• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Ketimpangan Kesejahteraan di Empat Negara ASEAN Gambar 5 menunjukkan rasio gini empat negara ASEAN yang diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan. Karena tingkat tabungannya lebih tinggi, tingkat kekayaan kelompok pendapatan tinggi akan tercatat lebih rendah jika yang dicatat adalah pengeluarannya. Otomatis ketimpangan akan terkalkulasi lebih rendah. Pada tahun 2007 rasio gini Indonesia sebesar 0.36 dan sempat turun pada tahun 2008 menjadi 0.35. Namun dari tahun 2009 hingga 2013 rasio gini meningkat drastis hingga ke tingkat 0.41. Sementara itu, rasio gini di Malaysia pada tahun 2002 hingga 2004 mengalami penurunan dikarenakan masyarakat telah sadar akan pentingnya pendidikan bagi kesetaraan. Akan tetapi di tahun-tahun berikutnya ketimpangan mulai meningkat akibat terjadinya diskriminasi antar ras dimana orang melayu cenderung mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan orang India dan China.

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS, 2013 (Indonesia)

World Bank, 2013 (Malaysia dan Thailand)

Department of Statistics Singapore, 2013 (Singapura)

Gambar 5 Rasio gini empat negara ASEAN periode 2002-2013 Selanjutnya rasio gini Thailand yang juga mengalami kenaikan dan penurunan dari 0.39 menjadi 0.40 di tahun 2013. Singapura memiliki angka rasio gini konstan selama enam tahun terakhir, yaitu 0.45. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan kesejahteraan antara orang kaya dan miskin di negara-negara

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Indonesia 0,33 0,32 0,32 0,36 0,33 0,36 0,35 0,37 0,38 0,41 0,41 0,41 Malaysia 0,38 0,39 0,38 0,40 0,43 0,46 0,46 0,46 0,46 0,46 0,46 0,46 Singapura 0,43 0,44 0,45 0,45 0,44 0,47 0,45 0,45 0,45 0,45 0,45 0,45 Thailand 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,41 0,40 0,39 0,39 0,39 0,40 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

17 ASEAN setiap tahun semakin melebar. Ke empat negara ini masuk dalam klasifikasi ketimpangan sedang (middle inequality) dimana angka rasio gininya kurang dari 0.5.

Gambar 6 menunjukkan GDP per kapita di empat negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Di antara ke empat negara tersebut, Indonesia dan Thailand memiliki GDP per kapita terendah sedangkan Singapura memiliki GDP per kapita tertinggi. Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah dibandingkan Singapura.

Sumber: World Bank, 2014

Gambar 6 GDP per kapita empat negara ASEAN periode 1987-2011 (USD) Indonesia tercatat sebagai negara paling banyak penduduknya di peringkat ke empat dengan 241973879 jiwa (World Bank 2011). GDP per kapita Indonesia sebesar 3364 USD sedangkan Singapura 10 kali lipat GDP per kapita Indonesia, yaitu sebesar 33989 USD. Sementara itu, GDP per kapita Malaysia dan Thailand pada tahun 2012 berturut-turut sebesar 3353 USD dan 6786 USD. Adapun trend

GDP per kapita di masing-masing negara setiap tahun selalu meningkat. Hanya saja ketika terjadi krisis seperti tahun 2000 dan 2008 GDP per kapita sempat mengalami penurunan. Berdasarkan GDP per kapita, Indonesia masuk dalam kategori negara yang berpendapatan menengah (middle income).

Kondisi Umum Perpajakan di Empat Negara ASEAN

Gambar 7 menunjukkan batas atas tarif progresif dari individual income tax rate empat negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Indonesia melakukan penyesuaian dan penyederhanaan peraturan terhadap tax rate dengan menurunkannya secara konstan dan bertahap dari 35 persen menjadi 30 persen dan menghapus lapisan tarif 10 persen. Sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 menjadi 4 lapisan saja. Sementara lapisan Penghasilan Kena Pajak yang semula lapisan tertingginya adalah sebesar Rp 200.000.000,- dinaikkan menjadi Rp 500.000.000,- di tahun 2009 hingga 2013. Kebijakan ini meningkatkan penerimaan pajak sebesar 1.6 kali lipat dari Rp 619.9 trilliun menjadi Rp 1019

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 G DP per K a pita ( USD) Malaysia Indonesia Singapura Thailand

18

trilliun. Peningkatan penerimaan pajak ini sejalan dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi dan bisnis (Muhammad 2003). Walaupun meningkat, Indonesia masih mempunyai nilai kekompetitifan yang kecil bila dibandingkan dengan Singapura.

