• Tidak ada hasil yang ditemukan

Increasing Maize Pollen Viability with NPK and Boron, and Its Utilization in Hybrid Seed Production

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Increasing Maize Pollen Viability with NPK and Boron, and Its Utilization in Hybrid Seed Production"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN VIABILITAS SERBUK SARI JAGUNG

DENGAN PEMUPUKAN NPK DAN BORON, DAN

PEMANFAATANNYA DALAM PRODUKSI

BENIH HIBRIDA

DWI PANGESTI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Dwi Pangesti Handayani NIM A251090011

(4)

RINGKASAN

DWI PANGESTI HANDAYANI. Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan SUTARDJO.

Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi target swasembada. Pencapaian target swasembada dilakukan dengan peningkatan produksi dan penggunaan benih hibrida. Upaya ini terkendala oleh rendahnya produksi benih F1 akibat produksi serbuk sari yang rendah, masa viabilitas serbuk sari yang singkat dan sinkronisasi penyerbukan yang tidak tepat. Oleh karena itu, usaha peningkatan produktivitas F1 dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan masa viabilitas serbuk sari dengan pemupukan NPK dan boron serta pengelolaan serbuk sari untuk penyerbukan terkontrol.

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Puspiptek, dan Laboratorium Teknologi Benih BPPT, Serpong mulai bulan April hingga November 2013. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu (1) pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap produksi dan viabilitas serbuk sari dan (2) studi pengaruh suhu dan lama penyimpanan serbuk sari terhadap produksi benih jagung hibrida.

Benih yang digunakan pada percobaan pertama adalah tetua jantan jagung hibrida Bima 3 (galur M14). Percobaan disusun menggunakan rancangan petak terbagi (split plot) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah dosis NPK terdiri atas 0, 300 dan 600 kg ha-1. Faktor kedua adalah dosis boron terdiri atas 0, 1, 2, 3 kg ha-1. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa NPK meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%), jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari. Aplikasi boron meningkatkan jumlah daun, jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari. Pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari.

Percobaan kedua diawali dengan penanaman tetua jantan Bima 3 (galur Mr14) menggunakan pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 untuk produksi dan penyimpanan serbuk sari. Tetua betina Bima 3 (Nei9008) digunakan untuk mengevaluasi potensi serbuk sari yang telah disimpan dalam produksi benih hibrida. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah suhu penyimpanan yaitu -20 oC dan -40 oC, sedangkan faktor kedua adalah lama penyimpanan yaitu 0, 1, 2 dan 3 minggu setelah penyimpanan (MSP). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan -20 oC dan -40 oC dapat mempertahankan viabilitas serbuk sari di atas 85% berdasarkan pewarnaan menggunakan I2KI. Meskipun demikian, serbuk sari yang telah disimpan tidak efektif untuk produksi benih hibrida karena pembentukan benih yang sangat rendah. Benih yang berasal dari serbuk sari yang telah disimpan memiliki daya berkecambah yang rendah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh yang lebih lambat dibandingkan benih dari serbuk sari segar.

(5)

SUMMARY

DWI PANGESTI HANDAYANI. Increasing Maize Pollen Viability with NPK and Boron, and Its Utilization in Hybrid Seed Production. Supervised by ENDAH RETNO PALUPI and SUTARDJO.

Maizeis one of food crops targeted to be self-sufficient in 2014, thus production should be increased to meet the demand. One way of increasing the production is use of hybrid seeds which is not always available for farmers due to low seed production of F1 hybrid. The low production of the F1 hybrid is hindered by the low pollen production, short pollen viability, and unsynchronized flowering of male and female parents. Therefore, increasing pollen viability as well as prolong storability of the pollen using NPK and boron would ensure the availability of pollen for hybrid seed production.

The research was conducted in the experimental station of Puspiptek and Seed Technology and Agro-Industrial and Biomedical Development (Laptiab) laboratory, BPPT, Serpong. The research was carried out during April to November 2013, consisted of two experiments to study the effect of NPK and boron on pollen production and viability; and to investigate the effect of temperature and prolonged storage of pollen on maize hybrid seed production.

The male parent of hybrid maize Bima 3 (strain M14 ) was used in the first experiment that was arranged in split plot design with three replicates. The main plot was dosage of NPK i.e. 0, 300 and 600 kg ha-1. The sub plot was dosage of boron i.e. 0, 1, 2, 3 kg ha-1. The result showed that NPK increased plant height and number of leaves, shorten the time of emergence of tassel (J50%), increased the number of spike per tassel, spike length and pollen viability. Application of boron increased the number of spike per tassel, lengthened the spike and increased pollen viability. NPK 600 kg ha-1 and boron 3 kg ha-1 increased the number of spike per tassel, spike length, and pollen viability.

In the second experiment NPK 600 kg ha-1 and boron 3 kg ha-1 was applied to produce pollen of M14 and then stored and used for hybrid seed production. The female parent of Bima 3 (Nei9008) was used to evaluate if stored pollen was potentially beneficial for hybrid seed production. The experiment was arranged in completely randomized design with two factors and three replicates. The first factor was storage temperature i.e. -20 °C and-40 °C, and the second factor was storage period i.e. 0, 1, 2 and 3 weeks after storage (WAS). The results showed that both the storage temperature -20 °C and -40 °C were able to maintain the pollen viability above 85% for 3 WAS based on I2KI stain. However,

the stored pollen was not effective for hybrid seed production due to very low seed set. Seeds obtained from stored pollen had lower germination percentage, vigor index and germinated slower than those obtained from fresh pollen.

(6)
(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)
(9)

PENINGKATAN VIABILITAS SERBUK SARI JAGUNG

DENGAN PEMUPUKAN NPK DAN BORON, DAN

PEMANFAATANNYA DALAM PRODUKSI

BENIH HIBRIDA

DWI PANGESTI HANDAYANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan

Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida

Nama : Dwi Pangesti Handayani

NIM : A251090011

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Benih

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc Ir. Sutardjo, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu dan Teknologi Benih

Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul ”Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida” dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc dan Bapak Ir. Sutardjo, MS selaku komisi pembimbing atas dukungan, arahan dan masukan selama penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MscAgr selaku penguji luar komisi atas saran dan masukan dalam ujian tesis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS yang telah memberikan arahan dan semangat selama penulis menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Penghargaan disampaikan kepada Direktur Pusat Tekonologi Produksi Pertanian (PTPP), BPPT yang telah memberikan izin dan dukungan dalam tugas belajar dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPPT atas beasiswa Program Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan (PPKP) yang diberikan pada penulis. Kepada staf dan teknisi PTPP di Laboratorium Pengembangan Industri Agro dan Biomedika (Laptiab), BPPT atas bantuan dan saran selama penelitian berlangsung. Terima kasih kepada seluruh keluarga benih Angkatan 2009-2011.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada keluarga Basir dan Darto Mulyono, suami dan kedua putri tercinta atas segala pengorbanan, semangat, doa dan kasih sayangnya yang tak terhingga. Semoga karya ini bermanfaat dan bernilai kebaikan bagi penulis.

