• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Pola Sekuensial dengan Algoritme PrefixSpan

Sebelum menentukan pola sekuens, data kemunculan titik panas Kalimantan harus melalui tahap praproses terlebih dahulu. Pada tahap ini, dilakukan tiga hal yaitu seleksi data, transformasi data dan pembuatan data sekuensial. Seleksi data dilakukan dengan memilih atribut yang akan digunakan pada penelitian. Dari 12 atribut pada data titik panas NASA dan 11 atribut data titik panas KLH, dipilih atribut longitude, latitude dan tanggal kemunculannya saja. Pemilihan atribut dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk menentukan pola sekuens, cukup ketiga atribut itu saja yang digunakan. Pada seleksi data juga dilakukan pemilihan data titik panas yang berada pada wilayah studi dan memiliki nilai confidence lebih dari sama dengan 70%. Gambar 11 merupakan gambar plot titik panas sebelum diseleksi. Dari gambar tersebut, terlihat ada bagian berwarna biru tua. Bagian itu merupakan area studi yaitu lahan gambut di Kalimantan. Adapun titik panas yang diperoleh dari NASA dan KLH masih terdapat titik panas yang berada diluar wilayah studi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan data. Gambar 12 merupakan hasil seleksi data. Dapat dilihat bahwa data titik panas yang berada diluar wilayah studi sudah dihilangkan.

Gambar 11 Plot data titik panas sebelum diseleksi

19 Pada tahap transformasi data, dilakukan penambahan atribut tanggal bertipe integer yang diberi nama tanggal2 serta pembulatan pada atribut longitude dan

latitude. Isi atribut tanggal2 merupakan konversi atribut acq_date yang bertipe

date mejadi kode tanggal bertipe integer. Hal ini dilakukan karena SPMF hanya dapat menerima input data dengan tipe integer. Pada penelitian ini, kode tanggal yang digunakan adalah nilai 1 hingga 730. Kode tanggal 1 diberikan untuk kemuculan titik panas pada tanggal 1 Januari 2014. Kode tanggal 2 diberikan untuk kemunculan titik panas pada tanggal 2 Januari 2014, begitu seterusnya hingga kode tanggal 730 untuk 31 Desember 2015. Setelah itu, dilakukan pembulatan pada atribut longitude dan latitude yang awalnya 3 angka di belakang koma, menjadi 2 angka di belakang koma. Hal ini dilakukan karena hanya sedikit lokasi dengan nilai longitude dan latitude tertentu yang memiliki jumlah kemunculan titik panas lebih dari satu. Sehingga akan sulit untuk dibuat pola sekuensnya. Data

set titik panas yang telah dibulatkan memiliki arti bahwa satu titik panas mewakili lebih dari satu kemunculan titik panas pada radius 1 km. Atribut longitude dan

latitude yang telah dibulatkan ini yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya. Kemudian, data diurutkan berdasarkan atribut tanggal2. Tabel 3 merupakan hasil transformasi data.

Tabel 3 Hasil transformasi data titik panas Kalimantan 2014

Latitude sebelum dibulatkan Longitude sebelum dibulatkan Latitude setelah dibulatkan Longitude setelah dibulatkan acq_date tanggal2 -3.098 111.881 -3.10 111.89 10/01/2014 10 -3.055 111.896 -3.06 111.90 17/01/2014 17 -2.892 112.131 -2.89 112.13 17/01/2014 17 -3.257 112.398 -3.26 112.40 19/01/2014 19 -3.267 112.733 -3.27 112.73 26/01/2014 26

Tahap praproses data terakhir adalah pembuatan data sekuensial. Tahap ini dilakukan dengan pemrograman PHP dengan menggunakan atribut longitude dan

latitude sebagai id dan tanggal2 sebagai event atau item. Satu sekuens merupakan rangkaian event pada satu lokasi. Tabel 4 merupakan contoh data sekuens titik panas yang terbentuk.

