• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Stunting dan Normal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Stunting dan Normal."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DAN KONSUMSI

PANGAN DENGAN STATUS GIZI DAN PRESTASI BELAJAR

ANAK SEKOLAH DASAR

STUNTING

DAN NORMAL

YENNY NURFAJRIANI ARIFIN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Stunting dan Normal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

YENNY NURFAJRIANI ARIFIN. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar

Stunting dan Normal. Dibawah bimbingan LILIK KUSTIYAH

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan terhadap status gizi dan prestasi belajar siswa kelas 4,5,dan 6 SDN Cibanteng 01 dan Cihideung Ilir 3, Kabupaten Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dengan subjek penelitian berjumlah 76 orang yang terdiri dari 38 contoh berstatus gizi normal dan 38 contoh berstatus gizi stunting. Hasil menunjukkan status gizi (TB/U), pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, tingkat kecukupan zat gizi (energi, vitamin A, dan vitamin C), morbiditas (frekuensi dan lama sakit), dan prestasi belajar pada contoh dengan status gizi stunting signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal (p < 0.05). Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dengan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, kalsium, besi, dan vitamin C); pendapatan keluarga dengan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C; tingkat kecukupan zat gizi (energi, vitamin A, dan vitamin C) dan morbiditas dengan status gizi (TB/U), serta status gizi (TB/U) dengan prestasi belajar (p < 0.05). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan ayah, pendapatan keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi contoh maka semakin baik pula status gizi dan prestasi belajar contoh.

Kata kunci: karakteristik keluarga, konsumsi pangan, prestasi belajar, status gizi, dan stunting.

ABSTRACT

The aims of this study was to determine the association between family characteristics and food consumption with nutritional status and academic achievement of student class 4,5, and 6 at Cibanteng 01 and Cihideung Ilir 03 elementary school, Bogor district. The design was a cross sectional study with 76 subjects, consisting of 38 normal subjects and 38 stunting subjects. The result showed that subject’s nutritional status (H/A), parents education; family income; nutritional adequacy level (energy, vitamin A, and vitamin C); morbidity (frequency and period of illness), and academic achievement in stunting subjects were significantly lower than normal subjects (p < 0.05). There was a significant correlation between father’s education with nutritional adequacy level (energy, protein, calcium, iron, and vitamin C); family income with vitamin A and vitamin C adequacy level; nutritional adequacy level (energy, vitamin A, and vitamin C) and morbidity with nutritional status (H/A), and nutritional status (H/A) with academic achievement (p < 0.05). Therefore, subjects with higher level of father’s education, family income, and nutrition adequacy level, tend to have better nutrition and academic achievement.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DAN KONSUMSI

PANGAN DENGAN STATUS GIZI DAN PRESTASI BELAJAR

ANAK SEKOLAH DASAR

STUNTING

DAN NORMAL

YENNY NURFAJRIANI ARIFIN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah stunting, dengan judul Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Stunting dan Normal. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof Dr Faisal Anwar, MS dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta: bapak (Ir Zaenal Arifin), ibu (Tudjimah Badjuri) dan kakak tersayang (Dessy Hanamari‟a, Dian Primayadi, Agie Shalahuddin, Mirawati) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya. 4. Teman-teman satu perjuangan penelitian: Andika Mohammad dan Annisa

Sophia atas kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. 5. Teman-teman satu bimbingan: M. Mifthah Faridh C, Yoesniasani Dwi

Meisya, Yusi Ariska, Engkun Rohimah, Lidyawati Gunawan, Saida Batty, dan Yoga Hendriyanto atas semangat dan bantuannya.

6. Teman-teman dekat: Maryam Nabila, Kirana Fajar Rahmah, M. Rivqi Zaelani, Ramadhani, Hayu Ning Dewi, Miftachur Rizqi, Almira Nuraelah, Rekyan Hanung Puspadewi, Annisa Amalia, Nur Eliya Farida, Novi Anggraini, dan Afifah Salimah atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.

7. Teman-teman seperjuangan ID yang luar biasa: Riana, Kirana, Erlina, Defika. 8. Teman–teman (Gizi Masyarakat 47) dan adik-adik (Gizi Masyarakat 48) yang

tidak dapat disebutkan satu per satu atas semangatnya.

9. Adik-adik siswa, ibu siswa, dan guru SDN Cihideung Ilir 03 dan SDN Cibanteng 01 yang telah bersedia membantu dan menjadi subjek dalam penelitian ini.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 3

Tujuan Umum 3

Tujuan Khusus 3

Hipotesis 3

Manfaat 4

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE 6

Desain, Waktu, dan Lokasi 6

Teknik Pengambilan Contoh 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8

Pengolahan dan Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Karakteristik Contoh 15

Status Gizi 16

Karakteristik Keluarga 17

Konsumsi Pangan 20

Kuantitas konsumsi pangan 20

Pola konsumsi pangan 23

Morbiditas 26

Prestasi Belajar 28

Hubungan antar Variabel 29

Hubungan antara karakteristik contoh dengan konsumsi pangan 29

(14)

Hubungan antara konsumsi pangan dengan status gizi 30

Hubungan antara morbiditas dengan status gizi 31

Hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar 31

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 38

RIWAYAT HIDUP 45

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 9

2 Kategori status gizi contoh 10

3 Kategori data karakteristik keluarga 11

4 Angka kecukupan energi dan zat gizi serta berat dan tinggi badan ideal

anak usia sekolah 12

5 Kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi 13

6 Kategori tingkat morbiditas 13

7 Kategori data prestasi belajar 13

8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi 15 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) 17 10 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi 18 11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi 20 12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi 20 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan gizi 21 14 Rata-rata frekuensi konsumsi untuk masing-masing kelompok pangan

berdasarkan status gizi 23

15 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi 26 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit dan status gizi 26 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori frekuensi sakit untuk setiap jenis

penyakit dan status gizi 27

18 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama sakit setiap jenis penyakit dan

status gizi 27

19 Sebaran contoh berdasarkan kategori frekuensi dan lama sakit serta

status gizi 28

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran hubungan antara karakteristik keluarga dan

konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak. 6

2 Kerangka pengambilan contoh 8

3 Wawancara terstruktur dan pengisian kuesioner (SDN Cibanteng 01) 44 4 Wawancara terstruktur dan pengisian kuesioner (SDN Cihideung Ilir 03) 44

5 Pengukuran tinggi badan 44

6 Pengukuran berat badan 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji beda variabel data antar status gizi (stunting dan normal) 38 2 Uji hubungan (Spearman) antara uang saku contoh dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 39

3 Uji hubungan (Spearman)antara usia orang tua dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 39

4 Uji hubungan (Spearman)antara pendidikan orang tua dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 40

5 Uji hubungan (Spearman)antara pendapatan keluarga dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 40

6 Uji hubungan (Spearman) antara besar keluarga dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 41

7 Uji hubungan (Spearman)antara pekerjaan orang tua dengan tingkat

kecukupan energi dan zat gizi 42

8 Uji hubungan (Spearman)antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi

dengan status gizi (TB/U) 42

9 Uji hubungan (Spearman)antara morbiditas dengan status gizi (TB/U) 43 10 Uji hubungan (Spearman)antara status gizi (TB/U) dengan prestasi

belajar 43

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gangguan gizi terdiri dari gizi kurang dan gizi lebih. Gizi kurang meliputi kependekan (stunting) dan kekurusan (wasting), sedangkan gizi lebih meliputi kegemukan (obesitas). Gangguan gizi kurang yang paling menonjol yaitu kependekan (stunting). Berdasarkan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 sebesar 35.6% anak usia 6-12 tahun mengalami stunting dengan rincian 15.1% tergolong sangat pendek dan 20.5% tergolong pendek (Balitbangkes 2010). Selain itu, berdasarkan Riskesdas terbaru yaitu tahun 2013 menunjukkan sebesar 30.7% anak usia 6-12 tahun mengalami stunting dengan rincian, presentase anak pendek usia 6 tahun sebesar 27.7% pada laki-laki dan 25.5% pada perempuan dan terus meningkat sampai usia 12 tahun sebesar 37.7% pada laki-laki dan 34.9% pada perempuan (Balitbangkes 2013). Walaupun prevalensi stunting anak usia sekolah di Indonesia semakin menurun namun angka tersebut terbilang tinggi mengingat standar WHO untuk anak stunting (sangat pendek dan pendek) yaitu sebesar 20%. Selain itu, prevalensi anak stunting usia sekolah (6-12 tahun) di Provinsi Jawa Barat mencapai 34.2% yang terdiri dari 13.9% sangat pendek dan 20.3% pendek (Balitbangkes 2010).

