• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sifat Fisik-Kimia Daun dan Gel Daun Kacapiring Karakteristik Fisik-Kimia Daun Kacapiring

Pra penelitian diawali dengan survei tanaman kacapiring di wilayah Bogor dan sekitarnya. Hasil survei menunjukkan bahwa tempat pengambilan sampel di kampus IPB Darmaga. Identifikasi varietas tanaman dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, dengan hasil identitas varietas tanaman kacapiring adalah kelompok Rubiaceae dengan nama ilmiah Gardenia Jasminoides Ellis.

Pengamatan terhadap dimensi daun, meliputi panjang dan lebar daun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa daun kacapiring memiliki panjang antara 5 cm sampai 20 cm dengan lebar antara 4 cm sampai 5 cm. Lemmens dan Soetjipto (1999) menyebutkan bahwa daun kacapiring memiliki panjang antara 5 cm sampai 15 cm dan lebar antara 2 cm sampai 7 cm. Karakteristik kimia daun diuji dengan analisis proksimat dan kadar mineral. Hasil analisis kimia daun kacapiring dapat dilihat pada Tabel 3 dan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 3 Komposisi kimia daun kacapiring segar

Satuan Kadar Parameter bb bk Kadar air % 67,29+0,09 - Kadar Lemak % 2,40+0,01 7,35+0,03 Kadar Protein % 4,85+0,06 14,83+0,19

Kadar Karbohidrat (by difference) % 23,67+0,13 72.41+0,12

Serat Pangan % 8,17+0,23 24,98+0,72 Kadar Abu % 1,76+0,04 5,39+0,14 Mineral Ca (mgKg-1) 6532,51+16,12 19.974,70+49,31 Mineral Mg (mgKg-1) 1394,21+12,64 4263,15+38,66 Mineral Fe (mgKg-1) ttd ttd Mineral Cu (mgKg-1) ttd ttd

Keterangan : ttd = tidak terdeteksi, bb= basis basah, bk=basis kering

Daun kacapiring segar mengandung kadar air sebesar 67,29 %bb. Kadar air daun kacapiring masih lebih kecil dibandingkan dengan kadar air daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers), yaitu 75,33 %bb (Farida 2001), 73,88% (Jacobus 2003), dan 79,45 %bk pada cincau hijau jenis Premna oblongifolia Merr. Hal ini disebabkan oleh varietas tanaman yang berbeda serta tekstur daun kacapiring yang

lebih keras, sehingga daun kacapiring mengandung jumlah padatan yang lebih besar dibandingkan daun cincau. Padatan ini umumnya termasuk komponen protein, lemak, mineral, dan karbohidrat.

Daun kacapiring dikeringkan dengan pengeringan beku, untuk analisis kandungan kimia selain kadar air. Pengeringan dengan teknik ini bertujuan untuk meminimalisir perubahan sifat kimia selama perlakuan dan mencegah kerusakan lebih lanjut jika disimpan pada refrigerator, sehingga memberikan umur simpan yang lebih panjang, serta mengurangi kehilangan komponen bioaktif tanaman (Vanamala et al. 2005). Daun yang telah dikeringkan dan digiling sampai menjadi bubuk memiliki rendemen 23,10% (Lampiran 2). dengan kadar air sebesar 8,38% bb. Oleh sebab itu bubuk daun kacapiring ini termasuk bahan pangan yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, karena keberadaan air terikat secara kimia sulit dilepaskan selama proses pengeringan. Bubuk daun kacapiring memenuhi kriteria bahan kering dengan kadar air maksimal 10 %(Winarno 1997).

Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa daun kacapiring mengandung kadar abu sebesar 5,39 %bk. Kadar abu pada daun kacapiring lebih rendah dari daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) hasil penelitian Farida (2002), yaitu 8,47 %bk, Wylma (2003), yaitu sebesar 9,35 %bk. Hal ini disebabkan oleh jenis, varietas daun serta kandungan mineral yang berbeda sehingga mempengaruhi kadar abu.