Tabel 4 Contoh data sekuens titik panas Kalimantan 2015

Longitude Latitude Data sekuensial 108.94 0.80 <(728)>

109.48 -0.53 <(622)(629)>

109.12 0.32 <(618)(622)(627)(628)(630)>

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada lokasi dengan nilai

longitude 109.48 dan latitude -0.53, terdapat kemunculan titik panas pada hari ke-622 dan hari ke-629. Dengan kata lain, pada lokasi tersebut terdapat kemunculan titik panas pada tanggal 14 September 2015 dan 21 September 2015. Dari informasi itu juga diketahui bahwa kemunculan titik panas pada lokasi tersebut mempunyai rentang waktu 8 hari.

Data sekuensial pada Tabel 4 tidak dapat langsung dijadikan input untuk SPMF. Sehingga harus dilakukan penyesuaian format terlebih dahulu. Untuk format masukan SPMF, setiap data sekuensial yang berurutan dipisahkan dengan

20

karakter “-1” sedangkan akhir list item diakhiri dengan karakter “-2”. Tabel 5

merupakan contoh data sekuensial yang telah disesuaikan formatnya.

Tabel 5 Contoh data sekuens titik panas dengan format masukan SPMF

Longitude Latitude Data sekuensial 108.94 0.80 728 -1 -2

109.48 -0.53 622 -1 629 -1 -2

109.12 0.32 618 -1 622 -1 627 -1 628 -1 630 -1 -2

Setelah data sekuensial dihasilkan, pola sekuensial dapat ditentukan dengan menggunakan algoritme PrefixSpan di SPMF. Pada penelitian ini, penentuan pola sekuens dilakukan pada dataset masing-masing tahun 2014 dan 2015 untuk masing-masing provinsi di Kalimantan. Adapun nilai minimum support yang digunakan adalah 1%. Pola sekuens yang dihasilkan memiliki panjang 1 item hingga 3 item. Namun pada penelitian ini yang akan dianalisis lebih lanjut adalah pola sekuens yang panjangnya 2 hingga 3 item. Karena pola sekuens yang panjangnya 1 item tidak menarik untuk dianalisis. Tabel 6 merupakan jumlah pola sekuens titik panas untuk setiap dataset menggunakan PrefixSpan di SPMF.

Tabel 6 Jumlah pola sekuens titik panas yang dihasilkan

Tabel 6 menjelaskan bahwa data titik panas dari KLH tidak menghasilkan pola yang menarik, karena panjangnya hanya 1 item. Sedangkan data titik panas dari NASA menghasilkan pola yang panjangnya hingga 3 item. Tabel 6 juga menjelaskan bahwa pola sekuens tahun 2014, banyak terdapat di Kalimantan Timur dengan panjang item 2 sebanyak 21 dan panjang item 3 sebanyak 2 sekuens. Adapun pada tahun 2015, pola sekuens banyak terdapat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pada Kalimantan Barat, terdapat 14 sekuens yang panjangnya 2 item sedangkan pada Kalimantan Tengah terdapat 10 sekuens yang panjangnya 2 item dan 1 sekuens yang panjangnya 3 item. Tabel 7 merupakan hasil sekuens tahun 2014 di Kalimantan Timur yang merupakan pola menarik (panjangnya 2 item atau lebih dan nilai supportnya besar). Tabel 8 merupakan hasil pola sekuens tahun 2015 di Kalimantan Barat dan Tengah yang merupakan pola yang menarik. Adapun daftar lengkap pola sekuens yang dihasilkan di Kalimantan Timur tahun 2014 dapat dilihat di Lampiran 1, sedangkan daftar lengkap pola sekuens yang dihasilkan di Kalimanta Barat dan Kalimantan Tengah tahun 2015 dapat dilihat di Lampiran 2.

