• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL

Konsentrasi estradiol-17ß

Konsentrasi hormon estradiol-17β plasma darah ikan patin betina pada perlakuan kombinasi hormon yang mengandung AI dan oksitosin (P1, P2 dan P3) sebelum penyuntikan dan sesudah ovulasi mengalami penurunan, sebaliknya pada perlakuan kontrol ovaprim dan NaCl (P4, P5) menunjukkan peningkatan (Gambar 2). Penurunan konsentrasi estradiol sesudah ovulasi menunjukkan fase final oosit maturation (FOM) yang akan segera diikuti dengan pemijahan. Pada perlakuan kombinasi empat hormon AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α (P3) menunjukkan selisih konsentrasi estradiol sebelum dan sesudah ovulasi yang paling tinggi yaitu penurunan dari 0,93 ngmL-1 menjadi 0,35 ng/mL.

Gambar 2 Konsentrasi estradiol-17ß plasma darah ikan patin betina sebelum induksi hormon dan 12 jam pasca penyuntikan. (P1: AI+Oksitosin, P2: AI+Oksitosin+Ovaprim, P3: AI+ Oksitosin+ Ovapriam+ PGF2α, P4: Ovaprim, P5: NaCl)

Konsentrasi testosteron

Konsentrasi hormon testosteron plasma darah ikan patin jantan yang diinduksi kombinasi hormon mengalami penurunan sebelum perlakuan dan sesudah ovulasi (Gambar 3). Pada perlakuan kombinasi hormon AI dan oksitosin (P1), serta kombinasi dengan ovaprim dan PGF2α (P2, P3) menunjukkan penurunan konsentrasi testosteron yang lebih besar dibandingkan kontrol ovaprim dan NaCl (P4, P5). Selisih konsentrasi testosteron sebelum dan sesudah ovulasi yang paling tinggi adalah pada kombinasi AI dan oksitosin (P1) yaitu dari 17.41 ng ml-1menjadi 1.21 ngml-1. 0.43 0.55 0.93 0.34 0.14 0.16 0.25 0.35 0.45 0.22 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 P1 P2 P3 P4 P5 K o n sen tr asi E str ad io l (p g .m l-1) Perlakuan Sebelum Sesudah

9

Gambar 3 Konsentrasi testosteronplasma darah ikan patin jantan sebelum induksi hormon dan 12 jam pasca penyuntikan. (P1: AI+Oksitosin, P2: AI+Oksitosin+Ovaprim, P3: AI+ Oksitosin+ Ovapriam+ PGF2α, P4: Ovaprim, P5: NaCl).

Tingkat Ovulasi

Perlakuan kombinasi hormon AI dan oksitosin (P1), serta penambahan ovaprim dan PGF2α (P2, P3) maupun perlakuan kontrol ovaprim (P4) pada ikan patin betina menghasilkan tingkat ovulasi 100%, sedangkan pada perlakuan kontrol NaCl (P5) tidak terjadi ovulasi (Tabel 2). Ikan betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon (P1, P2, P3) dapat memijah semi alami tanpa

striping, sedangkan pada perlakuan ovaprim (P4) ikan memijah dengan stripping, dan pada control NaCl ikan tidak memijah selama 24 jam pengamatan. Lama waktu ovulasi antar perlakuan tidak berbeda nyata, yaitu berkisar antara 12,35±4,05 jam sampai 15,20±2,25 jam.

Tabel 2. Tingkat ovulasi ikan patin siam (P. hypopthalamus) betina pada induksi ovulasi dan pemijahan semi alami secara hormonal

Perlakuan (n=5) Rata-rata Bobot Tubuh (Kg) Jumlah Ikan ovulasi (%) Rata-rata Waktu Laten (Jam)

Rata rata waktu pengeluaran

telur (Jam)

Pemijahan

P1 4,24±0,96 100 11,00±1,52c 15,20 ± 2,25b Memijah semi alami P2 4,54±1,40 100 9,20±1,64c 13,40 ± 2,63b Memijah semi alami P3 4,14±1,09 100 7,40±1,95b 12,35 ± 4,05b Memijah semi alami P4 3,92±0,79 100 13,00±0,71d 13,27 ± 0,65b Memijah distripping P5 4,04±0,93 0 Tidak ovulasi* Tidak ovulasi* Tidak memijah

Keterangan: P1: AI+Oksitosin, P2: AI+Oksitosin+Ovaprim, P3: AI+ Oksitosin+ Ovapriam+ PGF2α, P4: Ovaprim, P5: NaCl; (*Pengamatan dilakuan 24 jam, n= jumlah ikan)

Waktu Laten (Latency Period)

Perhitungan waktu laten pada penelitian ini yaitu jarak waktu dari dilakukannya induksi kombinasi hormone perlakuan hingga terjadinya ovulasi yang dideteksi dengan adanya keberhasilan telur.

