• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Lokasi penelitian merupakan lahan datar dengan kandungan unsur hara yang tergolong rendah. Hasil analisis tanah sebelum perlakuan menunjukkan bahwa tanah pada lahan percobaan tergolong agak masam dengan pH 4.6, C- organik sangat rendah (0.92%), N total rendah (0.13%), P2O5 tersedia sangat rendah (2.7 ppm), K tinggi (0.76 cmol/kg), nilai kapasitas tukar kation rendah (KTK 12.53 cmol/kg), dan kandungan boron tersedia rendah (0.34 ppm) (Lampiran 4).

Percobaan lapang berlangsung pada bulan April – Oktober 2013. Suhu udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 28.7 oC dengan kelembaban relatif 68.2%, sedangkan suhu udara udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 26.8 oC dengan kelembaban relatif 79.3%. Meskipun suhu udara rata-rata dan kelembaban tidak mengalami fluktuasi yang berarti namun jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan sangat fluktuatif. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (587.5 mm/bulan) dan terendah pada bulan September (52.2 mm/bulan) (Tabel 1). Iklim kemarau basah yang terjadi pada saat percobaan berlangsung menyebabkan air tersedia dalam jumlah yang cukup pada saat pertumbuhan vegetatif namun menurun pada saat pembungaan dan pengisian biji sehingga dilakukan irigasi secara mekanis.

Tabel 1. Data klimatologi di lokasi penelitian pada bulan April-Oktober 2013 Unsur Klimatologi April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Suhu udara rata-rata (oC) 27.9 27.5 27.9 26.8 28.0 28.5 28.7 Kelembaban rata-rata (%) 78.1 77.7 74.7 79.3 69.0 69.0 68.2 Jumlah curah hujan

(mm/bulan) 587.5 367.3 138.2 294.5 155.6 52.2 183.5

Jumlah hari hujan (hari) 19 23 16 21 8 13 19

Sumber: Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat 2013

Secara umum pertumbuhan tanaman tetua jantan Bima 3 dari awal hingga akhir percobaan cukup baik (Gambar 2). Pengamatan di lapang menunjukkan pada tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14) anthesis terjadi pada 58 hari setelah tanam (HST) yang ditandai oleh pecahnya serbuk sari pada bunga jantan. Anthesis berlangsung selama tujuh hari dengan puncak sebaran serbuk sari pada pukul 09.00-11.00.

Selama percobaan tidak didapati adanya serangan hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman dan menimbulkan kerusakan berarti sehingga tidak dilakukan penyemprotan pestisida. Gulma yang umumnya tumbuh di sekitar pertanaman adalah babandotan (Ageratum conyzoides) dan putri malu (Mimosa pudica Linn.)yang dibersihkan secara manual dan rutin.

Gambar 2. Keragaan tanaman tetua jantan Bima 3 (a) dan morfologi bunga jantan tanaman tetua jantan Bima 3 (b).

Perlakuan penyimpanan dan pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan pada bulan November di Laboratorium Teknologi Benih, Laptiab, BPPT. Serbuk sari diperoleh dari penaman tetua jantan dengan aplikasi pemupukan yang menghasilkan viabilitas serbuk sari tertinggi. Ekstraksi serbuk sari dilakukan di lapang dengan menampung serbuk sari menggunakan kantong polinasi dan menyimpannya dalam boks pendingin. Pengelolaan serbuk sari selanjutnya dilakukan di dalam laboratorium berupa pemisahan serbuk sari dengan antera menggunakan saringan, penurunan kadar air serbuk sari dilakukan menggunakan desikator selama 24 jam (Barnanas & Rajki 1976), dan penyimpanan serbuk sari pada deep freezer -20 oC dan -40 oC.

Pada percobaan kedua, tanaman betina ditanam sesuai dengan waktu aplikasi serbuk sari dalam penyerbukan terkontrol (Gambar 3a). Munculnya bunga betina (silking) pada tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) terjadi pada 61 HST yang ditandai dengan keluarnya rambut tongkol (silk). Penyerbukan terkontrol dilakukan pada saat rambut tongkol keluar dengan sempurna dan memiliki panjang minimal 2 cm (Gambar 3b).

