• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 11 menunjukkan sebaran indeks upwelling rata-rata di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa secara spasial. Secara spasial sebaran indeks

upwelling pada perairan barat Sumatera selama musim barat (Desember – Januari) terlihat didominasi oleh kisaran nilai indeks yang bernilai positif yang digambarkan dengan warna hijau sampai biru tua. Indeks upwelling pada musim barat di perairan barat Sumatera yang tertinggi +232.52 m3s-1/100 m coastline

pada wilayah pengamatan 2. Dari hasil analisis terhadap indeks upwelling

diketahui bahwa pada kondisi ini tidak terjadi upwelling tetapi downwelling. Pada musim peralihan I (Maret – April) kondisi yang sama masih terus berlanjut namun pada bulan Mei sudah terlihat adanya kisaran nilai indeks yang bernilai negatif pada wilayah pengamatan 6 yaitu -143.58 m3s-1/100 m coastline. Sebaliknya pada wilayah pengamatan yang lain di perairan barat Sumatera masih didominasi oleh nilai positif, dengan indeks tertinggi +64.73 m3s-1/100 m

coastline pada wilayah pengamatan 2. Pada musim timur (Juni – Agustus) indeks upwelling didominasi oleh nilai negatif pada semua wilayah pengamatan

Gambar 11 Sebaran indeks upwelling rata-rata per bulan selama tahun 2002 - 2011 pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa

di perairan barat Sumatera dengan kisaran nilai indeks upwelling adalah -3.30 m3s-1/100 m coastline sampai -330.80 m3s-1/100 m coastline. Nilai tertinggi terjadi pada bulan Agustus diwilayah pengamatan 6, dan yang terendah pada bulan Juni di wilayah pengamatan 1. Kondisi ini terus berlanjut pada musim peralihan II (September – Desember) dengan sebaran nilai indeksnya pada bulan September yaitu mencapai -327.89 m3s-1/100 m coastline pada wilayah pengamatan 6. Pada bulan Oktober mulai terjadi penurunan nilai indeks

upwelling pada semua wilayah pengamatan dan akan terus menghilang pada bulan November.

Perkembangan sebaran indeks upwelling pada perairan selatan Jawa selama musim barat hampir sama dengan perairan barat Sumatera yaitu didominasi oleh nilai positif. Pada bulan Desembar ditemukan indeks upwelling

yang bernilai negatif (-183.84 m3s-1/100 m coastline) pada wilayah pengamatan 7, kemudian pada bulan Januari mulai terlihat adanya penurunan nilai indeks sampai mencapai nilai positif pada bulan Februari, dengan nilai tertinggi pada wilayah pengamatan 8 (+182.96 m3s-1/100 m coastline ). Pada musim peralihan I (Maret – Mei) sebaran nilai indeks upwelling didominasi oleh nilai positif pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa dengan kisaran nilainya adalah +92.82 m3s-1/100 m coastline pada wilayah pengamatan 7. Selanjutnya bulan Mei penyebaran nilai indeks upwelling yang berniali negatif merata pada semua wilayah pengamatan di perairan selatan Jawa. Pada musim timur (Juni – Agustus) upwelling menyebar di seluruh perairan selatan Jawa dengan kisaran nilai tertinggi pada wilayah pengamatan 7 dan 8 yaitu -549.06 m3s-1/100 m coastline sampai -556.69 m3s-1/100 m coastline pada bulan Agustus. Wilayah pengamatan 17 memiliki sebaran indeks upwelling yang terendah yaitu -50.20 m3s-1/100 m coastline. Perkembang selanjutnya pada bulan September sebaran upwelling semakin luas menyebar dan indeks tertinggi masi terdapat pada wilayah pengamatan 7 (-557.79 m3s-1/100 m coastline) dan 8 (-558.84 m3s-1/100 m coastline), sedangkan yang terendah pada wilayah pengamatan 15 (-175.21 m3s-1/100 m coastline) Kemudian akan mengalami penurunan pada bulan Oktober dan juga November.

