Gambaran Umum
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) berada di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang UPTD Balai Perlindungan merupakan salah satu pelaksana UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makan Pahlawan yang menangani, memberikan pelayanan, dan membina lanjut usia. Panti sosial ini memberikan pelayanan kepada para lansia melalui beberapa tahapan yaitu mulai dari tahapan pendekatan, yang terdiri dari tahapan pendekatan awal, tahapan pengungkapan, dan pemahaman masalah. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan penyusunan rencana dan program, tahapan pelaksaan pelayanan sosial, tahapan evaluasi dan diakhiri dengan tahapan terminasi atau berupa tahapan rujukan.
Keseluruhan proses tahapan tersebut merupakan salah satu upaya pelayanan untuk mewujudkan terbina dan berkembangannya tata kehidupan dan penghidupan para lansia di RPSTW Bogor. Proses tersebut juga berintegrasi dengan tugas pembangunan di bidang Kesejahteraan Sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dapat memperbaiki, membina, dan mengembangkan kelayakan taraf hidup terutama bagi yang memiliki hambatan fisik, psikologis, dan sosial yaitu lansia.
Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) pada awalnya merupakan tempat pemotongan hewan pada masa penjajahan Belanda hingga tahun 1945. Pada tahun 1947, rumah bekas pemotongan hewan tersebut kemudian dijadikan sebagai pos kesehatan guna memberikan pelayanan kesehatan bagi warga sekitar yang pada saat itu banyak yang menjadi korban perang. Pada tahun 1949, di rumah ini banyak ditempati oleh penyandang masalah sosial seperti lansia terlantar, orang miskin, penyandang cacat, gelandangan, dan anak yatim piatu, kemudian para penghuni tersebut menamakan diri sebagai ASIB (Anak Sosial Indonesia Bogor), sehingga hingga sekarang banyak yang menyebut RPSTW Bogor dengan rumah ASIB.
Alamat RPSTW Bogor ini bertempat di Jalan Raya R. Aria Suriawinata Kota Bogor, Gang Sukma Raharja, RT 04/05 Kelurahan Paledang kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Visi dari Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor adalah kesejahteraan sosial lanjut usia yang kondusif tahun 2013. Misi dari panti tersebut adalah meningkatkan mutu pelayanan sosial lanjut usia, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, meningkatkan sistem bantuan perlindungan bagi lanjut usia, meningkatkan partisipasi aktif dan ketisetiakawanan sosial masyarakat, serta menciptakan situasi yang kondusif. Panti ini memiliki tugas pokok dengan melaksanakan operasional Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha dibidang perlindungan dan pelayanan kesejahteraan lanjut usia di wilayah I Bogor. Fungsinya dalah sebagai pengelola dibidang pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial lanjut usia serta pengelolaan ketatausahaan panti.
Sasaran pelayanan RPSTW Bogor merupakan lanjut usia yang berusia 50 tahun keatas yang terdiri dari lanjut usia yang terlantar karena tidak diketahui keluarganya maupun bagi lansia yang tidak diurus oleh keluarganya. Selanjutnya,
13
lansia yang karena suatu sebab tertentu mereka tidak mau hidup di lingkungan keluarganya dan ingin dilayani oleh panti. Keluarga terutama bagi yang tidak dapat merawat orang tua yang telah lanjut usia dan terpaksa harus dititipkan di panti. Selain syarat tersebut, lansia yang dapat masuk di panti harus memiliki surat keterangan sehat, surat keterangan tidak mampu, dan kartu BPJS yang berlaku. Sumber dana penyelenggaraan panti berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang ada dalam dokumen pelaksanaan anggaran pada Dinas Sosial Jawa Barat, yayasan Dharmais, dan bantuan yang tidak mengikat.
Karakteristik Contoh
Contoh dalam penelitian ini merupakan seluruh lansia yang memenuhi kriteria inklusi. Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar lansia (62.5%) tergolong dalam kategori elderly yaitu lansia yang berusia 60-74 tahun dan hanya 3.1% responden yang berkategori very old yaitu usia diatas 90 tahun. Usia terendah contoh yang diteliti 55 tahun dan usia tertinggi contoh yaitu 95 tahun. Rata-rata usia contoh yaitu 70.8 tahun dengan standar deviasi sebesar 9.3.