Bogor, 27 Februari 2014

(15)
(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan 3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung 3

Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K) 4

Boron (B) 6

Pengelolaan Serbuk Sari 6

Pengujian Viabilitas Serbuk Sari dan Penyerbukan Terkontrol 8

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Bahan dan Peralatan Penelitian 9

Metode Penelitian 9

Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap

Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari 9 Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk

Sari terhadap Produksi Benih Jagung Hibrida 11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan 14

Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap

Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari 16 Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk

Sari terhadap Produksi Benih Jagung Hibrida 22

KESIMPULAN DAN SARAN 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 33

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Data klimatologi di lokasi penelitian pada bulan

April-Oktober 2013 14

2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif, generatif, dan

viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14) 16

3. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap tinggi

tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14) 17

4. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah daun

tetua jantan Bima 3 (Mr14) 18

5. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50% bunga jantan (J50%) tetua jantan Bima 3

(Mr14) 19

6. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah

generatif tetua jantan Bima 3 (Mr14) 21

7. Pengaruh interaksi pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk

sari tetua jantan Bima 3 (Mr14) 22

8. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, dan produksi

benih jagung hibrida Bima 3 23

9. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, jumlah benih per tongkol, dan bobot 100 butir

benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol 24

10. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot jagung hibrida Bima

3 hasil penyerbukan terkontrol 25

11. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah kecambah normal, abnormal, benih mati/busuk dan daya berkecambah benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan

(18)

12. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih jagung hibrida Bima 3 hasil

penyerbukan terkontrol 26

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Keragaan antera dalam satu spikelet, pengamatan jumlah serbuk sari per spikelet, serbuk sari viabel dan tidak viabel

pada pengujian pewarnaan menggunakan I2KI 11

2. Keragaan tanaman tetua jantan Bima 3 dan morfologi bunga

jantan tanaman tetua jantan Bima 3 15

3. Keragaan tanaman tetua betina Bima 3 dan morfologi bunga

betina tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) 15

4. Morfologi tongkol jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari yang disimpan pada suhu

-20 oC dan -40 oC 25

5. Morfologi benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol dengan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC

dan -40 oC 26

6. Morfologi kecambah jagung hibrida Bima 3 hasil

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Deskripsi Varietas Bima 3 33

2. Deskripsi Galur Tetua Jantan Bima 3 (Mr14) 34

3. Deskripsi Galur Tetua Betina Bima 3 (Nei9008) 35

4. Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Percobaan 36

5. Data Klimatologi di Lokasi Penelitian pada Bulan April –

Oktober 2013 37

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi target swasembada dalam program Pembangunan Pertanian Jangka Menengah 2010-2014. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pakan ternak (>55%), pangan (30%), kebutuhan industri lainnya (Kasryno et al. 2007) yang belum dapat dicukupi akibat kurangnya produksi jagung nasional. Produksi jagung pada tahun 2011 dan 2012 ditargetkan sebesar 21.9 dan 24.1 juta ton (Ditjen Tanaman Pangan 2010) namun hanya tercapai sebesar 17.6 dan 19.4 juta ton (BPS Indonesia 2012). Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 pemerintah melakukan impor jagung sebesar 3.2 juta ton. Rendahnya penggunaan benih jagung hibrida adalah salah satu sebab belum tercapainya target yang ditetapkan sehingga pemerintah melakukan program revitalisasi perbenihan.

Salah satu kebijakan dalam revitalisasi perbenihan adalah meningkatkan penggunaan benih jagung hibrida dan mendorong kemitraan dengan swasta, penangkar benih dan petani. Pada tahun 2014, diharapkan penggunaan benih jagung hibrida mencapai 75% dari kebutuhan, yaitu meningkat 21% dari tahun 2009 yang hanya sebesar 54% (Ditjen Tanaman Pangan 2010). Kebijakan ini perlu didukung dengan kemampuan produksi benih jagung hibrida dan pengendalian harga benih hibrida yang terjangkau.

Harga tetua benih hibrida yang mahal dan rendahnya produktivitas F1 (berkisar 1.0 ton/ha) menyebabkan minat petani untuk menjadi penangkar benih rendah (Fadly et al. 2010), sehingga penggunaan benih lokal kembali meningkat akibat permintaan benih hibrida yang tidak terpenuhi. Kebutuhan benih jagung di Indonesia saat ini mencapai 92.000 ton dan baru setengahnya yang dapat dipenuhi oleh produsen benih di Indonesia (Lazarde & Ramadhani 2011). Data terakhir menunjukkan impor benih jagung Indonesia tahun 2012 mencapai 1.650 ton atau senilai US$ 5.28 juta (BPS 2012).

Peningkatan produksi benih jagung hibrida terkendala oleh adanya tetua jantan yang mempunyai kemampuan produksi serbuk sari yang rendah, masa viabilitas serbuk sari yang singkat dan waktu antesis-silking yang tidak sinkron dengan tetua betina (Fadly et al. 2010). Jagung hibrida dibentuk dari persilangan dua galur (tetua) yang memiliki potensi berbeda. Mejaya et al. (2007) menyatakan bahwa hibrida akan memberikan hasil yang tinggi apabila populasi sumber galur mempunyai potensi hasil yang tinggi. Pemupukan yang optimal diduga mampu meningkatkan produksi dan viabilitas serbuk sari.

(21)

2006). Pemupukan NPK (15-15-15) dosis 600 kg ha-1 pada jagung Sukmaraga menghasilkan produktivitas tertinggi (Herniwati & Tandisau 2009).

Boron merupakan salah satu unsur hara mikro esensial pada tanaman yang berperan dalam perkecambahan serbuk sari, proses pembungaan dan pembuahan, penyerapan air, metabolisme karbohidrat dan nitrogen, sirkulasi hormon serta penyerapan kation Ca (Meena 2010). Kekurangan boron memicu stres pada tanaman dan pada jagung kekurangan boron dapat menyebabkan serbuk sari tidak viabel sehingga pembuahan terganggu (Syukur 2005; Lordkaew 2010). Boron meningkatkan perkecambahan serbuk sari pistachio (Acar et al. 2010); meningkatkan produktivitas brokoli dan tomat (Firoz et al. 2008; Meena 2010). Jagung termasuk tanaman yang membutuhkan boron dalam jumlah kecil (1 kg ha -1

) (Barker & Pilbeam 2007).

Kebijakan peningkatan produksi benih jagung hibrida juga diarahkan pada pengembangan teknologi budidaya spesifik lokasi dan pengembangan kemitraan dengan penangkar benih (Ditjen Tanaman Pangan 2010). Sistem kemitraan menjamin ketersediaan lahan, frekuensi produksi per tahun dan ketersediaan tenaga kerja (Sobir et al. 2010). Namun demikian sistem ini mengharuskan pemulia menyerahkan benih tetua jantan dan betina kepada petani mitra. Di sisi lain, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) para pemulia juga harus dilindungi agar tidak terjadi pencurian plasma nutfah yang sedang dikembangkan. Oleh karena itu penelitian mengenai penyimpanan serbuk sari jagung menjadi penting sehingga petani mitra hanya menanam tetua betina, sedangkan tetua jantan disediakan dalam bentuk sediaan serbuk sari oleh pemulia.

Sediaan serbuk sari merupakan plasma nutfah yang telah banyak digunakan dalam penyerbukan terkontrol. Di Indonesia, penelitian tentang penggunaan sediaan serbuk sari untuk produksi benih telah dilakukan pada kelapa sawit (Widiastuti & Palupi 2008), cucurbitaceae (Fariroh et al. 2011), dan melon (Agustin 2013). Penggunaan sediaan serbuk sari jagung untuk penyerbukan terkontrol memiliki peluang yang cukup baik namun terkendala oleh viabilitas. Masa viabilitas serbuk sari jagung sangat singkat dan dipengaruhi suhu dan kelembaban selama pembungaan. Penurunan viabilitas serbuk sari pada lingkungan dengan suhu rendah dan kelembaban tinggi mencapai 58%, namun pada lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah penurunan mencapai 96% setelah satu jam dan 100% tidak viabel setelah dua jam (Luna et al. 2001).

Keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh jumlah dan viabilitas serbuk sari yang tinggi (Davarynejad et al. 2008). Suhu merupakan faktor penting untuk mempertahankan viabilitas serbuk sari. Penyimpanan serbuk sari Annona cherimoya Mill pada suhu -20 oC, -40 oC, dan -196 oC mampu mempertahankan viabilitas serbuk sari selama tiga bulan masing-masing sebesar 10.4%, 14.2% and 13.6% dari viabilitas serbuk sari segar 57.1% dan tetap menghasilkan produksi yang sama dengan serbuk sari segar pada penyerbukan terkontrol (Lora et al. 2006). Penyimpanan serbuk sari mentimun dalam ultra freezer (-79 +1 oC) dapat mempertahankan viabilitas di atas 1% hingga 12 minggu (Fariroh et al. 2011).

(22)

penelitian mengenai penyimpanan serbuk sari dan potensinya dalam produksi benih hibrida.