Kadar lemak daun kacapiring yang diekstraksi menggunakan pelarut heksan, diperoleh sebesar 7,35 %bk. Kadar lemak daun kacapiring lebih tinggi dibandingkan dengan daun cincau (Cyclea barbata L. Miers), yaitu sebesar 0,93 %bk (Farida 2002). Hal ini diduga oleh adanya lapisan lilin dan komponen yang bersifat non polar lebih dominan sehingga terlarut semua dalam pelarut dan terhitung sebagai total lemak.

Kadar protein daun kacapiring diperoleh sebesar 14,83 %bk. Nilai ini masih lebih rendah dari kadar protein daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers), yaitu sebesar 17,02 % bk (Wylma 2003), 23,51%bk (Farida 2002). Kadar protein daun kacapiring masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar protein beberapa jenis daun (Depkes RI 2001), seperti bayam (26,71% bk), daun mangkokan (18,5% bk), dan daun poh-pohan (19,84%).

Hasil analisis kadar karbohidrat daun kacapiring diperoleh sebesar 72,41%. Kadar karbohidratnya hampir sama dengan daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) yaitu 67,09 %bk (Farida 2002), dan daun ubi jalar (67,97%), namun lebih tinggi dari kadar karbohidrat beberapa jenis daun lain (Depkes RI 2001), seperti bayam (49,61%), daun katuk (57,89%), daun poh-pohan (54,76%), dan daun singkong (57,01%).

Salah satu faktor gelasi dalam ekstraksi daun cincau adalah keberadaan mineral yang memiliki valensi 2 atau lebih (Untoro 1985). Hasil pengukuran terhadap kadar mineral daun kacapiring, menunjukkan bahwa mineral Cu dan Fe tidak terdeteksi. Mineral yang dominan adalah kalsium, yaitu sebesar 19.974,70 mgKg-1 bk. Kadar kalsium daun kacapiring apabila dibandingkan dengan kadar kalsium beberapa jenis daun (Depkes RI 2001), daun kacapiring memiliki kadar kalsium yang lebih rendah dibandingkan bayam (20.381,67 mgKg-1bk) dan daun poh-pohan (59.047,62 mgKg-1bk), namun lebih tinggi dari daun cincau (4053.50 mgKg-1bk), dan daun singkong (7236,84 mgKg-1bk).

Daun kacapiring mengandung magnesium sebesar 4263,15 mgKg-1bk. Magnesium merupakan mineral yang terikat pada cincin tetrapirol senyawa klorofil (Gross 1991). Kadar magnesium pada daun kacapiring dibandingkan dengan beberapa jenis daun tanaman lain, memiliki kadar yang lebih tinggi dari daun seledri (3771,43 mgKg-1bk), selada (1980,76 mgKg-1bk) dan brokoli (18,28 mgKg-1bk), namun masih lebih rendah dari daun bayam (6480,91 mgKg-1bk).

Karakteristik Gel Daun Kacapiring

Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai. Metode sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut.

Ananta (2000) melaporkan bahwa air merupakan pelarut universal dan terbaik untuk mengekstrak daun cincau, karena air mampu memberikan rendemen terbesar dibandingkan pelarut etanol atau heksan. Gel daun kacapiring diperoleh melalui ekstraksi air secara tradisional yang biasa diterapkan oleh masyarakat. Gel daun kacapiring memiliki nilai pH 4,68+0,01. Hal ini dapat diduga bahwa gel

tersebut merupakan polisakarida linier bermuatan, karena mampu memberikan kekentalan yang cukup baik. Ekstraksi daun pada penelitian ini dilakukan dengan rasio daun dan pelarut, yaitu 1:5, 1:10 dan 1:15 b/v, mengacu pada hasil penelitian ekstraksi daun cincau (Ananta 2000) dengan karakteristik gel terbaik adalah dengan perbandingan daun dan pelarut 1:10 b/v. Teknik ekstraksi dilakukan secara tradisional, yaitu peremasan daun selama 10 menit pada 50 g daun segar. Ekstraksi menggunakan alat penghancur dengan kecepatan no 1 selama 2 menit tidak mampu menghasilkan bentuk gel melainkan terbentuk buih. Gelasi tidak terjadi karena pengaruh gaya dan panas yang kontinyu saat proses, sehingga asosisasi ikatan silang antar polimer tidak terjadi.

