Karakteristik Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia 10-13 tahun yang berada pada SDN Cibanteng 01 dan SDN Cihideung Ilir 03, Kabupaten Bogor. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, usia, dan uang saku) dan status gizi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi
Karakteristik Stunting Normal Total p
n % n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 14 37 15 39 29 38 Perempuan 24 63 23 61 47 62 Usia (tahun) 11(10,13)a 11(10,13)a 11(10,13) 0.6141) 10-11 26 68 29 96 55 72 12-13 12 32 9 4 21 28 Uang saku 4 000 (1 000,10 000)a 5 000 (2 000,10 000)a 4 000 (1 000,10 000) 0.1621) Besar 15 39 20 53 35 46 Kecil 23 61 18 47 41 54 1)
uji Mann-Whitney, pada baris yang sama, huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara contoh stunting dan normal
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kedua kelompok contoh, proporsi perempuan (62%) hampir 2 kali lipat daripada laki-laki (38%). Hasil menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan nilai z-skor TB/U pada contoh laki-laki yang stunting lebih rendah 2.5±0.4 SD) daripada contoh perempuan (-2.4±0.3 SD), namun berdasarkan uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada status gizi (TB/U) antar jenis kelamin pada contoh stunting (p > 0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa contoh laki-laki stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan contoh perempuan (p < 0.05)
Kisaran usia contoh adalah 10-13 tahun, masing-masing dengan rata-rata baik pada contoh stunting dan normal adalah 11 tahun. Proporsi usia 12-13 tahun pada contoh stunting (32%) jauh lebih banyak dibandingkan pada contoh normal (4%). Hasil juga menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan prevalensi stunting
yang tinggi sejalan dengan peningkatan usia walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) yang melakukan penelitian pada anak usia sekolah 6-12 tahun bahwa rata-rata usia contoh stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan contoh normal (p < 0.05). Usia pada contoh stunting
yang lebih dewasa daripada contoh normal dapat mengindikasikan terdapat contoh stunting mengalami keterlambatan usia masuk sekolah dan pengulangan kelas. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Daniels et al. (2004) bahwa anak
stunting berhubungan dengan keterlambatan usia masuk sekolah, pengulangan kelas, prestasi belajar, dan drop out.
16
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan uang saku adalah jumlah uang yang diberikan oleh orang tua dan keluarga kepada anak per hari yang digunakan untuk membeli makanan dan non makanan. Uang saku siswa dikategorikan menjadi dua berdasarkan rata-rata dari keseluruhan uang saku siswa, kategori uang saku yang besar yaitu ≥ Rp4 605 dan kategori uang saku kecil yaitu < Rp4605.
Kisaran uang saku contoh yaitu sebesar Rp1 000-10 000. Rata-rata uang saku pada contoh stunting sebesar Rp4 000 lebih kecil dibandingkan contoh normal yaitu sebesar Rp5 000. Proporsi uang saku pada contoh stunting yang tergolong dalam kategori kecil (61%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (47%). Begitu pun sebaliknya, hampir separuh contoh stunting memiliki uang saku yang termasuk dalam kategori besar (39%) lebih sedikit dibandingkan dengan contoh normal (53%). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada uang saku antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Namun, terdapat kecendrungan bahwa pada contoh stunting memiliki uang saku yang lebih kecil dibandingkan dengan contoh normal. Hal tersebut diperkuat oleh kenyataan sebagian besar rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting termasuk ke dalam kategori miskin (61%) (Tabel 10).
Status Gizi
Status gizi adalah kondisi kesehatan seseorang atau kelompok yang dikarenakan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat gizi (Riyadi 1995). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Pengukuran antropometri yang tepat pada anak usia kurang dari 19 tahun, untuk mengukur pertumbuhan linier dan mengetahui status gizi pada masa lampau umumnya dilakukan dengan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) sedangkan untuk mengetahui status gizi anak di masa sekarang dilakukan pengukuran indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) (Gibson 2005).
Rata-rata tinggi badan contoh stunting (127.18±1.84 cm) adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) 13 cm dari rata-rata tinggi badan contoh normal (140.7±7.99 cm). Selain itu, rata-rata nilai z-skor TB/U contoh stunting (-2.48±0.38 SD) signifikan lebih rendah (p < 0.05) dari contoh normal (-0.69±0.96 SD). Pada indeks IMT/U, rata-rata nilai z-skor IMT/U contoh stunting signifikan lebih rendah (-1.00±1.02 SD) (p < 0.05) daripada contoh normal (0.22±1.45) walaupun nilai keduanya masih tergolong normal. Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) disajikan pada Tabel 9.
