• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Morfologi Mutan Pisang Kepok Unti Sayang

Identifikasi morfologi dilakukan pada 24 tanaman pisang kepok Unti Sayang (US-1) male budless mutant yang telah diperbanyak dengan kultur jaringan sub kultur ke-1 sampai ke-6. Dari tanaman yang telah diperbanyak hanya beberapa tanaman saja yang telah berbunga dan berbuah yaitu dari sub kultur ke-1 sebanyak dua tanaman, sub kultur ke-4 sebanyak satu tanaman dan sub kultur ke-6 sebanyak satu tanaman. Selain itu, juga digunakan male budless mutant dari perbanyakan anakan serta pisang kepok kuning male bud yang juga telah berbunga dan berbuah sebagai tipe liar. Hasil pengamatan pada beberapa tanaman menunjukkan bahwa terdapat tanaman yang memunculkan fenotipe kembali memiliki kumpulan bunga jantan (revertrant mutant), yaitu dari perbanyakan sub kultur ke-6 dan juga dari perbanyakan anakan (Gambar 4).

Gambar 4 Pisang kepok Unti Sayang (US-1). 1=Male budless mutant; 2=Revertrant mutant. (A) munculnya jantung, (B) terbukanya braktea, (C) jatuhnya braktea, (D1) tidak ada male bud yang tersisa, (D2) male bud tersisa pada bagian ujung

Pisang kepok kuning (male bud) digunakan sebagai tanaman tipe liar, yaitu untuk membandingkannya dengan male budless mutant dan revertrant mutant. Ada atau tidaknya male bud hanya mempengaruhi beberapa karakter, yaitu panjang tangkai tandan, panjang tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per sisir, jarak antar sisir buah serta tipe gagang bunga. Berdasarkan karakter tersebut maka karakter yang paling berpengaruh dari ada atau tidaknya male bud adalah banyaknya buah yang dihasilkan. Pada male budless mutant buah yang dihasilkan adalah sebanyak 14 sampai 16 buah per sisir dengan jumlah sisir per tandan sebanyak 6 sampai 8 sisir. Jumlah buah yang dihasilkan pada male budless mutant lebih banyak jika dibandingkan dengan pisang kepok kuning yang memiliki buah sebanyak 13 sampai 16 buah per sisir dengan jumlah sisir per tandan adalah

15 sebanyak 6 sampai 7 sisir. Jumlah buah pada male budless mutant juga lebih banyak daripada revertrant mutant yang menghasilkan jumlah sisir per tandan yang lebih sedikit. Ini menunjukkan bahwa male budless mutant menghasilkan lebih banyak buah daripada pisang yang memiliki male bud (Tabel 5).

Tabel 5 Karakter morfologi male bud pada mutan pisang kepok Unti Sayang (US-1)

No Karakter Kepok kuning

Male budless Revertrant

1 Asal perbanyakan Anakan Sub kultur ke-1 dan ke-4 Sub kultur ke-6 Anakan 2 Panjang tangkai tandan ± 60 cm ± 63 cm 56 cm 60 cm 3 Panjang tandan ± 100 cm 100-113 cm 110 cm 115 cm 4 Jumlah sisir/tandan 6-7 6-8 5 7 5 Jumlah buah/sisir 13-16 14-16 ≥17 ≥20

6 Jarak antar sisir buah

± 12 cm ± 16 cm 8 cm 12 cm

7 Male bud Ada Tidak ada Ada Ada

8 Bekas braktea

pada gagang bunga

Ada bekas Tidak ada bekas Ada bekas Ada bekas

Identifikasi morfologi juga telah dilakukan oleh Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) pada tanaman male budless mutant lainnya, yaitu pada pisang kepok tanjung. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa ada karakter morfologi yang berubah akibat munculnya sifat male budless dan sifat ini berbeda dengan tipe liarnya. Pisang kepok tanjung male budless memiliki bentuk helaian daun yang lebih ramping dan panjang jika dibandingkan dengan tipe liarnya kepok tanjung yang memiliki male bud (Sobir et al. 2008).