Karakteristik Organoleptik Gel Daun Kacapiring

Karakteristik gel dengan perlakuan terbaik akan dilanjutkan ke tahap penelitian berikutnya, untuk mengetahui komposisi kimia dan potensi zat gizi dan non gizi yang terdapat pada gel dengan melakukan uji subyektif (untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap produk gel) dan uji obyektif (untuk mengetahui komposisi kimia gel). Keenam perlakuan kombinasi diujikan secara organoleptik kepada 26 orang panelis tidak terlatih melalui uji kesukaan (hedonik) terhadap atribut penerimaan umum dan uji mutu hedonik terhadap atribut lainnya. Data hasil pengamatan secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 4 dan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 4 Hasil pengujian organoleptik gel daun kacapiring dengan rasio jenis dan jumlah pelarut yang berbeda

Nilai rata-rata pengujian organoleptik

Uji Mutu Hedonik Uji Hedonik

Perlakuan Daun : Pelarut

Buih Warna Aroma Kekentalan

Ekstrak Penerimaan Umum Aquades 1:5 1,9d 6,1ab 4,0b 5,7a 3,1b 1:10 3,1b 6,3a 5,5a 4,2b 4,8a 1:15 6,0a 6,0b 5,6a 4,5b 5,3a AMDK 1:5 1,1e 5,1c 3,7b 5,4a 2,8b 1:10 2,2c 6,2ab 4,1b 5,9a 4,6a 1:15 3,0b 5,9b 3,5b 5,6a 4,9a

Keterangan : Notasi huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan perbedaan yang tidak nyata pada taraf uji 5%. AMDK= air minum dalam kemasan. buih (1= sangat berbuih ; 7= sangat tidak berbuih), aroma (1= sangat tidak khas daun ; 7= sangat khas daun), warna (1= sangat tidak hijau; 7= sangat hijau), kekentalan (1= sangat tidak kental ; 7= sangat kental), penerimaan umum (1=sangat tidak suka ; 7= sangat suka).

Buih

Buih adalah sistem dua fase yang mengandung udara pada lapisan lemak (fase lamelar). Buih merupakan sistem kompleks antara campuran gas, cairan, padatan dan senyawa penurun tegangan permukaan/ surfaktan (Zayas 1997).

Buih yang terbentuk pada ekstrak tanaman mengindikasikan bahwa tanaman tersebut mengandung senyawa saponin (Harborne 1997). Saponin adalah glikosida triterpena, yang merupakan kelompok senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Buih digunakan sebagai salah satu atribut pengamatan visual yang dilakukan, karena sangat mempengaruhi penampilan fisik gel dan penerimaan konsumen. Hasil pengamatan terhadap 6 perlakuan, menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05), terutama perlakuan AQ 1:15 memiliki nilai tertinggi 6,0 dengan kriteria tidak berbuih sedangkan AMDK 1:5 dengan nilai 1,1 (sangat berbuih). Ekstraksi dengan air minum dalam kemasan menghasilkan buih yang lebih banyak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan mineral pada AMDK lebih banyak sehingga menyebabkan tegangan permukaan larutan ekstrak semakin rendah dan komponen protein pada sampel akan menyerap udara dipermukaan sehingga terbentuk buih. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki pengaruh yang nyata kecuali pada perlakuan AQ 1:10 dengan AM 1:15 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.

Warna

Warna hijau pada gel hasil ekstraksi daun disebabkan oleh pigmen alami tanaman yaitu klorofil dan turunannya (Harborne 1987). Turunan klorofil terutama klorofil b bersifat lebih mudah larut dalam air sehingga memberikan warna hijau pada semua perlakuan. Hasil analisis ragam uji mutu hedonik terhadap parameter warna, menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Skor rata-rata berkisar antara 5,2 (AMDK 1:5) sampai 6,4 (AQ 1:10), dengan kriteria penilaian warna gel adalah dari berwarna hijau sampai sangat hijau. Hasil pengamatan terhadap warna keenam perlakuan menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan aquades memberikan warna yang lebih hijau dibandingkan dengan air minum dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh mineral yang menyebabkan gugus Mg tergantikan pada inti cincin tetrapirol sehingga terjadi

