• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi dan Kualitas Telur Produksi Telur Periode Enam Bulan

Berdasarkan data pengamatan produksi telur selama enam bulan, diperoleh rataan persentasi produksi telur itik persilangan PMp sebesar 67%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan produksi telur tahunan itik persilangan lainnya yaitu itik persilangan Pekin Alabio yang menghasilkan produksi telur tahunan yang mencapai 63% dan itik persilangan Alabio Pekin memiliki produksi telur tahunan sebesar 62% (Susanti et al. 2012). Itik persilangan Mojosari Alabio pada waktu periode pengamatan yang sama menghasilkan produksi telur yang lebih rendah yaitu 66% (Ketaren et al. 1999). Itik persilangan PMp generasi pertama memiliki produksi telur tahunan yang sangat tinggi yaitu 72% (Suparyanto 2005b). Produksi telur bulanan itik persilangan PMp generasi kelima disajikan pada Gambar 8.

12

Produksi telur mengalami peningkatan pada bulan kedua saat umur itik mencapai enam bulan. Penurunan terjadi pada bulan ketiga yaitu pada umur itik mencapai tujuh bulan sebagai tanda itik-itik akan memasuki fase ranggas bulu. Pada umumnya itik mengalami rontok bulu pada bagian dada dan pantat pada umur tujuh bulan (Supriyadi 2009). Menurut Susanti (2012), mekanisme ranggas bulu pada itik selalu diawali dengan berhentinya produksi telur yang diikuti kejadian bulu meranggas dan kemudian itik berproduksi telur kembali. Terdapatnya itik PMp yang mengalami ranggas bulu menyebabkan itik berhenti berproduksi. Kejadian ranggas bulu pada itik persilangan Pekin Alabio (PA) dan itik persilangan Alabio Pekin (AP) sangat nyata mempengaruhi produksi telur. Itik persilangan PA dan AP yang tidak mengalami rontok bulu dapat mencapai produksi telur tahunan yang lebih tinggi yaitu 73% dan 86% dibandingkan dengan itik yang sama namun mengalami kejadian rontok bulu yang hanya mencapai 63% dan 62% (Susanti et al. 2012).

Fenomena ranggas bulu pada unggas merupakan peristiwa alamiah dalam rangka penggantian bulu-bulu lama oleh folikel baru yang mendorong bulu lama lepas. Banyak faktor yang mempengaruhi peristiwa ranggas bulu pada itik. Menurut Susanti (2012) ranggas bulu dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, dan stres. Kadar hormon prolaktin yang tinggi dalam darah dapat menjadi salah satu pemicu yang menyebabkan rontok bulu (Hafez 2000) dan regresi ovarium (Ramesh et al. 2004). Faktor lain yang mempengaruhi produksi telur yakni ketersediaan pakan. Produksi telur itik persilangan Mojosari Alabio (MA) pada umur 22-42 minggu mampu mencapai 83% pada kondisi pakan ad libitum sedangkan pembatasan pakan 15% dan 30% menghasilkan produksi telur yang lebih rendah yaitu 64% dan 46% (Ketaren et al. 2002). Pakan yang diberikan untuk itik PMp periode layer merupakan ransum petelur komersial dengan kandungan protein kasar yaitu 18%. Standar dari SNI pakan itik petelur (01-3910-2006) merekomendasikan ransum dengan kandungan protein kasar minimum 15% agar produksi telur berjalan baik.

