• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hubungan antara indeks upwelling pantai (UI) dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a menggunakan sebaran nilai hasil analisis dari Juli 2002 – Juni 2011. Wilayah pengamatan untuk menganalisis hubungan antara UI ddenga SPL dan konsentrasi klorofil-a di bagi dalam 17 wilayah pengamatan (Gambar 2 dan Tabel 1). Selain dilakukan analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a berdasarkan data bulanan, juga diambil satu titik pada perairan selatan Jawa (80 36’ 00” – 100 06’ 00” LS dan 112006’ 00’ – 1140 06’ 00” BT) untuk melihat hubungannya berdasarkan data mingguan.

Analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a dilakukan dengan statistic regresi sederhana sebagai berikut :

(8)

dimana :

y = Indeks Upwelling Pantai (CUIx) x = SPL, Klorofil-a

Hasil penelitian dapat digabung dengan pembahasan menjadi bab Hasil dan Pembahasan. Pemisahan atau penggabungan kedua bagian ini bergantung pada keadaan data dan kedalaman pembahasannya sesuai dengan arahan pembimbing. Bila Hasil dan Pembahasan disatukan dalam satu bab, sajikan dahulu hasil penelitian, beri penjelasan yang cukup untuk temuan penting, lanjutkan dengan analisis dan kemudian dengan pembahasan. Subbab dalam Hasil dan Pembahasan dikembangkan secara sistematis dan mengarah ke simpulan.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Angin

Pola pergerakan angin secara spasial disajikan pada Gambar 3. Pada musim barat (Desember – Februari) dibagian utara barat Sumatera arah angin dari barat laut ke tenggara, sedangkan bagian selatan barat Sumatera sampai selatan Jawa angin bertiup dari barat daya ke timur laut. Pada bulan Desember mulai berkembang angin barat daya dan selanjutnya secara sempurna menjadi angin barat pada bulan Februari. Pada musim barat posisi penyinaran matahari tegak lurus berada pada belahan bumi selatan, sehingga pusat tekanan rendah berada di Benua Australia dan pusat tekanan tinggi berada di Benua Asia, akibatnya pada perairan utara Jawa dan Sumatera dekat ekuator angin akan bertiup

dari timur laut ke tenggara (Martono 2009). Pada perairan selatan Sumatera dan selatan Jawa, pengaruh angin pasat menyebabkan arah angin bertiup dari barat daya ke timur laut. Kecepatan angin di barat Sumatera pada musim barat berkisar antara 0.089 sampai 3.541 m s-1 dengan kecepatan maksimum terjadi bulan Februari pada wilayah pengamatan 6. Kecepatan angin pada perairan selatan Jawa berkisar antara 0.011 sampai 3.270 m s-1 dimana wilayah pengamatan 7 yang memiliki kecepatan tertinggi pada bulan Februari.

Pergerakan angin pada musim peralihan I (Maret – Mei) di Barat Sumatera mulai terjadi perubahan arah tiupan angin dengan pola yang berubah-ubah kecuali pada bulan Maret dimana masih bertiup angin barat. Perairan Selatan Jawa juga mengalami kondisi yang sama, namun pada bulan April dan Mei mulai berkembang angin muson tenggara. Hal ini disebabkan pergeseran posisi penyinaran matahari dari belahan bumi selatan menuju ke ekuator, sehingga pusat tekanan tinggi dan rendah berubah. Pada musim peralihan I kecepatan angin tertinggi 3.689 m s-1 terjadi pada bulan Mei di wilayah pengamatan 6, sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 1 yaitu 0.064 m s-1 di bulan Maret pada perairan barat Sumatera. Perairan selatan Jawa memiliki kecepatan angin tertinggi adalah 6.621 m s-1 pada wilayah pengamatan 10 dan terendah pada wilayah pengamatan 15 yaitu 0.011 m s-1.

Gambar 3 Pola pergerakan angin bulanan rata-rata (ms-1) dari tahun 2002 - 2011 (a) musim barat, (b) musim peralihan I, (c) musim timur, (d) musim peralihan II an ec F eb pr ay M ar ug un J ul ep N ov kt

Pada musim timur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara dari arah tenggara ke barat laut pada perairan barat Sumatera maupun selatan Jawa. Pada bulan Juni dimana sudah memasuki Musim Timur, posisi matahari mulai bergerak ke arah bumi belahan utara, sehingga pusat tekanan tinggi berada di Benua Australia dan pusat tekanan rendah di Benua Asia. Perbedaan tekanan ini menyebabkan angin bertiup dari Benua Australia menuju ke Benua Asia. Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus, dengan kisaran antara 0.526 sampai 6.510 m s-1 pada perairan barat Sumatera, kecepatan maksimum di wilayah pengamatan 6. Perairan selatan Jawa berkisar antara 1.720 sampai 9.331 m s-1 dengan kecepatan tertinggi pada wilayah pengamatan 8.