Hasil analisa ditemukan bahwa upwelling dengan Indeks yang tinggi ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 14) pada wilayah pengamatan 6, 7 dan 8 (sekitar Selat Sunda dan menyebar ke daerah sekitar Jawa Barat) memiliki Indeks yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah pengamatan yang lainnya, hal ini dipengaruhi oleh kuatnya tiupan angin pada wilayah pengamatan tersebut. Susanto et al. (2001) mengungkapan bahwa angin muson tenggara yang bertiup mencapai maksimum pada bulan Juli - Agustus di perairan selatan Jawa Barat (sekitar 105 0BT).

Sebaran Indeks upwelling secara temporal di perairan selatan Jawa dan barat Sumatera ditunjukkan pada Gambar 12. Secara temporal indeks upwelling

yang tinggi terjadi pada tahun 2006, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2005 dan 2010. Indeks upwelling tertinggi ditemukan pada tahun 2006 yang dimana terlihat bahwa upwelling mulai terbentuk pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September kemudian akan menghilang kembali pada bulan Oktober dan November. hal ini diduga karena adanya pengaruh IODM positif kuat dilihat dari nilai DMI yang tinggi mencapai 0.95. Kisaran nilai rata-rata indeks upwelling berkisar antara -330,18 sampai -170,15

23 Gambar 12 Sebaran Intensitas upwelling dan DMI selama tahun 2002 sampai 2011 pada perairan barat Sumatera (atasdan selatan Jawa

m3s-1/100 m coastline di perairan barat Sumatera, sedangkan di perairan selatan Jawa berkisar antara -556.69 sampai -175.21 m3s-1/100 m coastline. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa tren indeks upwelling di sepanjang pesisir barat Sumatera, berbeda dengan perairan selatan Jawa yaitu Indeks

upwelling semakin menurun ke arah timur perairan selatan Jawa hal ini berarti bahwa perairan bagian barat selatan Jawa memiliki Indeks yang lebih tinggi jika dibandingkan bagian timur selatan Jawa. Secara temporal sebaran Indeks

upwelling yang tinggi dipengaruhi oleh angin munson yang terjadi di sepanjang perairan barat Sumatera hingga selatan Jawa.

Indeks upwelling tertinggi ditemukan pada tahun 2006 yang disajikan pada Gambar 13, dimana terlihat bahwa upwelling mulai terbentuk pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September kemudian akan menghilang kembali pada bulan Oktober dan November. Kondisi ini mempengaruhi parameter oseanografi seperti SPL yang mengalami penurunan pada saat indeks upwelling rendah begitu juga dengan sebaran ATPL. Sementara kondisi yang berbeda ditunjukan pada sebaran konsentrasi klorofil-a yang meningkat pada saat terjadinya puncak upwelling kemudian akan menurun dan pada bulan Novemver mengalami peningkatan kembali, hal ini diduga karena pada saat terjadi upwelling adanya pengkayaan nutrien yang berpengaruh pada kelimpahan konsentrasi klorofil-a di sepanjang perairan barat Sumatera hingga selatan Jawa. Indeks upwelling yang terjadi pada tahun 2006 juga dipengaruhi oleh kekuatan angin yang bertiup pada perairan tersebut yang mencapai 9.25 ms-1 di wilayah pengamatan 6 (barat Sumatera) dan 9.48 ms-1 di wilayah pengamatan 7 (selatan Jawa).

Indeks upwelling di selatan Jawa Barat lebih tinggi dari selatan Jawa Tengah – Jawa Timur, menurut Tubalawony (2007) bukan hanya dipengaruhi oleh tetapi juga adanya pengaruh gradien gesekan angin komponen sejajar dan tegak lurus garis pantai yang lebih besar di selatan Jawa Tengah – Jawa Timur dari pada di selatan Jawa barat. Intensitas upwelling tidak hanya dilihat dari besarnya kekuatan angin yang bertiup tetapi ada indikasi lain yang digunakan yaitu SPL dan ATPL, kedua parameter ini memiliki hubungan langsung dengan