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan oleh malnutrisi kronis, yang dinyatakan dengan nilai z-skor tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) (WHO 2010). Stunting pada anak sekolah merupakan manifestasi dari stunting pada masa balita yang mengalami kegagalan dalam tumbuh kejar (catch up growth). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting, salah satunya adalah aspek konsumsi pangan dan morbiditas sebagai faktor penyebab langsung. Menurut Onyango et al.

(2002), stunting mengindikasikan kurang gizi kronis yang salah satunya dapat disebabkan oleh ibu pekerja dapat memberikan asupan gizi yang rendah (kualitas dan kuantitas). Selain itu, menurut Aditianti (2010) faktor lain yang mempengaruhi stunting pada anak di Indonesia salah satunya penyakit infeksi.

Konsumsi pangan dan penyakit infeksi memiliki hubungan timbal balik. Konsumsi pangan anak yang kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga meningkatkan risiko penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, gangguan penyerapan dan perubahan metabolisme zat gizi sehingga asupan energi dan zat gizi menurun. Menurut de Onis & Blossner (2003) prevalensi stunting yang cukup tinggi banyak ditemui di lingkungan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi.

(18)

2

Pada anak yang mengalami stunting konsekuensi yang diterima yaitu berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak. Hal tersebut dikarenakan pemenuhan kebutuhan zat gizi yang tidak adekuat dalam jangka waktu yang lama berdampak pada tidak optimalnya perkembangan jaringan dan otak. Hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan pematangan fungsi otak. Terganggunya fungsi otak dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak (Marotz et al. 2005). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan di Brazil dan Maroko menunjukkan bahwa anak usia sekolah dasar (6-15 tahun) yang berstatus gizi stunting memiliki kemampuan kognitif, nilai matematika dan skor IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang non-stunting (Brito et al. 2004). Kejadian stunting juga berhubungan dengan keterlambatan usia masuk sekolah, pengulangan kelas, prestasi belajar, dan drop out dari sekolah (Daniels et al. 2004).

Salah satu cara untuk mengukur tingkat prestasi belajar anak yaitu dengan mengetahui nilai murni yang didapatkan dari hasil ujian sekolah. Menurut Hidayati et al. (2010) beberapa mata pelajaran seperti: Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA merupakan mata pelajaran yang sudah cukup menggambarkan kemampuan siswa secara umum. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti keterkaitan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak usia sekolah (10-13 tahun) yang mengalami stunting dan membandingkannya dengan anak sekolah (usia 10-13 tahun) yang normal.

Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Riskesdas, prevalensi stunting pada anak usia sekolah yaitu sebesar 35.6% pada tahun 2010 dan 30.7% pada tahun 2013. Walaupun mengalami penurunan, prevalensi stunting tersebut masih tergolong tinggi mengingat standar WHO untuk anak stunting yaitu sebesar 20%. Terdapat beberapa dampak negatif dari anak yang berstatus gizi stunting, diantaranya adalah gangguan perkembangan kognitif, terhambatnya perkembangan mental dan motorik (Hautvast et al. 2001), peningkatan resiko infeksi, kematian, dan penurunan kapasitas kerja (Berkman et al. 2002), serta gangguan terhadap respon imun dan gangguan perkembangan psikomotor (Albalak et al. 2000). Berdasarkan uraian di atas dampak-dampak dari terjadinya stunting perlu untuk diantisipasi agar prevalensi anak usia sekolah yang mengalami stunting mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Oleh karena itu,terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dikaji dan dianalisis melalui penelitian ini. diantaranya:

1. Bagaimana perbandingan karakteristik anak (jenis kelamin, usia, dan uang saku) dan karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua) pada anak yang berstatus gizi stunting dan normal

2. Bagaimana perbandingan konsumsi pangan dan morbiditas anak yang berstatus gizi stunting dan normal

3. Bagaimana perbandingan prestasi belajar anak yang berstatus gizi stunting

(19)

4. Apakah terdapat keterkaitan antara karakteristik anak (uang saku) dan karakteristik keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dengan konsumsi pangan anak stunting dan normal

5. Apakah terdapat keterkaitan antara konsumsi pangan dan morbiditas dengan status gizi anak stunting dan normal

6. Apakah terdapat keterkaitan antara status gizi dengan prestasi belajar anak

Tujuan

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak sekolah dasar stunting dan normal.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan membandingkan karakteristik anak (jenis kelamin, usia, dan uang saku) dan karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua), anak stunting dan normal

2. Mengidentifikasi dan membandingkan konsumsi pangan anak stunting dan normal

3. Mengidentifikasi dan membandingkan morbiditas anak stunting dan normal

4. Mengidentifikasi dan membandingkan prestasi belajar anak stunting dan normal

5. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak (uang saku) dan karakteristik keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dengan konsumsi pangan anak

6. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dan morbiditas anak dengan status gizi serta hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar anak.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan karakteristik anak (usia dan uang saku), karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua), konsumsi pangan, morbiditas, dan prestasi belajar pada anak yang berstatus gizi stunting dan normal.

2. Terdapat hubungan antara karakteristik anak (uang saku) dan karakteristik keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dengan konsumsi pangan anak.

(20)

4

Manfaat

Manfaat penelitian yang diharapkan dapat tercapai saat akhir penelitian, diantaranya adalah dapat memberikan informasi tentang prevalensi kejadian

stunting pada anak usia sekolah, khususnya di daerah yang dijadikan objek penelitian. Selain itu, dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting dan prestasi belajar anak. Manfaat yang lainnya adalah dapat memberikan informasi mengenai akibat dari kejadian

stunting pada anak. Dengan demikian diharapkan dapat dilakukan tindakan antisipatif untuk mencegah dan mengelola kejadian stunting pada anak usia sekolah di Indonesia.

KERANGKA PEMIKIRAN

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak, salah satunya adalah status gizi. Diduga jika anak mengalami status gizi yang tidak normal (stunting), maka kemampuan kognitif dan prestasi belajar anak akan rendah. Hal tersebut dikarenakan pemenuhan zat gizi yang tidak adekuat dalam jangka waktu yang lama berdampak pada tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan jaringan otak. Terganggunya fungsi otak dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak (Marotz et al.

2005).

Terdapat faktor lain yang berhubungan secara tidak langsung dengan prestasi belajar anak sekolah selain status gizi. Faktor-faktor tersebut ialah kualitas sekolah, karakteristik keluarga dan karakteristik anak (Abudayya et al.