Pada penelitian ini, pola sekuens tahun 2015 di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah akan dianalisis lebih lanjut. Sehingga pola sekuens tersebut harus diketahui lokasinya. Pencarian lokasi pola sekuens dilakukan dengan melakukan scanning pada data sekuens. Lokasi pola disajikan pada Lampiran 3 untuk Kalimantan Barat dan Lampiran 4 untuk Kalimantan Tengah. Dari Sumber

Data

Tahun Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Kalimantan 1 item 2 item 1 item 2 item 1 item 2 item 3 item 1 item 2 item 3 item 1 item 2 item KLH 2014 32 0 29 0 28 0 0 24 0 0 24 0 2015 26 0 29 1 34 0 0 28 0 0 31 0 NASA 2014 49 6 28 6 30 3 0 40 21 2 32 2 2015 35 14 31 5 45 10 1 42 1 0 45 7

21 Lampiran 3 dan 4, diketahui kabupaten yang paling banyak muncul adalah Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak, Kalimantan Barat serta Kabupaten Palangkaraya dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Data titik panas kabupaten tersebut yang akan digunakan pada tahap selanjutnya.

Tabel 7 Pola sekuens titik panas yang menarik tahun 2014 di Kalimantan Timur

Provinsi 2-item 3-item Kaltim 263 -1 267 -1 #SUP: 2 263 -1 265 -1 #SUP: 2 266 -1 267 -1 #SUP: 2 266 -1 270 -1 #SUP: 2 281 -1 285 -1 #SUP: 2 281 -1 283 -1 #SUP: 2 283 -1 284 -1 #SUP: 2 283 -1 285 -1 #SUP: 3 283 -1 286 -1 #SUP: 2 285 -1 286 -1 #SUP: 3 288 -1 291 -1 #SUP: 3 288 -1 292 -1 #SUP: 2 288 -1 293 -1 #SUP: 3 291 -1 292 -1 #SUP: 3 292 -1 293 -1 #SUP: 2 293 -1 295 -1 #SUP: 3 293 -1 294 -1 #SUP: 2 235 -1 268 -1 #SUP: 2 235 -1 269 -1 #SUP: 2 235 -1 263 -1 #SUP: 2 235 -1 238 -1 #SUP: 3 283 -1 285 -1 286 -1 #SUP: 2 288 -1 291 -1 292 -1 #SUP: 2

Tabel 8 Pola sekuens titik panas yang menarik tahun 2015 di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah

2 item 549 -1 552 -1 #SUP: 8 549 -1 550 -1 #SUP: 8 608 -1 609 -1 #SUP: 8 609 -1 616 -1 #SUP: 13 609 -1 611 -1 #SUP: 11 613 -1 616 -1 #SUP: 10 616 -1 618 -1 #SUP: 14 617 -1 618 -1 #SUP: 11 618 -1 659 -1 #SUP: 8 618 -1 622 -1 #SUP: 9 622 -1 629 -1 #SUP: 9 629 -1 630 -1 #SUP: 20 629 -1 659 -1 #SUP: 10 634 -1 659 -1 #SUP: 16 03/07/2015 – 06/07/2015 03/07/2015 – 04/07/2015 31/08/2015 – 01/09/2015 01/09/2015 – 08/09/2015 01/09/2015 – 03/09/2015 05/09/2015 – 08/09/2015 08/09/2015 – 10/09/2015 09/09/2015 – 10/09/2015 10/09/2015 – 21/10/2015 10/09/2015 – 14/09/2015 14/09/2015 – 21/09/2015 21/09/2015 – 22/09/2015 21/09/2015 – 21/10/2015 26/09/2015 – 21/10/2015 2 item 615 -1 616 -1 #SUP: 52 622 -1 629 -1 #SUP: 49 629 -1 631 -1 #SUP: 134 640 -1 652 -1 #SUP: 48 645 -1 647 -1 #SUP: 61 647 -1 652 -1 #SUP: 106 647 -1 654 -1 #SUP: 66 652 -1 654 -1 #SUP: 150 652 -1 657 -1 #SUP: 72 659 -1 661 -1 #SUP: 63 3 item 647 -1 652 -1 654 -1 #SUP: 47 07/09/2015 – 08/09/2015 14/09/2015 – 21/09/2015 21/09/2015 – 23/09/2015 02/10/2015 – 14/10/2015 07/10/2015 – 09/10/2015 09/10/2015 – 14/10/2015 09/10/2015 – 14/10/2015 14/10/2015 – 16/10/2015 14/10/2015 – 19/10/2015 21/10/2015 – 23/10/2015 09/10/2015 – 14/10/2015 – 16/10/2015