Pada Tabel 9 terlihat bahwa status gizi (IMT/U) baik pada contoh stunting
maupun contoh normal sebagian besar tergolong dalam kategori normal (79%). Namun, proporsi status gizi (IMT/U) pada contoh stunting yang tergolong kategori kurus (21%) 7 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (3%), dan tidak ada satu pun contoh stunting yang tergolong dalam kategori gemuk (0%). Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Popkin et al. (1996) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan kasus
dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa nilai z-skor IMT/U contoh stunting
signifikan lebih tinggi daripada contoh normal.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U)
Karakteristik Stunting Normal Total p
n % n % n % Kurus 8 21 1 3 9 12 Normal 30 79 30 79 60 79 Gemuk 0 0 7 18 7 9 Rata-rata±SD -1.00±1.02a 0.22±1.45b -0.39±1.39 0.0001) 1)
uji Mann-Whitney, pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal
Karakteristik Keluarga
Karakteristik keluarga adalah ciri khas yang melekat pada suatu keluarga yang terdiri usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua yang disajikan pada Tabel 10. Rata-rata usia ayah, baik pada contoh stunting maupun normal yaitu 44.5 tahun. Tidak ada usia ayah yang termasuk dalam kategori dewasa muda. Namun, usia ayah pada contoh
stunting yang termasuk dalam kategori dewasa madya (84%) lebih besar dibandingkan contoh normal (71%). Rata-rata usia ibu yaitu 38±7.8 tahun pada contoh stunting dan 44.6±7.8 tahun pada contoh normal. Proporsi usia ibu yang tergolong dewasa muda pada contoh stunting (11%) hampir 4 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (3%). Sebaliknya, proporsi usia ibu yang tergolong dewasa madya pada contoh normal (92%) lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (82%). Hal ini berarti usia ibu pada contoh stunting
cenderung lebih muda dibandingkan dengan contoh normal. Walaupun usia orang tua (khususnya ibu) memiliki rata-rata yang berbeda, namun berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia orang tua pada kedua kelompok contoh (p > 0.05).
Pendidikan orang tua pada penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal terakhir ayah dan ibu. Jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh orang tua contoh cukup bervariasi dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi. Pendidikan ayah dan ibu pada contoh stunting maksimal berada pada jenjang SMA, sementara pendidikan ayah dan ibu pada contoh normal maksimal berada pada jenjang lebih dari SMA (pendidikan tinggi). Proporsi pendidikan ayah kurang dari SMA pada contoh stunting (74%) 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pada contoh normal (37%). Sebaliknya, pendidikan ayah yang berada pada jenjang SMA pada contoh stunting (26%) separuh dari contoh normal (53%) dan tidak ada pendidikan ayah pada contoh stunting yang berada pada jenjang lebih dari SMA (0%).
18
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi
Karakteristik Stunting Normal Total p
n % n % n % Usia ayah 44.5(34,70)a 44.5 ± 7.5a 44.6 ± 7.8 0.7041) Dewasa muda 0 0 0 0 0 0 Dewasa madya 32 84 27 71 59 78 Dewasa lanjut 6 16 11 29 17 22 Usia Ibu 38±7.8a 44.6 ± 7.8a 37 (26,60) 0.9222) Dewasa muda 4 11 1 3 5 7 Dewasa madya 31 82 35 92 66 87 Dewasa lanjut 3 8 2 5 5 7 Pendidikan Ayah <SMA 28 74 14 37 42 55 0.0021) SMA 10 26 20 53 30 39 >SMA 0 0 4 11 4 5 Pendidikan Ibu <SMA 31 82 25 66 54 71 0.0281) SMA 7 18 11 29 18 24 >SMA 0 0 2 5 2 3 Pendapatan keluargaa 200 000(40 000,833 000)a 500 000(16 700,3 000 000)b 272 860(16 700,3 000 000) 0.0001) Miskin 23 61 5 13 28 37 Tidak miskin 15 39 33 87 48 63 Besar Keluarga a 5(3,11)a 5(3,15)a 5(3,15) 0.8281) Kecil 11 29 11 29 22 29 Sedang 15 39 27 71 42 55 Besar 12 32 0 0 12 16 Pekerjaan Ayah Tidak bekerja 5 13 2 5 7 9 0.3781) Buruh 13 34 8 21 21 28 Jasa 1 3 3 8 4 5 PNS 2 5 11 29 13 17 Karyawan swasta 5 13 11 29 16 21 Pedagang 8 21 10 26 18 24 Lainnya 4 12 1 3 5 7 Pekerjaan Ibu Tidak bekerja 27 71 28 74 55 72 0.8841) Buruh 2 5 1 3 3 4 Jasa 0 0 0 0 0 0 PNS 0 0 0 0 0 0 Karyawan swasta 2 5 1 3 3 4 Pedagang 6 16 7 18 13 17 Lainnya 1 3 1 3 2 3 1)
uji Mann-Whitney; 2) uji t-test; pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal
Proporsi pendidikan ibu kurang dari SMA pada contoh stunting (82%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan pada contoh normal (66%). Sebaliknya, pendidikan ibu yang berada pada jenjang SMA pada contoh stunting
(18%) hampir separuh dari contoh normal (29%). Hasil analisis menunjukkan bahwa pendidikan ayah maupun ibu pada kelompok contoh stunting signifikan lebih rendah dari contoh normal (p < 0.05). Menurut pernyataan Sukandar (2007) bahwa tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak temasuk pemberian makan, pola dan jumlah
konsumsi pangan, serta status gizi. Selain itu, menurut pernyataan Senbanjo et al.