feofitinasi (klorofil kehilangan atom Mg) yang mengurangi warna hijau (Ferruzzi et al. 2001). Logam mineral juga sebagai salah satu katalisator yang mempercepat terjadinya proses oksidasi, sehingga adanya logam yang lebih banyak pada air minum dalam kemasan diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan warna gel masih kurang hijau dibandingkan gel yang diekstrak dengan aquades.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap atribut warna dapat diketahui bahwa perbedaan jenis air memberikan pengaruh nyata antara AQ 1:10 dengan AM 1:5 dan AM 1:15. Perlakuan dengan aquades diperoleh perbedaan yang nyata terdapat pada perlakuan AQ1:10 dengan AQ1:15, sedangkan pada pelakuan air minum dalam kemasan perbedaan nyata terletak pada semua perlakuan antara 1:5 dengan 1:10 dan 1:5 dengan 1:15.

Aroma

Aroma pada gel daun kacapiring kemungkinan disebabkan oleh komponen volatil, seperti lynalool dan styrolyl (Dalimartha 2005). Komponen ini adalah kelompok senyawa aromatik (terpenoid) yang sangat dipengaruhi oleh jenis larutan pengekstrak dan teknik isolasi. Rappet et al.(1977) diacu dalam Angel et al. (2002), menyatakan bahwa asam fenolat merupakan prekusor senyawa volatil yang memberikan aroma berbeda pada wine, dan bertanggungjawab terhadap reaksi pencoklatan. Kustamiyati (1994), menyebutkan bahwa aroma pada teh disebabkan oleh komponen glikosida yang terurai menjadi gula sederhana dan senyawa beraroma, proses pengolahan membentuk substansi aroma baru, juga oleh oksidasi karotenoid yang menghasilkan senyawa mudah menguap.

Skor penilaian aroma berkisar antara 3,5 sampai 5,6. Kriteria aroma yang dinilai panelis adalah netral dan agak khas aroma daun. Hasil analisis ragam terhadap aroma, menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Nilai rata-rata tertinggi pada perlakuan AQ 1:15 dengan kriteria khas daun dan terendah pada AMDK 1:15 dengan kriteria mendekati netral. Perbedaan yang nyata terdapat pada perlakuan AQ 1:10 dan AQ1:15 dengan 4 perlakuan lainnya.

Ekstraksi daun dengan AMDK memberikan penilaian terhadap aroma yang lebih rendah dibandingkan dengan aquades. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keberadaan mineral pada AMDK yang mempercepat proses oksidasi, dan

menurunkan sifat fungsionalnya dalam menghasilkan aroma, sehingga aroma yang terdeteksi lebih lemah daripada perlakuan AQ.

Kekentalan Ekstrak

Kekentalan suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi hidrokoloid, ion logam, pH, dan hubungan sinergisme/antagonisme senyawa kompleks pada larutan gel. Tegangan permukaan yang menurun akan memberikan kesempatan bagi senyawa polimer berinteraksi dan lebih aktif membentuk struktur tiga dimensi (Fardiaz 1989).

Hasil analisis ragam terhadap kekentalan, menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, dapat diketahui bahwa perlakuan AMDK dengan aquades berpengaruh nyata pada konsentrasi 1:10 dan 1:15 dengan perlakuan lainnya, sedangkan konsentrasi masing-masing pelarut tidak berpengaruh nyata. Nilai kekentalan tertinggi diperoleh pada perlakuan AMDK 1:10 dengan kriteria kental dan nilai paling rendah pada perlakuan AQ 1:10 dengan kriteria netral.

Ekstrak yang lebih kental pada perlakuan AMDK, kemungkinan disebabkan oleh keberadaan logam divalen seperti Ca dan Mg yang menyebabkan lebih banyak polimer berinteraksi dengan ion logam mineral melalui ikatan ionik, sehingga menghasilkan kekentalan gel dengan nilai lebih kental dibandingkan perlakuan dengan AQ.

