• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Penebangan Kayu

Kegiatan pemanenan kayu di HTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, dilakukan dengan sistem kemitraan dengan kontraktor. Segala urusan tentang pemanenan dilakukan di bawah oleh bagian pemanenan. Pihak kontraktor membagi pekerjaannya ke dalam beberapa regu penebang yang diawasi oleh mandor. Setiap regu penebang terdiri dari operator chainsaw yang dibantu oleh helper yang bertugas untuk mendorong kayu agar jatuh sesuai arah rebah dan operator alat berat. Alat berat ini digunakan untuk pengupasan kulit dan penyaradan kayu.

Kegiatan pemanenan di perusahaan ini terdiri dari kegiatan penebangan (felling), penyaradan (skidding), muat bongkar (loading dan unloading), dan pengangkutan (hauling). Masing-masing kontraktor memegang 1 compartmen. Setiap compartmen diawasi oleh asisten kepala yang bertugas mengawasi sub kontraktor yang dipegang oleh seorang mandor. Setiap asisten kepala memberikan laporan kepada manajer pemanenan.

Volume dan Presentase Limbah Pemanenan Kayu

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran langsung pada pohon-pohon yang akan dijadikan sampel penelitian. Dari 45 pohon per plot ulangan yang diukur didapati volume kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan, kayu yang diproduksi, dan perhitungan bagian-bagian pohon yang tidak dapat dimanfaatkan atau yang dihitung sebagai limbah. Untuk tata cara penebangan dan jenis kayu yang tidak dapat dimanfaatkan ditentukan sendiri oleh perusahaan, hal ini disebut kriteria penebangan pohon.

23

Pengukuran dilakukan pada semua pohon di dalam 1 plot ulangan ulangan penelitian yaitu berjumlah 45 pohon. Data yang diperlukan dalam pengukuran volume ini adalah data diameter ujung, diameter pangkal, dan panjang kayu. Data ini didapatkan dari pengukuran langsung dengan menggunakan pita ukur. Untuk pengukuran diameter setiap kayu baik diameter pangkal dan diameter ujung dilakukan menggunakan pita ukur sehingga data yang diperoleh merupakan data keliling. Untuk memperoleh diameter kayu, hasil dari pengukuran keliling harus dilakukan pembagian dengan 3,14. Semua data yang didapat dari hasil penelitian di lapangan dalam setiap plot ulangan, diproses dengan menggunakan rumus brereton untuk mencari volume kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan pada setiap pohon, kemudian dijumlahkan untuk total volume pada setiap plot ulangan. Kayu kemudian dibersihkan dan dilakukan identifikasi limbah.

Pengukuran volume kayu produksi dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran volume kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan. Volume kayu produksi didapatkan dari perhitungan volume kayu yang sudah dibersihkan dari batang atas, cabang, ranting dan siap dikirim ke pabrik. Agar kayu yang dihitung sebelum dibersihkan dan sesudah dibersihkan tetap kayu yang sama maka dilakukan penomoran pada bontos kayu menggunakan pilox. Hasil pengukuran volume kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan, kayu produksi, dan limbah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Volume kayu diperkirakan dapat dimanfaatkan, kayu produksi, dan limbah No. Plot ulangan Volume (m3) Persentase kayu dimanfaatkan(%) Kayu diperkirakan dapat dimanfaatkan Kayu produksi Limbah I 7,79 6,93 0,46 88,87 II 8,32 6,72 0,48 80,74 III 8,05 6,69 0,51 83,04 Total 24,16 20,33 1,46 84,13 Rata- Rata 8,05 6,78 0,49

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa plot ulangan II adalah plot ulangan yang memiliki volume kayu diperkirakan dapat dimanfaatkan paling tinggi yaitu 8,32 m3. Plot ulangan II lebih sedikit menghasilkan kayu produksi dibandingkan plot ulangan I padahal kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan pada plot ulangan II lebih besar dibanding plot ulangan I, sehingga persentase kayu yang dimanfaatkan pada plot ulangan II hanya 80,74%. Pada tabel 1 dilihat pula bahwa volume limbah yang dihasilkan sebesar 0,51 m3. Volume limbah pada plot ulangan III lebih besar daripada plot ulangan I dan II. Besarnya volume limbah pada plot ulangan III disebabkan karena letak plot ulangan III berada pada kemiringan lereng yang beragam, selain itu sebagian pohon yang ditebang berbatasan langsung dengan jalan pengangkutan, sehingga pohon yang direbahkan mengalami benturan langsung dengan lereng dan jalan pengangkutan yang menyebabkan kayu patah dan mengurangi volume kayu yang dapat diproduksi.