Sumber: KPMG, 2014

Gambar 7 Tarif pajak penghasilan perseorangan empat negara ASEAN periode 2006-2013 (%)

Indonesia mendapat peringkat 130 untuk kemudahan pajak dan peringkat 67 untuk keringanan pajak. Adapun Singapura merupakan negara dengan kemudahan pajak (tax haven) dan negara dengan tax rate terendah di ASEAN dengan nilai persentase konstan sebesar 20 persen dari tahun 2006 hingga 2013. Singapura menduduki peringkat ke 32 pada tahun 2012 sebagai negara paling ringan biaya pajaknya. Singapura menarik banyak sekali investasi langsung asing karena negaranya yang bebas korupsi, dan yang terpenting adalah rendahnya pajak bagi warga asing serta tersedianya infrastruktur yang maju.

Selanjutnya Malaysia dari tahun 2009 hingga 2013 tax rate nya turun 1 persen menjadi 26 persen. Thailand dengan 37 persen dan mengalami penurunan di tahun 2013 menjadi 35 persen. Berdasarkan dari gambaran ini, tarif pajak penghasilan memiliki kecenderungan menurun di antara negara anggota ASEAN (Effendi et al. 2011). Hal ini merupakan dampak dari globalisasi dunia dan semakin meningkatnya kemajuan teknologi yang memudahkan akses informasi tanpa ada batasan tempat dan waktu. Sehingga dalam menjaga kompetisi, penurunan tarif di suatu negara akan mempengaruhi negara sekitarnya juga ikut menurunkan tarif pajaknya (Direktorat Jenderal Pajak 2008).

Gambar 8 menunjukkan tax ratio empat negara ASEAN. Seperti yang terlihat, Indonesia memiliki tax ratio terendah dibandingkan tiga negara lainnya.

Tax ratio yang rendah disebabkan beberapa kendala, seperti masih rendahnya kesadaran masyarakat (taxpayers' awareness) untuk membayar pajak, belum optimalnya pelaksanaan penyuluhan dan pelayanan di bidang perpajakan, dan banyak potensi pajak yang belum tergali dan terealisasi secara optimal (Kurniawan 2004). 35 35 35 30 30 30 30 30 28 28 28 27 26 26 26 26 20 20 20 20 20 20 20 20 37 37 37 37 37 37 37 35 0 5 10 15 20 25 30 35 40 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ind iv idu a l Inco m e T a x Ra te (%) Indonesia Malaysia Singapura Thailand

19 Pada periode 10 tahun terakhir, rata-rata tax ratio Indonesia berada pada tingkat 12 persen dengan rasio pajak tertinggi di tahun 2008, yaitu sebesar 13.31 persen. Tax ratio terendah, yaitu sebesar 8.34 pada tahun 2000 dikarenakan krisis global yang membuat penerimaan pajak penghasilan pun turun sebesar 9.7 persen. Sementara itu, tax ratio Malaysia pada periode 1987-2001 sangat fluktuatif akan tetapi 8 tahun terakhir ini cenderung memiliki trend yang datar berkisar antara 14 hingga 15 persen. Begitu pula Singapura dan Thailand, trend tax ratio nya relatif stabil dan turun ketika terjadi krisis.

Sumber: World Bank, 2014

Gambar 8 Rasio pajakempat negara ASEAN periode 1987-2011 (%) Gambar 9 menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi empat negara ASEAN. Negara Indonesia di tahun 1987-1990 mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Akan tetapi di tahun 1997, Indonesia dan tiga negara lainnya mulai mengalami fluktuasi yang disebabkan krisis ekonomi. Walaupun demikian selama 8 tahun terakhir perekonomian Indonesia cukup membaik, Singapura memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diantara ketiga negara lainnya. Namun, pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Singapura turun drastis dari 9.1 persen menjadi 6 persen. Trend pertumbuhan di Malaysia dan Thailand di tahun 2011 pun cenderung menurun, hanya Indonesia yang pertumbuhannya naik dari 6.2 persen menjadi 6.5 persen. Penerimaan pajak diarahkan untuk memberikan stimulus secara terbatas guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas (Fiscal News 2007). Pemungutan pajak yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Adapun pajak penghasilan di Indonesia selama 10 tahun terakhir memiliki rata-rata kontribusi terhadap penerimaan pajak sebesar 47.8 persen. Salah satu pendorongnya karena pengaturan pajak penghasilan telah banyak diimplementasikan oleh perusahaan baik swasta maupun perusahaan milik pemerintah dengan memotong gaji pegawainya secara otomatis, khususnya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jumlah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sampai dengan tahun 2012 sekitar 22 juta NPWP, dengan NPWP badan sebanyak 1.5 juta NPWP dan orang pribadi sekitar 20.5 juta NPWP (Kontan 2012). 0 5 10 15 20 25 30 T a x Ra tio ( %) Indonesia Malaysia Singapura Thailand