Variasi genetik antar individu itik persilangan PMp memiliki koefisien keragaman untuk produksi telur tergolong tinggi yaitu 34%. Keragaman menunjukan bahwa produksi telur antar individu itik persilangan PMp masih relatif heterogen. Produksi telur yang tinggi dengan keragaman yang rendah merupakan faktor penting dalam menyeleksi calon induk itik betina. Hal ini dikarenakan betina tersebut akan dijadikan induk untuk menghasilkan telur yang akan ditetaskan sebagai sumber bibit niaga. Penetapan kriteria bibit induk (parent stock) mensyaratkan bahwa calon induk tersebut harus berproduksi telur tinggi, cepat dewasa kelamin, viabilitas tinggi, fertilitas tinggi, daya tetas tinggi dan umur induk minimal enam bulan (SNI No7558 Tahun 2009). Menurut Kurnianto (2010), keragaman dikatakan sudah kecil apabila nilainya kurang dari 5% dan dikategorikan besar apabila nilainya lebih dari 15%.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi keragaman produksi telur yaitu dengan melakukan perkawinan dari pejantan dan induk itik dari generasi yang sama (perkawinan interse). Jenis perkawinan interse tersebut dapat menjadi alternatif dari menyeleksi itik PMp betina dengan produksi telur yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan interval generasi itik yang relatif singkat untuk diterapkan pada seleksi berdasarkan catatan keturunan (progeny test) dan (silsilah). Itik persilangan PMp generasi kelima dihasilkan dari seleksi

13 dan perkawinan itik PMp jantan dan betina generasi sebelumnya. Perkawinan

interse biasanya dilakukan dalam upaya pemantapan galur. Galur tersebut dikatakan telah stabil apabila telah memiliki nilai keragaman yang kurang dari 5% (Susanti 2012). Seleksi individu dapat saja dilakukan terhadap sifat produksi telur di itik PMp. Namun karena sifat yang akan diseleksi berkaitan dengan jenis kelamin (sex limited) maka kurang akurat untuk diterapkan.

Rataan produksi telur itik persilangan PMp betina selama periode enam bulan yakni 112 butir. Produksi telur tertinggi dicapai hingga 163 butir (97%) dan produksi terendah yaitu 17 butir (10%). Pengamatan produksi telur pada itik hasil persilangan Mojosari lainnya pada periode pengamatan yang lebih singkat (tiga bulan) menghasilkan jumlah telur yang lebih sedikit. Itik persilangan Mojosari Alabio (MA), persilangan Mojosari dengan Mojosari (MM), persilangan Alabio dengan Alabio (AA) dan persilangan Alabio Mojosari (AM) hanya menghasilkan produksi telur berturut-turut yaitu 74, 66, 66 dan 61 butir (Prasetyo dan Susanti 2000). Produksi telur pada itik yang merupakan sifat kuantitatif dilaporkan memiliki nilai heritabilitas yang rendah yaitu 0.15-0.22 (Cheng et al. 1995; Hu et al. 2004). Rendahnya nilai heritabilitas dari sifat produksi telur itik tersebut menunjukan kecilnya proporsi kontribusi genetik terhadap fenotipe yang diakibatkan tingginya pengaruh lingkungan.

Beberapa penelitian pengaruh genetik terhadap produksi telur pada itik dilaporkan spesifik dengan pendekatan gen kandidat tertentu. Wang et al. (2011) melaporkan bahwa produksi telur pada itik salah satunya dipengaruhi oleh mutasi pada gen prolaktin. Genotipe mutant akibat mutasi gen prolaktin di wilayah koding protein pada itik lokal Cina menghasilkan produksi telur tahunan yang lebih tinggi yaitu 317 butir. Namun mutasi gen prolaktin itik di wilayah non-koding dilaporkan tidak mempengaruhi produksi telur pada itik Gaoyou. Itik Gaoyou bergenotipe mutant pada bagian intron satu menghasilkan rataan produksi telur 82 butir selama 100 hari periode pengamatan (Li et al. 2009). Laporan Chang et al. (2012) menyatakan bahwa rataan produksi telur itik Tsaiya selama 40 minggu periode yang mengalami mutasi pada wilayah non koding (intron satu dan empat) yaitu 149 butir.

Menurut Cheng et al. (1995) seleksi terhadap produksi telur pada itik memiliki korelasi genetik negatif dengan bobot badan. Seleksi yang tinggi terhadap bobot badan pada itik Pekin menghasilkan itik yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dengan produksi telur rendah. Seleksi bobot badan pada itik Mojosari betina terkendala karena sifatnya sebagai itik petelur yang memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan itik Pekin. Tingginya produktivitas bertelur itik persilangan PMp betina diwariskan dari tetua Mojosari yang merupakan itik petelur. Tetua induk Mojosari putih dapat menghasilkan produksi telur tahunan yang mampu mencapai 238 butir (Prasetyo dan Susanti 2000). Tingginya produksi telur itik PMp berpotensi untuk dijadikan sebagai bibit. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia No.7558 Tahun 2009, kriteria calon bibit induk yang baik memiliki rata-rata produksi telur minimal 60% sehingga itik PMp memenuhi kriteria.