Tujuan

1. Mendapatkan dosis NPK dan boron optimum untuk meningkatkan produksi dan viabilitas serbuk sari tetua jantan jagung hibrida Bima 3

2. Mendapatkan suhu penyimpanan optimal untuk mempertahankan viabilitas serbuk sari

3. Mendapatkan gambaran potensi serbuk sari yang sudah disimpan dalam produksi benih jagung hibrida

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung

Jagung merupakan serealia utama yang diproduksi paling besar di dunia sebelum gandum dan padi dan merupakan famili Poaceae. Jagung memiliki perakaran serabut yang terdiri atas tiga macam akar yaitu akar seminal, akar adventif dan akar kait/penyangga (Subekti et al. 2007). Sistem perakaran mencapai kedalaman optimum pada pertengahan fase reproduksi, sekitar 80-90 hari setelah tanam dengan kedalaman umumnya 1-2 meter (Farnham et al. 2003). Batang tanaman jagung berbentuk silindris, tegak, tidak bercabang dan terdiri atas beberapa ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol produktif (Subekti et al. 2007). Daun jagung terdiri atas helaian daun, ligula dan pelepah daun yang melekat erat pada setiap buku ruas batang dengan posisi bertingkat dan saling berlawanan (Subekti et al. 2007; Farnham et al. 2003). Daun jagung tumbuh setiap 3-4 hari sekali sampai bunga jantan keluar yang menandakan bahwa pertumbuhan vegetatif telah optimum dengan tinggi tanaman mencapai 1.5-3.5 meter. Tanaman jagung dapat menghasilkan 20-21 helai daun namun hanya 14-15 daun yang terhitung selama fase vegetatif karena daun pada bagian bawah rusak oleh pertumbuhan ruas atau pemanjangan buku ruas (Farnham et al. 2003).

(23)

5-6 hari setelah munculnya rambut dari tongkol jagung. Perbedaan waktu keluarnya serbuk sari dan masa reseptif bunga betina ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang pada tanaman jagung (Farnham et al. 2003).

Jagung hibrida Bima 3 merupakan hibrida silang tunggal hasil perkawinan antara betina Nei9008 dengan jantan Mr 14. Galur betina Nei9008 merupakan galur yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Serealia Maros. Tetua jantan Bima 3 (Mr14) merupakan galur murni yang berasal dari populasi Suwan 3. Tanaman tetua Bima 3 (galur Mr14) memiliki tinggi tanaman mencapai tinggi 170 cm, termasuk galur dengan umur dalam dengan waktu munculnya 50% bunga jantan + 56 hari dan masak fisiologis + 105 hari, memiliki rata-rata hasil 1.5 ton/ha dengan potensi hasil sebesar 2.5 ton/ha, serta agak tahan terhadap serangan bulai (Peronosclerospora maydis) (Lampiran 2).

Tetua betina Bima 3 (Nei9008) yang merupakan galur murni Introduksi dari Departemen Pertanian Thailand dengan tinggi tanaman + 140 cm, termasuk jagung berumur dalam dengan waktu munculnya 50% bunga betina + 54 hari dengan masak fisiologis tercapai pada 100 HST. Galur ini memiliki rata-rata hasil sebesar 1.6 ton/ha dengan potensi hasil mencapai 2.8 ton/ha dan toleran terhadap penyakit bulai (P. maydis) (Lampiran 3).

Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K)

Tanaman merupakan organisme autotropik yang mampu menggunakan energi matahari untuk membentuk komponen tubuhnya dari karbondioksida, air dan mineral/unsur hara esensial (Taiz & Zeiger 2002). Ketersediaan unsur hara dalam jumlah cukup dan seimbang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Kegiatan pemupukan merupakan upaya penambahan unsur hara pada tanah guna mencukupi kebutuhan tersebut. Suatu unsur dapat dikategorikan sebagai unsur hara esensial apabila unsur tersebut dibutuhkan oleh tanaman dalam daur hidupnya, tidak dapat digantikan oleh unsur yang lain serta tanaman yang terdiri atas besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), boron (B), seng (Zn), molybdenum (Mo), klor (Cl) dan nikel (Ni) (Barker & Pilbeam 2007).

Nitrogen merupakan unsur hara terpenting yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman dan dibutuhkan dalam jumlah paling banyak (Taiz & Zeiger 2002). Nitrogen merupakan komponen utama penyusun asam nukleat, kofaktor enzim dan membran, termasuk dalam proses metabolisme seperti pembelahan sel, fotosintesis, sintesa protein, perkembangan pucuk dan pertumbuhan akar, serta memiliki peran aktif dalam pertumbuhan vegetatif tanaman (Kiran 2006).

(24)

dan daun cepat gugur, sehingga mengurangi kemampuan fotosintesis, tanaman mejadi kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Taiz & Zeiger 2002).

Fosfor merupakan penyusun nukleoprotein, termasuk penyusun ADP, ATP serta memiliki peran penting pada transfer energi dalam proses metabolisme (Kiran 2006; Taiz & Zeiger 2002). Fosfor merupakan komponen yang berperan penting dalam menyusun sel tanaman, sebagai pensuplai gula-fosfor pada proses respirasi dan fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002).

Defisiensi fosfor dicirikan oleh tanaman muda yang menjadi kerdil, warna hijau gelap pada daun, malformasi daun yang menyebabkan bintik nekrosis (merupakan jaringan yang mati). Beberapa spesies tanaman yang mengalami defisiensi fosfor dapat memproduksi antosianin, yang menyebabkan perubahan warna daun menjadi hijau gelap keunguan (Taiz & Zeiger 2002).

Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun tubuh tanah. Unsur P berada dalam bentuk organik dan inorganik, dimana bentuk inorganik lebih banyak tersedia. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH, area kontak antara daerah presipitasi dengan larutan tanah, tingkat kelarutan dan difusi P, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe dari liat (Mosali et al. 2005). Ketersediaan P sangat dibutuhkan oleh tanaman terutama pada awal pertumbuhan saat primordial akar muncul (Barker & Pilbeam 2007)

Kalium merupakan unsur hara makro yang paling banyak dibutuhkan tanaman setelah nitrogen. Kalium berperan dalam mengatur keseimbangan potensial osmotik dalam sel termasuk aktivitas enzim dalam respirasi dan fotosintesis, berpartisipasi dalam metabolisme karbohidrat, sintesis protein, mengatur fungsi stomata, mengatur akivitas unsur esensial, dan memelihara status air tanaman (Taiz & Zeiger 2002; Kumar et al. 2006; Kiran 2006).

Tanaman yang mengalami defisiensi kalium akan mengalami klorosis pada tepi daun yang kemudian berkembang menjadi nekrosis (kematian jaringan), malformasi daun, dan batang tanaman menjadi rapuh dengan jarak buku yang abnormal (Prawiranata et al. 1991; Taiz & Zeiger 2002). Pada tanaman jagung, kekurangan kalium dapat menyebabkan akar menjadi tempat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan patogen akar sehingga tanaman mudah rebah (Taiz & Zeiger 2002).

Balaraj (1999) melaporkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap tinggi tanaman dan jumlah buah per tanaman dengan aplikasi (N:P:K) 150:75:75 kg ha-1 pada dua varietas cabai (Byadagi kaddi dan Dyavanoor local). Satpal & Saimbhi (2003) mengamati bahwa 125 kg N ha-1 dan 60 kg P ha-1, memberikan hasil yang signifikan dalam mempercepat masa panen brinjal (terong). Pemupukan NPK (15-15-15) dosis 600 kg ha-1 pada jagung Sukmaraga menghasilkan produktivitas tertinggi (Herniwati & Tandisau 2009).

Boron (B)

(25)

& Durst 1992; Blevins & Lukaszewski 1998). Meskipun fungsi detail boron pada metabolisme tanaman belum jelas, beberapa kejadian menunjukkan bahwa boron berperan penting dalam menstabilkan dinding sel tanaman, perkembangan dan pertumbuhan sel-sel baru pada jaringan merismatik, pembungaan dan perkembangan buah, translokasi karbohidrat sintesis asam amino, respon hormon dan fungsi membran (Tisdale et al. 1985; Taiz & Zeiger 2002).

Pada sistem metabolisme tanaman, boron diserap tanaman melalui xylem kemudian bergerak menuju tajuk oleh pengaruh transpirasi dan pertumbuhan tanaman. Setelah boron digunakan dalam proses metabolisme pada tajuk, selanjutnya boron ditranslokasikan menuju jaringan apoplast pada pertumbuhan reproduktif dan vegetatif tanaman. Hal ini menyebabkan boron menjadi unsur hara yang immobil pada floem dengan gejala defisiensi pertama-tama terlihat pada pucuk-pucuk muda yang selanjutnya diikuti oleh kematian daun-daun muda (Shelp et al 1995; Blevins & Lukaszewski 1998; Taiz & Zeiger 2002).