Pada penelitian ini tidak ada karakter morfologi lain yang berubah akibat munculnya revertrant mutant baik dari perbanyakan kultur jaringan maupun anakan. Ini menunjukkan bahwa ada atau tidaknya male bud tidak menyebabkan perubahan pada karakter morfologi lain. Beberapa pengamatan morfologi telah dilakukan yang meliputi batang semu, tangkai dan helai daun, bunga dan buah serta anakan (Tabel 6).

16

Tabel 6 Karakter morfologi pada mutan pisang kepok Unti Sayang (US-1) male budless hasil perbanyakan kultur jaringan sub kultur ke-1, ke-4 dan revertrant dari sub kultur ke-6 dan anakan

No Karakter

Hasil Sub kultur ke-1, sub

kultur ke-4 (Male budless mutant)

Sub kultur ke-6, anakan (Revertrant mutant) 1 Nama tanaman Unti Sayang (US-1) Unti Sayang (US-1)

2 Umur tanaman 24 bulan 24 bulan

3 Umur berbunga 12-13 bulan 12-13 bulan

4 Umur panen 16-17 bulan 16-17 bulan

5 Tipe pertumbuhan daun Tegak Tegak

6 Dwarfisme Normal Normal

7 Tinggi batang semu 2.1-2.9 2.1-2.9

8 Bentuk batang semu Normal Normal

9 Warna batang semu Hijau-merah Hijau-merah

10 Lilin pada batang semu Berlilin Berlilin 11 Warna batang semu bagian dalam Hijau Hijau

12 Pigmentasi batang dalam Merah Merah

13 Warna getah Bening Bening

14 Lilin pada pelepah daun Sedang Sedang

15 Jumlah anakan 2-4 2-4

16 Perkembangan anakan Diantara ¼ dan ¾ dari tinggi induk

Diantara ¼ dan ¾ dari tinggi induk

17 Posisi anakan Dekat dengan induk Dekat dengan induk 18 Bercak dipangkal tangkai daun Luas Luas

19 Warna bercak pada tangkai daun Coklat Coklat 20 Tipe lekuk tangkai daun III Tepi melengkung

kedalam

Tepi melengkung kedalam

21 Tepi tangkai daun Bersayap dan lekat batang

Bersayap dan lekat batang

22 Tipe sayap Kering Kering

23 Warna tepi tangkai daun Pink-ungu sampai merah

Pink-ungu sampai merah

24 Ujung tepi tangkai daun Ada garis berwarna yang panjang

Ada garis berwarna yang panjang

25 Lebar tepi tangkai daun ≤ 1cm ≤ 1cm

26 Panjang helai daun 171-220 cm 171-220 cm

27 Lebar helai daun 71-80 cm 71-80 cm

28 Ratio panjang lebar ≥3 ≥3

29 Panjang tangkai daun ≤ 50 cm ≤ 50 cm

30 Warna permukaan atas daun Hijau tua Hijau tua 31 Penampilan permukaan atas daun Bercahaya Bercahaya 32 Warna permukaan bawah daun Hijau sedang Hijau sedang 33 Penampilan permukaan bawah daun Pudar Pudar

34 Lilin pada daun Sedang Sedang

35 Titik pangkal helai daun Asimetrik Asimetrik 36 Bentuk pangkal daun Kedua sisi bulat Kedua sisi bulat 37 Bengkok pada daun Sedikit membengkok Sedikit membengkok 38 Warna belakang tulang daun Hijau terang Hijau terang

39 Warna depan tulang daun Hijau tua Hijau tua 40 Warna bibir pelepah daun Merah-ungu Merah-ungu 41 Bercak daun pada anakan Tanpa bercak Tanpa bercak

42 Lebar tangkai tandan 7-12 cm 7-12 cm

43 Warna tangkai tandan Hijau Hijau

44 Rambut pada tangkai tandan Tidak berambut Tidak berambut 45 Posisi buah terikat Menggantung vertical Menggantung vertical

17 Tabel 6 (Lanjutan)

No Karakter

Hasil Sub kultur ke-1, sub

kultur ke-4 (Male budless mutant)

Sub kultur ke-6, anakan (Revertrant mutant)

