• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Bahan tanam yang digunakan adalah benih padi varietas Sintanur yang diperoleh dari Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Benih berasal dari hasil panen pada musim tanam kedua tahun 2009. Benih diiradiasi pada bulan Maret 2011 dan langsung ditanam pada media perlakuan.

Iradiasi yang diberikan tidak mempengaruhi waktu berkecambah benih, sedangkan perlakuan seleksi kekeringan memberikan pengaruh nyata. Benih yang di tanam pada media tanpa perlakuan seleksi mulai tumbuh saat empat hari setelah tanam, sedangkan benih yang ditanam pada media seleksi I1 (116,538 g/l PEG), I2 (174,674 g/l PEG) dan I3 (219,547 g/l PEG) mulai tumbuh sejak satu minggu setelah tanam. Semakin tinggi konsentrasi PEG maka pertumbuhan eksplan semakin terhambat.

Kontaminasi pada kultur dimulai saat eksplan berumur satu minggu setelah tanam (MST). Kontaminasi pada minggu pertama disebabkan oleh eksplan awal yang dipakai berasal dari benih yang diambil dari lapang, sehingga diduga terjadi kegagalan saat sterilisasi. Kontaminasi eksplan semakin tinggi saat dilakukan subkultur pada eksplan. Kontaminasi saat awal minggu hingga saat subkultur disebabkan oleh cendawan, sedangkan setelah subkultur kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh bakteri yang pada beberapa kultur disertai dengan kontaminasi cendawan.

Eksplan yang diiradiasi mulai menunjukkan pembentukan anakan pada saat berumur 2 MST, sedangkan pada eksplan yang tidak diiradiasi (kontrol) mulai membentuk anakan setelah berumur 4 MST. Jumlah anakan pada setiap perlakuan semakin meningkat setelah dilakukan subkultur akan tetapi pertambahan anakan tidak menunjukkan pola tertentu.

Kontaminasi

Kontaminasi pada kultur disebabkan baik oleh cendawan maupun bakteri. Sumber kontaminan dapat berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal. Kontaminan yang berasal dari eksternal dapat berasal dari kebersihan ruang tanam, alat tanam serta laminar yang digunakan. Faktor luar lain yang mempengaruhi kontaminasi eksplan adalah kurangnya ketelitian pada saat menanam. Kontaminan yang berasal dari faktor internal adalah dari bahan tanam yang digunakan.

Gambar 4. Kultur in vitro padi hasil iradiasi Cobalt60 pada media PEG yang terkontaminasi

Kultur yang menunjukkan kontaminasi pada media padat diselamatkan dengan cara memindahkan eksplan ke media steril. Sedangkan pada kultur yang dilakukan di media cair (media perlakuan) dilakukan dengan cara membilas eksplan yang belum terkontaminasi dengan air steril. Kontaminasi bakteri pada kultur di media cair (Gambar 4) diselamatkan dengan cara membilas eksplan dengan air steril sebanyak tiga sampai empat kali kemudian direndam selama 5 menit dalam larutan sodium hipoklorit 5 %.

Kontaminasi pada kultur mulai terlihat pada saat satu minggu setelah tanam dan semakin meningkat hingga minggu ke delapan (Tabel 1). Kontaminasi semakin meningkat setelah dilakukan subkultur. Kontaminasi yang terjadi didominasi oleh kontaminasi media akibat cendawan. Kontaminasi yang terjadi pada minggu pertama setelah tanam dapat disebabkan oleh kegagalan sterilisasi bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah benih padi yang berasal dari

lapang sehingga kemungkinan kontaminasi masih sangat besar. Media PEG yang cair menyebabkan sulitnya menyelamatkan eksplan yang belum terkontaminasi.

Tabel 1. Persentase kontaminasi eksplan kultur padi varietas Sintanur setelah iradiasi sinar gamma Cobalt 60 secara in vitro

Persentase kontaminasi yang semakin meningkat setelah dilakukan subkultur (Tabel 1) dapat disebabkan oleh kurang bersihnya laminar yang dipakai pada saat subkultur serta terlalu lamanya eksplan berada di luar botol kultur. Eksplan terlalu lama berada di luar botol kultur disebabkan pada saat pengukuran, tinggi eksplan melebihi lebar cawan petri yang digunakan.