2011). Selain itu, terdapat beberapa penelitian mengenai pengaruh asupan terhadap prestasi belajar yang telah dilakukan di beberapa negara. Anak Sekolah Dasar di negara Taiwan, dengan kebiasaan makan makanan yang berkualitas rendah seperti makanan manis dan makanan yang digoreng, dan jarang mengkonsumsi sayur, buah, ikan dan telur, berhubungan dengan rendahnya prestasi di sekolah (Fu et al. 2007). Status gizi anak usia sekolah, salah satu indikatornya stunting dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang langsung berpengaruh adalah konsumsi pangan dan morbiditas. Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi terjadi antara konsumsi pangan dan morbiditas.

(21)

Selain faktor konsumsi pangan, faktor morbiditas juga dapat mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Morbiditas yang umumnya berasal dari penyakit infeksi menyebabkan penurunan nafsu makan, gangguan penyerapan dan perubahan metabolisme zat gizi sehingga asupan energi dan zat gizi menurun yang dapat menyebabkan masalah gizi pada anak. Masalah gizi dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan kejadian stunting. Ukuran morbiditas anak dapat diketahui berdasarkan frekuensi dan lama sakit penyakit yang diderita anak.

Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak. Faktor genetik yang salah satunya adalah tinggi badan ibu akan berpengaruh terhadap status gizi (TB/U) anak dan mempengaruhi potensi biologis anak ketika proses pertumbuhan fisik berlangsung. Sehingga terdapat dugaan jika ibu memiliki tinggi badan yang pendek maka kemungkinan tinggi badan anak juga akan termasuk kategori pendek (stunting).

Karakteristik keluarga dan karakteristik anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kuantitas dan pola konsumsi pangan anak. Karakteristik anak meliputi usia, jenis kelamin, dan uang saku. Terdapat dugaan semakin besar jumlah uang saku maka semakin besar peluang anak untuk membeli jajanan sehingga asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi anak semakin baik. Berdasarkan jenis kelamin, diduga anak laki-laki lebih banyak dalam mengonsumsi pangan daripada anak perempuan. Selain itu, semakin bertambahnya usia anak semakin banyak pula konsumsi pangan anak karena semakin tingginya kebutuhan energi dan zat gizi yang harus dipenuhi. Karakteristik anak secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap status gizi, khususnya stunting. Terdapat dugaan semakin bertambahnya usia anak maka semakin meningkatnya kejadian stunting.

Karakteristik keluarga meliputi usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan perkapita keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua. Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan yang lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak. Namun hal tersebut juga ditentukan oleh tingkat pendidikan orang tua. Terdapat dugaan rendahnya pendidikan, khususnya ibu memiliki peran penting kejadian kurang gizi pada anak. Pemilihan kombinasi makanan yang kurang tepat, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi anak. Selain itu, besar keluarga juga berdampak pada kecukupan gizi anak. Keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Selain itu, karakteristik keluarga, khususnya pada aspek besar keluarga dan pendapatan juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak.

(22)

6

Keterangan

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

: Hubungan antar variabel yang dianalisis : Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak.

METODE

Desain, Waktu, dan Lokasi

Desain yang akan digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2014 bertempat di SDN Cihideung Ilir 03 dan SDN Cibanteng 01, Kabupaten Bogor

Teknik Pengambilan Contoh

Populasi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4,5, dan 6 SDN Cihideung Ilir 03 dan SDN Cibanteng 01. Pemilihan SD dilakukan secara

purposive dan berdasarkan pernyataan Musthaq et al. (2011) bahwa dikarenakan Kabupaten Bogor merupakan daerah pedesaan; menunjukkan bahwa prevalensi

stunting pada daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan serta

Konsumsi pangan 1. Kuantitas: tingkat

kecukupan energi dan zat gizi

2. Pola konsumsi pangan

Morbiditas

Status Gizi (TB/U)

Prestasi belajar siswa

Karakteristik contoh 1. Jenis kelamin 2. Usia

3. Uang saku Karakteristik keluarga

1. Usia orang tua 2. Pendidikan orang tua 3. Pendapatan keluarga 4. Besar keluarga 5. Pekerjaan orang tua

(23)

telah mendapatkan izin dari pihak sekolah. Penentuan contoh didasarkan pada kriteria inklusi berupa: (a) contoh berusia 10-13 tahun; (b) contoh memiliki ibu yang tinggal satu rumah; (c) ibu dan contoh bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Jumlah minimal contoh penelitian yang sudah diketahui populasinya, ditentukan berdasarkan rumus Lemeshow et al. (1997).

n = Z2(1-α/2)P(1-P)N d2(N-1)+Z2(1-α/2)P(1-P)

keterangan:

n =Jumlah contoh minimal

Z(1-α/2) =Nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α (untuk α = 0.05 adalah 1.96)

N =Total populasi contoh

P =Prevalensi stunting anak usia sekolah di Jawa Barat (0.342) [Riskesdas 2010]

d =Tingkat kepercayaan (0.1)

Sehingga:

�= 1.96

2(0.342) (0.658) (295)

0.12 (2951) + 1.962(0,342)(0.658)

� ≈76 ����

Berdasarkan perhitungan, maka contoh minimal yang dibutuhkan adalah 76 contoh dengan perbandingan anak yang berstatus gizi stunting dan normal 1:1 yaitu 38 contoh berstatus gizi stunting dan 38 contoh berstatus gizi normal. Data jumlah populasi contoh berasal dari database sekolah yaitu sebesar 295 orang dari dua sekolah, masing-masing sebesar 134 contoh dari SDN Cihideung Ilir 03 dan 161 contoh dari SDN Cibanteng 01. Sebanyak 295 contoh diukur tinggi badan dan berat badan, namun hanya 63 contoh dari SDN Cibanteng 01 dan 90 contoh dari SDN Cihideung Ilir 03 yang bersedia diwawancarai dan mengisi kuesioner.

Kemudian contoh dibedakan menjadi menjadi kategori yang berstatus gizi

stunting dan normal serta dihitung jumlah contoh dari masing-masing kategori. Setelah dibedakan dan diketahui jumlah dari contoh yang berstatus gizi stunting

(24)

8

Gambar 2 Kerangka pengambilan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data karakteristik contoh, karakteristik keluarga, status gizi dan konsumsi pangan contoh merupakan data primer yang dikumpulkan menggunakan kuesioner dan wawancara terstruktur, selain itu data status gizi dikumpulkan dengan melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara langsung. Sedangkan data hasil prestasi belajar merupakan data sekunder yang diperoleh dari arsip sekolah melalui wali kelas yang diizinkan untuk menjadi data penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1.

Total populasi kelas 4,5,6 N=295

SDN Cibanteng 01 n=161

SDN Cihideung Ilir 03 n=134

Bersedia diwawancarai dan mengisi kuesioner

Normal n=41

Stunting n=22

Normal n=68

Stunting n=22

Data yang digunakan (berdasarkan kriteria

inklusi dan Simple

Randomized Sampling)

Normal n=38

(25)

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Jenis data Cara pengumpulan data

1. Karakteristik anak a. Jenis kelamin b. Usia (tahun) c. Uang saku (Rp/hari)

Pengisian kuesioner oleh contoh

2. Karakteristik keluarga a. Usia orang tua (tahun) b. Pendidikan orang tua

4. Morbiditas a. Jenis Penyakit

b. Frekuensi dan lama sakit (1 bulan terakhir)

Pengisian kuesioner oleh ibu contoh

5. Konsumsi pangan contoh a. Jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi

6. Prestasi belajar contoh Nilai murni Ujian Akhir Sekolah (UAS) mata pelajaran

Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Proses pengolahan data terdiri atas beberapa tahapan meliputi pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengeditan (editing), dan analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan analisis data menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for windows versi 16.0.