Penerimaan Secara Umum

Hasil analisis ragam penerimaan secara umum, menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (p<0,05), terhadap ke-6 sampel yang diujikan. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan AQ 1:15, termasuk kriteria agak suka sedangkan yang lainnya bervariasi dari yang menyatakan netral sampai tidak suka.

Perlakuan terbaik hasil uji organoleptik, ditentukan berdasarkan kriteria gel yang kompak, tidak berbuih dan memiliki nilai rata-rata tertinggi dari beberapa atribut yang diujikan. Penampilan fisik gel terbaik dengan nilai tertinggi yang disukai oleh panelis, yaitu pada perlakuan dengan AQ1:15. Hal ini disebabkan oleh gelasi terjadi lambat, dan dengan bantuan pendinginan membentuk gel yang kompak. Daun yang diekstrak dengan jumlah pelarut yang lebih dalam rentang

waktu ekstrak yang sama, maka komponen gel terekstrak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pelarut yang terbatas karena ekstrak mengalami gelasi dengan cepat dan ekstraksi menjadi tidak maksimal.

Analisis fisik gel terbaik

Gel terbaik dilakukan analisis sifat fisik, meliputi pH, kekentalan dan sineresis (Lampiran 4). Nilai pH rata-rata pada gel terbaik adalah 4,68, lebih rendah dari pH gel cincau hijau yaitu 5,55 (Untoro 1985). Kekentalan gel daun kacapiring diukur dengan viskometer Brookfield spindel no 2 dengan kecepatan 6 rpm yaitu 71,50 x 50 cP (centipoise). Viscositas gel daun cincau Cyclea barbata L. Miers pada konsentrasi 5% diperoleh angka 95,57 x 50 cP (centipoise), sehingga gel daun kacapiring dengan perlakuan terbaik masih kurang kental dibandingkan cincau. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi hidrokoloid yang lebih rendah pada daun kacapiring dan volume pelarut yang berbeda sehingga mempengaruhi kekentalan gel.

Gambar 3 Pengaruh waktu pembentukan dan penyimpanan gel pada suhu ruang (25oC)

dan suhu rendah (8oC) terhadap kehilangan berat gel selama 5 jam

pengamatan.

Pengujian terhadap sineresis gel dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi waktu pembentukan gel dan kehilangan berat gel selama penyimpanan. Gel dengan perlakuan terbaik diukur waktu pembentukan gelnya menggunakan pipa silinder, panjang 4,6 cm, diameter dalam 1,9 cm dan diameter luar 2,2 cm, diukur dengan menempatkan gel pada kondisi suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang 25oC dan suhu rendah 8oC. Hasil pengamatan selama 5 jam terhadap

y = 7.816x + 1.838 R2 = 0.9209 y = 5.274x - 2.754 R2 = 0.9957 0 10 20 30 40 50 1 2 3 4 5 6 waktu (jam)

suhu ruang suhu rendah

1.89 12,61 17,32 8.30 13,38 20,92 18,72 30,47 23,06 45,12 kehilangan b erat gel (%)

perubahan berat gel dalam cetakan terlihat pada Gambar 3 dan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.

Gambar 3 menunjukkan bahwa gel yang disimpan pada suhu dingin lebih cepat mengalami kehilangan berat dibandingkan pada suhu ruang. Hal ini disebabkan pada suhu dingin tekstur gel lebih cepat mengalami pengerutan, membentuk daerah ikatan yang kuat sehingga air yang berada di daerah ikatan keluar dari matrik gel (Untoro 1985).

Faktor lain yang mempengaruhi konformasi gelasi pada daun adalah derajat keasaman (pH) pelarut (Glicksman 1969). Aquades yang digunakan memiliki pH rata-rata 6,24. Derajat keasaman pada saat gelasi mengalami penurunan karena terbentuknya asam, hal ini menyebabkan pH menurun menjadi 4,68. Menurut Alipingdiah (1979) derajat keasaman akan mempengaruhi derajat hidrasi koloid dan kecepatan pembentukan gel atau setting time.