Kualitas Telur Itik Persilangan PMp

Pengamatan terhadap kualitas telur itik PMp menunjukan bahwa telur itik PMp generasi kelima memiliki rata-rata bobot telur medium antara bobot telur itik

14

Mojosari putih dan bobot telur itik Pekin. Karakteristik kualitas telur pertama itik persilangan PMp generasi kelima disajikan dalam Tabel 2.

Bobot telur itik persilangan PMp generasi kelima berdasarkan Tabel 2 diatas didapatkan rataan yaitu 59.09 g. Sebanyak 72.77% bobot telur yang dihasilkan berada pada kisaran 51.2-66.98 g. Koefisien keragaman bobot telur itik persilangan PMp tergolong sedang yaitu 13.35%. Hal tersebut menunjukan bobot telur relatif beragam dari ukuran telur itik PMp terkecil (51 g) hingga ukuran telur itik PMp terbesar (67 g). Pengelompokan bobot telur penting untuk dilakukan agar kualitas anak itik atau DOD (day old duck) yang ditetaskan seragam. Keseragaman DOD sangat memudahkan dalam manajemen budidaya seperti pada pemberian pakan. Upaya penyeragaman bobot telur saat penetasan dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan pengelompokan.

Suparyanto (2005b) melaporkan bahwa seleksi terhadap bobot telur itik persilangan PMp generasi pertama memiliki korelasi positif terhadap bobot anak itik yang ditetaskan. Oleh karena itu untuk menghasilkan bobot tetas yang tinggi, Setioko (1998) menganjurkan telur itik yang akan ditetaskan sebaiknya berbobot pada kisaran 65-75 g. Pedoman Pembibitan Itik Nomor 237/Kpts/1PD.430/6/2005 menganjurkan bobot telur untuk ditetaskan sebaiknya tidak kurang dari 60 g. Sekitar 43.66% telur-telur itik PMp memiliki bobot di atas 60 g. Telur itik PMp dengan bobot awal 65.36 g akan menghasilkan bobot DOD itik PMp dengan berat 38.5 g atau mengalami 61.5% derajat kehilangan bobot telur (Suparyanto et al. 2004c). SNI bibit itik Mojosari Nomor 7357 Tahun 2008 dan Alabio Nomor 7557 Tahun 2009 menstandarkan bobot DOD final stock yaitu 37 g.

Bobot telur pada itik secara genetik berkorelasi negatif dengan produksi telur yang dihasilkan (Cheng et al. 1995). Hal ini berarti semakin banyak telur yang diproduksi maka akan mengarah pada bentuk telur yang semakin mengecil. Seleksi terhadap bobot badan itik Pekin berdampak pada produksi telur yang rendah dengan ukuran telur yang besar. Telur itik Mojosari yang berproduksi tinggi memiliki ukuran telur yang lebih kecil dibandingkan telur itik Pekin yang diperuntukan sebagai itik pedaging. Berdasarkan penelitian Kokoszynski et al. (2007), telur itik Pekin memiliki kisaran bobot yaitu 71.7-86.7 g dengan dimensi panjang dan lebar telur berkisar 61.9-65.1 mm dan 45-48 mm.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa bobot telur pada itik berkaitan dengan mutasi gen prolaktin. Penelitian Li et al. (2009) melaporkan bahwa bobot Tabel 2 Rataan kualitas telur (+ simpangan baku) itik PMp penelitian dan referensi Sifat Itik PMp1 (n=98) Mojosari2 (n=306) Pekin3 (n=180) Bobot telur pertama (g) 59.09 + 7.89 52.91 + 7.36 89.60 + 6.80