Boron berpengaruh pada perkecambahan serbuk sari, pembungaan dan fruit set pada tanaman. Pertumbuhan serbuk sari yang cepat tergantung pada perpaduan yang konstan dari vesikel dalam membentuk plasmalema dan sekresi secara berkesinambungan dari material diding sel (Blevins & Lukaszewski 1998). Suplai boron yang terus menerus dan cukup diperlukan untuk pertumbuhan tabung serbuk sari dan diduga boron adalah pengkompleks bahan-bahan seluler selama proses pemanjangan tabung serbuk sari (Visser 1995), serta merangsang ATPase plasmalemma pada pollen (Obermeyer et al. 1996).

Gejala kekurangan boron tampak sebagai gejala fisiologis yang dipengaruhi oleh sistem transport dan distribusi boron yang dikontrol oleh akar. Gejala defisiensi boron tampak berupa bercak hitam pada bagian dasar daun muda dan tunas pucuk, batang yang kaku dan rapuh, nekrosis pada cabang (Barker & Pilbeam 2007), sterilitas dan malformasi bunga pada berbagai jenis tanaman dikotil dan monokotil, ketidakteraturan dinding sel serta terhambatnya pertumbuhan tanaman (Taiz & Zeiger 2002).

Kebutuhan boron pada saat pertumbuhan reproduktif lebih tinggi daripada pertumbuhan vegetatif dimana boron memiliki pengaruh yang nyata terhadap kualitas hasil dan produksi buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, dan gabah (Blevins & Lukaszewski 1998). Aplikasi 20 kg boraks/ha pada tanaman tomat memberikan nilai peubah berat 1000 butir benih dan persentase perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan aplikasi 10 kg boraks/ha (Sharma 1995). Perlakuan 20 kg boron/ha pada cabai menghasilkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (Sharma 1999).

Perbedaan yang signifikan juga ditunjukkan pada jumlah buah per tanaman (29.2), berat buah (61.29 g), dan produktivitas buah (194.0 ku ha-1) yang diperoleh dengan aplikasi boraks pada tanah (15 kg ha-1) bersama dengan NPK yang direkomendasikan dibandingkan dengan NPK secara tunggal pada tanaman tomat (Reddy et al. 1985).

Pengelolaan Serbuk Sari

(26)

al. (1993) keuntungan penggunaan serbuk sari sebagai sumber genetik adalah dapat disimpan dalam waktu lama, memudahkan dalam penyerbukan silang terkontrol, mudah dibekukan, dikirim dan direhidrasi, lebih ekonomis dalam penyimpanan sehingga memungkinkan penyimpanan serbuk sari dari berbagai populasi tanaman.

Penyimpanan serbuk sari merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan serbuk sari serta melestarikan plasma nutfah dalam penyerbukan terkontrol. Di Indonesia penelitian terhadap penggunaan sediaan serbuk sari untuk produksi benih telah dilakukan pada kelapa sawit (Widiastuti & Palupi 2008), mentimun (Fariroh et al. 2011), dan melon (Agustin 2013).

Saat ini teknologi pengelolaan serbuk sari telah banyak dimanfaatkan produsen benih di negara maju. Pengelolaan serbuk sari yang baik mampu menjamin kesinambungan produksi benih, memelihara keamanan genetik dari pencurian plasma nutfah dan merupakan upaya bagi konservasi tanaman langka. Pada produksi benih jagung hibrida umumnya perusahaan produsen benih bekerjasama dengan petani mitra dengan menanam tetua jantan dan betina di lahan petani serta melakukan pendampingan. Namun demikian seiring meningkatnya pengetahuan petani akan memperbesar resiko pencurian plasma nutfah dan pemalsuan benih.

Penggunaan serbuk sari sebagai sumber genetik telah diketahui memiliki keberhasilan tinggi. Saat ini pemeliharaan plasma nutfah jagung di Indonesia umumnya dilakukan dalam bentuk benih dari induksi variasi genetik maupun keragaman somaklonal, namun menurut Zhang et al. (1994) konservasi plasma nutfah jagung di negara maju telah dilakukan baik melalui benih, kalus, protoplas dan serbuk sari pada nitrogen cair.

Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kadar air sebelum penyimpanan. Beberapa penelitian menunjukkan kerusakan fisiologis yang terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh kadar air sebelum simpan yang tidak optimal. Pada kasus serbuk sari rekalsitran umumnya terdapat ambang batas minimum kadar air untuk menjaga viabilitas serbuk sari agar tidak turun secara tiba-tiba dimana pada jagung diketahui pada kadar air 28% (Fonseca & Westgate 2005). Penurunan kadar air serbuk sari untuk tujuan penyimpanan dapat dilakukan pada kisaran 10-25% (Barnabas & Rajki 1976) namun demikian penurunan kadar air ini akan sangat menurunkan viabilitas serbuk sari. Penurunan kadar air merusak keseimbangan sel sebab keberadaan air pada serbuk sari berfungsi menjaga mekanisme struktural, fisiologis dan molekuler selama dehidrasi dan rehidrasi pada exine dan vakuola serta melindungi komponen protein dan membrane sel dibawah tekanan stress lingkungan (Firon et al. 2012).

(27)

Pengujian Viabilitas Serbuk Sari dan Penyerbukan Terkontrol

Pada family Poaceae, jagung merupakan spesies dengan ukuran serbuk sari terbesar yaitu diameter equatorial 90-125 x diameter polar 85 mikron. Serbuk sari jagung berbentuk monoporate dan menyerupai bola dengan sedikit menonjol. Volume serbuk sari jagung sekitar 700 x 10-9 cm3 dengan berat 250 x 10-9 g. Karena ukurannya yang besar, meskipun dibantu angin dan gravitasi serbuk sari jagung umumnya hanya dapat melakukan perjalanan jarak pendek. Kecepatan terbang serbuk sari jagung berkisar 30.95 cm detik-1 (Erdtman 1952).

Serbuk sari merupakan plasma nutfah yang berharga untuk pemuliaan dan hanya berasosiasi dengan sedikit penyakit dibandingkan material genetik yang lain. Tidak terdapat invertebrata, bakteri, phytoplasma atau spiroplasma yang tertular melalui serbuk sari. Hanya sejumlah kecil cendawan patogen yang berasosiasi dengan serbuk sari pada beberapa inang tertentu (Card et al. 2007). Informasi tentang kemampuan serbuk sari untuk berkecambah ketika mencapai stigma sangat diperlukan untuk menilai produktivitas tanaman. Metode untuk menilai kemampuan berkecambah serbuk sari adalah dengan pengujian viabilitas serbuk sari. Pengujian serbuk sari dibutuhkan untuk menilai kelayakan serbuk sari yang akan digunakan dalam percobaan polinasi (Firmage & Dafni 2001).

(28)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan April-November 2013, di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan dengan ketinggian tempat 41 m di atas permukaan laut (dpl). Penyimpanan dan pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih, Laboratoria Pengembangan Industri Agro dan Biomedika (Laptiab), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua jagung hibrida Bima 3 (Nei9008 sebagai tetua betina dan Mr14 sebagai tetua jantan) asal Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros (Lampiran 2-3). Boron dalam bentuk Boraks (Na2B2O7.10H2O), pupuk kandang, NPK majemuk (15-15-15), dan urea diberikan pada tanaman pada saat percobaan di lapang. Kantong serbuk sari, boks pendingin, dan saringan digunakan dalam proses ektraksi serbuk sari. Penurunan kadar air dilakukan menggunakan silica gel di dalam desikator selama 24 jam sehingga mencapai kadar air 7.2-19.2%. Mikrotube digunakan untuk menyimpan serbuk sari di dalam deep freezer (-20 oC), deep freezer (-40 oC). Pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan iodine kalium iodida (I2KI) dengan bantuan mikroskop. Penyerbukan dilakukan pada tetua bentina dengan menggunakan kuas.