Dari tabel 1 diketahui persentase kayu yang paling tinggi adalah plot ulangan I yaitu sebesar 88,87%. Persentase ini lebih tinggi dari Plot ulangan II dan Plot ulangan III. Plot ulangan I memiliki volume kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan yang lebih rendah dari plot ulangan II dan plot ulangan III tapi plot ulangan I lebih besar volume produksinya yaitu 6,93 m3 dengan limbah

25 7,79 8,32 8,05 6,93 6,72 6,69 0,46 0,48 0,51 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Plot I Plot II Plot III

V ol u m e kay u

Kayu diperkirakan dapat dimanfaatkan Kayu produksi Limbah

yang paling sedikit pula yaitu 0,46 m3. Limbah yang sedikit ini disebabkan karena pada kegiatan penebangan pohon dilakukan sekaligus dalam satu plot ulangan penelitian, sementara plot ulangan II dan III ditebang sedikit demi sedikit atau bertahap. Penebangan yang dilakukan sekaligus menyebabkan semakin rendah kemungkinan pohon yang direbahkan bertubrukan dengan pohon lain dan patah. Untuk melihat perbedaan ketiga plot ulangan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 4 dan persentase kayu pada Gambar 5.

Gambar 4. Grafik volume kayu diperkirakan dapat dimanfaatkan, kayu produksi, dan limbah

Gambar 5. Grafik persentase total kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan, kayu produksi, dan limbah 88,87 80,74 83,04 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 p er sen ta se ( %)

Dalam perhitungan limbah didapati bahwa jumlah total limbah adalah 1,46 m3 dan total 135 pohon, maka didapati jumlah rata-rata potensi limbah ini adalah 0,01 m3/ pohon. Jumlah potensi ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap pohon memiliki potensi limbah 0,01 m3.

Kurangnya volume dari kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan dengan kayu produksi diakibatkan oleh adanya bagian kayu yang tidak dimanfaatkan atau disebut limbah. Limbah-limbah tersebut dapat berupa tunggak, batang atas, cabang dan ranting yang berdiameter lebih 3 cm dan panjang lebih 4 meter.

Perhitungan volume limbah tunggak dan batang atas dilakukan dengan menggunakan rumus brereton. Data yang dibutuhkan yaitu data diameter pangkal, ujung, dan panjang tunggak ataupun batang atas. Pengambilan data dilakukan menggunakan pita ukur, sehingga untuk perhitungan diameter harus dibagi 3,14 karena data yang diperoleh merupakan data keliling kayu. Semua data diameter pangkal, diameter ujung, dan panjang yang didapat dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan rumus brereton untuk mecari volume limbah seiap kayu. Volume limbah tersebut dijumlahkan untuk memperoleh volume total limbah dalam setiap plot ulangan. Data kemudian diproses dengan menggunakan rumus brereton.

Dari penelitian ini diketahui bahwa volume limbah tunggak tertinggi didapati di plot ulangan I yaitu sebanyak 0,06 m3 dengan volume batang atas terendah 0,39 m3 sehingga total limbah yang didapati pada plot ulangan I adalah 0,46 m3. Pada plot ulangan II volume tunggak sebanyak 0,06m3 dan volume batang atas 0,43 m3 sehingga volume total limbah pada plot ulangan 2 sebanyak

27 0,05 0,06 0,05 0,39 0,43 0,46 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5

Plot I Plot II Plot III

v o lu m e lim b ah

Tunggak Batang Atas

0,48m3. Plot ulangan III ada plot ulangan yang paling banyak menyimpan limbah sisa pemanenan. Pada plot ulangan ini limbah pemanenan total sebanyak 0,51 m3 dengan volume batang atas sebanyak 0,46 m3 dan tunggak sebanyak 0,05m3. Untuk perhitungan masing-masing limbah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata (m3) dan persentase limbah pemanenan kayu (%)

No. Plot ulangan Jenis Limbah Tebangan Total Limbah

Tunggak Batang Atas

I 0,06 0,39 0,46 II 0,06 0,43 0,48 III 0,05 0,46 0,51 Total 0,18 1,28 1,46 Rata-rata 0,05 0,43 - Persentase 12,03 87,97 -

Untuk melihat perbandingan jumlah limbah tebangan pada setiap plot ulangan dalam grafik dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik perbandingan volume tunggak dan batang atas

Perusahaan ini belum memanfaatkan limbah pemanenan kayu. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya penelitian mengenai limbah pemanenan kayu. Pada perusahaan ini juga belum dikembangkan pengolahan limbah pemanenan kayu. Biasanya limbah seperti tunggak dan batang atas hanya ditinggalkan di lokasi

penebangan dan dibiarkan hingga busuk agar bisa menjadi pupuk, padahal pemanfaatan limbah ini harusnya sudah dilakukan dengan baik karena memiliki manfaat yang banyak dan dapat dikelola agar lebih bernilai ekonomis tinggi.