17.41 18.26 17.90 17.18 12.97 1.20 5.68 3.77 11.15 10.81 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 P1 P2 P3 P4 P5 K on sen tr as i Testo ster on (n g .ml -1) Perlakuan Sebelum Sesudah

10

Gambar 4 Rata-rata lama waktu laten ikan Patin siam (P hypopthalamus) yang diberi perlakuan induksi hormonal menggunakan aromatase inhibitor

dan oksitosin. Huruf yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). (P1: AI+ Oksitosin, P2: AI+ Oksitosin+ Ovaprim, P3: AI+ Oksitosin+ Ovapriam+ PGF2α, P4: Ovaprim, P5: NaCl).

Waktu periode laten (latency period) ikan patin berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05). Waktu periode laten berisar antara 7,40±1,95 sampai 7,40±1,95 jam (Gambar 4). Perlakuan kombinasi hormon AI, oksiten, ovaprim, PGF2α (P3) memiliki waktu laten tercepat dibandingkan dengan semua perlakuan. Pada perlakuan P1, P2 dan P3 memijah secara semi alami, sedangkan perlakuan P4 memijah dengan distripping.

Tingkah Laku Pemijahan Semi Alami

Pengamatan tingkah laku pemijahan semi alami yang dilakukan secara visual memperlihatkan tingkah laku ikan saat pemijahan semi alami. Ikan jantan bergerak aktif disekitar ikan betina sambil menggetarkan seluruh bagian tubuh dan mengeluarkan bunyi-bunyian tertentu. Ikan betina dan ikan jantan akan sama-sama melepaskan sperma dan telur. Telur akan menempel pada subtrat di dasar wadah pemijahan (Gambar 5).

Gambar 5 Pemijahan semi alami pada ikan Patin yang diberi perlakuan kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α. Anak panah menunjukkan telur yang dipijahkan (spawned egg) oleh ikan Patin.

11,00c 9,20c 7,40b 13,00d 0,00a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 P1 P2 P3 P4 P5 Late n cy Pe ri o d ( jam ) Perlakuan

11 Diameter Telur

Rata-rata diameter telur sebelum diberi perlakuan induksi hormon dan setelah pemijahan mengalami peningkatan pada semua perlakuan. Pada perlakuan kontrol NaCl (P5) tidak memijah, diameter telur sebelum penyuntikan 0,81±0,022 mm (Gambar 6).

Gambar 6 Diameter telur ikan patin siam (P. hypopthalamus) sebelum induksi hormone dan sesudah pemijahan semi alami. (P1= AI+ oksitosin, P2= AI+ oksitosin+ ovaprim, P3= AI+ oksitosin+ ovaprim+ PGF2α, P4= Ovaprim, P5= NaCl).

Diameter telur yang tertinggi pada pemijahan semi alami adalah pada perlakuan kombinasi hormon P3 (AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α) yaitu 1,08±0,007 mm sedangkan pada perlakuan ovaprim (P4) menunjukkan ukuran diameter yang paling rendah (0,96±0,062 mm) yang memijah dengan distripping.

Diameter telur ikan patin hasil induksi ovulasi dan pemijahan secara hormonal menggunakan AI dan oksitosin menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan sebelum maupun sesudah ovulasi antara perlakuan. Diameter telur ikan patin pada perlakuan kombinasi hormon (P1, P2, P3) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P4, P5).

(a) (b)

Gambar 7 Diameter contoh telur ikan patin pada perlakuan P3. a) Sebelum diinduksi hormon ; b) Setelah setelah diinduksi hormon.

0.98 0.87 0.95 0.86 0.81 1.08 1.06 1.08 0.96 0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 P1 P2 P3 P4 P5 D iam e te r t e lu r ( m m ) Perlakuan Sebelum Sesudah

12

Diameter contoh telur ikan patin dari perlakuan kombinasi hormon P3 menunjukkan adanya perkembangan sebelum penyuntikan (Gambar 7a) dengan setelah ovulasi (Gambar 7b).