Tingkat pendidikan merupakan jenjang atau strata pendidikan formal yang ditempuh oleh contoh. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin memudahkan untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari, khususunya dalam bidang kesehatan dan gizi (Atmarita dan Fallah 2004). Sebagian besar contoh tidak mengenyam bangku pendidikan yaitu sebesar 40.6% dan hanya sebesar 3.1% contoh yang lulus pendidikan tertinggi yaitu perguruan tinggi.
Tingkat pendidikan contoh sebagian besar dapat dikategorikan masih sangat rendah. Rendahnya pendidikan contoh disebabkan karena masa kanak-kanak dan masa remaja contoh adalah masa kolonial Belanda dan Jepang, jumlah sekolah yang terbatas, akses menuju sekolah yang sulit dijangkau, dan keterbatasan ekonomi. Hal ini sesuai dengan data Susenas dalam BPS (2008), prevalensi pendidikan rendah pada lansia masih sangat tinggi hal ini dikarenakan keterbatasan fasilitas, sarana, dan prasarana akibat masa penjajahan.
Rendahnya tingkat pendidikan diringi juga dengan rendahnya riwayat pekerjaan contoh. Menurut Soehardjo (1989), jenis pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima. Riwayat pekerjaan contoh dikelompokan menjadi contoh yang tidak bekerja, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lainnya yang terdiri dari buruh dan asisten Rumah Tangga.
Sebagian besar contoh tidak memiliki riwayat mata pecaharian dan kategori lainnya (buruh dan asisten Rumah Tangga) yaitu masing-masing sebesar 34.4%. Riwayat pekerjaan contoh yang bekerja sebagai PNS hanya sebesar 3.1% atau sebanyak satu orang contoh. Riwayat pekerjaan contoh lainnya adalah sebagai karyawan swasta dan wiraswasta dengan presentase masing-masing pekerjaan sebesar 15.6% dan 12.5%.
Sebagian besar contoh dalam penelitian (96.9%) memiliki status perkawinan sebagai janda atau tidak lagi memiliki suami. Tidak ada responden
14
yang masih memiliki pasangan dan hanya satu responden yang tidak menikah atau sebanyak 3.1%. Contoh yang tinggal di Panti Tresna Werdha sebagian besar karena tidak lagi memiliki keluarga dekat atau karena keluarganya tidak bisa mengurus kebutuhan contoh. Seluruh data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Data karakteristik contoh
Karakteristik Responden n % Usia Middle Age (45-59) 2 6.3 Elderly (60-74) 20 62.5 Old (75-90) 9 28.1 Very Old (>90) 1 3.1 Total 32 100 Rata-rata Usia ± Sd 70.8±9.3 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah 13 40.6 SD 6 18.8 SMP 7 21.9 SMA/Sederajat 5 15.6 Perguruan Tinggi 1 3.1 Total 32 100 Pekerjaan Tidak Bekerja 11 34.4 PNS 1 3.1 Karyawan Swasta 5 15.6 Wiraswasta 4 12.5
Lainnya (Buruh dan asisten Rumah Tangga) 11 34.4
Total 32 100 Status Perkawinan Menikah 0 0.0 Tidak Menikah 1 3.1 Janda 31 96.9 Total 32 100 Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan adalah suatu rangkaian kegiatan dimulai dari perencanaan menu makanan hingga penyajian dan distribusi kepada konsumen dalam rangka pencapaian status gizi yang optimal melalui pemberian makanan secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan konsumsi konsumen (Depkes 2006). Menurut Moehyi (1992), dalam suatu institusi terdapat dua jenis penyelenggaran makanan yaitu penyelenggaraan makanan yang berorientasi
15
terhadap keuntungan dan penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada pelayanan atau bersifat non komersial.
Penyelenggaraan makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan asupan makanan para lansia yang tinggal di panti yang berjumlah 60 orang. Kegiatan ini bersifat non komersial dan dilaksankan dengan bantuan dua orang petugas dapur. Makanan yang disajikan sehari-hari berupa makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, dan sayur. Selingan hanya diberikan pada hari tertentu saja jika memungkinkan tersedianya waktu dan dana untuk pengolahan. Buah diberikan dengan waktu yang tidak ditentukan, terkadang seminggu hanya satu kali. Mengacu pada pedoman gizi seimbang, makanan sehari-hari harus terpenuhi dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. Sumber dana untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan berasal dari dana APBD Jawa Barat yang diberikan kepada panti dengan asumsi bahwa satu orang lansia mendapat makanan sejumlah Rp 30000 untuk satu hari makan.