Selama musim peralihan II (September – November), dimana posisi matahari mulai bergerak ke arah ekuator. Pola pergerakan angin beriup dari tenggara/selatan ke timur laut/utara pada perairan Barat Sumatera maupun selatan Jawa. Kecepatan maksimum terjadi pada bulan September di wilayah pengamatan 6 (5,408 m s-1) dan yang terendah pada bulan November, di wilayah pengamatan 2 (0.251m s-1) pada perairan barat Sumatera. Pada perairan selatan Jawa kecepatan angin terendah adalah 0.171 m s-1 (wilayah pengamatan 17) bulan oktober dan yang tertinggi di wilayah pengamatan ke 8 (6.769 m s-1) pada bulan September.

Gambar 4 menunjukkan kecepatan angin secara temporal di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa. Kecepatan angin maksimum perairan barat Sumatera di musim barat terjadi Februari 2003, musim peralihan I terjadi bulan Mei 2006, musim timur pada bulan Agustus 2006 dan musim peralihan II bulan September 2006. Sebaliknya kecepatan angin minimum terjadi pada bulan Desember 2003 (musim barat), Maret 2003 (musim peralihan I), Juni 2005 (musim timur) dan November 2010 (musim peralihan II). Kecepatan angin di perairan selatan Jawa pada musim barat memiliki kecepatan tertinggi pada Februari 2003, musim peralihan I bulan Mei 2006, musim timur bulan Agustus 2006 dan musim peralihan II September 2006. Kecepatan angin terendah ditemukan pada bulan Desember 2009 (musim barat), Maret 2009 (musim peralihan I), Juni 2008 (musim timur) dan Oktober 2008 (musim peralihan II).

Berdasarkan pola sebaran angin diatas dapat dikatakan bahwa angin muson yang bertiup di atas perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dicirikan oleh pembalikan arah tiupan angin secara musiman. Pembalikan arah angin disebabkan karena adanya perubahan tekanan di daratan sekitarnya sebagai akibat dari berubahnya posisi matahari (Wyrtki 1961, Martono 2009). Susanto

et al. (2001) mengatakan bahwa angin muson tenggara yang bertiup di sepanjang Pantai selatan Jawa mencapai maksimum pada bulan Juli sampai Agustus.

11 Gambar 4 Sebaran temporal kecepatan angin dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa

Suhu Permukaan Laut (SPL)

Gambar 5 memperlihatkan sebaran SPL secara spasial, pada musim barat (Desember – Februari) sebaran SPL di sepanjang perairan barat Sumatera hingga selatan Jawa menunjukkan adanya massa air permukaan yang mulai menghangat pada bulan Desember yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Sebaran SPL rata-rata berkisar antara 27.10 sampai 31.42 °C, SPL yang

Gambar 5 Pola sebaran SPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II

lebih tinggi terjadi di wilayah pengamatan 1. Tingginya SPL pada barat Sumatera diperkirakan akibat Arus Sakal Katulistiwa (AKS) Samudera Hindia (Equatorial Counter Current) yang membawa massa air hangat dari arah barat dekat ekuator Samudera Hindia secara terus- menerus menuju ke perairan barat Sumatera (Wyrtki, 1961). SPL tinggi di perairan Selatan Jawa diduga akibat berkembangnya Arus Pantai Jawa (APJ) yang mengalir dari perairan barat Sumatera membawa massa air hangat (Purba et al. 1992). Musim peralihan I (Maret – Mei) menunjukkan sebaran SPL yang homongen pada sepanjang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera, dimana pada bulan Maret dan April massa air permukaan hangat. Pada bulan Mei SPL mengalami penurunan di bagian timur perairan Selatan Jawa, sedangkan pada perairan barat Sumatera mengalami peningkatan sebaran SPL ke arah utara. Sebaran SPL berkisar antara 29.02 sampai 31.72 °C, dengan sebaran tertinggi pada wilayah pengamatan 6.