47 Kenampakan tandan Longgar Longgar

48 Bunga pembentuk buah Betina Betina

49 Posisi tandan Menggantung vertical Menggantung vertical

50 Penampilan tandan Botak Botak

52 Bentuk pangkal braktea Bahu kecil Bahu kecil 53 Bentuk ujung braktea Agak meruncing Agak meruncing

54 Pola pelepasan braktea Menggulung Menggulung

55 Warna luar braktea Merah-ungu Merah-ungu

56 Warna dalam braktea Merah Merah

57 Warna ujung luar braktea Kuning Kuning

58 Warna goresan pada braktea Tidak berwarna Tidak berwarna 59 Bekas braktea pada gagang bunga Sangat menonjol Sangat menonjol 60 Kepudaran warna pada pangkal braktea Warna relatif sama Warna relatif sama 61 Bentuk braktea x/y < 0.28 (lancet) x/y < 0.28 (lancet) 62 Lapisan lilin pada braktea Sedang Sedang

63 Lekuk pada braktea Sedikit berlekuk Sedikit berlekuk

64 Susunan bakal biji Empat Empat

65 Bentuk buah Lurus membengkok Lurus membengkok

67 Garis potong buah Runcing Runcing

68 Ujung buah Tumpul Tumpul

69 Sisa tangkai bunga pada ujung buah Ada sisa Ada sisa

70 Panjang tangkai buah ≤10 mm ≤10 mm

71 Lebar tangkai buah < 5 mm < 5 mm

72 Permukaan tangkai buah Tidak berambut Tidak berambut 73 Fusi tangkai buah Fusi sebagian Fusi sebagian 74 Warna kulit buah sebelum masak Hijau terang Hijau terang

75 Warna kulit buah masak Kuning Kuning

76 Tebal kulit buah 2.5 mm 2.5 mm

77 Kemudahan mengupas Mudah dikupas Mudah dikupas

78 Retakan pada kulit buah Tidak retak Tidak retak

79 Ampas pada buah Tidak ada Tidak ada

80 Warna daging mentah Putih Putih

81 Warna daging masak Kuning Kuning

82 Buah jatuh dari tandan Tidak jatuh Tidak jatuh

83 Tekstur daging buah Biasa Biasa

Pengamatan morfologi terhadap beberapa karakter batang semu (pseudostem) pada male budless mutant dan revertrant mutant menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan karakter batang semu. Semua tanaman memiliki tipe pertumbuhan daun tegak dan memiliki ketegaran batang semu yang termasuk kedalam kategori normal atau kekar (Gambar 5). Kultivar-kultivar yang merupakan turunan dari M. balbisiana yang memiliki genom B pada umumnya memiliki batang semu yang tinggi, kekar dan memiliki daun yang lebih tebal misalnya pisang kepok (ABB) (Simmonds & Shepherd 1995).

Morfologi tangkai dan helai daun dari keseluruhan tanaman yang diamati juga tidak menunjukkan adanya perbedaan antara male budless mutant dan revertrant mutant (Gambar 6).

18

Gambar 5 Morfologi batang semu. (A) ketegaran batang, (B) bercak pada batang semu, (C) warna bagian dalam batang semu, (D) warna bercak pelepah dekat daun

Gambar 6 Morfologi tangkai dan helai daun. (A) bentuk pangkal helai daun, (B) bentuk ujung daun, (C) warna permukaan atas daun, (D) warna permukaan bawah daun, (E) warna tepian daun, (F) warna permukaan bawah tulang daun, (G) bentuk kanal tangkai daun, (H) bentuk tangkai daun dekat pelepah

19 Morfologi struktur bunga dan buah yang diamati juga tidak menunjukkan adanya variasi pada warna tepal lekat, pigmentasi tepal, warna tepal lepas, penampakan tepal lepas, bentuk ujung tepal lepas, perkembangan ujung tepal lepas, warna kepala sari, bentuk tangkai putik, warna kepala putik, dan susunan bakal biji (Gambar 7).