Daya Berkecambah

Selain ditanam pada media kultur, benih juga dikecambahkan dengan menggunakan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp). Benih yang dikecambahkan disimpan pada wadah yang telah diatur agar kelembabannya tinggi serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Setelah tujuh hari, hasil uji dapat dilihat dan dikelompokkan ke dalam kriteria kecambah normal, abnormal dan mati. Daya berkecambah benih dilihat dari perbandingan jumlah kecambah normal dengan jumlah kecambah abnormal dan mati. Kecambah dapat dikategorikan sebagai kecambah abnormal jika tidak memiliki akar primer, akar sekunder tidak berkembang serta plumula (calon daun) tidak berkembang.

Iradiasi Cobalt 60 Persentase Kontaminasi Kultur Minggu ke- MST

1 2 3 4 5 6 7 8 ... %... 0 Gy 0 5,0 5,0 5,0 5,0 12,5 12,5 21,0 100 Gy 0 10,0 10,0 20,0 20,0 25,0 25,0 25,0 200 Gy 5,0 5,0 5,0 5,0 5,0 24,5 27,0 28,0 300 Gy 5,0 20,0 20,0 20,0 25,0 45,5 50,5 50,5 400 Gy 0 0 0 0 20,0 25,0 25,0 35,5 500 Gy 0 5 5,0 5,3 20,0 47,5 47,5 47,5

Berdasarkan hasil uji UKDdp terhadap daya berkecambah yang telah dilakukan, perlakuan R0 (tanpa iradiasi) memiliki daya berkecambah yang paling tinggi, sedangkan perlakuan R5 (500 Gy) memiliki daya berkecambah yang paling rendah (Tabel 2). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi dosis iradiasi, daya berkecambah benih semakin menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa iradiasi yang dilakukan membuat viabilitas benih semakin menurun. Diperkirakan iradiasi yang dilakukan merusak komponen benih, baik secara sitologi maupun genetik benih.

Tabel 2. Persentase daya berkecambah benih padi varietas Sintanur yang telah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt60 dengan metode UKDdp

Iradiasi Cobalt 60

(Gy) Kecambah Normal (%) Kecambah Abnormal dan Mati (%)

0 94,3 5,7 100 93,3 6,7 200 85,7 14,3 300 80,0 20,0 400 52,3 47,7 500 46,7 53,3

Daya berkecambah benih berbeda dengan LD 50 benih. LD 50 (lethal dosage 50) merupakan dosis iradiasi yang mampu mematikan 50% dari populasi objek yang diradiasi (Harten, 1998). LD 50 diamati pada benih yang ditanam pada media I0 (media kontrol). Kondisi ini bertujuan untuk meminimalisir pengaruh kematian kecambah karena tekanan osmotik tinggi. Selain itu, LD50 diamati pada saat kultur berumur lima minggu, kondisi ini ditujukan untuk mempelajari kemampuan hidup kecambah setelah diiradiasi oleh sinar gamma.

Berdasarkan Gambar 5, persentase kematian kecambah paling tinggi adalah perlakuan iradiasi 500 Gy (R5), sedangkan yang paling rendah adalah perlakuan tanpa iradiasi (R0). Dosis iradiasi yang semakin tinggi menyebabkan tingkat kematian kecambah yang semakin tinggi pula. Akan tetapi pada dosis iradiasi

200Gy (R2) tingkat kematian kecambah lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kematian kecambah pada perlakuan iradiasi 100 Gy (R1). Kondisi ini dapat disebabkan oleh kontaminasi kecambah yang terjadi sejak minggu pertama pada perlakuan R2.

Berdasarkan hasil analisis data, dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kematian kecambah. Pengaruh yang terjadi berupa respon linier dengan persamaan y = 0,139 x - 2,19 dan nilai R2 = 0,86 (Gambar 5). Peningkatan dosis iradiasi meningkatkan persentase kematian kecambah. Berdasarkan persamaan di atas LD 50 bagi padi varietas Sintanur diperoleh pada dosis iradiasi berikut:

.