Sumber Daya Manusia
Penyelenggaraan makanan di Panti Tresna Werdha dibantu oleh dua orang tenaga kerja yang akan melayani seluruh kebutuhan makan penghuni dan petugas panti. Para pekerja berjenis kelamin perempuan dengan usia <40 tahun dan status pendidikan minimal tamat SMP. Tidak terdapat pembagian kerja yang pasti pada kegiatan ini, seluruh karyawan dapur bekerja bersama mulai dari pembelian, persiapan, pengolahan, hingga penyajian. Kegiatan ini juga terkadang dibantu oleh petugas panti lainnya selain petugas dapur dan ada kalanya bagi lansia yang masih sehat juga ikut membantu pelaksanaan penyelenggaraan makanan. Proses penyelenggaraan makanan memperhatikan kesesuaian tenaga kerja dengan kebutuhannya. Hingga saat ini petugas dapur yang berjumlah hanya dua orang dirasa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan makan panti. Hal ini sesuai dengan Moehyi (1992), setiap 15-30 porsi makanan memerlukan tenaga kerja sebanyak satu orang. Aspek penilaian sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5 Aspek sumber daya manusia
No Aspek SDM Penerapan
1 Memperhatikan pembagian kerja 0
2 Memperhatikan status pendidikan 0
3 Memperhatikan kesesuaian tenaga kerja 1
Total 1
Nilai 33.3
Sarana dan Peralatan
Sarana dan peralatan penyelenggaraan makanan merupakan hal yang penting dipenuhi karena suatu penyelenggaraan makanan akan optimal jika ruangan, sarana, dan peralatan direncanakan dengan baik (Kemenkes 2013). Penilaian sarana dan peralatan panti dapat diukur sesuai dengan peratuan Depkes (2011). Penyelenggaraan makanan di panti tidak memperhatikan pembagian ruangan kerja. Seluruh kegiatan mulai dari persiapan, pengolahan, penyimpangan, dan mencuci peralatan dilakukan pada satu tempat. Luas bangunan dapur sebesar
16
4x5 m2, dan sudah mencukupi kebutuhan minimal luas bangunan jika untuk memenuhi konsumsi makanan 60 orang.
Pencahayaan di dapur sudah cukup memadai, dengan dua buah lampu yang besar dan cahaya dari jendela dapur. Akan tetapi untuk ventilasi udara dirasa kurang memenuhi standar karena banyaknya ventilasi <10% luas dapur yaitu hanya sebesar 2 m2 sedangkan kebutuhan minimal ventilasi dapur sebesar 2.4m2. Jumlah alat yang disedikan memenuhi kebutuhan proses penyelenggaraan makanan dari tahap persiapan hingga distribusi makanan. Akan tetapi, tidak terdapat alat untuk penyimpanan peralatan yang baik sehingga alat hanya disimpan tanpa penutup dan memungkinkan alat terkena kontaminasi silang dari biologi maupun fisik.
Perencanaan Menu, Pembelian, dan Penyimpanan Bahan Pangan
Perencanaan menu merupakan kegiatan penyusunan menu yang akan diolah yang disesuaikan dengan selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Menu seimbang sangat penting untuk kesehatan. Menu yang baik harus disusun sesuai dengan aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan kombinasi dari masakan (Depkes 2006). Kegiatan perencanaan menu dilakukan oleh petugas panti dan petugas dapur, dan tidak melibatkan petugas kesehatan maupun ahli gizi. Terdapat siklus menu 10 hari dengan memperhatikan kesesuian dana dan ketersediaan bahan pangan di pasar. Pada perencanaan menu terdapat beberapa hal yang tidak memenuhi kriteria yaitu perencanaan menu tidak memperhatikan kebutuhan gizi konsumen (lansia), tidak ada evaluasi daya terima terhadap konsumen, dan tidak adanya evaluasi menu yang diberikan. Perencanaan menu yang dilakukan hanya untuk memenuhi standar pelaporan panti, karena dalam pelaksanaannya makanan yang diolah tidak sesuai dengan menu yang direncanakan dan hanya tergantung dari bahan yang ada di pasar saja.