Berikut merupakan gambar limbah tunggak dan limbah batang atas yang didapati di petak tebang

A B

Gambar 7. A) limbah tunggak B) limbah batang atas

Penelitian ini memperhitungkan volume limbah yang terdapat dipetak tebang. Pada kedua jenis limbah yaitu tunggak dan batang atas, limbah yang paling banyak didapati pada bagian batang atas. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa total limbah batang atas adalah 1,28 m3 dan tunggak 0,18 m3. Dari jumlah total volume limbah sebanyak 1,46 m3 maka sebesar 87,97% volume limbah terdapat di batang atas dan 12,03% limbah tunggak. Limbah batang atas merupakan limbah dari cabang pertama sampai tajuk dan limbah tunggak adalah limbah yang ada dibawah takik balas dan takik rebah. Untuk limbah tunggak ditinggalkan agar struktur tanah tidak banyak berubah dan tidak mengakibatkan longsor, untuk limbah batang atas ditinggalkan agar tidak membuang banyak waktu dalam pengangkutan ke pabrik sehingga cabang dan ranting-ranting kayu tidak menyusahkan dalam pengiriman ke pabrik. Selain itu kayu yang diangkut lebih

29

banyak dalam satu pengangkutan karna kayu dalam pengiriman berbentuk kayu bulat yang mudah disusun pada truck. Untuk melihat perbandingan persentase volume limbah tunggak dan volume batang atas dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik perbandingan perentasi limbah tunggak dan limbah batang atas

Berdasarkan pengamatan di lapangan, limbah ini terjadi akibat kurang efisiennya kegiatan pemanenan yang dilakukan atau disebut sebagai faktor teknis, seperti:

1. Kurang profesionalnya pekerja

Seperti ketidakseriusan dalam melakukan pemotongan batang akibatnya tunggak yang diambil terlalu panjang selain itu limbah juga dapat terjadi akibat orang yang bertugas sebagai helper tidak mengarahkan kayu ke arah rebah yang tepat, sehingga kayu mengalami patah saat penebangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.

12,03 87,97 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er sen ta se ( %)

Gambar 9. Tunggak dipotong terlalu panjang

2. Kurang merawat alat penebangan

Perawatan pada alat juga perlu diperhatikan. Pada kegiatan pemanenan kayu sering terjadi masalah karena alat yang dipakai berhenti bekerja akibat kurangnya perawatan alat pemanenan kayu. Misalnya gergaji chain saw tidak ditajamkan terlebih dahulu, mesin chain saw terkena air hujan. Ketika mesin berhenti bekerja, biasanya kayu harus dipotong dengan kampak, hal ini menyebabkan adanya bagian kayu komersil tapi menjadi limbah. Contohnya dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Alat yang dipakai lengket di batang kayu

3. Salah menentukan arah rebah

Petugas helper juga yang kurang kuat mendorong kayu ke arah rebah mengakibatkan pisau chainsaw lengket pada bagian batang saat pemanenan

31

sehingga kayu mengalami kerusakan. Padahal banyak kayu yang seharusnya dapat dimanfaatkan menjadi kurang dimanfaatkan akibat kurangnya penguasaan teknik kerja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Salah menentukan arah rebah

Kesalahan-kesalahan yang terjadi dan ditemukan dalam penelitian ini juga dikemukanan oleh Sastrodimedjo dan Simarmata (1978) dalam Sasmita (2003), terjadinya limbah tebangan yang cukup besar disebabkan bisa oleh :

1. Kesalahan dalam melaksanakan teknik penebangan

2. Pembuatan takik rebah dan takik balas yang kurang benar dapat menyebabkan bagian pangkal pohon tercabut, retak atau yang disebut barber chair. Dengan demikian akan mengurangi batang yang seharusnya dapat dipakai.