Gambar 5. Grafik pengaruh dosis iradiasi sinar gamma Cobalt60 terhadap persentase kematian kecambah padi

Kematian pada Kecambah

Beberapa benih yang telah ditanam pada media kultur perlahan-lahan memperlihatkan tanda-tanda kematian seperti menghitamnya daun sebelum sempat dilakukan subkultur. Pada beberapa kecambah lainnya, tanda-tanda kematian mulai terlihat setelah dilakukan subkultur. Kecambah yang mulai

0 20 40 60 80 0 100 200 300 400 500 % K em at ian

Dosis Iradiasi Cobalt60 (Gy) Y = 0,139x - 2,19

mengalami gejala kematian sebelum dilakukan subkultur (Gambar 6 kiri) dapat disebabkan oleh rusaknya embrio akibat iradiasi sinar gamma yang tinggi maupun proses sterilisasi yang dilakukan. Iradiasi sinar gamma diperkirakan menyebabkan susunan DNA dan membran rusak sehingga kecambah yang diiradiasi tidak mampu bertahan hidup seperti kecambah kontrol (tanpa iradiasi).

Beberapa kecambah yang telah disubkultur mulai berwarna kehitaman terutama pada bagian daun tua, pangkal daun dan akar yang terpotong (Gambar 6 kanan). Pada awalnya hanya bagian yang terluka karena dipotong dengan pisau scalpel saja yang menunjukkan tanda kematian yaitu berwarna menghitam. Akan tetapi setelah satu minggu kemudian daun muda hingga titik tumbuh menghitam. Menghitamnya kecambah disebabkan oleh proses oksidasi senyawa fenolik yang merupakan rangkaian proses mekanisme pertahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Gambar 6. Kecambah padi yang memperlihatkan tanda kematian (kecambah menghitam): sebelum subkultur pada media tanpa perlakuan PEG (kiri) dan sesudah subkultur pada media perlakuan PEG (kanan) Secara alami, tanaman yang diberi cekaman kekeringan akan membentuk mekanisme ketahanan yaitu dengan cara meningkatkan pembentukan senyawa tertentu seperti antosianin, flavonoid (Basu et al., 2010), superoxide dismutase (SOD), katalase, ascorbate perxidase (APX), guaiacol peroxidase (GPOX), glutathione reductase (GR) serta antioksidan lainnya baik yang bersifat enzimatis maupun nonenzimatis (Gill dan Tuteja, 2010). Selain memproduksi senyawa antioksidan, cekaman kekeringan membentuk radikal bebas seperti senyawa

Kecambah yang menghitam

fenolik, senyawa oksigen yang bersifat reaktif (ROS) seperti hidroksil radikal, singlet oksigen, superoksida radikal, hidrogen peroksida (H2O2), serta

malondialdehyde (Basu et al., 2010 dan Gill dan Tuteja, 2010). Senyawa fenolik yang dikeluarkan oleh tanaman inilah yang dapat menyebabkan tanaman mati.

Secara alami, senyawa fenolik merupakan antioksidan yang dikeluarkan tanaman untuk mempertahankan diri jika terkena cekaman baik abiotik maupun biotik (Sakihama et al., 2002). Akan tetapi pada saat tanaman terkena cekaman kekeringan, tanaman juga membentuk fenoksil radikal. Fenoksil radikal terbentuk saat senyawa fenolik teroksidasi oleh oksigen. Fenoksil radikal yang terbentuk ada yang mudah terdegradasi dan ada pula yang sulit terdegradasi. Fenoksil radikal yang sulit terdegradasi inilah yang membahayakan tanaman. Fenoksil radikal yang terbentuk bila berikatan dengan logam Cu dan Fe dapat berbahaya bagi DNA (deoxyribose nucleic acid), lemak dan molekul biologi lainnya (Sakihama et al., 2002).