(26)

10

menunduk ataupun menengadah, kepala dan badan menempel ke dinding. Pada contoh yang berjenis kelamin perempuan ikat rambut harus dilepas agar kepala benar-benar menempel pada dinding. Setelah status gizi contoh (TB/U) dihitung menggunakan software WHO Anthro plus kemudian dilakukan pengelompokkan status gizi (TB/U) berdasarkan WHO (2007) yang terdapat pada Tabel 2.

Status gizi (IMT/U) diolah menggunakan software WHO Anthro plus

dengan memasukan data berat badan (kg) dan tinggi badan (m), jenis kelamin, dan tanggal lahir. Berat badan diukur menggunakan timbangan berat badan digital yang ditempatkan di permukaan/lantai datar dan didalam satu ubin. Saat pengukuran tinggi badan, contoh tidak memakai benda-benda yang memberatkan (jam tangan, handphone, cincin, kalung, dsb) kemudian posisi tubuh contoh harus berdiri tanpa menggunakan alas kaki, tubuh tegak, pandangan lurus ke depan. Setelah itu, status gizi contoh (IMT/U) dihitung menggunakan software WHO Anthro plus kemudian dilakukan pengelompokkan status gizi (IMT/U) berdasarkan WHO (2007) yang terdapat pada Tabel 2. Hasil pengelompokkan tersebut kemudian akan digunakan sebagai pertimbangan perhitungan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi (TKG) contoh.

Tabel 2 Kategori status gizi contoh

Indikator Status Gizi Keterangan

Tinggi badan menurut Data uang saku tersebut kemudian dirata-ratakan untuk diketahui gambaran uang saku yang diterima contoh. Setelah dirata-ratakan kemudian dikategorikan menjadi dua, yaitu jika kurang dari nominal rata-rata (< Rp4 605) maka dikategorikan kecil, sedangkan jika lebih dari nominal rata-rata (≥ Rp4 605) maka dikategorikan besar.

Karakteristik keluarga. Data karakteristik keluarga meliputi usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua. Data tersebut diperoleh dari pengisian kuesioner oleh orang tua. Data pendidikan dan pekerjaan orang tua diisi dengan cara memilih dari jawaban pilihan yang tersedia. Data pendapatan keluarga terdiri dari pendapatan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain. Sedangkan data besar keluarga terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) dan saudara yang tinggal di rumah maupun di luar rumah yang menjadi tanggungan keluarga inti (misalnya: nenek, paman, bibi, dsb). Data karakteristik keluarga dikelompokkan seperti pada Tabel 3.

(27)

pengisian kuesioner. Pola konsumsi pangan dapat diketahui melalui frekuensi pangan yang dikonsumsi oleh contoh dengan menggunakan metode

Semiquantitative Food Frequency Questionnaire. Data yang dikumpulkan direkap berdasarkan jenis makanan yang sering dikonsumsi selama satu bulan terakhir, kemudian data tersebut ditabulasi hingga diperoleh rata-rata frekuensi konsumsi per kelompok bahan pangan.

Tabel 3 Kategori data karakteristik keluarga

No. Karakteristik keluarga Kategori

1. Usia orang tua (WNPG 2004) a. Dewasa muda (20-29 tahun) b. Dewasa madya (30-49 tahun) c. Dewasa lanjut (≥ 50 tahun)

2. Pendidikan orang tua a.< SMA b.SMA c.> SMA

3. Pendapatan keluarga (BPS 2012) a.Miskin (≤ Rp231.438 /kapita/bulan) b.Tidak miskin (> Rp231.438 /kapita/bulan)

4. Besar keluarga (BKKBN 1997) a.Kecil (≤ 4 orang) b.Sedang (5-7 orang) c.Besar (≥ 8 orang)

5. Pekerjaan orang tua a.Tidak bekerja b.Buruh tani c.Jasa (ojeg/supir) d.PNS/TNI e.Pegawai swasta f. Pedagang/wiraswasta

g.Lainnya (pelaut, instruktur senam, penjahit, peternak, guru ngaji, satpam)

Metode kuantitatif adalah metode untuk mengetahui jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh contoh. Metode tersebut menggunakan kuesioner food recall 1x24 jam dan food record 1x24 jam. Pada hari pertama pengambilan data, dilakukan recall atau metode mengingat bahan pangan beserta porsi yang dikonsumsi pada hari sebelumnya (24 jam) dengan cara wawancara terstruktur kepada contoh. Setelah itu, contoh diberikan kuesioner food record

1x24 jam atau metode pencatatan makanan yang bertujuan agar contoh dapat mengisi sendiri bahan pangan yang sudah dikonsumsi contoh pada hari berikutnya. Contoh sebelumnya sudah diberikan pengarahan agar tidak terjadi kesalahan dalam pencatatan.

Pada hari pengembalian kuesioner, contoh diwawancara kembali untuk pengecekan ulang (verifikasi). Setelah metode food record sudah dilakukan maka dilanjutkan dengan metode food purchasing yaitu peneliti membeli langsung

(28)

12

KGij = [(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)]

Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j

Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gram)

Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 gram BDD bahan makanan-j

BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan (Hardinsyah &Briawan 1994)

Setelah asupan energi dan zat gizi serta angka kecukupan zat gizi contoh diketahui, selanjutnya dihitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi, protein, vitamin (vitamin A dan vitamin C), dan mineral (kalsium dan zat besi) bagi setiap individu. Salah satu syarat untuk menghitung TKG yaitu berdasarkan status gizi anak (IMT/U). Pengkategorian status gizi anak (IMT/U) dapat dilihat pada Tabel 2. Rumus yang digunakan untuk anak (contoh) yang berstatus gizi gemuk dan kurus adalah sebagai berikut.

TKGi = [Ki/AKG] x 100%

Sedangkan untuk anak yang berstatus gizi normal untuk menghitung TKG perlu dilakukan koreksi terhadap berat badan (BB). Berikut merupakan rumus yang digunakan.

AKGi = BB aktualx AKG BB ideal

TKGi = [Ki/AKGi] x 100%

Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan energi atau zat gizi-i

Ki = Konsumsi energi atau zat gizi-i

AKGi = Angka kecukupan energi atau zat gizi-i (setelah dihitung dengan pertimbangan berat badan)

AKG = Angka kecukupan energi atau zat gizi (sesuai dengan tabel AKG) (Hardinsyah Briawan 1994)

Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan pada contoh berdasarkan AKG 2013 disajikan pada Tabel 4. Sedangkan kategori tingkat kecukupan energi, protein, vitamin (vitamin A dan vitamin C), dan mineral (kalsium dan zat besi) dikelompokkan seperti pada Tabel 5.