Klasifikasi Citra Satelit

Dari lokasi pola sekuens yang telah didapat sebelumnya, didaftarkan tanggal kemunculan titik panasnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam pencarian citra. Tabel 9 merupakan daftar tanggal kemunculan titik panas di Kabupaten Kubu Raya, Pontianak, Pulang Pisau dan Palangkaraya.

22

Tabel 9 Daftar tanggal pola sekuens di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah

Kubu Raya Pontianak Pulang Pisau Kota Palangkaraya 3 Juli 2015 8 September 2015 7 September 2015 14 September 2015 4 Juli 2015 9 September 2015 8 September 2015 21 September 2015 6 Juli 2015 10 September 2015 14 September 2015 23 September 2015 5 September 2015 14 September 2015 21 September 2015 2 Oktober 2015 8 September 2015 21 September 2015 23 September 2015 9 Oktober 2015 9 September 2015 21 September 2015 2 Oktober 2015 14 Oktober 2015 10 September 2015 22 September 2015 7 Oktober 2015 16 Oktober 2015 14 September 2015 21 Oktober 2015 9 Oktober 2015

21 September 2015 14 Oktober 2015 22 September 2015 16 Oktober 2015 21 Oktober 2015 19 Oktober 2015 21 Oktober 2015 23 Oktober 2015

Pencarian citra dilakukan pada website USGS yang dapat diakses pada http://earthexplorer.usgs.gov/. Citra yang dicari disesuaikan dengan kabupaten dan tanggal pola sekuens pada Tabel 9. Setelah dilakukan pencarian, citra yang tersedia di USGS yang sesuai dengan Tabel 9 hanya terdapat tiga citra. Ketiga citra tersebut adalah citra Pontianak tanggal 8 September 2015, citra Pulang Pisau tanggal 14 Oktober 2015 dan citra Palangkaraya tanggal 14 Oktober 2015. Citra tersebut kemudian akan dipraproses, diklasifikasi dan dilakukan filtering untuk mendapatkan area terbakar. Pada tahap praproses, dilakukan pengisian gap, kombinasi band dan subset citra.

Seluruh citra satelit Landsat 7 mulai tanggal 3 Mei 2003 memiliki gap akibat kerusakan SLC. Gap menyebabkan piksel citra menjadi tidak ada nilainya, padahal seharusnya piksel tersebut mempunyai nilai yang merepresentasikan keadaan lanskap yang dibaca satelit. Gap ini juga akan menyebabkan hasil klasifikasi kurang baik. Gambar 13 merupakan contoh citra yang memiliki gap.

Dengan alasan tersebut, maka perlu dilakukan pengisian gap dengan mengestimasi nilai piksel yang hilang. USGS telah menyediakan gap mask untuk setiap band citra yang memungkinkan pengguna mengetahui lokasi piksel yang hilang. Perangkat lunak QGIS juga telah menyediakan metode untuk mengestimasi nilai piksel untuk mengisi gap. Jadi, pada penelitian dilakukan pengisian gap menggunakan perangkat lunak QGIS dan gap mask dari USGS. Pengisian gap dilakukan pada masing-masing band menggunakan gap mask yang disesuaikan dengan band yang dioperasikan. Gambar 14 merupakan contoh citra

23

Gambar 13 Contoh gap pada citra Landsat 7

Gambar 14 Contoh hasil isi gap Band 7, 4, dan 2

Setelah setiap band diisi gap-nya, dilakukan kombinasi band. Pada penelitian ini kombinasi band yang digunakan adalah band 7, band 4, dan band 2.