Selain itu, beberapa senyawa fenolik pada tanaman ada yang bersifat alelopati. Apabila senyawa fenolik yang bersifat alelopati ini terbentuk, maka permeabilitas membran sel akan meningkat dan menyebabkan membran menjadi tidak bersifat selektif lagi. Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan keluarnya senyawa komponen sitoplasma sel serta peroksidasi lemak. Pada keadaan tertentu, senyawa fenolik ini mampu menghambat penyerapan hara (Li et al., 2010). Akan tetapi untuk mengetahui secara mendalam mengenai senyawa apa yang dihasilkan oleh padi pada saat terkena cekaman kekeringan serta mekanisme ketahanannya diperlukan penelitian lebih lanjut.

Selain senyawa fenolik, senyawa H2O2 yang dihasilkan oleh tanaman

akan menonaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan siklus Calvin pada proses fotosintesis (Smirnoff, 1993). Kondisi ini diduga menyebabkan keseimbangan metabolisme tanaman terganggu dan menimbulkan kematian. Siklus calvin yang terganggu menyebabkan terbentuknya singlet oksigen (O2).

Singlet oksigen terbentuk secara alami pada tanaman seperti pada klorofil, protoporphyrin IX, serta pada komponen sekunder (quinones, furanocoumarines, polyacetylenes dan thiopenes) dan relatif bersifat reaktif. Singlet oksigen juga

bersifat elektrofilik sehingga mampu menggantikan ikatan ganda (oksidasi) komponen tanaman seperti asam lemak tak jenuh histidine, methionine, tryptophan dan guanin (Smirnoff, 1993). Diduga oksidasi asam lemak serta denaturasi protein yang terjadi pada klorofil yang menyebabkan tanaman menjadi kehilangan klorofil dan mati. Pada dasarnya tanaman mampu membentuk senyawa antioksidan untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi kondisi ini terjadi bila tanaman terkena cekaman kekeringan dalam periode waktu yang singkat. Namun apabila tanaman terkena cekaman kekeringan dalam waktu yang relatif lama, tanaman tidak mampu menyeimbangkan pembentukan antioksidan dengan senyawa reaktif oksigen (De Carvalho, 2008) seperti yang tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaksi tanaman bila diberikan cekaman kekeringan dengan periode tertentu. (De Carvalho, 2008)

Tinggi Kecambah

Secara morfologi, kecambah memiliki beberapa perbedaan terutama pada tinggi dan lebar daun. Perbedaan tinggi kecambah sangat dipengaruhi oleh faktor iradiasi dan media perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Lampiran 3. Koefisien keragaman pada minggu pertama setelah tanam lebih kecil bila dibandingkan dengan minggu kelima setelah tanam. Kondisi ini disebabkan pada

minggu pertama belum semua benih berkecambah dan rata-rata pertumbuhannya seragam. Pada minggu kelima setelah tanam mulai terlihat pengaruh dari perlakuan iradiasi dan media yang diberikan. Koefisien keragaman yang tinggi menandakan adanya pengaruh iradiasi yang menyebabkan genetik setiap kecambah berbeda.

Tabel 3. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh iradiasi Cobalt60 dan PEG terhadap tinggi kecambah padi varietas Sintanur

Umur Kecambah

Perlakuan

KK (%) Iradiasi Media Iradiasi*Media

1 MST ** ** ** 29.166

5 MST ** ** ** 61,618

Keterangan: Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman.

Gambar 8. Perbandingan tinggi tanaman hasil pengecambahan dengan cara UKDDP. Kiri ke kanan: R0: 0 Gy, R1: 100Gy, R2: 200 Gy, R3: 300 Gy, R4: 400 Gy dan R5: 500 Gy

Secara umum tinggi kecambah pada setiap perlakuan meningkat dari minggu pertama hingga kelima, akan tetapi pertambahan tinggi kecambah pada masing-masing perlakuan berbeda. Nilai rata-rata tinggi yang paling besar ditunjukkan pada kecambah yang tidak diberikan perlakuan iradiasi atau R0 dan

pertambahan yang paling kecil adalah R5 (Gambar 8). Perlakuan iradiasi sinar gamma sebagian besar memberikan pengaruh pertumbuhan yang lambat (Lampiran 5). Akan tetapi pada minggu kelima, tinggi kecambah pada perlakuan R2 lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi kecambah pada perlakuan R1 (Tabel 4). Kondisi ini membuktikan bahwa pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap tanaman dapat bersifat acak, sehingga diperlukan pembuktian secara genetik untuk melihat mutasi yang terjadi.