Pemesanan dan pembelian makanan adalah suatu proses penyusunan permintaan makanan berdasarkan menu atau pedoman dan rata-rata jumlah konsumen yang dilayani (Aritonang 2014). Pemesanan yang dilakukan melalui rekanan adalah pemesanan sayur yang dikirimkan pada dini hari. Pembelian lauk hewani dan lauk nabati dilakukan dengan membeli langsung di pasar pada pukul 04.00 WIB, untuk pembelian beras dilakukan dalam waktu sebulan sekali, dan pembeilan bahan kering dilakukan dengan frekuensi dua minggu sekali. Pembeliaan bahan makanan memperhatikan kualitas, jumlah, dan spesifikasi bahan pangan. Apabila bahan pangan yang dibeli tidak sesuai dengan spesifikasi maka barang akan dikembalikan.
Penyimpanan bahan pangan dilakukan untuk menjaga kualitas bahan pangan agar tetap baik, sehingga akan tersedia bahan pangan yang sesuai dengan kualitas dan kuantitas seperti perencanaan (Aritonang 2014). Penyimpanan bahan pangan di panti tidak menggunakan ruangan khusus, dan menyatu dengan dapur pengolahan. Menurut hasil penelitian, tempat penyimpanan kurang memadai karena bahan panganyang banyak, kondisi dapur yang tidak terlalu besar, dan risiko kontaminasi dari hewan sangat tinggi karena kondisi dapur yang tidak terlalu bersih. Tempat penyimpanan basah menggunakan sebuah refrigerator dan hanya dikhususkan untuk sayur, buah, dan lauk hewani. Tidak terdapat ruangan yang memadai untuk penyimpanan kering, sehingga bahan kering seperti kecap, saus, mie, dan beras hanya diletakan disatu lemari dan meja saja. Sebaiknya
17
penyimpanan bahan pangan diletakkan secara terpisah terutama bahan yang mudah terkena kontaminasi silang seperti sumber protein, sayur, dan buah. Suhu penyimpanan juga harus diperhatikan karena bahan pangan sangat rentan rusak. Pengolahan dan Distribusi Makanan
Kegiatan untuk mengubah suatu bahan pangan mentah menjadi makanan yang siap dimakan dan memiliki kualitas dan aman dikonsumsi merupakan pengertian dari pengolahan makanan. Tujuan dari pengolahan bahan makanan adalah agar mengurangi risiko kehilangan zat gizi makanan, meningkatkan kandungan gizi makanan, meningkatkan nilai cerna bahan pangan, meningkatkan dan mempertahankan warna, rasa, keempukan, penampilan, dan membebaskan bahan pangan dari organisme dan zat berbahaya bagi tubuh (Depkes 2006).
Pengolahan bahan pangan dilakukan sebanyak tiga kali dimulai sejak pukul 06.00 hingga pukul 17.00 yang dibagi menjadi tiga kali waktu makan. Waktu penyelenggaraan makanan dipagi hari dimulai dari pukul 06.00 hingga 07.30, makan siang pukul 10.30 hingga 12.00 dan makan malam mulai pukul 15.30 hingga 17.00. Tempat pengolahan makanan dibagi menjadi tempat persiapan bahan pangan (pencucian dan pemotongan bahan pangan). Setiap bahan pangan yang diterima dari proses pembelian dan penyimpanan disiapkan sebelum dimasak. Tujuannya adalah agar sesuai dengan porsi makanan yang akan disediakan. Proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan 2 buah kompor sedang dan 2 buah kompor besar.
Kegiatan pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan yang konsumen layani. Tujuan dari proses tersebut adalah agar konsumen mendapatkan makanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Aritonang 2014). Proses distribusi dan penyajian makanan dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama petugas dapur membagikan lauk ke masing-masing piring responden dengan bagian yang sama rata. Kemudian masing-masing responden mengambil nasi sesuai dengan keinginan responden sendiri. Penyajian makanan tidak memperhatikan suhu penyajian, karena makanan diletakkan diatas meja saji yang berada di luar, dan tidak terdapat penutup makanannya. Jumlah dan waktu pemberian makanan sudah sesuai dengan jumlah dan waktu makan konsumen.