Jumlah Telur yang di Ovulasikan (Spawned Eggs)

Rata-rata jumlah telur yang berhasil dipijahkan induk betina ikan patin antar perlakuan induksi hormon berbeda nyata (p<0.05). Pada perlakuan P3 yang diinduksi dengan kombinasi hormon (AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α) dan memijah semi alami (tanpa stripping) menghasilkan jumlah telur yang tertinggi (145865±10059 butir) dibandingkan dengan perlakuan P1 (aromatase inhibitor dan oksitosin) dan P4 (ovaprim) yang memijah dengan stripping. Sedangkan pada perlakuan P2 (AI, oksitosin, ovaprim) ikan memijah semi alami menghasilkan telur yang paling rendah (108421±28548 butir), dan pada kontrol NaCl (P5) tidak terjadi pemijahan (Gambar 8).

Gambar 8 Rata-rata jumlah telur ikan patin siam (P. hypopthalamus) yang dihasilkan pada induksi pemijahan semi alami secara hormonal. (Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05);

Derajat Pembuahan

Perlakuan induksi hormon memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan terhadap derajat pembuahan telur (p<0.05). Derajat pembuahan telur ikan patin pada perlakuan kombinasi hormon P2 (AI, oksitosin, ovaprim) dan P3 (AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α) lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1 (AI, oksitosin) maupun P4 (ovaprim). Derajat pembuahan telur berkisar antara 94,48±2,71 % dan 99,60±0,55 % (Gambar 9). 118647bc 108421b 145865d 138947cd 0a 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 P1 P2 P3 P4 P5 Ju m lah Tel u r ( B u tir ) Perlakuan

13

Gambar 9 Rata-rata derajat pembuahan telur ikan patin siam (P. hypopthalamus) pada induksi ovulasi dan pemijahan semi alami secara hormonal. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). (P1=AI+ oksitosin, P2= AI+ oksitosin+ ovaprim, P3=AI+ oksitosin+ ovaprim+ PGF2α, P4= Ovaprim, P5= NaCl)

Derajat Penetasan

Induksi pemijahan semi alami secara hormonal memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat penetasan telur (p<0.05), kecuali pada perlakuan kombinasi hormon yang mengandung AI dan oksitosin (P1) dan kombinasi AI, oksitosin, ovaprim (P2). Pada perlakuan P3 dengan kombinasi 4 hormon (AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α) menunjukkan tingkat penetasan yang tertinggi yaitu 98,60±0,54% dan yang terendah adalah pada perlakuan ovaprim (P4) yaitu 93,60±207% (Gambar 10).

Gambar 10 Rata-rata derajat penetasan telur ikan patin siam (P. hypopthalamus) pada induksi ovulasi dan pemijahan semi alami secara hormonal. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). (P1= AI+ oksitosin, P2= AI+ oksitosin+ ovaprim, P3= AI+ oksitosin+ ovaprim+ PGF2α, P4= Ovaprim, P5= NaCl).

97,08c 98,97d 99,60d 94,48b 0,00a 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 P1 P2 P3 P4 P5 D e rajat p e m b u ah an (% ) Perlakuan 95,80c 96,80c 98,60d 93,60b 0,00a 0 20 40 60 80 100 P1 P2 P3 P4 P5 D e rajat Pen e tasan ( % ) Perlakuan

14

Tingkat kelangsungan hidup larva umur 3 hari

Tingkat kelangsungan hidup (TKH) larva ikan patin umur 3 hari berkisar 96,17–99,39 % (Gambar 11).

Gambar 11 Rata-rata kelangsungan hidup larva ikan patin siam (P. hypopthalamus) yang dihasilkan pada perlakuan induksi secara hormonal. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). (P1=AI+oksitosin, P2= AI+ oksitosin+ ovaprim, P3= AI+ oksitosin+ ovaprim+ PGF2α, P4= Ovaprim, P5= NaCl)

Pada perlakuan P2 (AI, oksitosin, ovaprim) dan P3 (AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α (P3) yang memijah semi alami tanpa stripping menghasilkan TKH yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 (AI, oksitosin) dan ovaprim (P4) (p<0.05). Kelangsungan hidup larva yang tertinggi diperoleh pada induksi kombinasi 4 hormon (P3) yaitu 99,39±0,55%.