Hal yang sama terjadi pada wasabi, pemberian dosis radiasi yang semakin tinggi akan menghambat metabolisme, sehingga akan menghambat pertambahan tinggi eksplan (Hung, 2008). Selain itu, hal yang sama juga terjadi pada Tricyrtis hirta (Japanese toad lily) yang telah diradiasi dengan menggunakan ion 12C+6. Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, tinggi tunas yang dihasilkan akan semakin pendek (Nakano, et al., 2010).

Tabel 4. Pengaruh perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt60 terhadap rata- rata tinggi kecambah pada minggu pertama dan kelima

Perlakuan Iradiasi Tinggi Kecambah (cm)

1 MST 5 MST R0: 0 Gy 2,22 a 10,92 a R1: 100 Gy 1,96 ab 6,55 bc R2: 200 Gy 1,78 b 7,67 b R3: 300 Gy 1,93 ab 5,59 bc R4: 400 Gy 0,93 c 4,78 bc R5: 500 Gy 0,86 c 3,81 c Uji F ** ** KK (%) 29.166 61,618

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman.

Selain kontrol, nilai tinggi kecambah yang lebih besar belum dapat dikatakan bahwa perlakuan tersebut yang menghasilkan mutan yang terbaik. Kondisi ini disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada setiap benih masih bersifat

acak dan membutuhkan kegiatan subkultur. Subkultur bertujuan memisahkan kimera yang terbentuk hingga tanaman yang dihasilkan memiliki penampilan serta genetik yang seragam. Selain itu, perbedaan penampilan dapat disebabkan oleh respon masing-masing benih terhadap perlakuan berbeda.

Kecambah yang ditanam pada media tanpa PEG (I0) menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata yang paling besar (Tabel 5). Kondisi ini disebabkan media I0 tidak ditambahkan PEG sehingga kecambah tidak mengalami hambatan pertumbuhan. Rata-rata tinggi kecambah semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi PEG. Keadaan ini menunjukkan bahwa simulasi cekaman kekeringan yang diberikan menghambat proses pertumbuhan kecambah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa cekaman kekeringan menyebabkan terganggunya proses metabolisme pada tanaman. Terganggunya proses metabolisme menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan mati.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan media PEG terhadap rata-rata tinggi kecambah Media PEG (g/l) Tinggi Kecambah (cm) 1 MST 5 MST I0 = 0 3,6 a 15,9 a I1 = 116,538 1,8 b 7,1 b I2 = 174,674 1,0 c 2,9 c I3 = 219,547 0,07 d 0,8 c Uji F ** ** KK (%) 29.166 61,618

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman.

Secara fenotipe kecambah yang tumbuh dari benih yang diiradiasi dengan benih yang tidak diiradiasi memiliki beberapa perbedaan, seperti yang terlihat pada Lampiran 5. Daun kecambah yang berasal dari benih yang diiradiasi memiliki perbedaan meskipun berasal dari perlakuan yang sama. Pada Gambar 9, contoh daun yang telah di beri perlakuan iradiasi diambil dari perlakuan yang

sama yaitu R4. Daun yang paling bawah merupakan daun dari kecambah yang tidak diberi perlakuan iradiasi.