Tabel 4 Angka kecukupan energi dan zat gizi serta berat dan tinggi badan ideal anak usia sekolah

Kelompok umur BB TB E P L KH Kalsium Besi Vit A Vit C (kkal) (g) (g) (g) (mg) (mg) (RE) (mg)

Laki

10-12 tahun 34 142 2100 56 70 289 1200 13 600 50 13-15 tahun 46 158 2475 72 83 340 1200 19 600 75

Perempuan

(29)

Tabel 5 Kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi

No Tingkat kecukupan energi

dan zat gizi Kategori Keterangan

1 Tingkat kecukupan energi

Morbiditas. Data morbiditas atau riwayat sakit diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh orang tua contoh. Pada kuesioner memuat pertanyaan tentang morbiditas contoh dalam 1 bulan terakhir yaitu meliputi frekuensi atau jumlah sakit (kali/bulan) dan lama sakit (hari). Penyakit dikelompokkan menjadi penyakit infeksi dan penyakit non infeksi. Penyakit infeksi terdiri dari batuk, pilek, diare, demam, demam berdarah, dan asma. Sedangkan penyakit non infeksi terdiri dari maag, alergi, sakit mata, sakit kepala, dan sakit gigi. Frekuensi dan lama sakit dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung. Pengelompokkan tingkat morbiditas dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kategori tingkat morbiditas

No Variabel Kategori Keterangan

1. Frekuensi sakit

Prestasi belajar. Data prestasi belajar adalah data sekunder yang diperoleh dari database sekolah, merupakan nilai Ujian Akhir Semester (UAS) yang dilaksanakan dari tanggal 2-7 Juni 2014. Nilai tersebut merupakan nilai murni (bukan nilai rapor) yang sudah direkap oleh guru wali kelas masing-masing. Nilai yang diambil adalah dari mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA. Menurut Hidayati et al. (2010) mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA merupakan mata pelajaran yang dapat mewakili kemampuan siswa secara umum. Mata pelajaran Matematika dapat merepresentasikan kemampuan penalaran untuk memecahkan masalah, IPA dapat merepresentasikan kemampuan berpikir, bekerja, serta bersikap ilmiah, sedangkan Bahasa Indonesia dapat merepresentasikan kemampuan berbahasa (Depdiknas 2006). Selain itu, ketiga mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang akan diujikan pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai-nilai dari mata pelajaran tersebut kemudian akan dirata-ratakan dan dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Kategori data prestasi belajar disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kategori data prestasi belajar

Variabel Kategori Rata-rata nilai

(30)

14

Analisis data menggunakan program SPSS 16.0 for Windows dan melakukan analisis univariat dan bivariat.

1. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel baik variabel dependen dan independen dengan gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk jumlah dan presentase, yaitu dengan melakukan uji normalitas untuk data yang termasuk ke dalam data rasio, yaitu: usia contoh, uang saku, usia orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, frekuensi sakit, lama sakit, status gizi (TB/U dan IMT/U), dan prestasi belajar. Kemudian dilakukan analisis deskriptif yang meliputi: data rasio dan data kategorik (jenis kelamin, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua). Analisis deskriptif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut:

a. Data tersebar normal: dilakukan analisis deskriptif, yaitu dengan menggunakan rata-rata (x±sd).

b. Data tidak tersebar normal: dilakukan analisis deskriptif, yaitu dengan menggunakan median kemudian dicari nilai minimal dan maksimal dari data tersebut (min-max).

Selain analisis deskriptif dilakukan analisis uji beda yang diperlukan untuk mengetahui perbedaan antara karakteristik anak (usia dan uang saku), karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua), konsumsi pangan, morbiditas (frekuensi dan lama sakit), dan prestasi belajar anak yang berstatus gizi stunting dan normal.

a. Uji beda t-test dilakukan jika data dua variabel yang dibedakan tersebar normal, yaitu data status gizi (IMT/U), usia ibu, asupan vitamin A, dan prestasi belajar

b. Uji beda Mann-whitney dilakukan jika terdapat data yang tidak tersebar normal, yaitu data usia contoh, uang saku, status gizi (TB/U), usia ayah, pendapatan keluarga, besar keluarga, asupan energi, asupan protein, asupan zat besi, asupan vitamin C, tingkat kecukupan energi dan seluruh zat gizi, frekuensi sakit, serta lama sakit.

2. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel dependen dengan salah satu variabel independen yaitu dengan melakukan uji hubungan. Uji tersebut menggunakan uji korelasi Spearman,

yang digunakan untuk uji data yang tidak tersebar normal atau data tersebut termasuk ke dalam data kategorik, yaitu:

a. Data karakteristik uang saku contoh (tidak normal) dihubungkan dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (tidak normal).

b. Data karakteristik keluarga (pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dihubungkan dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (tidak normal).

c. Data tingkat kecukupan energi dan zat gizi (tidak normal) dihubungkan dengan nilai z-skor TB/U (tidak normal).

d. Data rata-rata frekuensi dan lama sakit (tidak normal) dihubungkan dengan nilai z-skor TB/U (tidak normal).

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia 10-13 tahun yang berada pada SDN Cibanteng 01 dan SDN Cihideung Ilir 03, Kabupaten Bogor. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, usia, dan uang saku) dan status gizi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi

Karakteristik Stunting Normal Total p

n % n % n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 14 37 15 39 29 38

Perempuan 24 63 23 61 47 62

Usia (tahun) 11(10,13)a 11(10,13)a 11(10,13) 0.6141)

10-11 26 68 29 96 55 72

12-13 12 32 9 4 21 28

Uang saku 4 000 (1 000,10 000)a 5 000 (2 000,10 000)a 4 000 (1 000,10 000) 0.1621)

Besar 15 39 20 53 35 46

Kecil 23 61 18 47 41 54

1)

uji Mann-Whitney, pada baris yang sama, huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara contoh stunting dan normal

Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kedua kelompok contoh, proporsi perempuan (62%) hampir 2 kali lipat daripada laki-laki (38%). Hasil menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan nilai z-skor TB/U pada contoh laki-laki yang stunting lebih rendah 2.5±0.4 SD) daripada contoh perempuan (-2.4±0.3 SD), namun berdasarkan uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada status gizi (TB/U) antar jenis kelamin pada contoh stunting (p > 0.05). Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa contoh laki-laki stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan contoh perempuan (p < 0.05)

Kisaran usia contoh adalah 10-13 tahun, masing-masing dengan rata-rata baik pada contoh stunting dan normal adalah 11 tahun. Proporsi usia 12-13 tahun pada contoh stunting (32%) jauh lebih banyak dibandingkan pada contoh normal (4%). Hasil juga menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan prevalensi stunting

yang tinggi sejalan dengan peningkatan usia walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) yang melakukan penelitian pada anak usia sekolah 6-12 tahun bahwa rata-rata usia contoh stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan contoh normal (p < 0.05). Usia pada contoh stunting

yang lebih dewasa daripada contoh normal dapat mengindikasikan terdapat contoh stunting mengalami keterlambatan usia masuk sekolah dan pengulangan kelas. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Daniels et al. (2004) bahwa anak

(32)

16

Pada penelitian ini yang dimaksud dengan uang saku adalah jumlah uang yang diberikan oleh orang tua dan keluarga kepada anak per hari yang digunakan untuk membeli makanan dan non makanan. Uang saku siswa dikategorikan menjadi dua berdasarkan rata-rata dari keseluruhan uang saku siswa, kategori uang saku yang besar yaitu ≥ Rp4 605 dan kategori uang saku kecil yaitu < Rp4605.

Kisaran uang saku contoh yaitu sebesar Rp1 000-10 000. Rata-rata uang saku pada contoh stunting sebesar Rp4 000 lebih kecil dibandingkan contoh normal yaitu sebesar Rp5 000. Proporsi uang saku pada contoh stunting yang tergolong dalam kategori kecil (61%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (47%). Begitu pun sebaliknya, hampir separuh contoh stunting memiliki uang saku yang termasuk dalam kategori besar (39%) lebih sedikit dibandingkan dengan contoh normal (53%). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada uang saku antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Namun, terdapat kecendrungan bahwa pada contoh stunting memiliki uang saku yang lebih kecil dibandingkan dengan contoh normal. Hal tersebut diperkuat oleh kenyataan sebagian besar rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting termasuk ke dalam kategori miskin (61%) (Tabel 10).