Band 7 direpresentasikan dengan warna merah, band 4 direpresentasikan dengan warna hijau, dan band 2 direpresentasikan dengan warna biru. Area terbakar direpresentasikan dengan warna merah terang karena relfektansi band 7 yang tinggi. Kombinasi band 7,4,2 membuat daerah setelah terbakar mudah terlihat dari daerah yang tidak terbakar dan valid untuk digunakan mendeteksi area kebakaran (Thariqa et.al 2016). Kombinasi band dilakukan dengan membuat citra composite

menggunakan perangkat lunak ILWIS. Setelah melalui proses composite, citra memiliki 3 nilai piksel band 7, band 4, dan band 2, sedangkan sebelumnya hanya memiliki satu nilai piksel. Ketiga nilai piksel tersebut yang akan digunakan sebagai atribut proses klasifikasi. Kombinasi band dilakukan dengan menggunakan band 7, 4 dan 2 yang telah melalui proses pengisian gap. Gambar 15 menunjukan citra hasil composite.

24

Gambar 15 Citra hasil composite

Gambar 15 menunjukkan keseluruhan area Kabupaten Pulang Pisau. Penelitian ini hanya menggunakan bagian citra yang merupakan lahan gambut. Untuk mendapatkan bagian lahan gambut pada citra maka perlu dilakukan proses subset citra. Proses subset citra terdiri dari overlay dan pemotongan menggunakan peta lahan gambut. Overlay dilakukan untuk mengetahui daerah tutupan lahan gambut, dan proses clipping dilakukan untuk mengambil bagian lahan gambutnya saja. Proses clipping dilakukan pada semua citra yang digunakan, yaitu citra Pulang Pisau 14 Oktober 2015, Palangkaraya 14 Oktober 2015 dan Pontianak 8 September 2015. Gambar 16 mengilustrasikan tahap proses overlay, pemotongan.

(a) (b)

Gambar 16 Proses (a) overlay Proses overlay peta lahan gambut dengan citra satelit Pulang Pisau dan (b) citra satelit hasil pemotongan

Seiring dengan selesainya proses subset citra, maka selesai pula praproses citra. Citra hasil praproses kemudian diklasifikasikan. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode C5.0, SDT dan maximum likelihood. Hasil klasifikasi dari ketiga metode tersebut kemudian dibandingkan.

1 Klasifikasi dengan metode pohon keputusan C5.0

Klasifikasi dengan metode ini diawali dengan membuat tabel berisi nilai piksel dan lokasi pikselnya Tabel 10 merupakan contoh tabel nilai piksel dan lokasi piksel. Nilai x dan y pada Tabel 10 merupakan lokasi piksel berupa koordinat pada sumbu x dan sumbu y. Tabel 10 didapat dengan cara

25 mengkonversi citra composite yang telah dipotong dalam bentuk raster menjadi tabel menggunakan perangkat lunak R.

Tabel 10 Contoh tabel nilai piksel beserta lokasinya

No x y Band 7 Band 4 Band 2

1 201120 -252690 178 176 212

2 111030 -290010 179 178 141

3 262140 -327300 255 68 57

4 172050 -364620 205 162 88

5 81930 -401940 173 27 59

Setelah tabel nilai piksel dan lokasinya didapat, tahapan selanjutnya adalah memberi label pada setiap piksel. Pemberian label dilakukan dengan menggunakan aturan yang dihasilkan dari penelitian Thariqa et.al (2016). Label berupa kelas sebelum terbakar, terbakar, setelah terbakar dan non-gambut. Piksel yang telah diberi label tersebut kemudian dikonversi kembali kedalam bentuk raster. Raster hasil klasifikasi diberi warna agar mudah dibedakan kelasnya. Warna hijau untuk kelas sebelum terbakar, oranye untuk kelas setelah terbakar, merah untuk kelas terbakar dan hitam untuk kelas non-gambut. Gambar 17 merupakan hasil klasifikasi menggunakan metode C5.0.