3. Kesalahan dalam menentukan arah rebah pohon

4. Dalam melaksanakan penebangan, pada umumnya operator chainsaw belum memperhatikan arah rebah yang baik. Oleh karena itu sering terjadi rebah ke arah jurang, menimpa batang lain, selokan, tunggak dan lain-lain, sehingga batang menjadi retak atau pecah. Disamping itu sering pohon yang ditebang menimpa dan merusak tegakan tinggal.

6. Sering kali terjadi ketidaklancaran hubungan antara kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain. Kegiatan penebangan dan penyaradan seolah-olah bekerja sendiri-sendiri, sehingga dapat menyebabkan kayu yang ditebang tidak disarad atau baru disarad setelah beberapa waktu kemudian karena tidak diketahui letaknya oleh penyarad.

Faktor Eksploitasi

Faktor eksploitasi adalah menghitung volume pohon yang diambil dari banyaknya volume limbah pada suatu penebangan. Nilai faktor eksploitasi sangat bergantung dari besarnya limbah yang terjadi pada pohon yang ditebang. Semakin besar limbah pemanenan yang terjadi berarti faktor eksploitasi makin kecil sehingga tingkat pemanfaatan kayu pun semakin kurang effisien. Nilai Faktor eksploitasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor eksploitasi per plot ulangan pemanenan

Faktor eksploitasi limbah pemanenan kayu dapat terjadi karena faktor alam, keadaan pohon atau karena kesalahan teknis penebangan sehingga mengurangi volume yang seharusnya dimanfaatkan dari suatu pohon. Nilai rata-rata faktor eksploitasi pada penelitian ini adalah 0,84. Menurut Mansur et al, (2013) kegiatan penebangan yang baik adalah yang tidak menyisakan limbah

No. Plot ulangan

Volume (m3)

Faktor Eksploitasi Kayu diperkirakan dapat

dimanfaatkan Kayu produksi I 7,79 6,93 0,89 II 8,32 6,72 0,81 III 8,05 6,69 0,83 Total 24,16 20,33 0,84

33

pemanenan. Pengukuran terhadap volume kayu tebangan adalah suatu kegiatan untuk dapat memprediksi besaran limbah yang tertinggal di lokasi penebangan. Volume pohon yang diharapkan termanfaatkan, volume batang termanfaatkan, dan faktor eksploitasi. Nilai Fe yang rendah dapat mengindikasikan bahwa semakin banyak volume pohon seharusnya termanfaatkan dengan baik agar menjadi limbah pemanenan. Semakin tinggi nilai Fe maka akan semakin baik, karena mengindikasikan semakin minimnya limbah kayu yang dihasilkan.

Nilai faktor eksploitasi yang paling baik adalah 1. Tetapi untuk mencapai nilai faktor eksploitasi 1 tidak mungkin, karena adanya limbah pemanenan kayu baik akibat faktor alam dan faktor teknis. Untuk menghindari limbah yang diakibatkan oleh faktor alam, perusahaan ini selalu berusaha mengurangi limbah dengan cara mebuat klon spesie Eukaliptus yang dapat dimanfaatkan dari tajuk hingga akan setiap tahun. Salah satu spesies yang dikembangkan adalah Eucalyptus hybrid (IND-47). Dan untuk faktor teknis, perusahaan ini memberikan pelatihan khusus bagi setiap karyawan dalam organisasi penebangan kayu.

Nilai faktor eksploitasi pada penelitian ini adalah 0,84. Nilai ini sudah termasuk cukup baik. Sari (2009) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian Sianturi dan Simarmata (1983), besarnya faktor eksploitasi berkisar antara 0,56 – 0,97 dengan rata-rata 0,84. Faktor ekploitasi ini menunjukkan pula bahwa tingkat efisiensi pemanenan yang dilakukan sudah cukup tinggi dan aksesibilitas hutan PT. Toba Pulp Lestari Sektror Tele ini tinggi dilihat dari angka faktor ekploitasi yang sudah cukup besar. Artinya akses ke dalam hutan PT. Toba Pulp Lestari ini tidak menyulitkan sehingga dalam penyaradan maupun pengangkutan tidak banyak kayu komersil yang terbuang dan menambah jumlah limbah.

Menurut Idris dan Wesman (1995); diacu dalam Sari (2009) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh :

1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, penyebaran, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran.