Metode Penelitian

Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari

Percobaan disusun menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dengan petak utama adalah dosis NPK dan anak petak adalah dosis boron. Dosis NPK terdiri atas tiga taraf yaitu: 0, 300, dan 600 kg ha-1, sedangkan dosis boron terdiri atas empat taraf yaitu: 0, 1, 2, dan 3 kg ha-1. Percobaan diulang tiga kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 10 tanaman sehingga terdapat 360 satuan pengamatan. Model linier yang digunakan untuk pengujian tersebut adalah :

Yijk= µ + αi+ ik+ βj+ (αβ)ij+ ijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan dosis boron ke-i, dosis NPK ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

(29)

(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan dosis boron ke-i dan dosis NPK ke-j ijk = Pengaruh pengacakan pada anak petak

i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, 4

Prosedur Pelaksanaan

Percobaan diawali dengan melakukan analisa kandungan unsur hara makro dan mikro tanah terhadap dua sampel komposit dari empat titik pengambilan sampel primer. Hasil analisis tanah digunakan untuk menentukan kadar optimum NPK dan boron yang akan digunakan dalam perlakuan.

Penanaman tetua jantan dilakukan dalam bedengan sebanyak 20 lubang tanam per bedeng dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Pada saat tanam digunakan 2 benih per lubang dan pada 2 MST dilakukan penjarangan menjadi 1 benih per lubang. Tanaman sampel dipilih secara acak sebanyak 10 tanaman dari populasi tanaman per petak percobaan.

Pada percobaan ini digunakan pupuk dasar berupa urea sebanyak 150 kg ha-1 dan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1. Pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman. Pupuk NPK (15-15-15) dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 minggu setelah tanam (MST) dengan cara dialur di samping barisan tanaman masing-masing setengah dosis. Boron diberikan pada 3, 5, dan 7 MST dengan cara dilarutkan dalam air dan disiramkan pada bagian akar tanaman masing-masing sepertiga dosis aplikasi.

Pengamatan vegetatif dilakukan hingga munculnya bunga jantan dilanjutkan dengan pengamatan generatif pada produksi bunga dan viabilitas serbuk sari.

Peubah Pengamatan :

Peubah yang diamati pada setiap sampel meliputi :

1. Tinggi tanaman dan jumlah daun. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga pangkal bunga. Jumlah daun dihitung berdasarkan banyaknya daun yang masih utuh dan melekat pada batang. Tinggi tanaman dan jumlah daun dihitung setiap 2 minggu sekali hingga munculnya bunga jantan.

2. Umur munculnya 50% bunga jantan (J50%). Pengamatan J50% dihitung apabila bunga jantan dari 50% jumlah tanaman dalam satu petak percobaan telah mekar sempurna (muncul dari seludang bunga).

3. Jumlah dan panjang spika per tassel. Pengamatan jumlah dan panjang spika dilakukan pada setiap bunga jantan yang menjadi sampel dari setiap perlakuan pada akhir percobaan.

4. Jumlah spikelet per spika. Pengamatan jumlah spikelet per spika dilakukan dengan menghitung banyaknya spikelet dalam setiap spika bunga jantan pada akhir percobaan.

(30)

bawah mikroskop. Berdasarkan jumlah serbuk sari yang telah dihitung selanjutnya dilakukan konversi jumlah total serbuk sari dalan satu spikelet (Gambar 1a-b).

6. Viabilitas serbuk sari. Penghitungan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI pada hari kedua setelah antesis. Serbuk sari yang menyerap larutan pewarna hingga menjadi biru kehitaman dianggap viabel (Gambar 1c).

Gambar 1. Keragaan antera besar dan antera kecil dalam satu spikelet (a), pengamatan jumlah serbuk sari per spikelet (b), serbuk sari viabel dan tidak viabel pada pengujian pewarnaan menggunakan I2KI (d)

Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk Sari terhadap Pembentukan Benih Jagung Hibrida

Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok faktorial yaitu suhu penyimpanan yang terdiri atas: -20 oC dan -40 oC dan lama penyimpanan yaitu: 0, 1, 2, dan 3 Minggu Setelah Penyimpanan (MSP). Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan masing-masing terdapat 10 sampel sehingga total terdapat 240 satuan pengamatan. Bahan yang digunakan dalam percobaan penyimpanan adalah serbuk sari yang memiliki nilai viabilitas terbaik dari percobaan I sedangkan penyerbukan di lapang digunakan tetua betina jagung hibrida Bima 3 (Nei9008).

Pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan melalui metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI. Larutan I2KI dibuat dengan mencampurkan 0.5 g I2 (iodine) dan 1 g KI (kalium iodida) dalam 100 mL aquades. Peubah yang diamati meliputi viabilitas serbuk sari pada empat waktu penyerbukan, berat tongkol berklobot, berat tongkol tanpa klobot, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih. Model linier yang digunakan untuk pengujian tersebut adalah :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pengaruh suhu penyimpanan ke-i, lama penyimpanan ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh suhu penyimpanan ke-i βj = Pengaruh lama penyerbukan ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi suhu penyimpanan ke-i dan lama penyimpanan ke-j

Antera besar Antera kecil Serbuk sari viabel

Serbuk sari tidak viabel

(31)

ijk = Pengaruh pengacakan perlakuan suhu penyimpanan ke-i, lama penyimpanan ke-j dan ulangan ke-k

i = 1, 2 j = 0, 1, 2, 3

Percobaan diawali dengan penanaman tetua jantan untuk produksi serbuk sari dengan pemupukan NPK (15-15-15) 600 kg ha-1 dan boron (dalam bentuk boraks) 3 kg ha-1 dan pupuk dasar berupa urea 150 kg ha-1 dan pupuk kandang 8 ton ha-1. NPK dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 minggu setelah tanam (MST) dengan cara dialurkan di samping barisan tanaman masing-masing setengah dosis. Boron diberikan pada 3, 5, dan 7 MST dengan cara dilarutkan dalam air dan disiramkan pada bagian akar tanaman masing-masing sepertiga dosis aplikasi. Pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman.

Penanaman tetua betina untuk penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari segar (0 MSP) dilakukan tiga hari setelah penanaman tetua jantan. Penanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) untuk tujuan penyerbukan terkontrol berikutnya dilakukan masing-masing berjarak 1, 2, dan 3 minggu setelah penanaman tetua betina pertama. Pemupukan pada tetua betina menggunakan dosis NPK (15-15-15) 400 kg ha-1 dengan urea 200 kg ha-1 dan pupuk kandang 8 ton ha-1. NPK dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 MST dengan cara dialurkan disamping barisan tanaman masing-masing setengah dosis sedangkan pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman. Pada tetua jantan dan betina jarak tanam yang digunakan adalah 75 cm x 25 cm dengan penanaman awal 2 benih per lubang dan penjarangan menjadi 1 tanaman per lubang pada 2 MST.

Pemanenan serbuk sari dilakukan pada tassel yang telah antesis menggunakan kertas polinasi dan dimasukkan ke dalam boks pendingin untuk menjaga kesegarannya hingga sampai di Laboratorium. Serbuk sari kemudian dipisahkan dari kotak sari menggunakan saringan kemudian dilakukan penurunan kadar air dengan meletakkan serbuk sari di dalam desikator selama 24 jam (sehingga mencapai kadar air 7.2 – 19.2%) sebelum serbuk sari disimpan dalam deep freezer. Serbuk sari yang akan digunakan untuk penyerbukan dibawa ke lapang menggunakan boks pendingin dan diserbukkan pada tetua betina dengan menggunakan kuas sebanyak tiga kali usapan kemudian ditutup menggunakan kertas polinasi.

Pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI yang dibuat dengan mencampurkan 0.5 g I2 (iodine) dan 1 g KI (kalium iodida) dalam 100 mL aquades (Lordkaew et al. 2010). Serbuk sari yang akan diamati viabilitasnya diletakkan selama 30 menit pada gelas obyek yang dialasi dengan tissue lembab sebelum ditetesi dengan larutan I2KI. Serbuk sari yang berwarna biru-kehitaman dikategorikan viabel sedangkan yang berwarna coklat transparan tidak viabel.

Pengamatan dilakukan terhadap viabilitas serbuk sari dan beberapa peubah pada saat panen benih jagung hibrida.