Higine dan Sanitasi
Higiene dan sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan (Depkes 2006). Higine merupakan upaya kesehatan secara preventif yang menitik beratkan kegiatannya kepada usaha individu. Sedangkan sanitasi adalah udaha kesehatan lingkungan yang lebih banyak menitik beratkan kepada masalah kebersihan (Kemenkes 2013). Sanitasi makanan yang diteliti meliputi lokasi, keadaan bangunan, dan kondisi peralatan.
Bangunan tempat produksi memiliki kontruksi yang kokoh dan kuat, memiliki tempat sampah yang memadai, memiliki ketersediaan air bersih yang cukup, dan tersedianya tempat untuk mencuci tangan. Akan tetapi terdapat beberapa kekurangan dalam sanitasi tempat produksi yaitu lokasi bangunan dekat dengan sumber pencemaran, karena letak ruang produksi dibagian belakang
18
sehingga dekat dengan saluran limbah lansia yang tinggal di panti. Kondisi ruangan yang terbuka dan sedikit kotor memungkinkan hewan pengerat seperti tikus dan serangga banyak ditemukan di tempat pengolahan. Tidak terdapat pembagian ruangan sehingga seluruh kegiatan dilakukan pada satu tempat saja. Tempat untuk mencuci bahan pangan dan peralatan tidak terpisah, dilakukan pada satu tempat, sehingga memungkinkan untuk terjadinya kontaminasi silang bahan pangan dengan perlatannya. Kondisi lantai yang licin memungkinkan terjadinya kecelakaan saat bekerja.
Higine atau kebersihan dan kesehatan penjamah makanan merupakan kunci dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat, karena penjamah makanan dapat menjadi faktor yang dapat mencemari makanan baik melaluli cemaran fisik, kimia,maupun biologis (Kemenkes 2013). Berdasarkan wawancara yang didapatkan tenaga pengolahan bebas dari penyakit berdasarkan hasil tes kesehatan yang telah dilakukan oleh panti. Akan tetapi, higine untuk petugas dapur masih sangat kurang. Para petugas tidak menggunakan penutup kepala, masker, maupun celemek saat melakukan kegiatan memasak. Sebaiknya bagi para karyawan pengolahan makanan diberikan alat dan baju yang khusus dalam pengolahan bahan pangan selain itu diberikan pelatihan mengenai higine dan sanitasi makanan sehingga akan meminimalisir terjadinya kontaminasi pada makanan yang diolah.
Penilaian Penyelenggaraan Makanan
Keseluruhan aspek penyelenggaraan makanan akan menentukan penilaian terhadap penyelenggaraan makanan yang dilakukan. Nilai keseluruhan dari seluruh aspek ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Penyelenggaraan makanan Panti Tresna Werdha Aspek Penyelenggaraan Makanan Penilaian
Sudah diterapkan Belum Diterapkan
Sumber Daya Manusia 2 2
Sarana dan peralatan 4 4
Perencanaan menu 4 4
Pembeliaan dan penyimpanan 4 2
Pengolahan bahan pangan 2 0
Distribusi makanan 2 1
Higine dan sanitasi 5 6
Total 23 19
Nilai (%) 54.8 45.2
Keseluruhan kegiatan penyelenggaraan makanan di Panti Tresna Werdha Bogor tergolong dalam kategori kurang baik dengan nilai sebesar 54.8%. Akan tetapi untuk keseluruhan aspek lebih banyak sudah diterapkan dibandingkan dengan yang belum diterapkan oleh panti.