Gelasi yang terbentuk dengan adanya pengaruh pH menjadi lebih cepat dengan perbandingan air yang lebih sedikit. Hasil pengamatan diketahui bahwa pH pelarut yang baik untuk mempertahankan konsistensi gel dan mengurangi sineresis selama disimpan pada suhu rendah adalah 6,24. Gel yang terbentuk berwarna hijau dan tidak mengalami reaksi pencoklatan. Menurut Minawati (1985) diacu dalam Nasution (1999) semakin rendah pH air pengekstrak, maka semakin lama waktu pembentukan gelnya dan warna gel sedikit berwarna kecoklatan.

Sineresis merupakan peristiwa pembebasan atau pelepasan medium pendispersi secara spontan sekalipun pada kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang rendah. Whitney (1941), diacu dalam Untoro (1985) menyatakan bahwa sineresis disebabkan oleh adanya kontraksi akibat terbentuknya ikatan-ikatan baru antara polimer dari struktur gel. Glicksman (1984) menggunakan istilah mengerut (shrinked) yang cenderung memeras air termobilisasi di dalam gel.

Karakteristik Kimia Gel Daun Kacapiring

Gel terbaik hasil uji sensori mempunyai kadar air sebesar 98,75% bb (Lampiran 7). Komponen potensial lain pada gel diukur dengan melakukan analisis kadar serat pangan dan kadar substansi pektat, kadar mineral dan komponen aktif lainnya. Gel segar dikeringkan menjadi bubuk pada freeze dryer.

Gel terbaik sebanyak 300 gram yang dikeringkan diperoleh gel kering rata-rata 2,91 g (Lampiran 8), dengan kadar air sebesar 8,53 %.

Kadar Serat Pangan

Hasil pengamatan terhadap kadar serat pangan daun kacapiring disajikan pada Tabel 5 dan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Kadar total serat serat pangan pada daun adalah 24,98 %bk. Serat pangan terlarut komposisinya lebih besar dibandingkan serat pangan tidak larut. Kadar serat pangan total daun kacapiring setara dengan kadar serat tidak larut jeruk nipis Meksikan (Ubando-Rivera et al. 2005) yaitu 21,89% bk. Hasil identifikasi serat larut pada jeruk terdiri dari gula netral dan asam uronik sedangkan serat tidak larut mengandung gula netral, lignan dan asam uronik. Hasil analisis total serat pangan terhadap gel daun kacapiring diperoleh kadar sebesar 1,13 %bb, terdiri atas 0,73 %bb serat larut dan 0,39 %bb serat tidak larut.

Terkait dengan hasil analisis kadar serat pangan, dimana serat pangan terlarut proporsinya lebih besar dari serat pangan tidak larut dan umumnya serat pangan terlarut terdiri atas pektin, gum dan hemiselulose terlarut, maka dilakukan uji substansi pektat dengan melakukan isolasi komponen gel untuk menghilangkan komponen-komponen pengganggu yang terikat pada gel seperti klorofil, mineral dan komponen lainnya. Analisis substansi pektat menunjukkan persentase asam galakturonat yang merupakan unit monomer komponen serat pangan larut yaitu polimer pektin.

Tabel 5 Komposisi serat pangan daun dan gel kacapiring serta kadar substansi pektat

Sampel Total Serat Serat Larut Serat Tak Larut

%bk %bb %bk %bb %bk %bb

Daun 24,98+0,72 8,17+0,24 18,52+0,57 6,06+0.19 6,46+0,17 2,11+0,05

Gel 90,61+1,02 1,13+0,01 58,94+1.01 0,74+0,01 31,67+0,03 0.39+0,00

Total Isolat KPG Substansi Pektat

Isolat %bk %bb %bk %bb -

KPG 89,52+0.44 1,11+0,01 56,53+0,61 0.62+0,00

Hasil analisis substansi pektat menunjukkan persentase yang cukup tinggi yaitu 56,53+0,61% bk (Lampiran 10). Kadar substansi pektat umumnya sebesar 0,5-4% dari berat basah tanaman, sehingga komponen pembentuk gel pada daun kacapiring dapat dikatakan adalah kelompok pektin. Hasil analisis substansi

pektat, terkait dengan fraksi serat pangan dari daun kacapiring dan kemungkinan sebagian besar adalah kelompok pektin karena mampu membentuk gel.