Peubah Pengamatan :

(32)

sari yang menyerap larutan pewarna hingga menjadi biru-kehitaman dianggap viabel.

2. Bobot tongkol berklobot. Tongkol yang telah dipanen kemudian ditimbang bersama dengan klobotnya.

3. Bobot tongkol tanpa kelobot. Tongkol yang telah dipanen dibuang klobotnya dan kemudian ditimbang bobotnya.

4. Jumlah benih per tongkol. Jumlah benih per tongkol dilakukan dengan menghitung jumlah benih yang dihasilkan oleh setiap tongkol yang dipanen. 5. Bobot 100 butir benih. Bobot 100 butir benih diperoleh dari tanaman sampel

dan ditimbang pada KA 15%.

6. Daya berkecambah (DB). Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase kecambah normal pada pengamatan pertama dan kedua. Pengamatan pertama pada hari ke-3 (KN hitungan I) dan pengamatan kedua pada hari ke-5 (KN hitungan kedua). Nilai daya berkecambah dihitung dengan rumus:

7. Indeks vigor (IV). Penghitungan indeks vigor dilakukan berdasarkan persentase kecambah normal pada pengamatan pertama (KN hitungan pertama), yaitu hari ke-3, dengan rumus:

8. Kecepatan Tumbuh benih (KcT). Kecepatan tumbuh (KcT) dihitung berdasarkan pertambahan perkecambahan (persentase kecambah normal) setiap hari pada kurun waktu perkecambahan dalam kondisi optimum.

dimana: i = kurun waktu perkecambahan

d = tambahan persentase kecambah normal per etmal (24 jam)

Analisis Data

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lokasi penelitian merupakan lahan datar dengan kandungan unsur hara yang tergolong rendah. Hasil analisis tanah sebelum perlakuan menunjukkan bahwa tanah pada lahan percobaan tergolong agak masam dengan pH 4.6, C-organik sangat rendah (0.92%), N total rendah (0.13%), P2O5 tersedia sangat rendah (2.7 ppm), K tinggi (0.76 cmol/kg), nilai kapasitas tukar kation rendah (KTK 12.53 cmol/kg), dan kandungan boron tersedia rendah (0.34 ppm) (Lampiran 4).

Percobaan lapang berlangsung pada bulan April – Oktober 2013. Suhu udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 28.7 oC dengan kelembaban relatif 68.2%, sedangkan suhu udara udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 26.8 oC dengan kelembaban relatif 79.3%. Meskipun suhu udara rata-rata dan kelembaban tidak mengalami fluktuasi yang berarti namun jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan sangat fluktuatif. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (587.5 mm/bulan) dan terendah pada bulan September (52.2 mm/bulan) (Tabel 1). Iklim kemarau basah yang terjadi pada saat percobaan berlangsung menyebabkan air tersedia dalam jumlah yang cukup pada saat pertumbuhan vegetatif namun menurun pada saat pembungaan dan pengisian biji sehingga dilakukan irigasi secara mekanis.

Tabel 1. Data klimatologi di lokasi penelitian pada bulan April-Oktober 2013

Unsur Klimatologi April Mei Juni Juli Agust Sept Okt

Suhu udara rata-rata (oC) 27.9 27.5 27.9 26.8 28.0 28.5 28.7

Kelembaban rata-rata (%) 78.1 77.7 74.7 79.3 69.0 69.0 68.2 Jumlah curah hujan

(mm/bulan) 587.5 367.3 138.2 294.5 155.6 52.2 183.5

Jumlah hari hujan (hari) 19 23 16 21 8 13 19

Sumber: Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat 2013

Secara umum pertumbuhan tanaman tetua jantan Bima 3 dari awal hingga akhir percobaan cukup baik (Gambar 2). Pengamatan di lapang menunjukkan pada tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14) anthesis terjadi pada 58 hari setelah tanam (HST) yang ditandai oleh pecahnya serbuk sari pada bunga jantan. Anthesis berlangsung selama tujuh hari dengan puncak sebaran serbuk sari pada pukul 09.00-11.00.

(34)

Gambar 2. Keragaan tanaman tetua jantan Bima 3 (a) dan morfologi bunga jantan tanaman tetua jantan Bima 3 (b).

Perlakuan penyimpanan dan pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan pada bulan November di Laboratorium Teknologi Benih, Laptiab, BPPT. Serbuk sari diperoleh dari penaman tetua jantan dengan aplikasi pemupukan yang menghasilkan viabilitas serbuk sari tertinggi. Ekstraksi serbuk sari dilakukan di lapang dengan menampung serbuk sari menggunakan kantong polinasi dan menyimpannya dalam boks pendingin. Pengelolaan serbuk sari selanjutnya dilakukan di dalam laboratorium berupa pemisahan serbuk sari dengan antera menggunakan saringan, penurunan kadar air serbuk sari dilakukan menggunakan desikator selama 24 jam (Barnanas & Rajki 1976), dan penyimpanan serbuk sari pada deep freezer -20 oC dan -40 oC.

Pada percobaan kedua, tanaman betina ditanam sesuai dengan waktu aplikasi serbuk sari dalam penyerbukan terkontrol (Gambar 3a). Munculnya bunga betina (silking) pada tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) terjadi pada 61 HST yang ditandai dengan keluarnya rambut tongkol (silk). Penyerbukan terkontrol dilakukan pada saat rambut tongkol keluar dengan sempurna dan memiliki panjang minimal 2 cm (Gambar 3b).

Gambar 3. Keragaan tanaman tetua betina Bima 3 (a) dan morfologi bunga betina tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) (b).

a b

(35)

Percobaan I. Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, serta viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14). Pemupukan NPK meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun, mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%), meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari. Pemupukan boron meningkatkan jumlah daun, meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari (Tabel 2).

Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif, generatif, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14) berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; **: berbeda sangat nyata pada uji DMRT taraf 5%

Tinggi Tanaman

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara pemupukan NPK dangan boron terhadap tinggi tanaman. Pemupukan NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 4 dan 8 MST, sedangkan pemberian boron tidak mempengaruhi tinggi tanaman hingga akhir pengamatan (8 MST) (Tabel 3).

(36)

oleh kondisi tanah dengan kandungan unsur hara yang rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Onasanya et al. (2009) yang menunjukkan aplikasi pupuk N pada jagung hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman hingga 15.2% dibandingkan kontrol.

Hasil percobaan ini mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan NPK pada 8 MST. Diduga tanaman mengadsorbsi unsur hara dalam jumlah besar seiring dengan peningkatan ukuran dan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi hara tersedia semakin besar pertumbuhan tanaman. Subekti et al. (2007) menyatakan pada saat jagung berumur 33-50 hari setelah berkecambah (fase V11 – Vn) tanaman tumbuh dengan cepat dan akumulasi bahan kering meningkat dengan cepat pula sehingga kebutuhan hara dan air relatif sangat tinggi untuk mendukung laju pertumbuhan tanaman.

Pemupukan boron pada konsentrasi rendah (1 kg ha-1) meningkatkan tinggi tanaman mencapai 136.4 cm meningkat 6.2% meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol (128.4 cm) (Tabel 3). Hal ini diduga kadar boron yang rendah dalam tanah sehingga penambahan boron masih dapat meningkatkan tinggi tanaman. Suyamto (2010) menyatakan tingkat ketersediaan hara dalam tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkorelasi positif dengan hasil tanaman, sedangkan tingkat kesuburan tanah berkorelasi negatif dengan pemberian pupuk.

Tanaman merupakan organisme autotropik yang menggunakan karbondioksida, air dan hara mineral serta energi matahari untuk pertumbuhannya (Taiz & Zeiger 2002). Tinggi tanaman berhubungan erat dengan persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari bagi tanaman yang dibudidayakan secara monokultur. Semakin tinggi tanaman, semakin banyak energi matahari yang diperoleh dan semakin besar asimilat yang dapat ditranslokasikan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

(37)

Menurut Marschner (1995) pH tanah yang rendah mengganggu perakaran dan berakibat pada pertumbuhan tanaman yang tidak optimal.