20

Sumber: World Bank, 2014

Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi empat negara ASEAN periode 1987-2011 (%) Berdasarkan data-data kuantitatif tersebut, nampak bahwa fasilitas-fasilitas jalan, jembatan, transportasi publik, ketersediaan listrik dengan harga terjangkau, rumah sakit murah pemerintah, obat-obat generik, keamanan oleh TNI dan POLRI, dan fasilitas-fasilitas layanan publik lainnya, ditanggung sebagian besar hanya oleh 7,9 persen orang pribadi yang berpenghasilan. Seharusnya pembiayaan-pembiayaan fasilitas publik tersebut tidak semestinya hanya ditanggung oleh segelintir orang pribadi dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia tapi seharusnya oleh seluruh orang pribadi yang berpenghasilan dan semua perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia (Wiyoso 2012). Hal ini terjadi karena individu bertindak rasional dengan mengevaluasi biaya dan manfaat dari setiap tindakan mereka (Brooks 2001). Selain itu, pemerintah gagal memasukkan item tertentu ke dalam tax base

sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan yang seharusnya dapat diterima (Rosen 1998).

Hubungan antara Variabel Pertumbuhan Ekonomi, Tax Ratio, dan GDP Per Kapita dengan Variabel Penerimaan Pajak Penghasilan

Berdasarkan hasil pengujian variabel independen, yang terdiri dari tax rate, tax ratio, growth, dan GDP per kapita terhadap variabel dependennya, yaitu penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) didapatkan nilai probabilitas Chi-square

pada uji Hausman, yaitu 0.0000, artinya model terbaik yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM) karena nilai probabilitas Chi-square kurang dari taraf nyata 5 persen. Pada model ini penduga parameternya dilakukan dengan pembobotan (period weights) menggunakan metode GLS (Generalized Least Square). Melalui metode ini, model ditransformasikan sedemikian rupa agar mendapatkan komponen sisaan yang homogen dan tidak menunjukkan masalah heteroskedastisitas maupun autokorelasi atau bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator). -15 -10 -5 0 5 10 15 20 G RO WT H Indonesia Malaysia Singapura Thailand

21 Tabel 5 Hasil estimasi model dengan metode Fixed Effect

Variabel Koefisien Standard Eror t-Statistik Probabilitas

TR 1.820194 0.233552 7.793514 0.0000* TRK -0.40968 0.003496 -11.71873 0.0000* TRT 0.303275 0.022730 13.34258 0.0000* GROWTH 0.087118 0.048139 1.809701 0.0746** LNGDPK 1.017133 0.139985 7.265995 0.0000* C 20.92975 4.377997 4.780668 0.0000*

Uji Kesesuaian Model

R2 0.943816

Prob F-Statistik 0.000000

Sum squared resid 154.0812

DW-Statistik 0.691378

Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 5% **signifikan pada taraf nyata 10%

Melalui hasil estimasi model pada Tabel 5 didapatkan nilai R2 0.9438 yang menandakan bahwa variasi dari variabel independen dapat menjelaskan 94.38 persen variasi yang terdapat pada variabel dependen. Sisanya sebesar 5.62 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak masuk dalam model. Selain itu, evaluasi model diperkuat dengan melihat nilai probabilitas F-statistik. Nilai F-statistik sebesar 0.0000 dan signifikan pada taraf nyata 5 persen yang mengindikasikan bahwa secara keseluruhan semua variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen, yaitu pajak penghasilan (LNPPH).

Dalam model regresi berganda, penduga parameter dalam suatu model harus bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased, Estimator) dengan melakukan uji asumsi klasik. Uji yang pertama adalah uji multikolinieritas, yaitu menguji apakah ada dua atau lebih keterikatan antar variabel bebas. Hasil uji menunjukkan nilai rij2 (koefisien determinasi parsial antara dua variabel bebas) lebih kecil dari nilai R2 sehingga pada model tersebut tidak mengalami masalah multikolinieritas. Selanjutnya pengujian asumsi heteroskedastisitas, karena estimasi pada model menggunakan teknik GLS, yaitu memberi perlakuan period weights pada penduga parameter. Nilai sum-square resid weighted didapat lebih kecil dibandingkan sum-square resid unweighted. Sehingga masalah heteroskedastisitas pun telah teratasi.