Kualitas Air

Kualitas air diamati pada saat sebelum dan sesudah pemijahan serta pada saat pemeliharaan larva. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air (termometer (oC)) dan nilai pH (pH meter). Kualitas air yang diamati selama penelitian diperoleh hasil sebagaimana di sajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran kualitas air pada kolam pemijahan dan pemeliharaan ikan patin selama penelitian

Parameter Kisaran Pustaka*)

DO 5.4 – 6.5 mg/L 5.6-9 Suhu (oC) 27 – 30 25-30 pH 7 – 7.5 6.5-9 *Boyd (1990) 96,76b 98,96c 99,39c 96,17b 0,00a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P1 P2 P3 P4 P5 Ke lan g sun g an H id u p L ar v a ( % ) Perlakuan

15 PEMBAHASAN

Pemijahan merupakan bagian dari reproduksi ikan yang menjadi mata rantai daur hidup kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan. Pada ikan betina, induksi pemijahan dilakukan pada akhir vitelogenesis untuk menginduksi germinal vesicle breakdown (GVBD) yang merupakan akhir pematangan sel telur dan ovulasi serta pemijahan. Induksi pemijahan banyak dilakukan dengan menciptakan kondisi lingkungan sesuai dengan kondisi di alam sebagai persyaratan untuk pemijahan. Sedangkan untuk merangsang pemijahan walaupun dalam kondisi yang kurang tepat maka dilakukan dengan pendekatan hormonal. Kadar hormon gonadotropin yang relatif stabil bahkan cenderung menurun sepanjang siklus pemijahan juga merupakan fenomena yang menarik karena keberhasilan pemijahan secara tidak langsung memerlukan induksi dari hormon gonadotropin (Yaron, 1995 ; Barnier et al.

2009). Proses pematangan gonad diprediksi melalui kadar testosteron dan estradiol-17β plasma terhadap perkembangan oosit (Mackenzie et al. 1989). Oleh karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al. 1992).

Estradiol adalah steroid yang sangat penting terutama untuk ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. Konsentrasi estradiol merupakan jumlah kandungan hormon estradiol pada ikan betina pada plasma darah untuk merangsang hati mensintesis vitelogenin. Pada perlakuan kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α (P1, P2, P3) terjadi penurunan nilai konsentrasi estradiol dari sebelum dan pada saat sesudah ovulasi. Penurunan konsentrasi estradiol-17β menunjukkan ikan siap untuk ovulasi dan menandakan ikan siap memijah. Estradiol-17ß merangsang vitelogenesis di hati, dan dapat memberikan rangsangan balik terhadap hipofisa serta hipotalamus ikan untuk menghasilkan gonadotropin. Ransangan terhadap hipotalamus adalah memacu produksi GnRH. GnRH yang dihasilkan ini bekerja untuk merangsang hipofisa untuk melepaskan gonadotropin dan selanjutnya berperan dalam proses biosintesis estradiol-17ß pada lapisan granulose. Menurut Lee dan Young (2002), perubahan konsentrasi estradiol-17β dalam darah ikan betina berhubungan dengan perkembangan oosit dan peningkatan gonadosomatik indeks. Hormon estradiol pada ikan betina berperan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang selanjutnya melalui aliran darah menuju gonad dan diserap oleh lapisan folikel oosit sehingga tumbuh membesar kemudian berhenti perkembangannya apabila oosit telah mencapai ukuran maksimum. Pada umumnya konsentrasi estradiol-17β menurun pada saat ikan betina siap ovulasi dan pemijahan (Martin 2004).

Nagahama et al. (1995) mengatakan bahwa aktivitas aromatase pada ikan meningkat dan mencapai puncaknya pada pascavitelogenesis. Setelah mencapai pascavitelogenesis produksi estradiol-17β akan menurun drastis, demikian juga aktivitas aromatase. Menurunnya produksi estradiol-17β dan aktivitas aromatase, ternyata diikuti peningkatan 17α,20β-dihidroksi-4-pregnen-3-one (17α,20β-DP) sehingga oosit mengalami GVBD dan berakhir pada ovulasi. Mekanisme yang terjadi pada ikan betina yang diberi perlakuan Aromatase inhibitor menunjukkan terjadi penurunan plasma estradiol dan kosentrasi vitelogenin pada ikan patin dan ikan Torsoro (Dhewantara 2013; Farastuti 2014).