Gambar 9. Perbandingan daun yang tumbuh dari benih yang telah diiradiasi dan yang tidak diiradiasi pada media PEG 116,538 g/l

Jumlah Anakan

Selain itu, iradiasi sinar gamma yang diberikan menyebabkan kecambah mampu menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kecambah yang tidak diberi perlakuan iradiasi (Lampiran 8). Pada media kontrol (I0) planlet yang tidak diberi perlakuan iradiasi (R0) mampu menghasilkan paling banyak 13 anakan pada minggu terakhir. Sedangkan pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma, jumlah anakan terbanyak yang dihasilkan mencapai 54 anakan yaitu pada perlakuan R4 (Gambar 10 dan Gambar 11). Pada media dengan penambahan PEG sebesar 116,538 g/l (I1), jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol yaitu sebesar 23 anakan (Lampiran 1). Perlakuan iradiasi sinar gamma 500 Gy memiliki jumlah anakan tertinggi pada media dengan penambahan 174,674 g/l (I2). Pada media I3 dengan penambahan PEG 219,547 g/l, tidak ada planlet yang mampu membentuk anakan. Kondisi ini dapat disebabkan cekaman kekeringan yang terlalu tinggi menyebabkan kematian pada kecambah.

Perlakuan iradiasi

Gambar 10. Grafik perbandingan jumlah anakan padi varietas Sintanur terbanyak setelah iradiasi sinar gamma Cobalt60 pada masing-masing perlakuan media dengan penambahan PEG (8 MST)

Gambar 11. Multiplikasi anakan terbanyak yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt60 dosis 400 Gy pada media tanpa PEG. A. Umur 6 MST dan B. Umur 7 MST

Multiplikasi anakan terjadi pada semua perlakuan baik kontrol maupun pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi dan cekaman kekeringan. Multiplikasi anakan terjadi mulai dari minggu kedua setelah tanam seperti yang terlihat pada Tabel 6 dan Lampiran 2. Sebagian besar perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh kepada variabel pengamatan jumlah tunas. Akan tetapi mulai minggu keenam, perlakuan iradiasi tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas. Perlakuan media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anakan mulai dari minggu kedua pengamatan hingga minggu terakhir

0 10 20 30 40 50 60 0 100 200 300 400 500 Ju m lah Anak an

Iradiasi Cobalt60(Gy)

0 g/l PEG 116,538 g/l PEG 174,674 g/l PEG 219,547 g/l PEG

pengamatan. Koefisien keragaman yang ditunjukkan semakin meningkat dari minggu pertama hingga minggu kedelapan. Koefisien keragaman yang semakin meningkat menunjukkan keragaman semakin terlihat seiring dengan pertambahan umur kultur.

Tabel 6. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan iradiasi Cobalt60 dan media PEG terhadap jumlah anakan padi varietas Sintanur

Umur Kultur Perlakuan KK (%)

Iradiasi Media Iradiasi*Media

1 MST - - - - 2 MST * * ** 7,02 3 MST ** ** ** 3,71 4 MST * ** ** 13,04 5 MST tn ** ** 16,88 6 MST tn ** ** 19,45 7 MST tn ** tn 26,25 8 MST tn ** * 33,78

Keterangan: ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan .

Berdasarkan Tabel 7, perlakuan iradiasi sinar gamma 400 Gy (R4) memiliki jumlah anakan terbanyak mulai minggu kedua hingga minggu keenam dan minggu kedelapan setelah tanam. Perlakuan iradiasi 200 Gy (R2) memiliki jumlah anakan tertinggi pada minggu ketujuh pengamatan (7 MST). Meskipun memiliki jumlah anakan yang tertinggi pada minggu ketiga, jumlah anakan pada perlakuan R4 mengalami penurunan. Penurunan jumlah anakan disebabkan oleh kematian kecambah pada perlakuan tersebut. Selain itu, perlakuan R4 yang ditanam pada media tanpa perlakuan seleksi (I0) saat minggu kedelapan memiliki jumlah anakan yang tinggi hingga mencapai 54 anakan (Gambar 10). Akan tetapi rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan hanya sebesar 1,5 anakan (Tabel 7). Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya kultur yang tidak menghasilkan anakan pada perlakuan media seleksi kekeringan lainnya.