Indeks telur (%) 73.78 + 5.86 78.28 + 2.52 72.40+ 4.40

Berat kuning telur (g) 19.25 + 3.77 14.99 + 3.71 28.30+ 10.30 Berat putih telur (g) 33.02 + 5.16 31.34 + 3.81 52.90+ 14.90

Haugh Unit (HU) 101.69 + 3.73 101.12 +4.21 69.80+13.70

Skor warna kuning telur 8.79 + 1.21 7.30+1.92 5.10+ 16.20

Berat kerabang (g) 6.84 + 0.90 5.24 +0.74 8.40+ 6.70

Tebal kerabang (mm) 0.40 + 3.05 0.36 +0.01 0.36+ 6.60

15 telur itik Gaoyou genotipe mutant memiliki berat telur yang lebih tinggi 77 g dibandingkan itik dengan genotipe non mutant dengan berat telur 74 g. Penelitian lainnya bahwa bobot telur itik dipengaruhi oleh mutasi gen prolaktin disampaikan oleh Chang et al. (2012). Bobot telur itik Tsaiya yang mengalami mutasi lebih tinggi yaitu 67 g dibandingkan itik Tsaiya yang tidak mengalami mutasi yaitu 64 g. Bobot telur pada itik memiliki kisaran potensi genetik untuk diwariskan (heritabilitas) sedang yaitu 0.30 (Cheng et al. 1995).

Bobot telur itik persilangan PMp generasi kelima yang hampir mencapai rata-rata 60 g meningkat dibandingkan bobot telur tetua induknya Mojosari putih. Kontribusi peningkatan bobot telur itik persilangan diwariskan dari tetuanya yaitu itik Pekin. Namun bobot telur itik persilangan PMp generasi kelima mengalami penurunan dibandingkan dengan bobot telur itik PMp generasi pertama yang mencapai berat 66.84 g (Suparyanto 2005b). Purba et al. (2000) melaporkan bahwa telur itik Mojosari pada populasi seleksi generasi awal yaitu 51 g. Peningkatan bobot telur itik persilangan PMp dapat disebabkan pengaruh heterosis dari efek persilangan dua tipe itik yang berbeda.

Dampak heterosis yakni meningkatkan kombinasi gen-gen heterozigot dari dua tipe itik berbeda sangat nampak pada itik PMp generasi awal. Nilai heterosis paling baik diperoleh pada generasi pertama (Noor 2010). Upaya seleksi yang dilakukan pada itik-itik bergenotipe PMp pada generasi pertama hingga kelima untuk perkawinan interse dalam rangka pemantapan galur meningkatkan frekuensi gen-gen target seleksi ke arah homozigot dan seragam. Kriteria-kriteria seleksi digunakan oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk mendapatkan kondisi optimum dan ideal dari itik persilangan PMp diantaranya yaitu keseragaman genotipe PMp yang mengarah pada sifat pertengahan itik Pekin dan Mojosari putih. Itik PMp memiliki karakteristik bobot badan lebih rendah dari Pekin namun lebih tinggi dari Mojosari putih, perilaku yang tenang, cepat dewasa kelamin, dan berproduksi telur tinggi.

Ciri lain dari itik persilangan PMp generasi kelima yaitu memiliki rataan nilai indeks telur 73.78%. Nilai tersebut mengarah pada bentuk telur yang oval normal (mendekati 75%). Sebanyak 86.85% bentuk telur berada pada kisaran 67-79%. Tinggi rendahnya indeks telur menunjukan tingkat kelonjongan telur. Semakin tinggi angka indeks telur akan mengarah pada bentuk telur yang bulat dan semakin rendah angka indeks telur akan mengarah pada bentuk telur yang lonjong. Nilai koefisien keragaman untuk indeks telur rendah yaitu 5.86%. Rendahnya nilai keragaman nilai indeks telur menunjukan bahwa telur-telur itik persilangan PMp memiliki bentuk yang hampir seragam atau homogen baik telur yang berkuran kecil, sedang, maupun besar. Penelitian Mahi (2012) dan Hermawan (2000) yang mengamati dampak bentuk telur pada puyuh dan ayam terhadap bobot tetas dan jenis kelamin menunjukan hasil yang tidak signifikan.