16

Pada perlakuan kombinasi hormon AI, oxytocin, ovaprim dan PGF2α (P1, P2, P3) menunjukkan bahwa induk ikan Patin betina yang di induksi dengan perlakuan ini dapat terjadi ovulasi dan pemijahan semi alami (tanpa stripping) sedangkan induk ikan patin betina yang hanya diinduksi dengan hormon tunggal ovaprim harus dipijahkan dengan melakukan stripping.

Testosteron dibutuhkan untuk melengkapi proses spermatosit bersama dengan sekresi pituitary dari ICSH (Intestill Cell stimulating Hormone) 1 fase dan sangat berperan dalam proses pematangan oosit menuju fase Germinal Vesicle Breakdown (GVBD). Fase ini merupakan tahapan menjelang ovulasi dimana inti sel terlihat berada 1 tahap lebih dekat ke korion telur. Testosteron merupakan steroid C19 yang dapat merangsang terjadinya GVBD pada konsentrasi yang tinggi (Basuki 2007).

Pada perlakuan kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α (P1, P2, P3, P4, P5) terlihat adanya penurunan nilai testosteron. Pada perlakuan AI dan oksitosin (P1), serta kombinasi dengan ovaprim dan PGF2α (P2, P3) menunjukkan penurunan konsentrasi testosteron yang lebih besar dibandingkan kontrol ovaprim dan NaCl (P4, P5). Menurut Evans (2000) testosteron plasma darah meningkat saat pematangan gonad lalu menurun saat pemijahan. Demikian pula disampaikan oleh Rottmann et al. (2001) dan Yank (2007) bahwa konsentrasi estradiol dan testosteron pada ikan secara alami mengalami penurunan setelah matang gonad. Denning dan Wathes (1994) juga menyampaikan bahwa testosteron plasma darah mulai meningkat mulai matang dan berkembang lalu menurun lagi selama dewasa, pemijahan dan tahapan menghabiskan.

Nagahama et al. (1991) menyampaikan bahwa kadar konsentrasi testosteron relatif lebih rendah selama spermatogenesis kemudian meningkat tajam pada waktu spermiation dan menjadi lemah setelah pemijahan dan selama periode dewasa. Ismail et al. (2011) mengungkapkan bahwa konsentrasi estradiol dan testosteron hormon lainnya pada ikan mengalami penurunan setelah matang gonad. Perangsangan perkembangan sperma tidak terlepas dari peran serta hormon androgen, yakni testosteron. Sedangkan, testosteron memegang peranan utama pada spermatogenesis dan spermiasi adalah 11-Ketostestosteron (11-KT). Nilai konsentrasi testosteron dipengaruhi oleh umur dan kematangan spermatozoa, temperatur dan faktor-faktor lingkungan lain sperti ion-ion, pH dan osmolalitas. Sedangkan kecepatan geraknya tergantung spesies (Glasser 2004).

Penambahan AI sebagai inhibitor enzim aromatase dapat membantu meningkatkan jumlah testosteron dalam gonad sehingga terjadi percepatan GVBD pada oosit. Mekanisme yang terjadi pada ikan betina maupun jantan yang diberi perlakuan Aromatase inhibitor menunjukkan terjadi penurunan plasma estradiol dan kosentrasi vitelogenin pada ikan betina (Casperdan Mitwally 2006).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α (P1, P2, P3) dan perlakuan kontrol ovaprim (P4) mampu memberikan rangsangan sehingga terjadi ovulai pada ikan patin dengan tingkat keberhasilan hingga 100% namun pada perlakuan kontrol NaCl (P5) tidak terjadi ovulasi dan pemijahan.

Penghitungan masa laten untuk mengetahui waktu ovulasi pada penelitian ini yaitu dengan cara menghitung jarak waktu dilakukannya induksi hormon sampai terjadinya ovulasi yang dilihat berdasarkan pengamatan adanya telur yang keluar. Respon ikan setelah induksi hormon perlakuan terhadap kecepatan masa

17 laten dapat dilihat pada Tabel 2. Masa laten tercepat diperoleh pada perlakuan AI, oksitosin, ovaprim dan PGF2α (P3) yaitu 7,40 ± 1,95 jam. Pada perlakuan P1, P2 dan P3 induk betina dan jantan yang diinduksi dengan perlakuan kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim dan Pgf2α berhasil memijah secara semi alami (tanpa stripping) sedangkan pada perlakuan ovaprim (P4) ikan memijah dengan cara distripping. Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui bahwa perlakuan P3 berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan semua perlakuan .