Musim timur (Juni – Agustus) terjadi penurunan SPL pada perairan barat Sumatera maupun selatan Jawa yang berkisar antara 24.60 sampai 30.22 °C, pada bulan Juni sebagian daerah di Barat Sumatera masih memiliki sebaran SPL

A ug ul un F eb J an D ec ep N ov O kt A pr M ar M ay

yang tinggi sedangkan di bagian Selatan Jawa SPL yang rendah mulai menyebar ke arah barat dan semakin meluas seiring dengan bertambahnya waktu. Pada bulan Agustus terlihat bahwa di sepanjang perairan ini memiliki massa air permukan yang lebih dingin. Rendahnya SPL pada Musim Timur di perairan pantai selatan Jawa diduga akibat terjadinya upwelling yang sangat intensif (Purba

et al.1992), Variasi SPL musiman pada lokasi penelitian diperkirakan penyebabnya oleh dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah akibat proses

upwelling dan yang kedua adalah masuknya massa air dari Pantai Barat Australia arah selatan yang berbelok ke barat dan bergabung dengan arus yang berasal dari Indonesia Timur (Purba et al.1997). Pada musim peralihan II adanya perbedaan penyebaran SPL, dimana terlihat bahwa pada bulan September SPL masih sangat rendah namum mengalami peningkatan pada bulan Oktober – November yang digantikan dengan massa air permukaan yang mulai menghangat. Pada musim ini, angin Muson Tenggara sudah mengendur dan angin Muson Barat Laut mulai bertiup. Oleh karena perubahan angin ini, maka proses upwelling mulai menghilang. Pusat SPL rendah dengan suhu mulai menyempit pada bulan September dan bergerak ke barat perairan selatan Jawa sampai bagian selatan barat Sumatera hingga menghilang sama sekali pada bulan November akibat bergesernya poros AKS ke arah selatan dan berkembangnya APJ. Diduga bahwa karena hal yang dianalisis adalah SPL yang merupakan massa air permukaan maka massa air permukaan tersebut akan mengalir 45 o dari arah angin yang bertiup dari tenggara (angin Muson Tenggara) sesuai dengan mekanisme Ekman Pump

(Stewart 2008).

Penyebaran SPL secara temporal pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa ditunjukkan pada Gambar 6. Pada musim barat di perairan barat Sumatera sebaran SPL rata-rata tertinggi ada Februari 2005, sedangkan yang terendah pada bulan Februari 2008. Musim peralihan I sebaran SPL tertinggi Maret 2005 dan terendah Mei 2006. Penyebaran SPL pada musim timur mengalami penurunan dimana sebaran SPL yang rendah ditemukan pada tahun 2006 (bulan Agustus) dan pada bulan yang sama juga penyebaran SPL lebih tinggi yang terjadi pada tahun 2010. Musim peralihan II sebaran SPL terendah pada September 2006 dan tertinggi pada tahun 2005.

14

Sebaran SPL rata-rata di perairan selatan Jawa pada musim barat tertinggi Desember 2010 sedangkan terendah bulan Februari, musim peralihan I SPL yang rendah terbentuk pada Mei 2006 dan tertinggi Maret 2005. Sebaliknya pada musim timur sebaran SPL mengalami penurunan dengan sebaran SPL terendah pada tahun 2006 sedangkan yang tinggi tahun 2010. Pada awal musim peralihan II yaitu pada bulan September sebaran SPL juga masih rendah di sepanjang perairan selatan Jawa yaitu pada tahun 2006, kemudian sebaran SPL mulai meningkat pada bulan Oktober dan mencapai nilai tertinggi tahun 2010.

Sebaran SPL pada bagian timur perairan selatan Jawa memiliki massa air yang lebih dingin jika dibandingkan dengan massa air dibagian barat perairan selatan Jawa pada musim timur. Dinginnya massa air pada musim ini menunjukkan indikasi terjadinya upwelling pada bagian timur perairan selatan Jawa. Keadaan ini terus berlanjut pada awal musim peralihan II, dimana ada indikasi bahwa rendahnya SPL di perairan Barat Sumatera disebabkan oleh kuatnya tiupan angin, adanya fenomena upwelling dan adanya pengaruh AKS yang membawa massa air dingin dari perairan selatan Jawa yang mengalami pengangkatan massa air. Adanya proses penurunan SPL di perairan barat Sumatera maupun selatan Jawa berkaitan dengan perkembangan muson yang terjadi selama musim timur. Susanto et al. (2005) menjelaskan bahwa selama musim timur tiupan angin muson tenggara dari arah Australia membangkitkan

upwelling sehingga menyebabkan penurunan SPL sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera, kondisi yang berbeda terjadi pada musim barat.