upwelling, dimana ketika SPL dan ATPL mengalami penurunan dari keadaan biasanya maka secara langsung dapat dikatakan bahwa upwelling terjadi. Secara teori dikatakan bahwa angin yang bertiup dengan kekuatan yang penuh secara terus-menerus dengan adanya pengaruh gaya Coriolis dan adanya pergerakan transport Ekman yang menjauhi pantai maka paras laut akan turun (bernilai negatif) dan pengangkatan massa air yang dingin (SPL yang rendah) dari bawah perairan mengisi kekosongan di permukaan. Purba (2007) mengatakan bahwa indikator Intensitas upwelling dilihat dari sebaran SPL yang dingin dan ATPL yang lebih rendah, lebih lanjut dikatakan bahwa walaupun bagian barat dari perairan selatan Jawa memiliki gesekan angin zonal dan transpot Ekman yang menguat di bagian barat namum indikasi upwelling yang lebih intensif terdapat di bagian timur selatan Jawa. Hal ini terkait dengan penurunan SPL dan ATPL yang lebih rendah di bagian timur perairan selatan Jawa.

Gambar 8 Sebaran temporal saat terjadi anomali (2006) pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa : A) indeks upwelling; B) sebaran SPL; C) ATPL; D) Konsentrasi klorofil-a dan E) kecepatan angin

D C

E B A

Hubungan Indeks Upwelling Pantai (UI) dengan SPL dan Klorofil-a Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara UI dengan SPL memiliki hubungan yang sangat kuat (r=0.83) pada wilayah pengamatan 17 (Gambar 14 kiri). Hubungan antara UI dengan SPL memiliki pola yang linier, dimana terlihat bahwa semakin meningkat SPL maka nilai indeks upwellingnya semakin kecil (nilai positif) dan sebaliknya semakin rendah nilai SPL maka nilai indeks semakin besar (nilai negatif). Hal ini terlihat dari sebaran UI pada wilayah pengamatan 17 yang berkisar antara -103.07 sampai -162.79 m3 s -1/100m coastline dimana pada saat yang sama ditemukan kisaran SPL yang rendah (24.75 – 25.05 0C). Sehingga dapat dikatakan bahwa sebaran UI yang tinggi akan mempengaruhi sebaran SPL yang rendah. Izumo et al. (2008) mengemukakan bahwa UI dengan SPL memiliki hubungan yang kuat ketika SPL rendah, tetapi pada saat SPL tinggi keeratan hubungannya rendah karena pada kondisi tersebut upwelling dipengaruhi oleh kecepatan angin.

Gambar 14 Hubungan antara UI dengan SPL (kiri) dan konsentrasi klorofil-a (kanan)

Pola hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan indeks

upwelling pantai adalah logaritma, dimana ketika terjadi sebaran UI yang tinggi tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi klorofil-a tinggi, tetapi ada jeda dulu sebelum terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a (Amri 2012). Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua parameter ini memiliki hubungan yang kuat (r=0.77) pada wilayah pengamatan 16. Kondisi ini terlihat pada wilayah pengamatan 16 ketika terjadi peningkatan upwelling konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0.88 sampai 8.34 mg m-3. Konsentrasi klorofil-a tertinggi pada bulan November ketika intensitas upwelling sudah mulai melemah.

Tabel 3 menunjukan hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a pada tiap wilayah pengamatan . Hasil analisis terhadap hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil menunjukan tren bahwa semakin ke utara perairan barat Sumatra hubungannya semakin rendah, sedangkan semakin ke timur perairan selatan Jawa hubungannya semakin kuat. Hal ini diduga karena semakin ke utara SPL semakin tinggi dan konsentrasi klorofil-a juga semakin rendah, hal yang berbeda pada perairan selatan Jawa semakin ke timur SPL semakin rendah begitu juga dengan konsentrasi klorofil-a yang semakin tinggi.

Tabel 3 Hasil analisis hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a pada 17 wilayah pengamatan