Proses pematangan oosit terjadi karena rangsangan Leutinizing Hormone (LH) pada folikel, kemudian terjadi proses pembentukan hormon steroid, pada sel teka membentuk 17α-hidroksiprogesteron dan pada sel granulose terbentuk 17α, 20β dihidroksi dan hormon steroid yang terakhir inilah yang mempunyai peranan sebagai mediator kematangan oosit lebih lanjut (Chen dan Fernald 2008). FSH merangsang sekresi estrogen dari folikel sehingga menyebabkan folikel berkembang dan membesar dalam ovari. Bila kadar estrogen meningkat optimum, produksi FSH akan menurun , dan produksi LH meningkat yang menyebabkan folikel anti klimaks dan terjadilah ovulasi (Nagahama 1995). Aktivitas hormon oksitosin meningkat pada saat ovulasi dan berperan penting dalam proses pemijahan (Haraldsen et al. 2001).

Aromatase inhibitor (AI) mampu menghambat produksi estrogen dengan menghambat proses aromatase pada hipothalamus-hipophisis-gonad axis dari umpan balik negatif estrogen, sehingga menyebabkan sekresi FSH meningkat dan menyebabkan rangsangan yang menghasilkan perkembangan ovari hingga terjadinya ovulasi (Casper dan Mitwally 2006), Menurut Basuki (2007), penambahan aromatase inhibitor (AI) juga memungkinkan kerja LH dalam menurunkan enzim aromatase tadi akan diperkuat oleh AI, sehingga peranan LH dalam proses ovulasi akan lebih efisien, dan AI terbukti dapat digunakan sebagai induksi ovulasi. Sedangkan penambahan oxytocin dapat menyebabkan induk ikan patin melakukan pemijahan secara semi alami karena oksitosin berperan dalam merangsang otot polos sehingga menyebabkan kontraksi dan ikan mampu memijah secara alami.

Ovulasi merupakan proses keluarnya sel telur folikel ke dalam lumen ovarium atau rongga perut. Nagahama (1987) menyatakan bahwa proses ovulasi terdiri dari beberapa tahapan. Pada tahap awal lapisan folikel melepaskan diri dari oosit, pada saat akan terjadi ovulasi, mikrofili pada kedua permukaan tersebut sedikit demi sedikit terpisah, hal tersebut dimungkinkan dilakukan oleh enzim proteolitik. Dalam setiap perkembangan secara biologi termasuk oosit ikan, perkembangan antara satu fase ke fase yang berikutnya membutuhkan waktu tertentu. Brooks et al. (1997) menjelaskan bahwa pada oosit yang telah matang, sitoplasma akan menjadi bening, oil droplet bergabung menjadi satu dan berukuran besar serta terjadi breakdown germinal vesikel.

Dari hasil pengamatan pada pemijahan induksi kombinasi hormon AI, oksitosin, ovaprim, PGF2α (P1, P2, P3) dan dan perlakuan kontrol (P4) rata-rata jumlah telur yang berhasil dipijahkan induk betina ikan patin antar perlakuan berkisar sekitar 108421 butir sampai dengan 145865 butir. Pada perlakuan P3 yang diinduksi dengan kombinasi hormon (AI, oksitosin, ovaprim, Pgf2α) dan memijah semi alami (tanpa stripping) menghasilkan jumlah telur yang tertinggi (145865±10059 butir) dibandingkan dengan perlakuan P1 (AI dan oksitosin) dan P4 (ovaprim) yang memijah dengan stripping. Sedangkan pada perlakuan P2 (AI,

18

oksitosin, ovaprim) ikan memijah semi alami menghasilkan telur yang paling rendah (108421±28548 butir), dan pada kontrol NaCl (P5) tidak terjadi pemijahan. Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui bahwa perlakuan P3 dan P4 berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan P1, P2 dan P5.