Status Gizi

Status gizi adalah kondisi kesehatan seseorang atau kelompok yang dikarenakan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat gizi (Riyadi 1995). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Pengukuran antropometri yang tepat pada anak usia kurang dari 19 tahun, untuk mengukur pertumbuhan linier dan mengetahui status gizi pada masa lampau umumnya dilakukan dengan pengukuran tinggi badan menurut umur (TB/U) sedangkan untuk mengetahui status gizi anak di masa sekarang dilakukan pengukuran indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) (Gibson 2005).

Rata-rata tinggi badan contoh stunting (127.18±1.84 cm) adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) 13 cm dari rata-rata tinggi badan contoh normal (140.7±7.99 cm). Selain itu, rata-rata nilai z-skor TB/U contoh stunting (-2.48±0.38 SD) signifikan lebih rendah (p < 0.05) dari contoh normal (-0.69±0.96 SD). Pada indeks IMT/U, rata-rata nilai z-skor IMT/U contoh stunting signifikan lebih rendah (-1.00±1.02 SD) (p < 0.05) daripada contoh normal (0.22±1.45) walaupun nilai keduanya masih tergolong normal. Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) disajikan pada Tabel 9.

Pada Tabel 9 terlihat bahwa status gizi (IMT/U) baik pada contoh stunting

maupun contoh normal sebagian besar tergolong dalam kategori normal (79%). Namun, proporsi status gizi (IMT/U) pada contoh stunting yang tergolong kategori kurus (21%) 7 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (3%), dan tidak ada satu pun contoh stunting yang tergolong dalam kategori gemuk (0%). Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Popkin et al. (1996) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan kasus

(33)

dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa nilai z-skor IMT/U contoh stunting

signifikan lebih tinggi daripada contoh normal.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U)

Karakteristik Stunting Normal Total p

n % n % n %

Kurus 8 21 1 3 9 12

Normal 30 79 30 79 60 79

Gemuk 0 0 7 18 7 9

Rata-rata±SD -1.00±1.02a 0.22±1.45b -0.39±1.39 0.0001)

1)

uji Mann-Whitney, pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga adalah ciri khas yang melekat pada suatu keluarga yang terdiri usia orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, dan pekerjaan orang tua yang disajikan pada Tabel 10. Rata-rata usia ayah, baik pada contoh stunting maupun normal yaitu 44.5 tahun. Tidak ada usia ayah yang termasuk dalam kategori dewasa muda. Namun, usia ayah pada contoh

stunting yang termasuk dalam kategori dewasa madya (84%) lebih besar dibandingkan contoh normal (71%). Rata-rata usia ibu yaitu 38±7.8 tahun pada contoh stunting dan 44.6±7.8 tahun pada contoh normal. Proporsi usia ibu yang tergolong dewasa muda pada contoh stunting (11%) hampir 4 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (3%). Sebaliknya, proporsi usia ibu yang tergolong dewasa madya pada contoh normal (92%) lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (82%). Hal ini berarti usia ibu pada contoh stunting

cenderung lebih muda dibandingkan dengan contoh normal. Walaupun usia orang tua (khususnya ibu) memiliki rata-rata yang berbeda, namun berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar usia orang tua pada kedua kelompok contoh (p > 0.05).

(34)

18

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi

Karakteristik Stunting Normal Total p

n % n % n %

keluargaa 200 000(40 000,833 000)a 500 000(16 700,3 000 000)b 272 860(16 700,3 000 000) 0.0001)

Miskin 23 61 5 13 28 37 perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Proporsi pendidikan ibu kurang dari SMA pada contoh stunting (82%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan pada contoh normal (66%). Sebaliknya, pendidikan ibu yang berada pada jenjang SMA pada contoh stunting

(35)

konsumsi pangan, serta status gizi. Selain itu, menurut pernyataan Senbanjo et al.

(2011) bahwa prevalensi stunting signifikan lebih tinggi pada anak yang yang orangtuanya berpendidikan rendah.

Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain per bulan yang diperoleh dari hasil bekerja dan dinilai dalam bentuk uang dan dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Rata-rata pendapatan keluarga pada contoh stunting (Rp200 000/kapita/bulan) signifikan lebih rendah (p < 0.05) daripada contoh normal (Rp500 000/kapita/bulan). Proporsi pendapatan keluarga pada contoh stunting

yang termasuk dalam kategori miskin (61%) 4.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (13%). Menurut pernyataan Musthaq et al.

(2011) bahwa anak yang tinggal di lingkungan berpendapatan rendah signifikan lebih banyak yang stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan berpendapatan menengah dan tinggi.

Besar keluarga yang dimaksud pada penelitian ini adalah banyaknya orang yang tinggal di satu rumah dan yang menjadi tanggungan keluarga. Kisaran besar keluarga pada kedua kelompok contoh yaitu sebesar 3-15 orang. Proporsi besar keluarga yang termasuk kategori besar pada contoh stunting (32%) 12 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan contoh normal (0%). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin banyak anggota keluarga, presentase kejadian

stunting cenderung semakin meningkat, walaupun hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar besar keluarga kedua kelompok contoh (p > 0.05). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa rata-rata besar keluarga contoh stunting signifikan lebih tinggi dibandingkan contoh normal (p < 0.05).

Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pekerjaan orang tua adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan orang tua contoh cukup bervariasi yaitu dari tidak bekerja sampai menjadi pegawai negeri/swasta. Pada contoh stunting, terdapat ayah yang tidak bekerja (13%) 2.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (5%). Sebaliknya, proporsi pekerjaan ayah sebagai PNS dan karyawan swasta pada contoh normal (58%) 3 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting

(18%). Sedangkan pekerjaan ibu pada kedua kelompok contoh sebagian besar adalah ibu rumah tangga dengan presentase masing-masing sebesar 74% pada contoh stunting dan 71% pada contoh normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar pekerjaan orang tua kedua kelompok contoh (p > 0.05).

(36)

20

Konsumsi Pangan

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah konsumsi pangan. Konsumsi pangan dianalisis dari segi kuantitas dan pola konsumsi pangannya. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari rata-rata asupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi sedangkan pola konsumsi pangan dapat diketahui melalui frekuensi konsumsi pangan contoh yang datanya dikumpulkan dengan metode Semiquantitative Food Frequency Questionnaire.