Analisis fraksional menunjukan bahwa putih telur merupakan komponen terbesar (56%) yang menyusun telur itik PMp dengan berat rata-rata 33.02 g. Komponen terbesar kedua (32%) yaitu kuning telur dengan berat rata-rata 19.25 g. Kerabang telur menyusun hampir 12% dari total keseluruhan bobot telur itik persilangan PMp. Adamski et al. (2005) melaporkan bahwa komponen-komponen penyusun telur itik seperti berat telur, indeks telur, berat dan tebal kerabang, berat kuning telur dan putih telur akan mengalami peningkatan yang dinamis pada fase bertelur minggu pertama hingga minggu ke-22. Sifat-sifat dari kualitas telur pada

16

itik merupakan potensi genetik dengan nilai heritabilitas moderat yang berkisar 0.2-0.4 (Tai et al. 1985; Hu dan Tai 1993). Sifat kualitas telur itik (berat putih telur, berat kuning telur, nilau HU, berat dan tebal kerabang) memiliki korelasi yang positif dengan berat telur (Suparyanto et al. 2004c; Cheng et al. 1995). Hal ini berarti peningkatan bobot komponen penyusun telur secara positif berdampak meningkatkan bobot telur utuh.

Selain faktor genetik, kualitas telur juga dipengaruhi oleh lingkungan yang berupa nutrisi dari pakan yang diberikan. Asupan kalsium yang lebih tinggi dibutuhkan untuk itik tipe petelur dibandingkan itik pedaging (NRC 1994). Hal ini dikarenakan kalsium sangat dibutuhkan dalam proses pembentukan kalsium karbonat pada kerabang itik (Shen dan Chen 2003). Pakan petelur yang diberikan untuk itik PMp yang digunakan dalam riset mengandung asupan kalsium sekitar 4%. Pakan itik petelur yang baik sesuai standar dari SNI 01-3910-2006 mengandung 3-4% kalsium. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas telur adalah faktor penyimpanan. Monira et al. (2003) melaporkan bahwa waktu penyimpanan telur sejak hari pertama ditelurkan hingga hari ke-21 sangat signifikan menurunkan bobot telur, tinggi albumin dan nilai HU telur ayam.

Pengamatan terhadap komponen penyusun telur lainnya dilakukan untuk melihat kualitas telur itik persilangan PMp. Nilai Haugh Unit (HU) adalah peubah yang menunjukan kualitas putih telur yang dicirikan dengan tinggi albumin dengan berat telur secara keseluruhan (Monira et al. 2003). Pengamatan terhadap tebal dan berat kerabang penting dilakukan dalam proses inkubasi selama proses penetasan. Tebal kerabang yang tipis akan menyebabkan telur mudah retak sedangkan kerabang yang terlalu tebal akan menyulitkan proses pelubangan cangkang (pipping). Rataan nilai HU telur itik PMp sangat tinggi yaitu 101 dengan grade telur AA (sangat baik). Nilai HU yang tinggi menunjukan tingkat kekentalan albumin dari telur itik persilangan PMp yang masih sangat segar pada saat dilakukan pengukuran.

Gen Prolaktin Ekson Dua Amplifikasi Fragmen Gen Prolaktin Ekson Dua

Amplifikasi fragmen gen prolaktin ekson dua dan parsial intron berhasil dilakukan pada suhu annealing 60oC selama 20 detik. Ekstraks DNA yang digunakan untuk proses PCR memiliki kemurnian 1.81 dan konsentrasi 263.34 µg/ml. Sebanyak 168 sampel sampel berhasil diamplifikasi dengan suhu dan waktu tersebut. Ukuran amplikon dari PCR sekitar 400 pb. Visualisasi migrasi fragmen gen prolaktin ekson dua dan parsial intron itik hasil amplifikasi (pita berwarna putih) ditampilkan pada Gambar 9.

17

Panjang amplikon prolaktin ekson dua dan parsial intron berdasarkan posisi marker yaitu berukuran sekitar 400 pb. Ukuran tersebut sesuai dengan panjang region yang diapit oleh primer yaitu 1694-2093 pb yang mencakup basa-basa pada primer forward dan reverse, ekson dua, intron satu dan dua (Gambar 10).