Gambar 3. Keragaan tanaman tetua betina Bima 3 (a) dan morfologi bunga betina tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) (b).

a b

Percobaan I. Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, serta viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14). Pemupukan NPK meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun, mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%), meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari. Pemupukan boron meningkatkan jumlah daun, meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari (Tabel 2).

Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif, generatif, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Peubah pertumbuhan vegetatif

tanaman tetua jantan NPK Boron NPK x Boron KK (%) Tinggi tanaman (cm)

2 MST * tn tn 6.48

4 MST * tn tn 11.88

6 MST tn tn tn 7.99

8 MST ** tn tn 5.14

Jumlah daun (helai)

2 MST tn tn tn 5.89

4 MST tn tn tn 5.77

6 MST ** tn tn 5.21

8 MST ** ** tn 3.49

Waktu munculnya 50% bunga jantan

(hari) ** tn tn 1.91

Jumlah spika per tassel (buah) ** * tn 11.43

Panjang spika (cm) * ** tn 4.05

Jumlah spikelet per spika (buah) tn tn tn 8.31

Jumlah serbuk sari per spikelet (buah) tn tn tn 12.44

Viabilitas serbuk sari (%) * ** tn 3.64

Keterangan: KK: koefisien keragaman; tn: tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; *: berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; **: berbeda sangat nyata pada uji DMRT taraf 5%

Tinggi Tanaman

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara pemupukan NPK dangan boron terhadap tinggi tanaman. Pemupukan NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 4 dan 8 MST, sedangkan pemberian boron tidak mempengaruhi tinggi tanaman hingga akhir pengamatan (8 MST) (Tabel 3).

Pemupukan NPK 300 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman mencapai 31.0 cm (5.8%) dan 54.9 cm (12.5%) lebih tinggi dibandingkan kontrol pada 2 dan 4 MST, sedangkan pemupukan NPK 600 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman mencapai 137.2 cm (12%) lebih tinggi dibandingkan kontrol pada 8 MST (Tabel 3). Peningkatan dosis NPK meningkatkan tinggi tanaman yang diduga disebabkan

oleh kondisi tanah dengan kandungan unsur hara yang rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Onasanya et al. (2009) yang menunjukkan aplikasi pupuk N pada jagung hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman hingga 15.2% dibandingkan kontrol.

Hasil percobaan ini mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan NPK pada 8 MST. Diduga tanaman mengadsorbsi unsur hara dalam jumlah besar seiring dengan peningkatan ukuran dan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi hara tersedia semakin besar pertumbuhan tanaman. Subekti et al. (2007) menyatakan pada saat jagung berumur 33-50 hari setelah berkecambah (fase V11 – Vn) tanaman tumbuh dengan cepat dan akumulasi bahan kering meningkat dengan cepat pula sehingga kebutuhan hara dan air relatif sangat tinggi untuk mendukung laju pertumbuhan tanaman.

Pemupukan boron pada konsentrasi rendah (1 kg ha-1) meningkatkan tinggi tanaman mencapai 136.4 cm meningkat 6.2% meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol (128.4 cm) (Tabel 3). Hal ini diduga kadar boron yang rendah dalam tanah sehingga penambahan boron masih dapat meningkatkan tinggi tanaman. Suyamto (2010) menyatakan tingkat ketersediaan hara dalam tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkorelasi positif dengan hasil tanaman, sedangkan tingkat kesuburan tanah berkorelasi negatif dengan pemberian pupuk.