19
Konsumsi Sayur dan Buah
Konsumsi pangan sumber serat akan mempengaruhi status kesehatan seseorang. Hasil penelitian konsumsi serat pada lansia, didapatkan bahwa umumnya konsumsi buah dan sayuran pada lansia masih sangat rendah. Konsumsi makanan harus beragam karena tidak ada satu jenis makanan yang memiliki komposisi makanan yang lengkap. Konsumsi makanan yang beragam pada lansia akan menurunkan terjadinya serangan dari penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan lansia (Wirakusumah 2002). Berikut kebiasaan konsumsi sayur dan buah responden disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Frekuensi kebiasaan konsumsi sayur Frekuensi/minggu
< 1.0 kali 1.0-2.0 kali 2.1-3.0 > 3.0 kali
Rebung Jagung muda Buncis Wortel
Nangka Tauge Labu
Kacang panjang Sawi
Ketimun Kol
Pepaya muda Tomat Daun katuk
Daun pepaya Daun singkong Brokoli
Kembang kol
Frekuensi konsumsi sayur selama satu bulan terakhir menjadi 4 kategori, <1.0 kali per minggu, 1.0-2.0 kali per minggu, 2.1-3.0 kali per minggu, dan >3.0 kali per minggu. Berdasarkan Tabel 6 didapatkan bahwa konsumsi sayur yang paling banyak dikonsumsi dengan frekuensi >3.0 kali per minggu adalah wortel, hal ini diduga karena sayur yang paling sering diolah adalah sayur sup. Rebung dan nangka merupakan sayur yang paling jarang dikonsumsi dengan frekuensi <1.0 kali perminggu, hal ini diduga karena rebung dan nangka merupakan sayuran yang membutuhkan pengolahan yang lama sehingga pihak panti jarang menggunakannya sebagai bahan pangan.
Frekuensi konsumsi buah responden selama satu bulan terakhir dibagi menjadi 3 kategori yaitu <1.0 kali per minggu, 1.0-2.0 kali per minggu, dan >2.0 kali per minggu. Berdasarkan Tabel 7 didapatkan bahwa konsumsi buah yang paling sering dikonsumsi dengan frekuensi >2.0 kali perminggu adalah kurma dan duku. Hasil penelitian menunjukan tingginya konsumsi kedua buah tersebut disebabkan kurma merupakan buah yang paling digemari oleh responden, mudah didapat karena banyak donatur dari luar panti yang memberikan buah kurma, sedangkan konsumsi duku yang tinggi disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan sedang musim buah duku, sehingga duku mudah didapatkan oleh responden dengan harga yang murah dan relatif banyak. Frekuensi kebiasaan konsumsi buah disajikan pada Tabel 8.
20
Tabel 8 Frekuensi kebiasaan konsumsi buah Frekuensi/minggu
< 1.0 kali 1.0-2.0 kali > 2.0 kali
Semangka Pisang Kurma
Jambu air Jeruk Buah lainnya (duku)
Mangga Pepaya Apel Melon Pir Avokad Anggur Nanas
Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin dan mineral bagi tubuh. Buah yang paling jarang dikonsumsi dengan frekuensi <1.0 kali per minggu adalah semangka, mangga, jambu air, pir, apel, anggur dan nanas. Konsumsi buah tersebut rendah dikarenakan sulit didapatkan, harga yang relatif mahal, dan terdapat buah yang tergantung dengan musim. Berdasarkan analisis penyelenggaraan makanan yang didapat bahwa pemberian buah juga sangat jarang. Para responden berpendapat bahwa buah hanya diberikan oleh pihak panti sebanyak satu kali perminggu dan terkadang sebulan hanya sebenyak dua kali.
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Hasil recall 2x24 jam didapatkan bahwa kebiasaan makan contoh dalam sehari sebanyak tiga kali yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam. Para lansia juga mengonsumsi makanan yang berasal dari luar panti. Selain recall, para responden juga diberikan bantuan dalam mengingat makanan yang dikonsumsi melalui daftar menu yang diberikan oleh pihak penyelenggaraan makanan. Setelah itu, para responden akan menjelaskan makanan yang dimakan, habis, maupun yang tidak dimakan. Menurut penuturan responden, jarak panti yang dekat dengan pasar sehingga banyak responden yang membeli sendiri makanan di luar panti seperti cumi, tongkol balado, dan makanan ringan. Rata-rata tingkat kecukupan gizi responden disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Rata-rata tingkat kecukupan gizi responden
Zat Gizi Konsumsi AKG TKG (%)
Energi (kkal) 1385 1550 89.4
Protein (g) 41 54 75.9
Menurut Gibney et al. (2002), pada lansia terjadi kondisi yang menyebabkan perubahan keseimbangan energi, terjadi peningkatan massa lemak yang menyebabkan tingginya kejadian obesitas, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus. Kenaikan massa lemak akan menurunkan angka metabolisme basal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sturm et al. (2004), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan asupan makanan (p<0.05). Pada usia