Pada genom itik, sekuens gen prolaktin ekson dua membentang pada region 1774-1955 pb dengan panjang yaitu 181 pb (Kode Akses GenBank AB158611.1). Jenis itik Pekin digunakan oleh Kansaku et al. (2005) untuk proses kloning gen prolaktin utuh pada itik pedaging tersebut. Pada proses amplifikasi gen prolaktin ekson dua dan parsial intron, primer mengapit gen prolaktin dengan rentang 1694-2093 pb sehingga sekuens fragmen prolaktin dalam penelitian ini merupakan gabungan dari sebagian intron satu, ekson dua dan intron dua. Proporsi basa ekson dua pada keseluruhan gen prolaktin itik yang berukuran 6.332 yaitu 2.85%. Adapun proporsi bagian ekson dua dengan keseluruhan wilayah ekson gen prolaktin itik yang berukuran 685 pb yaitu 26.42%.

Identifikasi Mutasi Gen Prolaktin Ekson Dua

Hasil sekuens gen prolaktin ekson dua dan parsial intron pada semua jenis itik jantan dan betina baik itik Pekin, Mojosari putih, dan persilangan PMp

Gambar 10 Lokasi primer dan titik mutasi target (primer forward, primer reverse (bergaris bawah), ekson dua (huruf kapital), intron satu dan dua (huruf kecil), Titik

mutasi target yaitu basa adenin pada lokasi ekson dua gen prolaktin itik ditunjukan dengan garis bawah) (Kode Akses GenBank AB158611.1).

18

diperoleh hanya satu macam genotipe dan alel. Pada lokasi 2001 pb di intron dua, ditemukan satu tipe insersi atau penyisipan satu basa adenin pada keseluruhan sampel itik yang digunakan dalam penelitian (Gambar 11). Terdapat jenis itik lain dalam GenBank yang memiliki kejadian insersi yaitu itik Linwu (Kode Akses GenBank: JQ677091.1)

Pada penelitian ini, tipe insersi yang terjadi pada tetua itik Pekin di Balitnak Ciawi tidak terdapat pada itik Pekin yang digunakan sebagai referensi pada kode akses GenBank AB158611.1. Mutasi target A-1842-G pada lokasi ekson dua tidak ditemukan baik pada itik Pekin, Mojosari putih dan itik persilangan PMp dalam penelitian. Mutasi yang ditemukan pada penelitian tidak mengubah susunan asam amino karena terletak di wilayah non-koding. Titik mutasi juga tidak terletak dalam situs-situs splicing baik pada donor, akseptor maupun situs percabangan (intron brach site). Walaupun tidak secara langsung berdampak kepada susunan amino, mutasi intron sangat berdampak signifikan pada proses regulasi gen (Chorev dan Liran 2012). Beberapa titik mutasi yang terjadi pada wilayah ekson dua dan parsial intron pengapit intron satu dan dua pada gen prolaktin itik disajikan pada Tabel 3.

Homologi Gen Prolaktin Ekson Dua

Hasil uji kesamaan sekuens fragmen gen prolaktin ekson dua dan parsial intron dengan gen prolaktin itik Pekin acuan pada GenBank (Kode Akses GenBank: AB158611.1) menunjukan kesamaan yang tinggi yakni 99%. Perbedaan terletak pada adanya insersi basa pada lokasi 2001 pb di intron dua (Gambar 12). Itik lain yaitu itik Linwu dan Jingxi memiliki kesamaan 100% dengan itik-itik yang digunakan dalam penelitian yaitu memiliki tipe insersi. Itik

Tabel 3 Identifikasi mutasi basa tunggal pada gen prolaktin itik lokal Cina, Taiwan dan dan hasil penelitian

Region Mutasi Basa Tunggal

Intron 1 T-295-C1, G-309-T1, C-381-A1,2, A-383-C4, A-412-G2, T-1326-C3 Ekson 2 A-1842-G2