Berdasarkan tanda dan signifikansi, variabel independen, yaitu tax ratio

(TRT) dianalisis signifikan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) di empat negara ASEAN. Tanda positif pada koefisien variabel ini menunjukkan adanya hubungan positif antara tax ratio (TRT) dengan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) di empat negara ASEAN. Setiap kenaikan 1 persen pada tax ratio (TRT) di empat negara ASEAN akan meningkatkan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) sebesar 0.3 persen, ceteris paribus. Variabel independen selanjutnya, yaitu pertumbuhan ekonomi (GROWTH) dianalisis signifikan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) di empat negara ASEAN. Tanda positif pada koefisien variabel ini menunjukkan adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi (GROWTH) dengan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) di empat negara ASEAN. Setiap kenaikan 1 persen pada pertumbuhan ekonomi (GROWTH) di empat negara ASEAN akan

22

meningkatkan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) sebesar 0.09 persen,

ceteris paribus.

Variabel independen terakhir yang diestimasi dalam model adalah variabel GDP per kapita (LNGDPK). GDP per kapita (LNGDPK) dalam model berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan (LNPPH). Tanda koefisien yang positif menunjukkan adanya korelasi positif antara GDP per kapita (LNGDPK) dengan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) di empat negara ASEAN. Kenaikan 1 persen pada GDP per kapita (GDPK) di empat negara ASEAN akan meningkatkan penerimaan pajak penghasilan (LNPPH) sebesar 1.02 persen, ceteris paribus. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini sudah sejalan dengan penelitian terdahulu yang menjadi rujukan, yaitu seluruh variabel bebas secara signifikan mempengaruhi variabel terikatnya, yaitu penerimaan pajak penghasilan (LNPPH).

Tingkat Optimal Tax Rate

Tax rate harus ditetapkan secara kompetitif dengan mempertimbangkan tax rate di negara-negara ASEAN untuk mendorong daya saing Indonesia dan mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak agar distribusi pendapatan yang merata dapat tercapai. Dengan mengetahui tax rate yang optimal, Indonesia dapat memaksimalkan penerimaan pajak khususnya pajak penghasilan. Karena apabila

tax rate terlalu tinggi, di satu sisi penerimaan negara akan meningkat atau orang menjadi enggan untuk membayar pajak sehingga penerimaan negara akan menurun. Sebaliknya, jika tax rate terlalu rendah, di satu sisi penerimaan negara akan menurun atau orang menjadi terdorong membayar pajak sehingga penerimaan negara meningkat. Jadi yang menjadi kunci adalah mencari titik ekuilibrium di antara kedua sisi ekstrim ini. Adapun tingkat tax rate tertinggi (progresif) yang optimal digambarkan dengan Laffer Curve, yaitu kurva yang menjelaskan hubungan antara tax rates dan tax revenue.

Gambar 10 Tingkat optimal tax rate Indonesia(Laffer Curve) 30 35 40 45 50 55 60 65 0 10 20 30 40 50 T a x Rev enue (%) Tax Rate (%) 22.195

23 Gambar 10 menunjukkan tax rate yang optimal, yaitu pada 22.195 persen yang didapatkan dari penerapan syarat derajat pertama (First Order Condition)

dengan memaksimumkan fungsi pada model. Dalam hal ini nilai tax ratio,

pertumbuhan ekonomi dan GDP per kapita disubsitusi menggunakan nilai rata-rata untuk keempat negara. Adapun tarif pajak di Indonesia dalam lima tahun terakhir berada pada tingkat 30 persen atau berada di sebelah kanan kurva Laffer. Oleh karena itu, agar penerimaan pajak di Indonesia dapat maksimum maka pemerintah perlu menurunkan tax rate ke tingkat di sekitar 22.195 persen. Hal ini akan mendorong wajib pajak untuk membayar pajak sehingga penerimaan pajak pun akan meningkat. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan. Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi akan membayar pajak lebih besar sementara itu kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan menerima subsidi yang berasal dari APBN dengan kontribusi terbesar dari pajak. Dengan demikian kesejahteraan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan meningkat sejalan dengan ketimpangan yang menurun.

Dokumen terkait