(a) (b) (c)

Gambar 17 Hasil klasifikasi dengan metode C5.0 untuk citra (a) Pontianak, (b) Pulang Pisau dan (c) Palangkaraya

Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa hampir seluruh bagian piksel termasuk kelas terbakar. Padahal pada citra composite, tidak semua wilayah berwarna merah. Dengan kata lain, kebakaran tidak terjadi di semua wilayah, ada pula yang tidak terbakar (baik sebelum atau setelah terbakar).

2 Klasifikasi dengan metode SDT

Langkah klasifikasi dengan metode SDT sama dengan C5.0. Bedanya hanya pada aturan yang digunakan. Gambar 18 merupakan hasil klasifikasi menggunakan metode SDT. Dari Gambar 18, dapat dilihat bahwa hampir semua bagian berwarna hijau. Hasil klasifikasi C5.0 dan SDT masih kurang baik. Hal ini bisa jadi disebabkan karena karakteristik piksel terbakar dan tidak terbakar di Riau dan Kalimantan berbeda. Aturan yang digunakan untuk klasifikasi dihasilkan dari penelitian Thariqa et.al (2016) yang menggunakan

26

data latih berupa citra Rokan Hilir, Riau. Sedangkan pada penelitian ini digunakan citra Pontianak, Pulang Pisau dan Palangkaraya yang berada di Kalimantan.

(a) (b) (c)

Gambar 18 Hasil klasifikasi dengan metode SDT untuk citra (a) Pontianak, (b) Pulang Pisau dan (c) Palangkaraya

3 Klasifikasi citra satelit dengan metode Maximum Likelihood

Secara umum, proses klasifikasi dengan metode ini terdiri dari dua tahap yaitu pelatihan dan pengambilan keputusan. Tahap pelatihan dilakukan dengan menentukan kelas dari beberapa piksel citra, disebut dengan piksel sampel. Sedangkan pada tahap pengambilan keputusan dilakukan penentuan kelas seluruh piksel berdasarkan karakteristik piksel sampel. Kedua tahap itu diaplikasikan pada masing-masing citra. Jadi, setiap citra memiliki piksel sampelnya sendiri-sendiri dan menentukan kelas piksel lain sendiri-sendiri. Menurut Pennington (2006), kombinasi band 742 membuat daerah setelah terbakar mudah terlihat dari daerah yang tidak terbakar.Daerah terbakar akan muncul dengan warna merah terang karena tingginya reflektansi dari band 7. Oleh karena itu, pada penelitian ini, sampel piksel kelas terbakar diambil dari bagian citra yang berwarna merah, sedangkan sampel piksel kelas tidak terbakar selainnya. Kemudian sampel tersebut digunakan untuk melakukan klasifikasi menggunakan perangkat lunak ILWIS. Gambar 19 merupakan hasil citra klasifikasi untuk citra Pulang Pisau, Pontianak dan Palangkaraya.

Gambar 19 Hasil klasifikasi dengan metode maximum likelihood untuk citra (a) Pulang Pisau, (b) Pontianak, (c) Palangkaraya