Tabel 3. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap tinggi tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Perlakuan Tinggi tanaman minggu ke-

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST ……….cm.………. Dosis NPK (kg ha-1) 0 29.3 b 48.8 b 103.3 122.5 b 300 31.0 a 54.9 a 107.5 134.8 a 600 28.7 b 54.8 a 112.0 137.2 a Dosis boron (kg ha-1) 0 28.9 50.3 103.1 128.4 1 30.5 53.5 109.4 136.4 2 29.2 54.6 109.4 132.0 3 30.1 52.9 108.5 129.1

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Tanaman merupakan organisme autotropik yang menggunakan karbondioksida, air dan hara mineral serta energi matahari untuk pertumbuhannya (Taiz & Zeiger 2002). Tinggi tanaman berhubungan erat dengan persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari bagi tanaman yang dibudidayakan secara monokultur. Semakin tinggi tanaman, semakin banyak energi matahari yang diperoleh dan semakin besar asimilat yang dapat ditranslokasikan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Pada percobaan ini tinggi tanaman tetua jantan Bima 3 masih di bawah nilai tinggi tanaman dalam deskripsi varietas yang diduga karena kondisi tanah yang memiliki pH masam sehingga penyerapan unsur hara belum optimal.

Menurut Marschner (1995) pH tanah yang rendah mengganggu perakaran dan berakibat pada pertumbuhan tanaman yang tidak optimal.

Jumlah Daun

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3. Pemupukan NPK mempengaruhi jumlah daun pada 6 dan 8 MST, sedangkan boron hanya mempengaruhi jumlah daun pada 8 MST (Tabel 4).

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 (setara 90 kg ha-1 N) tidak mempengaruhi jumlah daun pada 2 dan 4 MST, akan tetapi meningkatkan jumlah daun yang mencapai 9.9 helai per tanaman pada 8 MST (Tabel 4). Peningkatan dosis NPK meningkatkan jumlah daun. Hasil ini sejalan dengan penelitian Gungula et al. (2005) bahwa pemupukan N hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan jumlah daun jagung.

Peningkatan dosis NPK mampu mensuplai nitrogen yang dibutuhkan tanaman dan menunda terjadinya senesen. Kekurangan nitrogen sangat mempengaruhi jumlah daun per tanaman yang ditandai oleh hilangnya warna hijau daun. Defisiensi nitrogen pada fase vegetatif tanaman menyebabkan mobilisasi nitrogen dari daun pada bagian bawah menuju daun yang lebih muda sehingga menyebabkan daun pucat, menjadi coklat kemudian mengering (Barker & Pilbeam 2007).

Tabel 4. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Perlakuan Jumlah daun minggu ke-

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST ……….helai…..…………. Dosis NPK (kg ha-1) 0 4.2 5.9 7.7 b 8.8 c 300 4.5 6.1 8.2 a 9.5 b 600 4.4 6.2 8.1 a 9.9 a Dosis boron (kg ha-1) 0 4.2 5.9 8.0 9.4 b 1 4.3 6.2 8.1 9.8 a 2 4.4 6.1 7.9 9.1 b 3 4.5 6.0 8.0 9.3 b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Pemupukan boron pada konsentrasi rendah (1 kg ha-1) cenderung meningkatkan jumlah daun. Pada 8 MST perlakuan boron 1 kg ha-1 menghasilkan jumlah daun (9.8 helai) lebih banyak dibandingkan kontrol (9.4 helai). Boron merupakan unsur hara mikro yang bersifat immobile dan banyak terdapat dalam jaringan daun (Blevins & Lukaszewski 1998). Keberadaan boron diduga berperan dalam integritas sel sehingga memperlambat terjadinya senesen pada daun sebagaimana hasil penelitian Liakopoulos & Karabourniotis (2005) bahwa

kerusakan intergitas membran sel pada daun bunga matahari tidak disebabkan oleh aktivitas enzim polipenol oksidase namun diakibatkan oleh defisiensi boron.

Peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun dipengaruhi oleh boron dalam jumlah kecil (1 kg ha-1) (Tabel 3 dan 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Blevins & Lukaszewski (1998) bahwa kebutuhan tanaman terhadap boron pada fase vegetatif lebih kecil dibandingkan fase generatif.