(2011) bahwa prevalensi stunting signifikan lebih tinggi pada anak yang yang orangtuanya berpendidikan rendah.
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain per bulan yang diperoleh dari hasil bekerja dan dinilai dalam bentuk uang dan dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting (Rp200 000/kapita/bulan) signifikan lebih rendah (p < 0.05) daripada contoh normal (Rp500 000/kapita/bulan). Proporsi pendapatan keluarga pada contoh stunting
yang termasuk dalam kategori miskin (61%) 4.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (13%). Menurut pernyataan Musthaq et al.
(2011) bahwa anak yang tinggal di lingkungan berpendapatan rendah signifikan lebih banyak yang stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan berpendapatan menengah dan tinggi.
Besar keluarga yang dimaksud pada penelitian ini adalah banyaknya orang yang tinggal di satu rumah dan yang menjadi tanggungan keluarga. Kisaran besar keluarga pada kedua kelompok contoh yaitu sebesar 3-15 orang. Proporsi besar keluarga yang termasuk kategori besar pada contoh stunting (32%) 12 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan contoh normal (0%). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin banyak anggota keluarga, presentase kejadian
stunting cenderung semakin meningkat, walaupun hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar besar keluarga kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa rata-rata besar keluarga contoh stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan contoh normal (p < 0.05).
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pekerjaan orang tua adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan orang tua contoh cukup bervariasi yaitu dari tidak bekerja sampai menjadi pegawai negeri/swasta. Pada contoh stunting, terdapat ayah yang tidak bekerja (13%) 2.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (5%). Sebaliknya, proporsi pekerjaan ayah sebagai PNS dan karyawan swasta pada contoh normal (58%) 3 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting
(18%). Sedangkan pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh sebagian besar adalah ibu rumah tangga dengan presentase masing-masing sebesar 74% pada contoh stunting dan 71% pada contoh normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar pekerjaan orang tua kedua kelompok contoh (p > 0.05).
Hasil juga menunjukkan bahwa tingkat pekerjaan ayah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat pekerjaan Ibu. Hal tersebut diduga karena proporsi pendidikan ibu pada jenjang ≤ SMA (71%) lebih banyak dibandingkan ayah (55%) sehingga dapat diartikan pendidikan ibu lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan ayah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa proporsi pendidikan ibu lebih besar dibandingkan dengan proporsi pendidikan ayah yang berada pada jenjang ≤ tamat SD.
20
Konsumsi Pangan
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah konsumsi pangan. Konsumsi pangan dianalisis dari segi kuantitas dan pola konsumsi pangannya. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari rata-rata asupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi sedangkan pola konsumsi pangan dapat diketahui melalui frekuensi konsumsi pangan contoh yang datanya dikumpulkan dengan metode Semiquantitative Food Frequency Questionnaire.