Jumlah Daun

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3. Pemupukan NPK mempengaruhi jumlah daun pada 6 dan 8 MST, sedangkan boron hanya mempengaruhi jumlah (2005) bahwa pemupukan N hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan jumlah daun jagung.

Peningkatan dosis NPK mampu mensuplai nitrogen yang dibutuhkan tanaman dan menunda terjadinya senesen. Kekurangan nitrogen sangat mempengaruhi jumlah daun per tanaman yang ditandai oleh hilangnya warna hijau daun. Defisiensi nitrogen pada fase vegetatif tanaman menyebabkan mobilisasi nitrogen dari daun pada bagian bawah menuju daun yang lebih muda sehingga menyebabkan daun pucat, menjadi coklat kemudian mengering (Barker & Pilbeam 2007).

(38)

kerusakan intergitas membran sel pada daun bunga matahari tidak disebabkan oleh aktivitas enzim polipenol oksidase namun diakibatkan oleh defisiensi boron.

Peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun dipengaruhi oleh boron dalam jumlah kecil (1 kg ha-1) (Tabel 3 dan 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Blevins & Lukaszewski (1998) bahwa kebutuhan tanaman terhadap boron pada fase vegetatif lebih kecil dibandingkan fase generatif.

Pembungaan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara NPK dengan boron terhadap waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%). Peningkatan dosis NPK mempercepat munculnya 50% bunga jantan (J50%) namun pemberian boron tidak mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%) (Tabel 5).

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan yaitu 62.8 hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lomer et al. (2012) bahwa aplikasi pupuk nitrogen dapat mempercepat waktu masak serbuk sari terhadap beberapa varietas jagung. Diduga NPK berperan dalam menunjang proses pembelahan dan diferensiasi sel dari fase vegetatif menjadi fase generatif sehingga mempercepat pembungaan.

Tabel 5. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50% bunga jantan (J50%) tetua jantan Bima 3 (Mr14)

Perlakuan J50%

Cara untuk mengamati perubahan meristem dari vegetatif ke generatif (evokasi) adalah melihat adanya pembentukan bunga. Proses ini melibatkan sel meristem bunga yang memiliki ukuran lebih besar dari sel meristem vegetatif dan ditandai dengan peningkatan frekuensi pembelahan sel meristem apikal (Taiz & Zeiger 2002). Pembelahan sel membutuhkan asam amino yang dihasilkan dari perombakan N melalui proses fotosintesis. Ketersediaan N dalam jumlah cukup mempengaruhi kecepatan pembelahan sel (Gardner et al. 2008), sehingga mempercepat waktu munculnya bunga jantan.

(39)

Salisbury & Ross (1995) menjelaskan bahwa proses evokasi ditentukan oleh kemampuan daun dalam menghasilkan asimilat pada proses fotosintesis, kemampuan meristem apikal untuk melakukan organogenesis, serta jumlah daun minimum untuk mendukung pembungaan.

Pada percobaan ini pemberian boron pada dosis rendah (1 kg ha-1) cenderung mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan. Diduga boron berperan dalam tranportasi asimilat yang dihasilkan dari daun. Boron merupakan salah satu hara mikro esensial yang diketahui terlibat dalam transportasi karbohidrat dalam tanaman (Marschner 1995).

Peubah Generatif

Hasil analisis ragam menunjukkan pemupukan NPK dan boron secara tunggal meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari namun tidak berpengaruh terhadap jumlah spikelet per spika dan jumlah serbuk sari per spikelet (Tabel 6).

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 meningkatkan viabilitas serbuk sari hingga mencapai 95%, meningkatkan jumlah spika sebanyak 8.8 buah per tassel dan panjang spika yang mencapai 17.8 cm (Tabel 6). Hasil ini sejalan dengan penelitian Aribawa et al. (2005) bahwa peningkatan dosis pupuk urea hingga 90 kg N ha-1 (setara dengan 600 kg ha-1 NPK 15-15-15) menyebabkan peningkatan panjang malai padi.

Kecukupan fosfor diduga memberikan peningkatan pada peubah generatif yang diamati. Fosfor diketahui merupakan penyusun penting sel hidup, terlibat dalam berbagai reaksi metabolik, terlibat dalam pembentukan proses reproduksi tanaman, dan transfer energi (Tisdale et al. 1985). Kekurangan fosfor pada jagung mengakibatkan penurunan hasil sekitar 20% dan kekurangan kalium menurunkan hasil sekitar 10% (Tandisau & Thamrin 2009).

Tabel 6. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah generatif tetua

(40)

keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh kuantitas dan viabilitas serbuk sari sehingga mempengaruhi peningkatan produksi. Hasil penelitian Herniwati & Tandisau (2009) menunjukkan bahwa peningkatan dosis NPK hingga 600 kg ha-1 meningkatkan berat pipilan kering jagung, sedangkan Singh et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian pupuk N hingga 180 kg ha-1 masih dapat meningkatkan produksi jagung.

Perlakuan boron dosis 1 kg ha-1 telah mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari (94.2%) namun demikian untuk peningkatan produksi serbuk sari boron 3 kg ha-1 digunakan karena menghasilkan panjang spika (18.4 cm) yang lebih baik dari perlakuan lainnya (Tabel 7). Spika yang panjang diharapkan dapat meningkatkan jumlah spikelet per spika sehingga meningkatkan jumlah serbuk sari viabel yang dihasilkan. Boron adalah pengkompleks bahan-bahan seluler selama proses pemanjangan tabung serbuk sari (Visser 1995), sehingga meningkatkan kemampuan serbuk sari dalam pembuahan dan meningkatkan produksi.

Pemupukan NPK dan boron secara tunggal tidak mempengaruhi jumlah spikelet per spika maupun jumlah serbuk sari per spikelet. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cheng & Rerkasem (1993) yang menunjukkan bahwa penambahan boron pada tanaman gandum tidak meningkatkan jumlah serbuk sari.

Perlakuan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 secara bersama-sama meningkatkan jumlah spika per tassel (9.5 spika), panjang spika (18.4 cm) dan viabilitas serbuk sari (99.3%). Perlakuan ini memberikan nilai tertinggi pada viabilitas serbuk sari sebagai salah satu faktor penting dalam penyerbukan. Diduga boron bersinergi dengan kalium dalam memberikan pengaruh positif terhadap penyerapan dan metabolisme nitrogen melalui mekanisme sintesis protein enzim dan mendukung masuknya substrat melalui membran plasma ke dalam sel (Malvi 2011).

(41)

Keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh jumlah dan viabilitas serbuk sari (Davarynejad et al. 2008). Aplikasi boron meningkatkan viabilitas serbuk sari dan berpengaruh terhadap peningkatan produksi bawang merah (Rosliani et al. 2012) dan melon (Agustin, 2013). Oleh sebab itu berdasarkan percobaan pertama pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 digunakan sebagai dasar pada percobaan kedua.

Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi Benih Jagung Hibrida

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, berat tongkol berklobot, berat tongkol tanpa klobot, daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap daya berkecambah, dan kecepatan tumbuh benih, sedangkan lama penyimpanan berpengaruh terhadap semua peubah kecuali bobot 100 butir benih (Tabel 8).

Tabel 8. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, dan produksi benih jagung hibrida Bima 3

berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; **: berbeda sangat nyata pada uji DMRT taraf 5%

Viabilitas dan Produksi Benih Jagung Hibrida Bima 3

Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari yang disimpan, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, berat tongkol berklobot, dan berat tongkol tanpa klobot. Perlakuan lama penyimpanan berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari yang disimpan jumlah benih per tongkol, berat tongkol berklobot, dan berat tongkol tanpa klobot (Tabel 9).

(42)

penentu keberhasilan penyerbukan adalah jumlah dan viabilitas serbuk sari yang tinggi yang juga akan berpengaruh pada produksi.

Jumlah benih per tongkol yang dihasilkan dari suhu penyimpanan -20 oC dan -40 oC berturut-turut adalah 53.2 buah dan 55.2 buah, sangat rendah dibandingkan nilai viabilitas yang diamati yaitu 93.6% dan 91.7% (Tabel 9). Diduga serbuk sari mengalami kerusakan akibat penyimpanan sehingga tidak mampu berkecambah sehingga menurunkan persentase pembuahan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wang et al. (2004) menunjukkan bahwa penyimpanan serbuk sari lili (Lilium longiflorum cv. Avita) pada suhu -20 oC selama 2 bulan menyebabkan pertumbuhan perkecambahan secara in vitro melambat satu jam lebih lama dibandingkan serbuk sari segar yang diduga akibat protein dan mRNA mengalami kerusakan selama penyimpanan.