Gambar 7 Morfologi struktur bunga betina dan buah. (A) bentuk bunga, (B) warna tepal lekat, (C) bentuk tangkai putik, (D) warna tepal lepas, (E) bentuk anter, (F) sisa tangkai bunga pada buah, (G) bentuk buah, (H) susunan bakal biji

Munculnya revertrant mutant diduga berhubungan dengan stabilitas klonal. Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan in vitro secara komersial. Terinduksinya revertrant mutant menunjukkan adanya variasi somaklonal ketika penanaman di lapangan. Variasi somaklonal yang terdapat pada tanaman hasil kultur in vitro disebabkan karena meningkatkan frekuensi terjadinya aberasi kromosom yang disebabkan oleh patahnya ikatan kromosom, pertukaran basa tunggal, perubahan dalam jumlah kopi urutan basa yang berurutan dan perubahan dalam pola metilasi DNA yang menyebabkan munculnya variasi

20

akibat epigenetik (Kaeppler et al. 2000). Variasi somaklonal dapat disebabkan oleh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan kedalam medium, tipe regenerasi, kultivar atau klon yang digunakan, sumber eksplan, umur kultur, frekuensi sub kultur dan lingkungan kultur (Karp 1995).

Pada penelitian ini, zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah dari dua kelompok sitokinin yaitu turunan adenine yaitu BAP dan turunan fenilurea yaitu TDZ. Konsentrasi BAP yang digunakan adalah sebesar 0.08 ppm dan konsentrasi TDZ yang digunakan adalah sebesar 2 ppm. BAP dan TDZ mempunyai respon fisiologi yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel serta diferensiasi dan pertumbuhan jaringan. Penggunaan zat pengatur tumbuh sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi dapat berpengaruh negatif karena dapat meningkatkan frekuensi tanaman regeneran tumbuh abnormal akibat tingginya kecepatan multiplikasi.

Beberapa kultivar dalam satu spesies tanaman juga dapat menunjukkan tingkat variasi yang berbeda ketika diperbanyak secara in vitro. Terdapat kultivar yang menunjukkan variasi yang berlebihan, sedangkan yang lainnya stabil. Pada pisang kepok tanjung menunjukkan perubahan bentuk helaian daun akibat adanya sifat male budless, pada pisang cavendish terjadi abnormalitas berupa kekerdilan yang mencapai 70% dan terus terbawa hingga beberapa siklus perbanyakan vegetatif. Pada mutan pisang kepok Unti Sayang male budless menunjukkan adanya revertrant mutant akan tetapi tidak menyebabkan perubahan pada karakter morfologi yang lain. Munculnya revertrant mutant diduga disebabkan oleh adanya perubahan susunan olionukleotida pada untai DNA yang terjadi secara acak dan berbeda untuk masing-masing tanaman.

Tingginya sub kultur hingga sub kultur ke-6 diduga menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme dari tanaman sehingga menginduksi munculnya variasi somaklonal yaitu ditemukannya revertrant mutant. Sub kultur dilakukan untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi. Akan tetapi, jika sub kultur dilakukan secara berlebihan maka juga dapat menginduksi variasi (Skirvin et al. 1994). Eksistensi keragaman genetik diduga berhubungan dengan kestabilan jaringan dari genotipe pisang tersebut untuk merespon perlakuan didalam kultur. Sub kultur dapat dilakukan terus menerus tetapi dengan bertambahnya umur kultur maka sub kultur menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik, sehingga sub kultur harus dibatasi. Cote et al. (1993) menemukan bahwa pada pisang cavendish sub kultur maksimal dilakukan 10 kali. Variasi yang sering muncul pada kultur in vitro pisang berupa kelainan bentuk, ukuran bunga, perubahan bentuk daun, batang semu, dan warna.

Tregear et al. (2002) juga menemukan adanya abnormalitas yang terjadi pada bibit kelapa sawit hasil kultur jaringan dengan beberapa kali sub kultur, dimana bunga kelapa sawit stamen dan staminodes berubah menjadi struktur buah semu (buah mantel) sehingga menyebabkan sterilitas dan abnormalitas tersebut bersifat epigenetik. Phillips et al. (1994) menemukan bahwa tanaman yang beregenerasi dari kultur kalus yang relatif tidak berdiferensiasi menyebabkan kemungkinan terjadinya perubahan genetik yang sangat besar.

