebagai lahan perladangan jagung membuat tanah disekitar perbukitan dapat berpotensi menjadi kawasan rawan longsor seperti ditunjukan pada Gambar 13.b. Pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat di awali dengan pembakaran lahan yang kemudian ditanamani dengan komoditas jagung disepanjang lereng perbukitan tersebut. Lahan yang telah panen dibiarkan begitu saja sehingga dapat meningkatkan jumlah lahan kritis di area tersebut, apabila terjadi hujan maka kawasan tersebut rawan akan longsor. Hal ini sudah terbukti dengan adanya erosi alur yang terjadi di sela-sela perladangan jagung milik masyarakat dan adanya longsor di sebagian lahan masyarakat akibat

Gambar

Gambar 1. Lokasi Studi Penelitian
Tabel 1. Karakteristik Parameter Penentuan Rawan Longsor
Tabel 2. Nilai Kisaran Harkat Klasifikasi
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian daun sirsak dengan dosis 1mg/hari per oral dapat meningkatkan ekspresi caspase 3 yang merupakan penanda untuk aktivitas apoptosis pada

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbedaan morfologi lapisan, permukaan dan kekerasan yang terbentuk pada baja perkakas H13 Modifikasi setelah

Aplikasi ini dapat membantu Kopimade dalam mengelola data persediaan barang, data permintaan antar outlet dan data pemesanan ke supplier. Aplikasi ini

Pada gambar 8 merupakan hasil perbandingan Teknik SSLM dengan Teknik yang lain, dari gambar tersebut terlihat bahwa metode clipping dengan cclipping ratio 8 dB merupakan

Hasil dari usulan, saran dan diskusi dari seluruh peserta workshop dapat disimpulkan sebagaimana lampiran 1 yang selanjutnya dimasukkan ke dalam “Zero Draft” PANDUAN PENGELOLAAN

 Rule of law   merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologi yang khas dan akar budaya yang khas pula. Rule of law    juga merupakan legalisme yaitu suatu

Selain itu, software LeakSim dapat menyajikan kesimpulan besarnya volume fluida yang mengalir pada posisi bocor untuk berbagai diameter kebocoran dan panjang bocor (panjang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran perempuan dan laki-laki dalam kegiatan penyadapan pinus, mengetahui peran perempuan dan laki-laki dalam