Kuantitas konsumsi pangan
Rata-rata asupan energi dan keseluruhan zat gizi berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi
Zat Gizi Asupan p
Stunting Normal
Energi (Kal/hari) 1140±237a 1614 (980,3516)b 0.0001)
Protein (g/hari) 32 (13,54)a 41.5 (24,100)b 0.0021)
Zat Besi (mg/hari) 10.5 (4,21)a 13.5 (5,43)b 0.0021)
Vitamin A (mcg/hari) 357±211a 554 (123,1272)b 0.0002)
Vitamin C (mg/hari) 12.5 (2,75)a 26.5 (4,125)b 0.0001) Kalsium (mg/hari) 186.5 (41,3149)a 237 (34,3475)a 0.4511)
1)
uji Mann-Whitney; 2)uji t-test; pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal
Pada Tabel 11 terlihat bahwa rata-rata asupan energi dan hampir keseluruhan zat gizi pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah daripada contoh normal (p < 0.05), kecuali untuk zat gizi kalsium adalah tidak signifikan perbedaannya antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Namun demikian, rata-rata asupan kalsium pada contoh stunting adalah lebih rendah (186.5 mg/hari) dibandingkan dengan contoh normal (237 mg/hari). Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 menetapkan kecukupan energi anak usia sekolah usia 10-12 dan 13-15 tahun untuk laki-laki adalah masing-masing sebesar 2 100 Kal/hari dan 2 475 Kal/hari. Sedangkan untuk perempuan pada kelompok umur yang sama adalah masing-masing sebesar 2 000 Kal/hari dan 2 125 Kal/hari. Berdasarkan data di atas, rata-rata asupan energi pada kedua kelompok contoh masih di bawah standar AKG 2013. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi
Zat Gizi Tingkat kecukupan (%) p
Stunting Normal Rata-rata
Energi 71±20.2a 87 (52,167)b 77 (35,167) 0.0201) Protein 68±27.2a 69 (38,167)a 71 (26,171) 0.4091) Zat Besi 69.5 (36,164)a 78 (28,348)a 74 (28,348) 0.1751) Vitamin A 93±54a 147±76b 115 (6,351) 0.0001) Vitamin C 32 (5,260)a 51 (10,271)b 35 (5,271) 0.0391) Kalsium 20 (4,475)a 23 (3,290)a 22 (3,475) 0.8071) 1)
uji Mann-Whitney; pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal
Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, vitamin A, dan vitamin C pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal (p < 0.05). Sedangkan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan kalsium adalah tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok contoh (p > 0.05), meskipun rata-rata tingkat kecukupan protein, zat besi, dan kalsium pada contoh stunting lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal.
Terlihat dari Tabel 12, tingkat kecukupan vitamin A nilainya besar dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Hal tersebut diduga karena konsumsi sayuran sebagai pangan sumber vitamin dan didukung dengan data frekuensi konsumsi contoh pada Tabel 14 yaitu pangan yang cukup sering dikonsumsi contoh sebagai penyumbang terbesar asupan vitamin A, meliputi bayam, kangkung, dan wortel dengan frekuensi konsumsi hampir 2 kali/hari. Asupan vitamin A pada contoh juga banyak bersumber dari minyak kelapa sawit dikarenakan contoh lebih sering mengonsumsi pangan dan jajanan gorengan (tahu dan tempe goreng) hampir 2 kali/hari. Rata-rata tingkat kecukupan energi (± 77%) dan protein (± 71%) pada kedua kelompok contoh tergolong defisit. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dan mineral sebagian besar sudah tergolong cukup (≥ 77%), kecuali vitamin C, zat besi, dan kalsium yang tergolong kurang (< 77%) bahkan nilainya < 50%. Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan gizi
Zat gizi Stunting Normal Total
n % n % n % Energi Defisit 29 76 23 61 52 68 Normal 9 24 7 18 16 21 Kelebihan 0 0 8 21 8 11 Protein Defisit 33 87 24 63 57 75 Normal 4 11 6 16 10 13 Kelebihan 1 3 8 21 9 12 Kalsium Kurang 33 87 36 95 69 91 Cukup 5 13 2 5 7 9 Besi Kurang 23 61 18 47 41 54 Cukup 15 39 20 53 35 46 Vitamin A Kurang 14 37 9 24 23 30 cukup 24 63 29 76 53 70 Vitamin C Kurang 37 97 26 68 63 83 cukup 1 3 12 32 13 17
22
Pada tabel 13 terlihat bahwa proporsi tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit pada contoh stunting (76%) adalah lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (61%). Sebaliknya, proporsi tingkat kecukupan energi yang tergolong kelebihan pada contoh normal (21%) 8 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (0%). Proporsi tingkat kecukupan protein yang tergolong defisit pada contoh stunting (87%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (63%). Sebaliknya, proporsi tingkat kecukupan protein yang tergolong kelebihan pada contoh normal (21%) 7 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (3%). Hal tersebut diduga pada contoh normal lebih sering mengonsumsi protein hewani (telur dan daging ayam) bersamaan dengan protein nabati (tahu dan tempe) hampir 2 kali/hari.