Tabel 7. Pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt60 terhadap rata-rata jumlah anakan padi varietas Sintanur

Perlakuan Iradiasi (Gy)

Umur Kultur (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8

0 0 0b 0b 0,1b 0,1b 0,2a 0,3b 0,8a

100 0 0b 0b 0b 0,1b 0,3a 0,5ab 0,8a

200 0 0b 0b 0b 0,1b 0,4a 0,9a 1,1a

300 0 0b 0b 0b 0,1b 0,3a 0,5ab 1a

400 0 0,1a 0,1a 0,3a 0,4a 0,5a 0,7ab 1,5a 500 0 0b 0b 0,2ab 0,3ab 0,4a 0,6ab 0,8a

Uji F - * ** * tn tn tn tn

KK (%) - 7,02 3,71 13,04 16,88 19,45 26,25 33,78

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Angka yang dicetak tebal merupakan rata-rata jumlah anakan terbanyak. ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan .

Berbeda dengan benih padi, wasabi yang diiradiasi dengan sinar gamma 10 Gy, 20 Gy, 40 Gy dan 80 Gy memiliki jumlah tunas yang lebih sedikit seiring dengan meningkatnya dosis (Hung, 2008). Akan tetapi berdasarkan penelitian telah dilakukan pada Tricyrtis hirta, iradiasi ion 12C+6 mampu meningkatkan jumlah tunas per kecambah (Nakano et al., 2010). Namun pada saat dosis iradiasi 20 Gy, jumlah tunas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan dosis 10 Gy (Nakano et al., 2010).

Berdasarkan Tabel 8, jumlah anakan yang dihasilkan semakin meningkat setiap minggunya. Akan tetapi pada minggu ketiga terjadi penurunan jumlah anakan, kondisi ini disebabkan adanya kecambah yang terkontaminasi atau mati. Kecambah yang ditanam pada media tanpa PEG (I0) memiliki rata-rata jumlah anakan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah anakan pada media dengan penambahan PEG (Tabel 8). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, mekanisme tanaman bila terkena cekaman kekeringan akan menghasilkan beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan kecambah sehingga

kecambah akan mati. Pada media seleksi I3 (219,547 g/l PEG), tidak ada kecambah yang mampu membentuk anakan. Kondisi ini dapat disebabkan padi varietas sintanur tidak mampu berkembang biak bila terkena cekaman kekeringan -0,6 bar.

Tabel 8. Pengaruh media perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG terhadap rata-rata jumlah anakan padi varietas Sintanur

Perlakuan PEG (g/l)

Umur Kultur (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8

I0=0 0 0,1a 0,1a 0,3a 0,4a 0,7a 1,4a 2,1a I1 = 116,538 0 0b 0b 0,1b 0,1b 0,4b 0,6b 1b I2 = 174,674 0 0b 0b 0,1b 0,1b 0,2bc 0,2c 0,7bc

I3 = 219,547 0 0b 0b 0b 0b 0b 0c 0c

Uji F - * ** ** ** ** ** **

KK (%) - 7,02 3,71 13,04 16,88 19,45 26,25 33,78

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan .

Jumlah Akar

Perlakuan dosis iradiasi sinar gamma Cobalt60 tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan akar. Akan tetapi pada beberapa mutan ditemukan pertumbuhan akar yang lebih cepat dibandingkan dengan kecambah lainnya, yaitu pada perlakuan iradiasi dosis 300 Gy dan 500 Gy. Perlakuan seleksi kekeringan memberikan pengaruh terhadap pembentukan akar. Semakin tinggi konsentrasi PEG dalam media maka akar yang terbentuk akan semakin sedikit.

Keragaman Fenotipe Padi Varietas Sintanur Hasil Iradiasi

Iradiasi sinar gamma meningkatkan keragaman tanaman padi var Sintanur terutama jumlah anakan dan tinggi kecambah. Keragaman yang terjadi pada jumlah anakan dan tinggi kecambah termasuk dalam kategori sangat luas. Iradiasi sinar gamma Cobalt60 yang diberikan menyebabkan terbentuknya keragaman fenotipe pada tanaman. Nilai persen KKF yang paling besar terdapat pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 500 Gy (Tabel 9). Keragaman yang terbentuk pada benih yang diiradiasi semakin meningkat mulai dari minggu pertama hingga kelima setelah tanam. Akan tetapi benih yang tidak

Dokumen terkait