Wil pengmtn

Hub. UI dengan SPL

Hub. UI dengan konsentrasi klorofil-a Persamaan Koef. Determinan (r2) Koef korelasi (r) Persamaan Koef. Determinan (r2) Koef korelasi (r) 1 y = 34.174(spl) -1039.2 0.27 0.52 y = -133.2 ln(chl-a) - 300.58 0.28 0.53 2 y = 56988(spl) -1740.6 0.34 0.58 y = -159.5 ln(chl-a) - 370.33 0.35 0.59 3 y = 57.154(spl) -1743.8 0.41 0.64 y = -192.5 ln(chl-a) - 456.67 0.30 0.55 4 y = 67.551(spl) - 2057.1 0.49 0.70 y = -162.9 ln(chl-a) - 385.14 0.32 0.57 5 y = 73.885(spl) -2256.1 0.53 0.73 y = -160.2 ln(chl-a) - 385.98 0.25 0.50 6 y = 77.586(spl) - 2348.5 0.54 0.73 y = -111.7 ln(chl-a) - 266.42 0.51 0.71 7 y = 106.8(spl) - 3269.2 0.64 0.80 y = -159.4 ln(chl-a) - 447.73 0.48 0.69 8 y = 78.816(spl) - 2422.4 0.64 0.80 y = -154.4 ln(chl-a) - 442.31 0.42 0.65 9 y = 59.504(spl) - 1836.5 0.65 0.80 y = -129.7 ln(chl-a) - 360.19 0.49 0.70 10 y = 46.413(spl) - 1438.4 0.58 0.76 y = -85.14 ln(chl-a) - 252.34 0.41 0.64 11 y = 41.567(spl) - 1300.3 0.61 0.78 y = -69.53 ln(chl-a) - 220 0.38 0.62 12 y = 38.649(spl) - 1213.8 0.60 0.78 y = -79.64 ln(chl-a) - 244.55 0.42 0.65 13 y = 35.506(spl) - 1109.7 0.61 0.78 y = -68.95 ln(chl-a) - 222.62 0.48 0.69 14 y = 33.23(spl) - 1028.4 0.67 0.82 y = -66.07 ln(chl-a) - 174.44 0.57 0.76 15 y = 28.566(spl) - 887.43 0.62 0.79 y = -57.73 ln(chl-a) - 158.51 0.54 0.73 16 y = 27.046(spl) - 840.67 0.63 0.79 y = -61.22 ln(chl-a) - 163.53 0.60 0.77 17 y = 28.598(spl) - 888.72 0.69 0.83 y = -52.96 ln(chl-a) - 139.18 0.57 0.75

Gambar 15 menunjukan hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a menggunakan data mingguan citra satelit. Hubungan tersebut menunjukan bahwa antara UI dengan SPL memiliki hubungan yang lebih kuat (r=0.81) dibandingan konsentrasi klorofil-a. Dari hubungan antara kedua parameter tersebut dengan UI baik yang menggunakan data mingguan maupun data bulanan terlihat bahwa keeratan hubungan antara UI dengan SPL lebih kuat dibandingkan UI dengan konsentrasi klorofil-a. Data mingguan memiliki keeratan hubungan yang lebih kuat di bandingkan data bulanan. Hal ini diduga karena sebaran komponen angin yang digunakan sebagai parameter untuk menghitung indeks upwelling mengalami perubahan lebih jelas terlihat secara mingguan dari pada bulanan.

Kunarso (2005) mengemukakan bahwa intensitas upwelling kuat ditemukan pada sebaran SPL yang lebih rendah dari 26 °C, intensitas upwelling

sedang pada kisaran SPL 26 – 27 °C dan Intensitas upwelling lemah ditemukan pada sebaran SPL yang lebih tinggi dari 27 °C. Hubungan antara SPL dan konsentrasi klorofil-a dengan UI menunjukkan bahwa perairan selatan Jawa memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan perairan barat Sumatera. Hal ini diduga karena upwelling ditemukan lebih intensif di perairan bagian timur selatan Jawa yang ditunjukan oleh penurunan SPL dan ATPL yang lebih rendah

dari daerah kondisi sekitarnya serta meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada wilayah tersebut.

Gambar 15 Hubungan antara indeks upwelling dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a rata-rata mingguan (atas) dan data bulanan (bawah) selama tahun 2006 – 2011

Bakun (1975) mengemukakan bahwa untuk menghitung indeks

upwelling pantai lebih baik digunakan data mingguan dan harian dibandingkan data bulanan, karena wind-stress lebih baik di estimasi dari data mingguan sesuai dengan perubahan SPL. Hal ini yang diduga menyebabkan hubungan antara parameter SPL dengan UI lebih tinggi.