Belum diketahui dengan pasti apakah munculnya revertrant mutant disebabkan karena adanya induksi perlakuan selama kultur jaringan, karena ditemukan juga revertrant mutant dari perbanyakan anakan. Perbedaan dan perubahan morfologi dari tumbuhan juga dapat disebabkan karena perbedaan tempat tumbuh, dimana male budless mutant ini pertama kali ditemukan di Sulawesi. Selain itu, cara penanaman yang beragam juga dapat memicu adaptasi

21 dan mutasi. Perbedaan morfologi belum bisa untuk memastikan adanya perubahan secara genetik karena faktor adaptasi sementara biasanya tidak permanen. Oleh karena itu, analisis dengan menggunakan penanda molekular juga digunakan untuk menganalisis pola pita DNA dari semua sampel tanaman baik dari kultur jaringan maupun anakan.

Marka Molekular RAPD dan ISSR Terpaut Sifat Male Budless

Marka molekular digunakan untuk mengetahui kestabilan genetik tanaman hasil regenerasi secara in vitro dan anakan. Pengujian stabilitas genetik tanaman melalui pengujian molekuler terhadap hasil mikropropagasi merupakan tahapan penting dalam produksi benih secara massal, karena permasalahan utama dalam mikropropagasi melalui embriogenesis somatik adalah munculnya variasi somaklonal. Marka molekular digunakan untuk memverifikasi secara genetik serta untuk memperoleh pita DNA pembeda antara genotipe male budless mutant dan revertrant mutant serta membandingkan pola pita DNA tersebut dengan tipe liarnya. Deng et al. 1995 menggunakan penanda RAPD dan dapat membedakan antara genotip lemon mutan dengan normalnya.

Amplifikasi DNA dengan menggunakan 20 primer RAPD menghasilkan 101 pita DNA dengan ukuran berkisar antara 250-1250 pb. Jumlah pita yang dihasilkan per primer bervariasi, mulai dari 2 pita (OPA 9, OPA 12 dan OPJ 16) sampai 9 pita (OPA 2 dan OPA 7) (Tabel 7). Amplifikasi DNA dengan menggunakan 12 primer ISSR menghasilkan 52 pita DNA dengan ukuran berkisar antara 250-1750 pb. Jumlah pita yang dihasilkan per primer juga bervariasi, mulai dari 3 pita (PKBT 5 dan PKBT 11) sampai 7 pita (PKBT 2 dan PKBT 3) (Tabel 8). Semua pita DNA yang dihasilkan merupakan pita monomorfik untuk semua sampel hasil sub kultur serta anakan.

Tabel 7 Total pita yang dihasilkan dari 20 primer RAPD

No Nama Primer Jumlah Pita DNA Ukuran Pita DNA (pb) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 OPA 1 OPA 2 OPA 3 OPA 4 OPA 7 OPA 8 OPA 9 OPA 11 OPA 12 OPA 13 OPA 15 OPA 16 OPA 17 OPA 18 OPA 19 OPJ 4 OPJ 9 OPJ 11 OPJ 13 OPJ 16 4 9 8 5 9 4 2 6 2 7 3 6 3 7 4 3 7 3 7 2 500-1250 250-1250 250-1250 250-1250 250-1250 250-1250 500-750 750-1250 1000-1250 250-1250 500-1000 250-1250 500-1250 250-1250 500-1250 250-750 250-1500 250-500 250-1250 250-750 Total Pita 101

22

Tabel 8 Total pita yang dihasilkan dari 12 primer ISSR

No Nama Primer Jumlah Pita DNA Ukuran Pita DNA (pb) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PKBT 1 PKBT 2 PKBT 3 PKBT 4 PKBT 5 PKBT 6 PKBT 8 PKBT 9 PKBT 11 PKBT 12 4 7 7 6 3 6 6 6 3 4 250-1000 250-1750 250-1250 250-1250 250-500 500-1500 250-1250 250-750 500-1250 250-750 Total Pita 52

Amplifikasi PCR dengan menggunakan primer RAPD dan ISSR dilakukan untuk semua sampel tanaman pisang yang berasal dari hasil kultur jaringan sub kultur ke-1 sampai ke-6 sebanyak 24 tanaman. Berdasarkan pengamatan morfologi ditemukan adanya revertrant mutant, akan tetapi hasil amplifikasi DNA pada semua tanaman baik dari kultur jaringan maupun anakan vegetatif tidak menunjukkan adanya pola pita DNA yang berbeda. Amplifikasi terhadap tanaman yang berasal dari anakan serta tipe liarnya dengan menggunakan primer ISSR juga menghasilkan pola pita DNA monomorfik (Gambar 8).