Jumlah benih yang dihasilkan oleh serbuk sari yang telah disimpan lebih sedikit dan memiliki bentuk yang tidak seragam. Rendahnya jumlah benih per tongkol yang dihasilkan dari penyerbukan terkontrol disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kurangnya kejadian penyerbukan akibat kematian benang sari atau serbuk sari oleh faktor lingkungan, kurangnya pembuahan karena viabilitas serbuk sari rendah atau tidak kompatibel serta tingginya kejadian gugur bunga, dan buah (Gardner et al. 2008). dari serbuk sari segar. Meskipun demikian bobot 100 benih dari serbuk sari segar maupun yang telah disimpan tidak berbeda nyata. Penelitian Hipi (2013) menunjukkan peningkatan rendemen jagung hibrida Bima 3 tidak berkorelasi terhadap berat 1000 butir benih yang berarti jumlah benih per tongkol tidak menentukan bobot 1000 butir benih.

(43)

pada penyimpanan 1 MSP yang hanya mencapai 13.5 buah. Sebuk sari jagung tidak toleran dengan pengeringan (desiccation intolerant) sehingga penurunan kadar air dan penyimpanan dalam suhu dingin merusak membran sel dan menurunkan viabilitasnya (Luna et al. 2001), oleh karena itu dibutuhkan transport cepat dari serbuk sari terhadap stigma yang kompatibel untuk dapat membuahi ovul (Nepi et al. 2010).

Lama penyimpanan berpengaruh terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot. Semakin lama serbuk sari disimpan semakin sedikit benih yang dihasilkan dan semakin kecil ukuran tongkol (Tabel 10 dan Gambar 4). Persentase penurunan berat tongkol berklobot dan tongkol tanpa klobot menunjukkan bahwa tongkol yang kecil mempunyai proporsi klobot yang lebih tinggi dibandingkan tongkol yang besar karena klobot pada tongkol kecil lebih banyak dan lebih tebal. Diduga pada tongkol berukuran kecil benih yang terbentuk sedikit sehingga asimilat yang tersedia banyak yang digunakan untuk perkembangan klobot (vegetatif) dan sebaliknya. Mualim et al. (2009) mengamati pada tanaman kolesom bahwa tajuk kolesom yang pertumbuhannya lebih baik akan menekan terbentuknya umbi (generatif), karena alokasi asimilat lebih ditujukan untuk pembentukan batang, cabang, dan daun kolesom (vegetatif).

Tabel 10. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol

Perlakuan Berat tongkol berklobot Berat tongkol tanpa klobot

(g) (g)

Jumlah benih per tongkol tidak dapat menggambarkan hubungan yang sesuai dengan viabilitas serbuk sari dari pengamatan pewarnaan yang telah dilakukan terhadap serbuk sari segar, 1, 2 dan 3 MSP yaitu 98.3%, 88.6%, 91.8% dan 92.1% (Gambar 5). Hasil ini memberikan indikasi bahwa viabilitas in vitro tidak menggambarkan viabilitas in vivo. Pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan dengan pewarnaan mengggunakan I2KI yang diindikasikan dengan perubahan warna serbuk sari yang viabel menjadi biru kehitaman. Hasil pengujian viabilitas serbuk sari menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari masih tetap tinggi hingga 3 MSP, hal ini disebabkan karena I2KI mewarnai kandungan pati pada serbuk sari dan diduga pati serbuk sari jagung belum terdegradasi hingga 3 MSP.

(44)

Pada kadar air 30% kemampuan germinasi serbuk sari jagung menjadi 50%, dan menurun tajam dibawah ambang batas tersebut hingga mencapai nol pada kadar air 5% (Aylor 2003).

Gambar 4. Morfologi tongkol jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC dan -40 oC (a1-a4: segar, -20 oC 1 MSP, 2 MSP dan 3 MSP) (b1-b4: segar, -40 oC 1 MSP, 2 MSP dan 3 MSP)

Mutu Fisiologis Benih

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara suhu dengan lama penyimpanan terhadap mutu benih. Suhu penyimpanan mempengaruhi daya berkecambah benih dan indeks vigor benih. Nilai daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan menurun dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari. Jumlah kecambah abnormal dan benih mati meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari yang digunakan dalam penyerbukan.

Persentase daya berkecambah benih hasil penyerbukan terkontrol pada suhu -20 oC dan -40 oC masing-masing sebesar 86.3% dan 95.4%. Persentase daya berkecambah benih yang tinggi ini diduga karena nilai viabilitas serbuk sari setelah disimpan masih tinggi 92.6% dan 91.7% (Tabel 11), sehingga proses penyerbukan masih dapat berlangsung dan menghasilkan benih normal.

Nilai kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan terkontrol pada suhu -20 o

C dan -40 oC adalah sebesar serta 25.1% etmal-1 dan 27.2% etmal-1 (Tabel 12). Kecepatan tumbuh benih yang diperoleh dari serbuk sari yang disimpan pada suhu -40 oC lebih tinggi dibandingkan benih yang dihasilkan dari serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC.

Indeks vigor benih pada serbuk sari segar sebesar 74.2%, sedangkan perlakuan penyimpanan berkisar 22.5% - 38.3%. Kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan dengan sebuk sari segar sebesar 30.6% etmal-1 dan pada serbuk sari yang disimpan berkisar 23.7% etmal-1 - 25.7% etmal-1 (Tabel 12). Nilai indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih yang rendah disebabkan oleh meningkatnya jumlah kecambah abnormal yang ditandai oleh pembentukan plumula yang tidak sempurna dan tidak terbentuknya akar lateral. Diduga pada saat penyerbukan

a1

b1-

a4 a3

a2

(45)

terjadi malformasi sel yang disebabkan oleh menurunnya kemampuan serbuk sari untuk membuahi akibat pengaruh lama penyimpanan.

Tabel 11. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah kecambah normal, abnormal, benih mati/busuk dan daya berkecambah benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol

Perlakuan

Nilai indeks vigor, daya berkecambah, dan kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan menurun dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari. Pengamatan mutu fisiologis benih menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai mutu benih dari penyimpanan serbuk sari selama 1, 2 dan 3 MSP namun sangat berbeda nyata dengan benih dari serbuk sari segar/kontrol.

Tabel 12. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan serbuk sari terhadap indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol

Perlakuan Indeks vigor benih (IV) Kecepatan tumbuh benih (KcT)

(%) (% etmal-1)

Gambar

Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron
Tabel 3. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap tinggi tanaman tetua
Tabel 5. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50%
Tabel 6. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah generatif tetua
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam dunia keprotokolan, sikap dan tingkah laku bagi seorang petugas protokol sangatlah berpengaruh terhadap citra positif yang akan timbul baik terhadap

Pengklasifikasian 2 kelas paslon 01 mendapatkan f- measure kelas negatif yang lebih banyak dari paslon 02 yaitu sebesar 0,78 untuk paslon 01 dan sebesar 0,76 untuk

Meski sudut pandang yang dipilih untuk mendekonstruksi penokohan, peristiwa, obyek arkeologis, hingga etape sejarah dengan cukup beragam, tapi titik tolak dari

Aspek tampilan modul terdapat delapan kriteria, yaitu (1) tampilan modul ini atraktif, (2) sampul modul ini sesuai dengan materi, (3) sampul modul ini didesain

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk membuktikan bahwa dalam fotosintesis dihasilkan oksigen (O2), mengamati pengaruh cahaya dan CO2 terhadap

Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan pemerintah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah itu sendiri, sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan

Penguasa di sini merupakan individu atau kelompok yang memiliki modal yang cukup besar, di antaranya modal sosial, budaya, dan lebih khususnya adalah modal simbolik,

Berangkat dari fenomena tersebut, muncul pertanyaan yang perlu dijawab, bagaimanakah perkembangan kebebasan pers saat ini setelah 14 tahun reformasi ditinjau