Pemberian AI dapat mempercepat dan memicu terjadinya ovulasi. Hal ini dikarenakan, AI berperan dalam menurunkan aktivitas aromatase dalam gonad akibatnya produksi estrogen-17β turun dan meningkatkan produksi testosteron, hal tersebut merupakan awal sinyal balik positif terhadap LH sehingga proses pematangan oosit akan berlangsung lebih cepat. Dari hasil penelitian dapat dilihat pengaruh induksi kombinasi hormon dalam proses akhir ovulasi sangat berperan. Kombinasi yang diberikan merangsang hipofisa untuk mensekresikan gonadotropin LH membantu memperlancar sekresi gonadotropin untuk permatangan oosit. Pemberian AI juga mengakibatkan kerja enzim aromatase terhambat, akibatnya sintesis estrogen dalam pengembangan oosit semakin menurun. Dengan turunnya produksi estrogen maka diikuti dengan meningkatnya produksi testosteron sehingga terjadilah umpan balik positif terhadap gonadotropin terutama LH. Sehingga kerja LH dari pituitari ditambah dengan adanya efek Aromatase inhibitor pada gonad yang juga menyebabkan terjadinya umpan positif pada LH akan semakin mempercepat pematangan oosit hingga nanti berakhir pada ovulasi.

Pembuahan atau fertilisasi adalah bersatunya oosit (telur) dengan sperma berbentuk zigot, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Pada pembuahan ini terjadi percampuran inti sel telur dan inti sperma. Kedua inti ini masing-masing mengandung gen (pembawa sifat keturunan) sebanyak satu set (haploid). Hanya satu sperma yang dibutuhkan untuk membuahi satu sel telur (monospermi).

Ada beberapa hal yang mendukung berlangsungnya pembuahan, yakni spermatozoa yang tadinya tidak bergerak dalam cairan plasmanya, akan bergerak setelah bersentuhan dengan air dan dengan bantuan ekornya, bergerak ke arah telur. Derajat pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Fertilisasi dan proses aktivasi pada telur ikan menjadi penting untuk beberapa perkembangan embrio. Selama fertilisasi dan aktivasi, pada telur-telur ikan teleost terjadi reaksi kortikal. Alveoli kortikal melebur dan melepaskan kandungannya (koloids) dari lapisan kortikal, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang perivitelin. Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Tidak lengkapnya proses aktivasi ini menyebabkan ruang perivitelin sempit sehingga diameter telur tidak berkembang (Kjorsvik et al. 1990).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui hasil derajat pembuahan telur ikan Patin tertinggi terdapat pada induk ikan patin yang diinduksi dengan perlakuan P3 yaitu sebesar 99,60±0,55 % dan derajat pembuahan terendah terjadi pada ikan yang diinduksi perlakuan P4 yaitu 94,48±2,71%. Selanjutnya P1 91,08±1,13% dan P2 98,97±0,72%. Dalam hal ini diduga karena adanya pengaruh efektivitas hormon yang diberikan pada perlakuan induksi kombinasi hormon Aromatase inhibitor, oksitosin, ovaprim dan juga PGF2α saling bekerjasama dalam proses fertilisasi. Tunner dan Bagnara (1998) menyatakan bahwa mekanisme kerja hormon Pgf2α dalam proses ovulasi bekerjasama dengan Luteinizing Hormone

19 menstimulasi inti sel telur bergerak dari tengah ke tepi sel dan selanjutnya melebur menuju kutub anima hingga telur siap diovulasikan.

Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman).

Pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin. Lee dan Young (2002) menyatakan ukuran telur juga berperan dalam kelangsungan hidup ikan. Induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel), dan oviposisi (Lam 1995). Namun apabila kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degenerasi (rusak) lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia (Mylonas dan Zohar 2001).

Perkembangan telur ikan secara umum meliputi empat tahap, yakni ; awal pertumbuhan, tahap pembentukan kantung kuning telur, tahap vitolegenesis dan tahap pematangan. Vitolegenesis dicirikan oleh bertambah banyaknya volume sitoplasma yang berasal dari luar sel, yakni kuning telur atau disebut juga vitolegenin. Vitelogenin disintesis oleh hati dalam bentuk lipophosphoprotein-calsium komplek dan hasil mobilisasi lipid dari lemak visceral. Selanjutnya kuning telur dibawa oleh darah dan ditransfer ke dalam sel telur secara endositosis (Lubzens et al. 2010). Dalam vitelogenesis yang sedang berkembang, sitoplasma telur yang matang ruangannya diisi oleh bola-bola kecil kuning telur saling

Dokumen terkait