Gambar 8 Pola pita ISSR yang dihasilkan oleh primer PKBT-2 pada 24 tanaman pisang hasil kultur jaringan sub kultur 1-6. M=marker (1 kb DNA ladder, Promega), 1-3=sub kultur ke-1, 4-5=sub kultur ke-2, 6-10=sub kultur ke-3, 11-14=sub kultur ke-4, 15-21=sub kultur ke-5, 22-24=sub kultur ke-6

Amplifikasi juga dilakukan pada tanaman yang menunjukkan adanya variasi morfologi yaitu ada atau tidaknya male bud, yaitu menggunakan male budless mutant dari sub kultur ke-1 (S1), revertrant mutant dari sub kultur ke-6 (S6), revertrant mutant dari anakan vegetatif (A), serta tanaman pembanding yaitu pisang kepok kuning yang memiliki male bud (WT) (Gambar 9 dan 10).

23

Gambar 9 Pola pita DNA hasil amplifikasi dengan primer RAPD. (A) OPA 2, (B) OPA 12 dan OPA 13, (C) OPA 16, (D) OPJ 9 dan OPJ 16. M=marker (1 Kb DNA ladder, Promega), WT=tipe liar, S1=sub kultur ke-1 male budless mutant, S6=sub kultur ke- 6 revertrant mutant, A=anakan revertrant mutant

Gambar 10 Pola pita DNA hasil amplifikasi dengan primer ISSR. (A) PKBT 2, (B) PKBT 11, (C) PKBT 9, (D) PKBT 8, (E) PKBT 6. M=marker (1 Kb DNA ladder, Promega), WT=tipe liar, S1=sub kultur ke-1 male budless mutant, S6=sub kultur ke- 6 revertrant mutant, A=anakan revertrant mutant

Primer-primer yang digunakan belum dapat menunjukkan adanya variasi genetik atau belum terpaut dengan sifat male budless. Lakshmanan et al. (2007) juga telah menganalisis kestabilan genetik tanaman pisang dengan menggunakan 30 primer RAPD serta 5 primer ISSR. Hasil yang diperoleh adalah pola pita DNA monomorfik, dimana tidak terdapat pola pita yang berbeda antara tanaman induk dengan tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan meskipun terdapat variasi morfologi.

Pasangan basa DNA yang digunakan pada primer sangat beragam, tetapi tidak ditemukan polimorfisme tunggal yang mampu membedakan antara tanaman pisang male bud, male budless mutant dan revertrant mutant baik dari perbanyakan kultur jaringan maupun anakan. Tingginya tingkat kemiripan genetik menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pita DNA antara tanaman pisang male bud dan male budless mutant sehingga karakter yang diperoleh bersifat Real Isogenic Line (RIL). Tidak adanya perubahan pada DNA mampu menyebabkan

24

perubahan fenotipik, dimana ekspresi gen dari perubahan tersebut memberikan implikasi yang cukup besar pada perubahan fenotipiknya, khususnya dalam menentukan muncul atau tidaknya male bud.

Tidak adanya variasi pita DNA yang dihasilkan dari primer erat hubungannya dengan perubahan dalam satu atau dua oligonukleotida pada utas DNA yang belum dapat dideteksi dengan teknik ISSR dan RAPD. Hasil amplifikasi primer RAPD dan ISSR tidak terdeteksi adanya perubahan genetic. Akan tetapi, kemungkinan terdapat beberapa perubahan genetik yang tidak dapat terdeteksi seperti adanya mutasi titik diluar situs penempelan primer. Polimorfisme antar genotipe dapat terdeteksi jika ada mutasi titik atau inversi pada tempat melekatnya primer dan adanya penyisipan atau delesi dalam satu fragmen amplifikasi (Debener 2002).