Nawirska dan Kwasniewska (2005) meneliti fraksi serat pangan pada buah dan sayur seperti wortel, cherry, pir dan apel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fraksi komponen yang diperoleh seperti selulose, hemiselulose, pektin dan lignin dengan kadar bervariasi. Fraksi yang dianalisis jumlahnya paling kecil adalah pektin (3,88-11,7 %bk). Kadar selulosa tertinggi ditemukan pada buah apel (43,6 %bk), buah pir mengandung selulosa (34,5 %bk) dan wortel (32,2 %bk). Kadar lignin yang tinggi ditemukan pada buah cherry (69,4 %bk). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan pangan yang memiliki kemampuan membentuk gel harus mengandung komponen serat pangan larut lebih tinggi terutama komponen pektin dengan kadar substansi pektat lebih besar dari 50%.

Kadar Mineral Gel Daun Kacapiring

Kadar mineral yang memiliki valensi 2, diduga sebagai salah satu faktor yang bisa membantu peristiwa gelasi dengan mekanisme membentuk jembatan garam/ionik sehingga gugus aktif polimer yang awalnya berjauhan bisa saling berdekatan membentuk matrik tiga dimensi (Glicksman 1969).

Tabel 6 Komposisi mineral gel daun kacapiring

Parameter Kadar (mgKg-1) Bb bk Mineral Ca 67,7682 + 0,86 5429,71 + 68,98 Mineral Mg 34,9547 +1,38 2800,63 + 110,96 Mineral Fe ttd ttd Mineral Cu ttd ttd

Keterangan :ttd = tidak terdeteksi, bb = basis basah, bk = basis kering

Hasil pengukuran kadar mineral gel daun kacapiring (Tabel 6), menunjukkan bahwa mineral Fe dan Cu tidak terdeteksi, sedangkan kadar mineral Mg dan Ca diperoleh dengan jumlah mineral Ca lebih tinggi dibandingkan mineral Mg yaitu, 5429,71 dan 2800,63 mgKg-1bk. Tang et al. (1995) menyatakan bahwa gel yang dibentuk dengan penambahan ion Ca2+ lebih kuat dibandingkan dengan ion Mg2+ karena perbedaan ukuran kation, dimana ion Ca2+ mempunyai diameter 0,099 nm, kira-kira 1,5 kali lebih besar dari ion Mg2+, sehingga mineral Ca2+ lebih berperan dalam mekanisme gelasi dibandingkan Mg2+. Ion Ca2+ sangat

efektif pada pembentukan kompleks dengan karbohidrat. Hal ini sebagian besar karena radius ioniknya cukup besar yaitu 0,1 nm, sehingga dapat berkoordinasi dengan ruang atom oksigen seperti dalam banyak gula, dan karena sifatnya yang fleksibel dengan arah ikatan koordinasinya (Walter 1991).

Ion Ca2+ di dalam jaringan tanaman, 90% berada pada kondisi terikat atau tidak larut. Sebanyak 50 sampai 70% terikat dalam bentuk yang mudah digantikan oleh NaCl. Ion Ca2+ adalah elemen esensial dalam mekanisme gelasi pada pektin bermetoksi rendah (Walter 1991). Derajat esterifikasi yang rendah pada pektin memerlukan Ca2+ semakin sedikit untuk mencapai tekstur yang diinginkan. Ion Ca2+ yang ditambahkan pada bahan pangan dalam bentuk garam seperti CaCl2, dan CaCO3. Kemampuan ion Ca2+ untuk membentuk kompleks yang tidak larut berhubungan dengan gugus karboksil bebas pada rantai pektin. Ikatan ion Ca2+ melibatkan gugus fungsi lain, terutama penambahan gugus karboksil, sehingga terjadi interaksi yang kuat antara Ca2+ dan atom oksigen lain pada pektin.

Gel daun cincau hijau, natrium alginat dan pektin bermetoksi rendah mempunyai mekanisme pembentukan gel secara kimia dengan bantuan mineral tertentu, misalnya ion Ca2+. Gel pektin, alginat dan cincau dapat terbentuk dengan seketika. Ion Ca2+ diduga memegang peranan dalam mekanisme pembentukan gel

Dokumen terkait