Proporsi tingkat kecukupan zat besi (61%) dan vitamin A (37%) yang tergolong kurang pada contoh stunting hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (47% dan 24%). Sedangkan, untuk proporsi tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong kelebihan pada contoh normal (32%) 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (3%). Namun, proporsi tingkat kecukupan kalsium yang tergolong cukup pada contoh stunting
(13%) 2.5 kali lipat lebih besar dibandingkan contoh normal (5%). Hal tersebut diduga karena pada contoh stunting lebih sering mengonsumsi es krim (7 kali/minggu), yoghurt (5 kali/minggu), dan susu skim (7 kali/minggu) yang mengandung susu daripada contoh normal (4 kali/minggu, 2 kali/minggu, dan 2 kali/minggu) (Tabel 14).
Hasil juga menunjukkan bahwa presentase tingkat kecukupan energi (68%) dan protein (75%) pada contoh sebagian besar tergolong defisit. Hal ini mengindikasikan, contoh yang memiliki asupan energi dan zat gizi makro tergolong defisit cenderung lebih banyak yang berstatus gizi stunting. Sedangkan untuk hampir seluruh tingkat kecukupan zat gizi mikro mengalami defisiensi, yaitu kalsium (91%), zat besi (54%), dan vitamin C (83%) kecuali vitamin A yang sudah tergolong cukup (70%). Tingkat kecukupan vitamin A yang cukup serta tingkat kecukupan zat besi dan kalsium yang rendah diduga karena sayuran yang sering dikonsumsi mengandung fitat dan serat yang dapat menurunkan bioavaibilitas mineral khususnya kalsium dan zat besi. Selain itu, berdasarkan data frekuensi konsumsi bahan pangan (Tabel 14), frekuensi konsumsi protein nabati, seperti tahu dan tempe (± 11 kali/minggu) lebih sering dibandingkan dengan protein hewani (± 7 kali/minggu). Konsumsi protein nabati yang mengandung serat terbilang cukup sering sehingga diduga dapat menurunkan bioavaibilitas zat besi. Hal ini mengindikasikan contoh lebih banyak mengonsumsi pangan yang mengandung inhibitor daripada enhancer terhadap zat besi dan kalsium.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Neumann et al. (2003) bahwa tingginya kandungan fitat dan serat di diet mengakibatkan bioavaibilitas zat besi rendah. Selain itu, diduga kedua kelompok contoh sering mengonsumsi teh kemasan hampir 3 kali/hari yang mengandung polifenol (tanin) yang dapat mengganggu penyerapan zat besi dan kalsium. Menurut pernyataan Hurrel et al.
(1999) bahwa salah satu zat yang dapat mengganggu penyerapan zat besi dan kalsium adalah konsumsi teh yang mengandung polifenol (tanin) dalam jumlah yang cukup sering.
Pola konsumsi pangan
Tujuan dalam mengukur frekuensi konsumsi adalah untuk memberikan informasi secara deskriptif tentang pola konsumsi pangan (Gibson 2005). Pola konsumsi pangan ditentukan berdasarkan frekuensi konsumsi bahan pangan per minggunya. Tabel 14 menunjukkan rata-rata frekuensi konsumsi untuk masing-masing kelompok pangan berdasarkan status gizi contoh.