Pembungaan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara NPK dengan boron terhadap waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%). Peningkatan dosis NPK mempercepat munculnya 50% bunga jantan (J50%) namun pemberian boron tidak mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%) (Tabel 5).

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan yaitu 62.8 hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lomer et al. (2012) bahwa aplikasi pupuk nitrogen dapat mempercepat waktu masak serbuk sari terhadap beberapa varietas jagung. Diduga NPK berperan dalam menunjang proses pembelahan dan diferensiasi sel dari fase vegetatif menjadi fase generatif sehingga mempercepat pembungaan.

Tabel 5. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50% bunga jantan (J50%) tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Perlakuan J50% (hari) Dosis NPK (kg ha-1) 0 64.3 a 300 62.9 b 600 62.8 b Dosis boron (kg ha-1) 0 63.9 1 62.7 2 63.2 3 63.7

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Cara untuk mengamati perubahan meristem dari vegetatif ke generatif (evokasi) adalah melihat adanya pembentukan bunga. Proses ini melibatkan sel meristem bunga yang memiliki ukuran lebih besar dari sel meristem vegetatif dan ditandai dengan peningkatan frekuensi pembelahan sel meristem apikal (Taiz & Zeiger 2002). Pembelahan sel membutuhkan asam amino yang dihasilkan dari perombakan N melalui proses fotosintesis. Ketersediaan N dalam jumlah cukup mempengaruhi kecepatan pembelahan sel (Gardner et al. 2008), sehingga mempercepat waktu munculnya bunga jantan.

Pada percobaan ini diketahui percepatan munculnya 50% bunga jantan sejalan dengan peningkatan tinggi tanaman pada 8 MST (Tabel 3) dan jumlah daun pada 8 MST (Tabel 4). Daun yang berperan sebagai source (sumber) bagi tanaman diduga berkorelasi positif dengan waktu munculnya 50% bunga jantan.

Salisbury & Ross (1995) menjelaskan bahwa proses evokasi ditentukan oleh kemampuan daun dalam menghasilkan asimilat pada proses fotosintesis, kemampuan meristem apikal untuk melakukan organogenesis, serta jumlah daun minimum untuk mendukung pembungaan.

Pada percobaan ini pemberian boron pada dosis rendah (1 kg ha-1) cenderung mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan. Diduga boron berperan dalam tranportasi asimilat yang dihasilkan dari daun. Boron merupakan salah satu hara mikro esensial yang diketahui terlibat dalam transportasi karbohidrat dalam tanaman (Marschner 1995).

Peubah Generatif

Hasil analisis ragam menunjukkan pemupukan NPK dan boron secara tunggal meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari namun tidak berpengaruh terhadap jumlah spikelet per spika dan jumlah serbuk sari per spikelet (Tabel 6).

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 meningkatkan viabilitas serbuk sari hingga mencapai 95%, meningkatkan jumlah spika sebanyak 8.8 buah per tassel dan panjang spika yang mencapai 17.8 cm (Tabel 6). Hasil ini sejalan dengan penelitian Aribawa et al. (2005) bahwa peningkatan dosis pupuk urea hingga 90 kg N ha-1 (setara dengan 600 kg ha-1 NPK 15-15-15) menyebabkan peningkatan panjang malai padi.

Kecukupan fosfor diduga memberikan peningkatan pada peubah generatif yang diamati. Fosfor diketahui merupakan penyusun penting sel hidup, terlibat dalam berbagai reaksi metabolik, terlibat dalam pembentukan proses reproduksi tanaman, dan transfer energi (Tisdale et al. 1985). Kekurangan fosfor pada jagung mengakibatkan penurunan hasil sekitar 20% dan kekurangan kalium menurunkan hasil sekitar 10% (Tandisau & Thamrin 2009).