27 Dari Gambar 19 dapat dilihat terdapat dua warna citra yaitu hijau dan merah. Warna merah merepresentasikan area terbakar, sedangkan warna hijau merepresentasikan daerah tidak terbakar. Dari Gambar 19 juga dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi masih terdapat piksel-piksel kecil yang terpisah, yang disebut dengan salt-and-pepper noise. Noise ini menyebabkan hasil klasifikasi kurang baik dan waktu komputasi lebih lama. Sehingga dibutuhkan filtering

untuk menghilangkan noise tersebut. Penelitian ini menggunakan majority filter

dengan ukuran 3×3 sebanyak 5 kali filtering. Gambar 20 merupakan hasil

filtering 5 kali citra Pulang Pisau dibandingkan dengan citra aslinya. Gambar 21 merupakan hasil filtering 5 kali citra Pontianak dibandingkan dengan citra aslinya. Gambar 22 merupakan hasil filtering 5 kali citra Palangkaraya dibandingkan dengan citra aslinya. Adapun hasil filtering pertama hingga kelima selengkapnya terdapat di Lampiran 5. Dari Gambar 20, 21 dan 22 dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi yang telah dilakukan proses filtering telah mendekati citra aslinya, sehingga dapat dikatakan hasil klasifikasi sudah cukup baik.

Gambar 20 Perbandingan citra hasil filtering Pulang Pisau dengan citra asli

28

Gambar 22 Perbandingan citra hasil filtering Palangkaraya dengan citra asli Dari citra hasil klasifikasi metode C5.0, SDT dan maximum likelihood, dapat disimpulkan bahwa metode maximum likelihood yang menghasilkan citra klasifikasi yang paling baik. Oleh karena itu, citra hasil klasifikasi metode

maximum likelihood yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya yaitu identifikasi firespot.

Identifikasi Firespot

Pada tahap ini dilakukan overlay citra hasil klasifikasi dengan pola sekuens yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Pada penentuan pola sekuens, dilakukan pembulatan nilai longitude dan latitude. Pembulatan ini menyebabkan pergeseran pola sejauh 1 km. Selain itu, pembulatan juga menyebabkan beberapa titik panas hanya direpresentasikan dalam satu titik lokasi. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka nilai longitude dan latitude pola sekuens perlu dikembalikan lagi menjadi 3 angka di belakang koma. Hal ini dilakukan dengan membaca data titik panas awal, bukan data sekuens. Tabel 11 merupakan contoh pengembalian bentuk

longitude dan latitude menjadi 3 angka di belakang koma. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa satu sekuens yang awalnya hanya mempunyai 1 nilai longitude dan

latitude, menjadi 2 atau lebih nilai longitude dan latitude. Setelah didapat nilai

longitude dan latitude 3 angka di belakang koma dari setiap sekuens, dipilih pola yang tanggalnya sama dengan tanggal citra. Kemudian pola ditumpang-susun dengan citra hasil klasifikasi. Gambar 23 merupakan contoh overlay pola sekuens dengan citra hasil klasifikasi untuk Kabupaten Pulang Pisau, Pontianak dan Palangkaraya.

(a) (b) (c)

Gambar 23 Hasil overlay pola sekuens dengan citra hasil klasifikasi (a) Pontianak, (b) Pulang Pisau dan (c) Palangkaraya

29 Tabel 11 Contoh lokasi sekuens titik panas dengan longitude dan latitude

dinyatakan dalam 3 angka di belakang koma

Sekuens Longitude Latitude Long_spesifik Lat_spesifik Kabupaten 622 -1 629 -1 #SUP: 49 113.78 -2.85 113.782 -2.847 Pulang Pisau

113.778 -2.850

622 -1 629 -1 #SUP: 49 113.83 -2.39 113.825 -2.390 Pulang Pisau 113.834 -2.388

113.829 -2.391

622 -1 629 -1 #SUP: 49 113.83 -2.37 113.825 -2.373 Palangkaraya 113.831 -2.367

622 -1 629 -1 #SUP: 49 113.84 -2.39 113.842 -2.385 Pulang Pisau 113.837 -2.388

Jika Gambar 23 diperbesar, maka akan jelas terlihat titik panas yang berada di area terbakar dan yang tidak untuk melakukan identifikasi setiap pola pada daerah citra. Identifikasi pola sekuens juga dilakukan untuk pola yang berada di area sejauh 1 km dari area terbakar (area buffer). Gambar 24 adalah citra hasil klasifikasi Pulang Pisau yang diperbesar, beserta daerah buffernya.