Pada bulan Maret 2005 ditemukan sebaran SPL yang tinggi di perairan barat Sumatera menurut Amri (2012) karena adanya pengaruh massa air dari Samudera Hindia Bagian Barat dan Teluk Bengal yang mengisi perairan timur laut Samudera Hindia posisinya melebar dari utara dan barat perairan barat Sumatera pada kondisi Indian Ocean Dipole Mode (IODM) negatif. Sebaliknya pada bulan Maret 2010 terjadi sebaran SPL yang tinggi di selatan Jawa terkait dengan IODM negatif yang menyebabkan perairan Indonesia termasuk selatan Jawa memiliki sebaran SPL yang lebih tinggi dari kondisi normal (Yoga et al.

2014). Pada tahun 2006 terjadi penurunan sebaran SPL yang lebih rendah di sepnajang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera yang diduga karena adanya pengaruh anomali iklim IODM positif yang berasosiasi dengan El Niño (Amri et al. 2012).

Konsentrasi Klorofil-a

Konsentrasi Klorofil-a secara spasial disajikan pada Gambar 7. Pada perairan barat Sumatera konsentrasi klorofil-a terlihat homogen yang berkisar antara 0.08 sampai 0.53 mg m-3 dimana konsentrasi tertinggi pada wilayah pengamatan 5. Musim peralihan I kondisi ini juga masih berlanjut, namun pada akhir musim (bulan Mei) terlihat adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a menjadi 0.24 mg m-3 dari 0.08 mg m-3. Konsentrasi klorofil-a terus meningkat pada musim timur dengan konsentrasi tertinggi adalah 2.38 mg m-3 pada wilayah pengamatan 6, selanjutnya pada musim peralihan II konsentrasi klorofil ditemukan tinggi pada wilayah pengamatan 6 (3.23 mg m-3) pada bulan September. Seiring bertambahnya waktu maka konsentrasi klorofil akan mengalami penurunan kembali.

Gambar 7 Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada : a) musim barat, b) musim peralihan I, c) musim timur, d) musim peralihan II Konsentrasi klorofil-a pada perairan selatan Jawa menunjukan kodisi yang homongen pada musim barat, hanya pada wilayah pengamatan 14 terjadi peningkatan konsentrasi (1.99 mg m-3) pada bulan Desember. Kondisi serupa juga berlanjut pada musim peralihan I dengan kisaran konsentrasi klorofil-a adalah 0.08 sampai 0.78 mg m-3, konsentrasi yang tertinggi terjadi pada bulan Mei. Musim timur terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a menjadi 1.66mg m-3 di wilayah pengamatan 17 pada bulan Agustus, kondisi ini terus meningkat pada musim peralihan II dan mencapai maksimum pada bulan November (8.34 mg m-3) pada wilayah pengamatan 16.

Konsentrasi klorofil-a di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa secara temporal ditunjukkan pada Gambar 8. Secara temporal konsentrasi klorofil-a pada musim barat disepanjang perairan barat Sumatera dan selatan Jawa mengalami konsentrasi tertinggi pada bulan Desember 2006, sedangkan yang terendah pada tahun 2010 (barat Sumatera) dan 2007 (selatan Jawa). Musim peralihan I konsentrasi tertinggi terjadi pada tahun 2006 (barat Sumatera) dan 2008 (selatan Jawa). Konsentrasi krolofil-a tertinggi pada musim timur terjadi pada Agustus 2006 dan puncak tertinggi konsentrasi klorofil-a terjadi pada musim peralihan II yaitu pada bulan September 2006 (barat Sumatera) dan November 2006 (selatan Jawa).

S ep O kt N ov un ul J A ug F eb D ec J an pr M ay M ar

17 Gambar 8 Sebaran konsentrasi klorofil-a dan DMI selama tahun 2002 – 2011 pada perairan barat Sumatera (atas) dan selatan Jawa

Massa air dengan konsentrasi klorofil rendah umunya di temukan pada awal tahun (musim barat) dan terendah terjadi pada musim peralihan I. Pada musim timur terjadi pengkayaan klorofil-a dan berlanjut pada musim peralihan II (September - Oktober) sebagai puncaknya, dimana terjadinya upwelling. Seiring dengan melemahnya upwelling (akhir musim peralihan II) maka terjadi pula penurunan konsentrasi klorofil-a dan akan terus menghilang pada bulan Desember (awal musim barat). Dari sebaran konsentrasi klorofil-a yang tinggi identik dengan periode terjadinya upwelling secara intensif yakni pada musim timur sampai peralihan II. Nilai sebaran rata-rata konsentrasi klorofil-a tertinggi pada di sepanjang perairan ini ditemukan pada fase IODM positif kuat berasosiasi dengan El Niño sedang tahun 2006. Fase IODM positif sedang berasosiasi La Niña kuat 2007 dan fase IODM positif lemah berasosiasi La Niña lemah 2008, juga mengindikasikan peningkatan konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi di perairan selatan Jawa, sedangkan di barat Sumatera konsentrasinya lebih rendah (Amri 2012). Hendiarti et al. (2004) menjelaskan bahwa peningkatan klorofil-a di selatan Jawa karena adanya mekanisme