Tabel 6. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah generatif tetua jantan Bima 3 (Mr14) Perlakuan Viabilitas serbuk sari Jumlah spika per tassel Panjang spika Jumlah spikelet per spika Jumlah serbuk sari per spikelet

(%) (buah) (cm) (buah) (buah)

Dosis NPK (kg ha-1) 0 91.2 b 7.1 b 17.1 b 93.5 12,974 300 95.3 a 8.4 a 17.5 ab 95.3 12,986 600 95.0 a 8.8 a 17.8 a 91.4 13,962 Dosis boron (kg ha-1) 0 90.2 b 7.4 b 16.8 b 92.6 13,133 1 94.2 a 8.0 ab 17.3 b 93.0 13,464 2 94.0 a 8.5 a 17.5 b 93.3 13,674 3 97.7 a 8.5 a 18.4 a 94.8 12,957

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan dosis NPK mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari. Davarynejad et al. (2008) menyatakan bahwa

keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh kuantitas dan viabilitas serbuk sari sehingga mempengaruhi peningkatan produksi. Hasil penelitian Herniwati & Tandisau (2009) menunjukkan bahwa peningkatan dosis NPK hingga 600 kg ha-1 meningkatkan berat pipilan kering jagung, sedangkan Singh et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian pupuk N hingga 180 kg ha-1 masih dapat meningkatkan produksi jagung.

Perlakuan boron dosis 1 kg ha-1 telah mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari (94.2%) namun demikian untuk peningkatan produksi serbuk sari boron 3 kg ha-1 digunakan karena menghasilkan panjang spika (18.4 cm) yang lebih baik dari perlakuan lainnya (Tabel 7). Spika yang panjang diharapkan dapat meningkatkan jumlah spikelet per spika sehingga meningkatkan jumlah serbuk sari viabel yang dihasilkan. Boron adalah pengkompleks bahan-bahan seluler selama proses pemanjangan tabung serbuk sari (Visser 1995), sehingga meningkatkan kemampuan serbuk sari dalam pembuahan dan meningkatkan produksi.

Pemupukan NPK dan boron secara tunggal tidak mempengaruhi jumlah spikelet per spika maupun jumlah serbuk sari per spikelet. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cheng & Rerkasem (1993) yang menunjukkan bahwa penambahan boron pada tanaman gandum tidak meningkatkan jumlah serbuk sari.

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 secara bersama-sama meningkatkan jumlah spika per tassel (9.5 spika), panjang spika (18.4 cm) dan viabilitas serbuk sari (99.3%). Perlakuan ini memberikan nilai tertinggi pada viabilitas serbuk sari sebagai salah satu faktor penting dalam penyerbukan. Diduga boron bersinergi dengan kalium dalam memberikan pengaruh positif terhadap penyerapan dan metabolisme nitrogen melalui mekanisme sintesis protein enzim dan mendukung masuknya substrat melalui membran plasma ke dalam sel (Malvi 2011).

Tabel 7. Pengaruh interaksi pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Perlakuan Jumlah spika per tassel (buah) Panjang spika (cm) Viabilitas serbuk sari (%) N0B0 6.5 c 15.6 c 89.6 c N0B1 6.9 c 17.1 ab 91.2 bc N0B2 7.8 ab 17.3 ab 90.2 c N0B3 7.1 c 18.3 a 95.2 abc N1B0 7.7 bc 17.5 a 89.7 c N1B1 8.1 ab 17.4 ab 96.5 abc N1B2 8.9 ab 16.9 b 96.3 abc N1B3 8.9 ab 18.4 a 98.3 ab N2B0 7.9 ab 17.3 ab 91.3 bc N2B1 8.9 ab 17.3 ab 95.4 abc N2B2 8.9 ab 18.3 a 95.8 abc N2B3 9.5 a 18.4 a 99.3 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh jumlah dan viabilitas serbuk sari (Davarynejad et al. 2008). Aplikasi boron meningkatkan viabilitas serbuk sari dan berpengaruh terhadap peningkatan produksi bawang merah (Rosliani et al. 2012) dan melon (Agustin, 2013). Oleh sebab itu berdasarkan percobaan pertama pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 digunakan sebagai dasar pada percobaan kedua.

Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas

Dokumen terkait