Kuantitas konsumsi pangan

Rata-rata asupan energi dan keseluruhan zat gizi berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi

Zat Gizi Asupan p

Stunting Normal

Energi (Kal/hari) 1140±237a 1614 (980,3516)b 0.0001)

Protein (g/hari) 32 (13,54)a 41.5 (24,100)b 0.0021)

Zat Besi (mg/hari) 10.5 (4,21)a 13.5 (5,43)b 0.0021)

Vitamin A (mcg/hari) 357±211a 554 (123,1272)b 0.0002)

Vitamin C (mg/hari) 12.5 (2,75)a 26.5 (4,125)b 0.0001) Kalsium (mg/hari) 186.5 (41,3149)a 237 (34,3475)a 0.4511)

1)

uji Mann-Whitney; 2)uji t-test; pada baris yang sama, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara contoh stunting dan normal

Pada Tabel 11 terlihat bahwa rata-rata asupan energi dan hampir keseluruhan zat gizi pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah daripada contoh normal (p < 0.05), kecuali untuk zat gizi kalsium adalah tidak signifikan perbedaannya antar kedua kelompok contoh (p > 0.05). Namun demikian, rata-rata asupan kalsium pada contoh stunting adalah lebih rendah (186.5 mg/hari) dibandingkan dengan contoh normal (237 mg/hari). Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 menetapkan kecukupan energi anak usia sekolah usia 10-12 dan 13-15 tahun untuk laki-laki adalah masing-masing sebesar 2 100 Kal/hari dan 2 475 Kal/hari. Sedangkan untuk perempuan pada kelompok umur yang sama adalah masing-masing sebesar 2 000 Kal/hari dan 2 125 Kal/hari. Berdasarkan data di atas, rata-rata asupan energi pada kedua kelompok contoh masih di bawah standar AKG 2013. Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi

Zat Gizi Tingkat kecukupan (%) p

Stunting Normal Rata-rata

Energi 71±20.2a 87 (52,167)b 77 (35,167) 0.0201)

Protein 68±27.2a 69 (38,167)a 71 (26,171) 0.4091)

Zat Besi 69.5 (36,164)a 78 (28,348)a 74 (28,348) 0.1751)

Vitamin A 93±54a 147±76b 115 (6,351) 0.0001)

Vitamin C 32 (5,260)a 51 (10,271)b 35 (5,271) 0.0391)

Kalsium 20 (4,475)a 23 (3,290)a 22 (3,475) 0.8071)

1)

(37)

Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi, vitamin A, dan vitamin C pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal (p < 0.05). Sedangkan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan kalsium adalah tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok contoh (p > 0.05), meskipun rata-rata tingkat kecukupan protein, zat besi, dan kalsium pada contoh stunting lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yasmin (2014) bahwa rata-rata asupan dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan contoh normal.

Terlihat dari Tabel 12, tingkat kecukupan vitamin A nilainya besar dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Hal tersebut diduga karena konsumsi sayuran sebagai pangan sumber vitamin dan didukung dengan data frekuensi konsumsi contoh pada Tabel 14 yaitu pangan yang cukup sering dikonsumsi contoh sebagai penyumbang terbesar asupan vitamin A, meliputi bayam, kangkung, dan wortel dengan frekuensi konsumsi hampir 2 kali/hari. Asupan vitamin A pada contoh juga banyak bersumber dari minyak kelapa sawit dikarenakan contoh lebih sering mengonsumsi pangan dan jajanan gorengan (tahu dan tempe goreng) hampir 2 kali/hari. Rata-rata tingkat kecukupan energi (± 77%) dan protein (± 71%) pada kedua kelompok contoh tergolong defisit. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin dan mineral sebagian besar sudah tergolong cukup (≥ 77%), kecuali vitamin C, zat besi, dan kalsium yang tergolong kurang (< 77%) bahkan nilainya < 50%. Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan gizi

Zat gizi Stunting Normal Total

n % n % n %

Energi

Defisit 29 76 23 61 52 68

Normal 9 24 7 18 16 21

Kelebihan 0 0 8 21 8 11

Protein

Defisit 33 87 24 63 57 75

Normal 4 11 6 16 10 13

Kelebihan 1 3 8 21 9 12

Kalsium

Kurang 33 87 36 95 69 91

Cukup 5 13 2 5 7 9

Besi

Kurang 23 61 18 47 41 54

Cukup 15 39 20 53 35 46

Vitamin A

Kurang 14 37 9 24 23 30

cukup 24 63 29 76 53 70

Vitamin C

Kurang 37 97 26 68 63 83

(38)

22

Pada tabel 13 terlihat bahwa proporsi tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit pada contoh stunting (76%) adalah lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (61%). Sebaliknya, proporsi tingkat kecukupan energi yang tergolong kelebihan pada contoh normal (21%) 8 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (0%). Proporsi tingkat kecukupan protein yang tergolong defisit pada contoh stunting (87%) hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (63%). Sebaliknya, proporsi tingkat kecukupan protein yang tergolong kelebihan pada contoh normal (21%) 7 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (3%). Hal tersebut diduga pada contoh normal lebih sering mengonsumsi protein hewani (telur dan daging ayam) bersamaan dengan protein nabati (tahu dan tempe) hampir 2 kali/hari.

Proporsi tingkat kecukupan zat besi (61%) dan vitamin A (37%) yang tergolong kurang pada contoh stunting hampir 1.5 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh normal (47% dan 24%). Sedangkan, untuk proporsi tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong kelebihan pada contoh normal (32%) 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan contoh stunting (3%). Namun, proporsi tingkat kecukupan kalsium yang tergolong cukup pada contoh stunting

(13%) 2.5 kali lipat lebih besar dibandingkan contoh normal (5%). Hal tersebut diduga karena pada contoh stunting lebih sering mengonsumsi es krim (7 kali/minggu), yoghurt (5 kali/minggu), dan susu skim (7 kali/minggu) yang mengandung susu daripada contoh normal (4 kali/minggu, 2 kali/minggu, dan 2 kali/minggu) (Tabel 14).

Hasil juga menunjukkan bahwa presentase tingkat kecukupan energi (68%) dan protein (75%) pada contoh sebagian besar tergolong defisit. Hal ini mengindikasikan, contoh yang memiliki asupan energi dan zat gizi makro tergolong defisit cenderung lebih banyak yang berstatus gizi stunting. Sedangkan untuk hampir seluruh tingkat kecukupan zat gizi mikro mengalami defisiensi, yaitu kalsium (91%), zat besi (54%), dan vitamin C (83%) kecuali vitamin A yang sudah tergolong cukup (70%). Tingkat kecukupan vitamin A yang cukup serta tingkat kecukupan zat besi dan kalsium yang rendah diduga karena sayuran yang sering dikonsumsi mengandung fitat dan serat yang dapat menurunkan bioavaibilitas mineral khususnya kalsium dan zat besi. Selain itu, berdasarkan data frekuensi konsumsi bahan pangan (Tabel 14), frekuensi konsumsi protein nabati, seperti tahu dan tempe (± 11 kali/minggu) lebih sering dibandingkan dengan protein hewani (± 7 kali/minggu). Konsumsi protein nabati yang mengandung serat terbilang cukup sering sehingga diduga dapat menurunkan bioavaibilitas zat besi. Hal ini mengindikasikan contoh lebih banyak mengonsumsi pangan yang mengandung inhibitor daripada enhancer terhadap zat besi dan kalsium.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Neumann et al. (2003) bahwa tingginya kandungan fitat dan serat di diet mengakibatkan bioavaibilitas zat besi rendah. Selain itu, diduga kedua kelompok contoh sering mengonsumsi teh kemasan hampir 3 kali/hari yang mengandung polifenol (tanin) yang dapat mengganggu penyerapan zat besi dan kalsium. Menurut pernyataan Hurrel et al.

(39)

Pola konsumsi pangan

Tujuan dalam mengukur frekuensi konsumsi adalah untuk memberikan informasi secara deskriptif tentang pola konsumsi pangan (Gibson 2005). Pola konsumsi pangan ditentukan berdasarkan frekuensi konsumsi bahan pangan per minggunya. Tabel 14 menunjukkan rata-rata frekuensi konsumsi untuk masing-masing kelompok pangan berdasarkan status gizi contoh.