2. Faktor teknis yang dapat dibagi menjadi :

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

Dalam Pratini (2010) mengatakan bahwa Volume yang seharusnya dapat dimanfaatkan dari satu pohon yang ditebang adalah 100 %, tetapi pada saat penebangan dilakukan terjadi limbah kayu baik karena faktor alam, keadaan pohon, atau karena kesalahan teknis penebangan. Faktor alam dalam penelitian ini berupa kondisi tanah, unsur hara, faktor lingkungan yang mempengaruhi keadaan pohon termasuk tinggi dan diameter pohon. Untuk itu dilakukan analisis regresi linier berganda untuk melihat pengaruh tinggi dan diameter terhadap banyaknya limbah pemanenan.

Hubungan Tinggi Dan Diameter Kayu Terhadap Volume Limbah

Analisis data dalam penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan diameter dan tinggi pohon terhadap volume pohon. Analisis data ini dilakukan

35

dengan software statistical product service solution (SPSS). Semua data yang diperoleh dimasukkan dalam SPSS dengan variabel bebas adalah tinggi dan diameter pohon sedangkan variabel terikatnya adalah volume limbah. Analisis data ini dilakukan dengan selang kepercayaan 95%. Nilai signifikansi dibawah 0,05 menyatakan bahwa variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Berikut hasil dari analisis regresi pada setiap plot ulangan. Untuk melihat model korelasi pada setiap plot ulangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh tinggi dan diamter kayu terhadap volume limbah

Model regresi

R-squere(%)

Signifik ansi

Uji T Tinggi Uji T Diameter

Ŷ=0,048X1+0,004X2-0,017 68 2 x 10-49 2 x 10-38 2 x 10-25

Melihat pada modelnya, dapat diperkirakan bahwa tinggi dan diameter berpengaruh positif terhadap kenaikan volume limbah, artinya setiap kenaikan tinggi dan diameter akan menambah volume limbah itu sendiri. Pada penelitan ini, setiap petak tebang dibuat model regresinya, tujuannya untuk membandingkan besarnya pengaruh tinggi dan diameter terhadap volume limbah pada setiap plot ulangan dalam petak tebang.

Mengacu pada tabel 4, nilai square menjelaskan bahwa besar persen R-square dapat dijelaskan oleh variabel bebas yaitu tinggi dan diameter kayu, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain. Pada analisis data ini didapatkan bahwa R-square mencapai 68% artinya sebanyak 68% volume limbah dipengaruhi oleh diameter dan tinggi, dan sisanya sebanyak 32% dipengaruhi oleh faktor lain. Dari ujii signifikansinya, semua model regresi memiliki nilai signifikasi di bawah 0,05. Nilai signifikasi 2 x 10-33 menyatakan bahwa variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Selain itu dilakukan juga uji parsial, pengujian ini

dilakukan untuk menguji besar pengaruh tiap-tiap variabel bebas terhadap variabel terikat. Dari pengujian ini didapatkan bahwa tinggi adalah variabel yang paling berpengaruh pada volume limbah. Hal ini dilihat dari nilai uji T tinggi yang mencapai 0,716 lebih tinggi dari nilai uji T diameter yang hanya mencapai 0,488.

Faktor yang dianalisis dalam analisis data ini adalah besar pengaruh dari tinggi dan diameter terhadap kenaikan volume limbah. Diameter dan panjang kayu merupakan dimensi yang digunakan untuk mengukur besar volume limbah, sehingga diameter dan panjang pasti merupakan faktor yang berpengaruh terhadap volume limbah. Sedangkan faktor lain yang dimaksud dapat berupa faktor teknis ataupun faktor alam. Hal ini juga dikemukakan oleh Partiani (2010) yang menyatakan bahwa secara garis besar limbah pemanenan kayu disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor teknis. Pada penelitian ini faktor alam yang mempengaruhi besarnya limbah pemanenan kayu adalah kemiringan lereng petak tebang (topografi), kerapatan tegakan, dimensi kayu, jenis kayu, keadaan tanah dan keadaan cuaca.

Untuk itu pemanfaatan limbah kayu ini sudah dapat mulai diperhatiakan melihat banyaknya manfaat dari limabah ini. Seperti yang dikemukakan oleh Mansur dkk 2013 bahwa pemanfaatan limbah pemanenan dapat merujuk pada penggunaan limbah sebagai bahan baku produksi penggergajian kayu serta dapat digunakan sebagai bahan bakar. Penelitian Muhdi (2013) telah membuktikan bahwa sisa limbah pemanenan kayu Acacia mangium dapat dijadikan papan partikel nonstruktural seperti bahan pembuatan mebel (furniture).

37

Dokumen terkait