upwelling yang makin intensif sehingga meningkatkan kadar nutrien yang menghasilkan kadar klorofil-a yang tinggi.

Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL)

Sebaran ATPL pada perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa secara spasial ditunjukkan pada Gambar 9. Pada musim barat hingga peralihan I sebaran ATPL terlihat tinggi pada perairan selatan Jawa maupun barat Sumatera dan mencapai puncaknya pada bulan Mei yang ditandai dengan warna merah di

Gambar 9 Pola sebaran ATPL secara spasial pada : a) musim barat, b) musim peralihan I, c) musim timur dan d) musim peralihan II

J an F eb D M ay M A pr J un J ul A ug S ep N ov O kt

sepanjang perairan ini. Pada musim barat sebaran ATPL tertinggi yaitu + 0.28 m (wilayah pengamatan 5, barat Sumatera) dan +0.40 m (wilayah pengamatan 15, perairan selatan Jawa). Musim peralihan I ATPL tertinggi +0.26 m pada wilayah pengamatan 5 dan 15.

Pada awal musim timur (bulan Juni) sebaran ATPL mulai menurun di perairan selatan Jawa ke arah laut namun di barat Sumatera masih terlihat ATPL yang tinggi, seiring dengan bertambahnya waktu maka ATPL akan turun dengan puncak terendah pada bulan Agustus yaitu -0.14 m (wilayah pengamatan 6) dan -0.22 m (wilayah pengamatan 15). Awal musim peralihan II terjadi puncak sebaran ATPL terendah yaitu -0.24 m (wilayah pengamatan 6) dan -0.28 m (wilayah pengamatan 15), sedangkan di akhir musim peralihan II (Oktober – November) ATPL mulai meningkat lagi mencapai +0.29 m (wilayah pengamatan 5 dan 6) dan +0.28 (wilayah pengamatan 15).

Marpaung et al. (2014) mempelajari karakteristik sebaran ATPL di perairan bagian selatan dan utara pulau Jawa mengemukakan bahwa variabilitas ATPL menunjukkan bahwa kejadian upwelling lebih kuat di perairan bagian selatan Jawa karena pengaruh posisi geografis karena perairan bagian selatan terdapat pada laut yang terbuka. Menurutnya ATPL pada bulan Juni hingga September mengalami penurunan yang signifikan, dengan kondisi anomali minimum terjadi pada bulan September, sedangkan pada bulan Oktober sampai Desember mulai mengalami peningakatan lagi. Hal ini berkaitan dengan terjadinya upwelling pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dimana pada bulan Juni hingga Oktober adanya indikasi terjadi upwelling (Susanto et al.

2001).

Gambar 10 menunjukkan sebaran ATPL secara temporal di perairan barat Sumatera (a) dan selatan Jawa (b). Sebaran ATPL di barat Sumatera yang tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2010 dan terendah pada bulan September 2006, sedangkan perairan selatan Jawa pada bulan Januari 2011 terjadi sebaran ATPL tertinggi dan bulan September 2006 terjadi sebaran ATPL yang rendah.

Sebaran ATPL yang rendah selama bulan Juli – September di dekat perairan pantai selatan Jawa dan Selat Sunda merupakan indikasi adanya pergerakan massa air menjauhi pantai yang menyebabkan terjadinya kekosongan sehingga paras laut di dekat pantai akan turun. Keadaan ini yang memicu terjadinya upwelling yang mengangkat massa air dalam ke lapisan permukaan untuk mengisi kekosongan massa air lapisan permukaan. Tubalawony et al. (2007) mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya penurunan paras laut di perairan dekat pantai selatan Jawa dan Selat Sunda adalah bertiupnya angin muson tenggara dengan kekuatan gesekan angin komponen sejajar pantai lebih besar dari bulan - bulan lainnya. Lebih jauh Purba (2007) mengungkapkan bahwa signal turunnya paras laut inilah yang sering digunakan sebagai indikator Indeks upwelling.

20

Dokumen terkait