Mathius et al. (2001) menggunakan penanda RAPD untuk menganalisis genotip normal dan abnormal. Hasil yang diperoleh tidak ada satupun pita DNA dari 15 primer yang mencirikan abnormalitas pada semua klon yang diuji. Teknik RAPD tersebut hanya mampu membedakan antar genotip normal, abnormal dan berbunga jantan dalam klon yang sama, namun tidak ditemukan pita DNA pembeda abnormalitas yang dapat digunakan untuk semua klon. Mathius et al. (2005) juga telah menggunakan 20 primer AFLP untuk menganalisis genotip normal dan abnormal pada klon kelapa sawit. Primer yang digunakan menghasilkan 264 pita DNA, akan tetapi tidak ditemukan pita pembeda spesifik yang dapat membedakan antar genotip normal, abnormal atau berbunga jantan, dimana variasi ini erat hubungannya dengan pola metilasi DNA dan metilasi tersebut bersifat epigenetik.

Pada penelitian ini digunakan sebanyak 20 primer RAPD dan 12 primer ISSR. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa semakin banyak jumlah primer yang digunakan, semakin rendah nilai koefisien keragaman hasil analisis yang diperoleh. Sepuluh sampai duapuluh primer dianggap sudah mencukupi untuk keperluan analisis karena dengan sepuluh primer pengaruh kesalahan percobaan telah dapat diperkecil hingga mendekati nol (Hallden et al. 1994). Analisis dengan menggunakan 200 karakter RAPD menurut Andebrham & Furtek (1994) telah dapat memberikan hasil analisa yang dapat dipercaya. Dengan mengkombinasikan pengamatan karakter morfologi dan molekuler maka kelemahan masing-masing karakter dapat dieliminasi sehingga didapatkan hasil evaluasi variasi yang kuat.

Analisis Marka Molekuler dan Sekuen DNA dari Primer Gen Pistillata (PI) dan Agamous (AG)

Amplifikasi DNA pada tahap ini bertujuan untuk memverifikasi sampel tanaman tersebut memiliki gen PI yang terkait dengan pembentukan petal dan stamen, serta gen AG yang terkait dengan pembentukan stamen dan karpel dalam organ pembungaan. Adam et al. (2007) menemukan bahwa pada tanaman kelapa sawit adanya abnormalitas yang berupa buah mantel melibatkan gen AG2 yang mengontrol identitas bunga jantan dan betina, dimana jika akumulasi gen AG2 pada bunga menjadi lebih tinggi akan menyebabkan terganggunya kontrol identitas organ reproduksi terutama kontrol bunga jantan sehingga menyebabkan abnormalitas. Gen AG2 dan gen EGAD1 memiliki hubungan pengaturan terhadap

25 organ reproduktif tumbuhan, selain itu adanya gangguan dari mikroorganisme juga dapat menyebabkan ekspresi gen AG2 terganggu.

Verifikasi dilakukan pada tanaman yang menunjukkan adanya variasi morfologi yaitu ada atau tidaknya male bud, yaitu menggunakan tanaman pisang male budless dari sub kultur ke-1 (S1), tanaman pisang revertrant dari sub kultur ke-6 (S6), tanaman pisang revertrant dari anakan vegetatif (A), serta tanaman pembanding yaitu pisang kepok kuning male bud (WT). Dua pasang primer PI dan AG didesain berdasarkan informasi sekuen gen Pistillata dan Agamous dari aksesi Musa yang terdapat pada database GeneBank. Dua pasang primer yang diuji dapat mengamplifikasi semua sampel tanaman, ditunjukkan dengan terbentuknya pita tunggal dengan ukuran antara 500-750 pb (Gambar 11). Ini menunjukkan bahwa semua sampel tanaman yang diuji baik tanaman pisang male bud, male budless dan revertrant memiliki gen PI dan AG, sehingga kemungkinan terdapat gen lain yang mengontrol karakter male budless.

Pita DNA hasil amplifikasi tidak dapat memastikan bahwa semua sampel tanaman memiliki sekuen DNA yang sama, karena perbedaan satu atau beberapa basa seperti Single Nucleotide Polymorphism (SNP) tidak dapat terdeteksi melalui

Dokumen terkait