Tabel 14 Rata-rata frekuensi konsumsi untuk masing-masing kelompok pangan berdasarkan status gizi
Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu)
Stunting Normal Makanan pokok1) Nasi 21(0,21)a 21(0.5,21)a Biskuit 7 (0,21)a 7 (1.5,21)a Mie 7 (0,21)a 5 (0,21)a Protein hewani1) Sosis 7 (0,21)a 7 (0,21)a Telur ayam 7 (0,21)a 7 (0,21)a Daging ayam 7 (0.25,21)a 7 (0.5,14)a Protein nabati1) Tahu 7 (0,42)a 7 (1.5,21)a Tempe 11 (1.5,21)a 7 (0.5,21)b Kacang hijau 2 (0,14)a 2 (0,21)b Kacang tanah 2 (0,14)a 2 (0,21)a Sayuran1) Bayam 7 (0,21)a 7 (0,21)a Kangkung 7 (0,21)a 4 (0,21)a Wortel 7 (0,21)a 4 (0,21)a Buah-buahan1) Pisang 1(0,14)a 3 (0,21)a Salak 3 (0,14)a 3(0,21)a Jeruk 1 (0,14)a 2(0,21)b Jambu air 7 (0,21)a 2 (0,21)b Mangga 3 (0,21)a 3 (0,14)a Pepaya 3 (0,21)a 3(0,21)a Jajanan1) Bakso 7 (0,21)a 6 (0,21)a Cilok 3 (0,21)a 4 (0,21)a Tahu goreng 2 (0,14)a 7 (0,21)a Tempe goreng 7 (0,21)a 5 (0,21)a Siomay 7 (0,21)a 6(0,21)a
Susu dan hasil olahannya1)
Es krim 7 (0,21)a 4 (0,14)a Susu segar 2 (0,21)a 4 (0,21)a Yoghurt 5 (0,14)a 2 (0,21)a Susu skim 7 (0,21)a 2 (0,21)a Minuman1) Ale-ale 0 (0,14)a 2 (0,21)a Teh gelas 7 (1,21)a 7 (1,21)b Teh kotak 2 (0,14)a 2 (0,21)a Sirup 7 (0,14)a 2(0,21)b 1)
uji Mann-Whitney, pada baris yang sama, huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara contoh stunting dan normal
24
Pada Tabel 14 terlihat bahwa distribusi kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 3 kali/hari. Namun, pada contoh stunting konsumsi mie (7 kali/minggu) lebih sering dibandingkan dengan contoh normal (5 kali/minggu). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi konsumsi makanan pokok antara kedua kelompok contoh berdasarkan status gizi (p > 0.05). Hasil data juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mengonsumsi pangan yang kurang berkualitas seperti mie. Hal tersebut diduga karena faktor pendapatan keluarga yang rendah dapat mempengaruhi orang tua, khususnya ibu dalam pemilihan pangan yang akan menurunkan kuantitas dan kualitas makanan. Keadaan tersebut dapat dilihat pada contoh stunting yang umumnya memiliki pendapatan keluarga yang tergolong miskin (Tabel 10) sehingga lebih sering mengonsumsi mie instan.
Jenis protein hewani yang sering dikonsumsi adalah daging ayam, sosis, dan telur dengan frekuensi konsumsi paling sering sebesar 7 kali/minggu. Kelompok bahan pangan susu dan olahannya juga termasuk ke dalam protein hewani. Frekuensi konsumsi es krim pada contoh stunting (7 kali/minggu) adalah lebih sering daripada contoh normal (4 kali/minggu). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi konsumsi protein hewani antara kedua kelompok contoh berdasarkan status gizi (p > 0.05). Kelompok protein nabati yang paling sering dikonsumsi contoh adalah tahu, tempe, kacang tanah dan kacang hijau. Frekuensi konsumsi kacang hijau pada contoh stunting (14 kali/minggu) adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) dibandingkan dengan contoh normal (21 kali/minggu). Selain itu, frekuensi konsumsi tempe pada contoh stunting (11 kali/minggu) adalah signifikan lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan dengan contoh normal (7 kali/minggu).
Rata-rata frekuensi konsumsi sumber protein (hewani dan nabati) pada contoh stunting (15 kali/minggu) adalah lebih rendah daripada contoh normal (23 kali/minggu). Frekuensi konsumsi tersebut menunjukkan bahwa > 2 kali/hari contoh stunting maupun normal mengonsumsi sumber protein. Berdasarkan hasil tersebut, frekuensi konsumsi sumber protein pada contoh stunting maupun normal sudah mencapai konsumsi yang dianjurkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014 yaitu sebanyak 2-4 porsi, jika asumsinya jumlah yang dikonsumsi sesuai dengan jumlah porsi dari masing-masing jenis pangan sumber protein.
Jenis sayur yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah bayam dengan frekuensi konsumsi paling banyak sebesar 7 kali/minggu. Frekuensi konsumsi buah pisang (3 kali/minggu) dan jeruk (2 kali/minggu) pada contoh normal lebih besar dibandingkan contoh stunting (1 kali/minggu). Sedangkan frekuensi konsumsi buah salak (3 kali/minggu) dan jambu air (7 kali/minggu) pada contoh stunting adalah lebih sering daripada contoh normal (3 kali/minggu dan 2 kali/minggu). Hasil analisis menunjukkan frekuensi konsumsi jeruk pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) daripada contoh normal. Sedangkan frekuensi konsumsi jambu air pada contoh stunting
adalah signifikan lebih tinggi (p < 0.05) daripada contoh normal. Menurut pernyataan Perez-Rodrigo et al. (2003) bahwa pisang merupakan buah yang