Indikasi Upwelling

Upwelling yang terjadi di sepanjang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera terjadi secara berurutan dari arah timur (selatan Jawa Timur) kea rah barat (Jawa Barat) dan berlanjut ke arah utara (pesisir barat Sumatera). Hal ini ditunjukan oleh ketiga parameter oseanografi yang mengindikasi terjadinya

upwelling. Indikasi terjadinya upwelling ditandai dengan rendahnya SPL dan ATPL serta meningkatnya konsentrasi klorofil-a (Lampiran 2). Secara spasial dan temporal sebaran SPL dan ATPL bulanan rata-rata pada perairan selatan Jawa semakin menurun pada bulan Juni hingga September. Sebaran SPL dan ATPL terendah dijumpai pada perairan selatan Jawa (Jawa Tengah – Jawa Timur) dengan puncaknya di Jawa Timur. Kondisi ini merupakan respon terhadap angin muson tenggara yang bertiup sehingga mengakibatkan terjadinya transport Ekman dan menyebabkan terjadinya kekosongan massa air di perairan dekat pantai. Hal ini menyebabkan terangkatnya massa air yang dingin dan kaya akan nutrien ke lapisan permukaan untuk mengisi kekosongan (Susanto et al. 2006). Kondisi yang sebaliknya terlihat pada muson barat laut yang

Data Mingguan

menyebabkan terjadinya downwelling di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa.

Perairan barat Sumatera juga mengalami kondisi yang sama seperti perairan selatan Jawa, namun kekuatannya lebih lemah hal ini ditunjukan dengan nilai indeks upwelling pantai yang rendah. Lemahnya upwelling pada perairan barat Sumatera juga ditunjukan melalui sebaran nilai SPL dan ATPL bulanan rata-rata yang tidak terlalu rendah bila dibandingkan dengan perairan selatan Jawa. Selain itu juga kemungkinan disebabkan karena lebih dekat dengan poros AKS yang mengalir dengan kuat dan mengalami pembelokan ke arah barat daya (Tubalawony 2007). Pergeseran nilai SPL terendah di selatan Jawa kemungkinan disebabkan karena bergeraknya massa air dingin akibat upwelling di selatan Jawa Timur ke arah barat atau kemungkinan juga karena kuatnya tiupan angin di selatan Jawa Barat setelah musim timur lebih besar dari selatan Jawa Timur.

Konsentrasi klorofil-a yang meningkat di perairan barat Sumatera hingga selatan Jawa pada musim timur dan peralihan II merupan respons terhadap peningkatan intensitas upwelling . Hal ini disebabkan karena upwelling yang mensuplai nutrien dalam jumlah yang besar ke lapisan permukaan. Peningkatan konsentrasi klorofil-a pada pada setiap wilayah pengamatan menunjukan hubungan antara masing-masing parameter oseanografi tersebut dengan indeks

upwelling.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Data satelit multi sensor dari tahun 2002 hingga 2011 menunjukan proses terjadinya upwelling di perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera pada musim timur, dengan intensitas tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu -557.79 m3s

-1/100 m coastline dan -558.84 m3s-1/100 m coastline pada wilayah pengamatan 7 dan 8. Kisaran SPL pada periode upwelling relatif rendah (24.64 – 25.95 0C) dengan ATPL (-1 sampai -28 cm), sedangkan konsentrasi klorofil-a relatif tinggi (1.01 – 8.34).

Hubungan antara UI dengan SPL sangat kuat (r=0.83) pada wilayah pengamatan 17 dan hubungan yang sedang (r=0.52) pada wilayah pengamatan 1. Sebaliknya hubungan antara UI dengan konsentrasi klorofil-a cukup kuat (r=0.77) pada wilayah pengamatan 16 dan sedang (r=0.53) pada wilayah pengamatan 1. Hubungan antara UI dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a menggunakan data mingguan menunjukan hubungan yang lebih kuat (r=0.81) dibandingkan data bulanan (r=0.79) begitu juga dengan konsentrasi klorofil-a (r=0.74)

Saran

Perlu adanya penelitian khususnya di perairan Indonesia untuk melihat indeks upwelling dengan menggunakan data in situ angin dan hubungannya dengan SPL dan konsentrasi klorofil-a.

Dokumen terkait