Tabel 14 Rata-rata frekuensi konsumsi untuk masing-masing kelompok pangan berdasarkan status gizi

Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu)

(40)

24

Pada Tabel 14 terlihat bahwa distribusi kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 3 kali/hari. Namun, pada contoh stunting konsumsi mie (7 kali/minggu) lebih sering dibandingkan dengan contoh normal (5 kali/minggu). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi konsumsi makanan pokok antara kedua kelompok contoh berdasarkan status gizi (p > 0.05). Hasil data juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh mengonsumsi pangan yang kurang berkualitas seperti mie. Hal tersebut diduga karena faktor pendapatan keluarga yang rendah dapat mempengaruhi orang tua, khususnya ibu dalam pemilihan pangan yang akan menurunkan kuantitas dan kualitas makanan. Keadaan tersebut dapat dilihat pada contoh stunting yang umumnya memiliki pendapatan keluarga yang tergolong miskin (Tabel 10) sehingga lebih sering mengonsumsi mie instan.

Jenis protein hewani yang sering dikonsumsi adalah daging ayam, sosis, dan telur dengan frekuensi konsumsi paling sering sebesar 7 kali/minggu. Kelompok bahan pangan susu dan olahannya juga termasuk ke dalam protein hewani. Frekuensi konsumsi es krim pada contoh stunting (7 kali/minggu) adalah lebih sering daripada contoh normal (4 kali/minggu). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi konsumsi protein hewani antara kedua kelompok contoh berdasarkan status gizi (p > 0.05). Kelompok protein nabati yang paling sering dikonsumsi contoh adalah tahu, tempe, kacang tanah dan kacang hijau. Frekuensi konsumsi kacang hijau pada contoh stunting (14 kali/minggu) adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) dibandingkan dengan contoh normal (21 kali/minggu). Selain itu, frekuensi konsumsi tempe pada contoh stunting (11 kali/minggu) adalah signifikan lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan dengan contoh normal (7 kali/minggu).

Rata-rata frekuensi konsumsi sumber protein (hewani dan nabati) pada contoh stunting (15 kali/minggu) adalah lebih rendah daripada contoh normal (23 kali/minggu). Frekuensi konsumsi tersebut menunjukkan bahwa > 2 kali/hari contoh stunting maupun normal mengonsumsi sumber protein. Berdasarkan hasil tersebut, frekuensi konsumsi sumber protein pada contoh stunting maupun normal sudah mencapai konsumsi yang dianjurkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014 yaitu sebanyak 2-4 porsi, jika asumsinya jumlah yang dikonsumsi sesuai dengan jumlah porsi dari masing-masing jenis pangan sumber protein.

Jenis sayur yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah bayam dengan frekuensi konsumsi paling banyak sebesar 7 kali/minggu. Frekuensi konsumsi buah pisang (3 kali/minggu) dan jeruk (2 kali/minggu) pada contoh normal lebih besar dibandingkan contoh stunting (1 kali/minggu). Sedangkan frekuensi konsumsi buah salak (3 kali/minggu) dan jambu air (7 kali/minggu) pada contoh stunting adalah lebih sering daripada contoh normal (3 kali/minggu dan 2 kali/minggu). Hasil analisis menunjukkan frekuensi konsumsi jeruk pada contoh stunting adalah signifikan lebih rendah (p < 0.05) daripada contoh normal. Sedangkan frekuensi konsumsi jambu air pada contoh stunting

(41)

Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran (16.5 kali/minggu) dan buah-buahan (15 kali/minggu) pada contoh stunting adalah lebih rendah daripada contoh normal (17 kali/minggu dan 23 kali/minggu). Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui rata-rata frekuensi konsumsi sayur pada kedua kelompok contoh yaitu sebesar 2 kali/hari, namun hal tersebut belum mencapai konsumsi yang dianjurkan Pedoman Gizi seimbang (PGS) 2014 yaitu sebanyak 3-4 porsi/hari dan menurut Riskesdas (2013) konsumsi sayur contoh tergolong dalam kategori kurang jika < 5 kali/hari. Sedangkan untuk frekuensi konsumsi buah pada kedua kelompok contoh yaitu sebesar > 2 kali/hari sudah sesuai dengan anjuran dari Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014 yaitu sebesar 2-3 porsi/hari.

Jenis jajanan terdiri dari makanan dan minuman. Jenis jajanan untuk makanan yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah bakso. Frekuensi konsumsi bakso dan tempe goreng pada contoh stunting (7 kali/minggu) adalah lebih sering daripada contoh normal (6 kali/minggu dan 5 kali/minggu). Sedangkan untuk frekuensi konsumsi tahu goreng (4 kali/minggu) dan cilok (7 kali/minggu) pada contoh normal adalah lebih sering daripada contoh

stunting (3 kali/minggu dan 2 kali/minggu). Jenis jajanan tahu dan tempe goreng juga termasuk ke dalam sumber protein, walaupun pangan tersebut dikonsumsi bukan bagian dari menu makan utama melainkan bagian dari jajanan atau selingan.

Jenis jajanan untuk minuman yang paling sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah teh gelas dengan frekuensi konsumsi paling sering sebesar 21 kali/minggu dan berdasarkan hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada frekuensi konsumsi teh gelas antar kedua kelompok contoh (p < 0.05). Frekuensi konsumsi sirup (7 kali/minggu) pada contoh stunting adalah signifikan lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan contoh normal (2 kali/minggu). Sedangkan frekuensi konsumsi minuman perisa atau ale-ale (2 kali/minggu) pada contoh normal adalah lebih sering daripada contoh

stunting (0 kali/minggu).

Hasil juga menunjukkan bahwa contoh lebih sering membeli jajanan yang dibuktikan dengan frekuensi konsumsi jajanan yang cukup sering. Hal tersebut diduga berdasarkan hasil wawancara dengan contoh, sebagian besar ibu jarang untuk membuat masakan sendiri di rumah sehingga contoh lebih suka membeli jajanan di luar. Menurut pernyataan Madanijah et al. (2010) bahwa sebanyak 46% siswa mengalokasikan uang saku yang diberikan orang tua untuk membeli jajanan. Menurut pernyataan Aurisinkala-Appado (2013) bahwa jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak usia sekolah umumnya adalah makanan yang mengandung banyak garam, gula, energi, dan lemak, seperti makanan yang digoreng dan minuman kemasan. Selain itu, menurut pernyataan Shaikh et al.

(2014) bahwa anak usia sekolah lebih sering mengonsumsi teh, susu dan produk susu, sayuran non hijau, dan makanan kemasan (biskuit, keripik, dan coklat).

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara karakteristik keluarga dan
Gambar 2  Kerangka pengambilan contoh
Tabel 1  Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3  Kategori data karakteristik keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diskusi kelas adalah sebuah rangkaian kegiatan pembelajaran kelompok di mana setiap kelompok mendapat tanggung jawab untuk mendiskusikan sesuai dengan tema/masalah/judul

Jika dibandingkan dengan nilai standar deviasi dari beberapa formula empiris seperti pada tabel 3, maka nilai standar deviasi untuk formula empiris magnitudo

[r]

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak daun kari (Murraya koenigii L.) terhadap kadar glukosa darah mencit (Mus musculus) yang diinduksi

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Sungai Latuppa, Kelurahan Latuppa, Kecamatan Wara Utara, Kota Palopo pada bulan Mei sampai Juni 2016 yang bertujuan untuk

Model Spot Capturing akan memberikan kebebasan dalam mengaktualisasi gelombang otak global mulai dari imajinasi, kreasi dan logika. Semua siswa dapat menjalani proses

Pada Pukul 10.00 Wib, sesuai dengan Jadwal Tahapan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Tahun Anggaran 2013,

Saat bronkoskopi berlangsung banyaknya sekret dahak dinilai menjadi 3 derajat, yaitu derajat 1: hampir tidak ada sekret dahak; derajat 2: memerlukan larutan garam fisiologis