(a) (b)

Gambar 24 Titik panas yang ditumpang-susun dengan citra hasil klasifikasi pada (a) area terbakar dan (b) area buffer sejauh 1 km dari area terbakar Setiap titik panas diidentifikasi dengan cara memberikan label. Jika suatu pola sekuens titik panas berada pada area terbakar, maka diberi label “ya”

sedangkan jika tidak, diberi label “tidak”. Hasil identifikasi pola sekuens di Pulang

Pisau dapat dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan hasil identifikasi pola sekuens di Pontianak dapat dilihat pada Tabel 12 dan Palangkaraya pada Tabel 13.

Tabel 12 Hasil identifikasi pola sekuens di Pontianak 2015

Longitude Latitude Sekuens Di area terbakar Di dalam area buffer

109.128 0.325 616 -1 618 -1 #SUP: 14 Ya Ya 109.128 0.326 616 -1 618 -1 #SUP: 14 Ya Ya 109.134 0.331 616 -1 618 -1 #SUP: 14 Ya Ya

30

Tabel 13 Hasil identifikasi pola sekuens di Palangkaraya 2015

Longitude Latitude Sekuens Di area terbakar Di dalam area buffer

113.822 -2.362 640 -1 652 -1 #SUP: 48 Ya Ya 113.823 -2.362 640 -1 652 -1 #SUP: 48 Ya Ya 113.816 -2.361 640 -1 652 -1 #SUP: 48 Ya Ya 113.803 -2.395 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Tidak Ya 113.799 -2.242 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.800 -2.244 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.796 -2.235 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Tidak Ya 113.803 -2.242 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.813 -2.36 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.812 -2.357 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.806 -2.359 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Tidak Ya 113.81 -2.361 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.818 -2.359 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya 113.816 -2.361 647 -1 652 -1 #SUP: 106 Ya Ya

Pola titik panas yang berada pada area terbakar merepresentasikan titik panas yang menjadi kebakaran hutan. Sedangkan pola titik panas yang tidak berada di area terbakar, merepresentasikan titik panas yang tidak menjadi kebakaran hutan. Adapun titik panas yang berada pada daerah buffer area terbakar, merupakan pola sekuens yang berada di daerah kebakaran hutan. Dari hasil identifikasi tersebut kemudian dihitung presentase pola sekuens titik panas di area terbakar dan di area buffer. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus berikut

Presentase pola di area terbakar=jumlah pola di area terbakarjumlah semua pola ×100

Dari hasil identifikasi tersebut kemudian dihitung presentase pola sekuens titik panas di area terbakar dan di area buffer yang dapat dilihat pada Tabel 14. Dari Tabel 14 disimpulkan bahwa terdapat pola sekuens yang menjadi fire spot

yaitu sebanyak 72.68% di Pulang Pisau dan 100% di Palangkaraya dan Pontianak.

Tabel 14 Presentase pola sekuens di area terbakar dan buffer

Lokasi

Di area terbakar Di dalam area terbakar dan buffer

Pulang Pisau 42.78% 72.68%

Palangkaraya 78.57% 100.00%

Pontianak 100.00% 100.00%

Pada Pulang Pisau, terdapat 27.32% pola sekuens titik panas yang tidak berada di area terbakar maupun area buffer. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, diketahui bahwa pola tersebut berada di area berasap. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 25. Daerah tersebut bisa saja merupakan area terbakar, namun algoritme

31 klasifikasi citra tidak dapat mengidentifikasi area terbakar di daerah berasap. Lokasi dari pola sekuens titik panas Pulang Pisau yang tidak berada di area terbakar dan area buffer dapat dilihat di Lampiran 7. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa lokasi yang paling banyak adalah di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau.

Gambar 25 Pola sekuens Pulang Pisau yang tidak berada di area terbakar dan

buffer ditumpang-susun dengan citra composite

Dokumen terkait