Intron 2 T-2231-C2, A-2297-T4, G-2356-T4, INDEL-2001A5

Sumber : 1) Chang et al. 2012 (Itik Tsaiya). 2) Wang et al. 2011 (Itik Shanma, Shaoxing, Youma, Jinyun, Jingjiang, Liancheng, Kaiya). 3) Li et al. 2009 (Itik Gaoyou). 4) Song et al. 2010 (Itik Jinding, Putian Black, Beijing, Youxian Sheldrake, Jianchang). 5) Hasil penelitian (Itik Pekin, Mojosari dan Persilangan PMp)

19 tersebut merupakan tipe itik dwiguna penghasil daging dan telur dari Tiongkok. Itik Linwu (Kode Akses GenBank: JQ677091.1). Itik tersebut sama-sama memiliki basa adenin di posisi 2001 gen prolaktin. Menurut Wheeler dan Baghwat (2007), metode BLAST mencari kesamaan nukleotida atau protein suatu sekuens dan membandingkannya dengan database di GenBank untuk dilihat signifikansi kesamaannya secara statistik

Komposisi Nukleotida Gen Prolaktin Ekson Dua

Analisa komposisi nukleotida dilakukan untuk membandingkan komposisi sekuens sampel dengan sekuens dari database yang dirujuk. Komposisi nukleotida juga berguna dalam melihat konformasi dan struktur DNA (Ohyama 2005). Analisa komposisi nukleotida fragmen gen prolaktin ekson dua dan parsial intron disajikan pada Tabel 4.

Komposisi nukleotida menunjukan bahwa persentase basa adenin pada itik-itik yang digunakan dalam penelitian lebih tinggi dibandingkan database itik-itik Pekin dalam GenBank (Kode Akses: AB158611.1). Hal ini menjadi klarifikasi adanya penambahan satu basa adenin pada insersi di intron dua. Hal tersebut berdampak juga pada tingginya persentase pasangan basa A+T. Verkuil et al.

Tabel 4 Komposisi nukleotida sekuens hasil PCR (sekitar 400 pb)

Sampel A T G C A+T C+G

Pekin (Kode Akses GenBank: AB158611.1)

28.97 29.91 18.38 22.74 58.88 41.12 Pekin (Penelitian) 29.19 29.81 18.32 22.67 59.01 40.99 Mojosari (Penelitian) 29.19 29.81 18.32 22.67 59.01 40.99 PMp (Penelitian) 29.19 29.81 18.32 22.67 59.01 40.99

20

(2008) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase jumlah G+C dengan temperatur leleh (melting temperature). Semakin tinggi persentase G+C akan diikuti dengan semakin tingginya temperatur leleh. Hal ini dimungkinkan karena ikatan tiga hidrogen antara G+C lebih kuat dibandingkan ikatan dua hidrogen antara adenin dan timin (Muladno 2010).

Frekuensi dan Keragaman Alel Gen Prolaktin Ekson Dua

Hasil analisis frekuensi alel fragmen gen prolaktin ekson dua dan parsial pada itik Pekin, Mojosari dan persilangan PMp hanya ditemukan satu macam genotipe dengan frekuensi alel 100%. Suatu alel dikatakan polimorfik apabila memiliki frekuensi sama dengan atau kurang dari 0.99 (Hartl 2000). Pada penelitian ini, alel yang diperoleh bersifat monomorfik. Sifat monomorfik pada penelitian ini tidak dapat dijadikan marka molekuler untuk sifat-sifat kuantitatif telur selama enam bukan dan kualitas telur pada itik persilangan PMp.

Tipe alel ini tidak ditemukan pada itik lainnya bahkan pada jenis itik yang sama yakni Pekin dalam database. Program seleksi itik PMp telah dilakukan oleh Balai Penelitian Ternak sejak generasi kesatu hingga generasi kelima. Terdapatnya tipe insersi pada tetua Pekin jantan dan Mojosari betina diwariskan kepada itik hasil persilangan PMp. Proses perkawinan antar sesama PMp dalam generasi yang sama (perkawinan interse) untuk menghasilkan PMp generasi

Dokumen terkait