• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap inisiasi adalah tahap awal pembentukan tunas tanaman gaharu secara kultur jaringan. Untuk mengetahui respon eksplan perlakuan dapat diketahui dari hasil pengukuran lima parameter yaitu persentase hidup, waktu induksi tunas, jumlah tunas, jumlah daun dan panjang tunas pada Tabel 1. Data-data yang di peroleh dari pengamatan selama 4 minggu setelah tahap inisiasi.

Tabel 1. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi BAP dan IAA terhadap Parameter Pengamatan Perlakuan Presentase Hidup (%) RataanWaktu Induksi Tunas (hari) Rataan Jumlah Tunas Rataan Jumlah Daun Rataan Panjang Tunas (mm) BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (A)

BAP 1.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (B) BAP 2.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (C) BAP 2.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (D)

25 0 25 8.3 14 0 21 21 1,62 0,00 1,41 1,41 1,73 0,00 0,00 0,00 3,43 0,00 2,45 1,73

Data ditransformasi Logaritma (Y’ = log (Y + 1) )

Respon tanaman terhadap kombinasi konsentrasi BAP dan IAA menunjukkan berpengaruh nyata terhadap persentase hidup, waktu induksi tunas, jumlah tunas, dan panjang tunas. Pada jumlah daun, interaksi ataupun pendugaan pengaruh tunggal BAP dan IAA tidak berpengaruh nyata.

Data-data pada Tabel 1 menunjukkan perbandingan lurus antara setiap parameter pengamatan. Pada perlakuan A, persentase hidup yang tinggi berbanding lurus dengan rataan waktu induksi tunas yang cepat, jumlah tunas dan jumlah daun yang banyak, serta mempunyai tunas yang paling panjang. Hal ini

menunjukkan bahwa tanaman gaharu lebih berpengaruh pada kombinasi konsentrasi BAP dan IAA yang rendah. Hal ini diduga terjadi karena tanaman gaharu yang masih muda sangat sensitif dengan kandungan media dan konsentrasi hormon yang digunakan.

Pada perlakuan B, tidak ada tunas yang terbentuk. Hal ini diduga karena eksplan yang digunakan tidak sesuai dengan komposisi media. Selain itu, kombinasi konsentrasi BAP dan IAA yang tidak sesuai juga mempengaruhi kemampuan hidup tanaman gaharu. Perbandingan zat pengatur tumbuh yang tidak sesuai dapat menghambat pertumbuhan tunas tanaman gaharu. Gustian (2009) menyatakan bahwa kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dalam jaringan eksplan dapat meningkatkan kemampuan hidup, pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan.

Pemberian konsentrasi hormon yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan tunas tanaman gaharu. Sesuai dengan literatur George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin pada konsentrasi rendah mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta mempertahankan daya hidup jaringan eksplan, tetapi pada konsentrasi yang tinggi zat pengatur tumbuh dapat bersifat menghambat perkembangan morfogenesis eksplan.

Persentase Hidup (%)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 58.3% dari total eksplan dalam kondisi hidup, yaitu pada perlakuan A sebanyak 3 buah (25%) tanaman yang hidup, perlakuan C sebanyak 3 buah (25%), dan perlakuan D sebanyak 1 buah

(8.3%). Sedangkan tanaman yang mati (pencoklatan, kontaminasi, dan tidak tumbuh) sebanyak 41.6%. Perbandingan eksplan yang mengalami pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Pengaruh Kombinasi Konsentrasi BAP dan IAA terhadap Persentase Pencokelatan, Kontaminasi, Tidak Tumbuh dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh (%)

Perlakuan Pencoklatan Kontaminasi Tidak Tumbuh

Tumbuh BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (A)

BAP 1.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (B) BAP 2.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (C) BAP 2.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (D)

0 8.3 0 16.7 0 8.3 0 0 0 8.3 0 0 25 0 25 8.3

Hasil pengamatan, persentase hidup tunas lebih besar daripada persentase tunas yang mati, coklat, ataupun kontaminasi. Tanaman yang sehat atau tumbuh dengan normal mempunyai ciri-ciri berwarna hijau muda dan tidak terdapat kontaminasi pada tanaman seperti timbulnya bakteri atau jamur yang ditandai dengan adanya warna putih atau kuning. Kemungkinan tingginya tingkat hidup pertumbuhan tunas tanaman gaharu disebabkan karena penyerapan terhadap unsur-unsur hara pada media dan zat pengatur tumbuh yang diberikan berlangsung dengan baik. Tanaman gaharu yang tumbuh dapat dilihat pada Gambar 1d.

Gambar 1. (a) Tanaman Gaharu yang Mengalami Pencoklatan, (b) Tanaman Gaharu yang Mengalami Kontaminasi, (c) Tanaman Gaharu yang Tidak Tumbuh, dan (d) Tanaman Gaharu yang Hidup

Tabel 2 menunjukkan bahwa pencokelatan (Gambar 1a) hanya terjadi pada perlakuan B (8.3%) dan D (16.7%), sedangkan A dan C tidak mengalami pencokelatan. Tanaman gaharu yang mengalami pencoklatan, kontaminasi, tidak tumbuh, dan yang tumbuh dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Azwin (2007) terjadinya pencokelatan pada eksplan disebabkan oleh senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan. Pencokelatan pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan zat phenolik ke dalam media tumbuh. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang mengalami pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Pada tanaman berkayu umumnya semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang bersifat meristematik. Diperkuat oleh Yunita (2004) yang menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan

atau penghitaman bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik, menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah sebanyak 8.3% yaitu pada perlakuan B (Gambar 1b). Secara umum sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 12 botol yang ditanam hanya 1 botol yang terkontaminasi (8.3%). Kontaminasi yang terjadi diakibatkan oleh bakteri yang ditandai dengan adanya bercak putih atau hitam, dan jamur yang ditandai dengan timbulnya bercak kuning. Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan ada beberapa penyebab terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan yaitu, 1). Proses penanaman, dimana sering terjadi kontaminasi saat memasukan eksplan ke dalam media kultur, 2). Saat membuka dan menutup botol yang kurang rapat yang menyebabkan masuknya partikel debu yang terbawa oleh hembusan udara laminar yang masuk ke dalam media kultur. Suryowinoto (1996) menyatakan tentang permasalahan yang dapat terjadi dalam kultur jaringan, yaitu sangat sulit menanggulangi kontaminasi yang berasal dari material tanaman lapangan dan infeksi internal sangat sulit diatasi.

Selain terjadinya pencokelatan dan terkontaminasi, terdapat 1 eksplan (8.3%) yang tidak tumbuh atau tidak mengalami organogenesis tetapi masih hidup dan berwarna kuning kehijauan yang menyerupai kalus (Gambar 1c). Menurut Azwin (2007) apabila kalus dibiarkan terus berkembang maka akan terbetuk tunas-tunas baru yang terbentuk bila mengalami embriogenesis.

Kemungkinan tanaman tidak tumbuh adalah karena eksplan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan tempat tumbuh yang baru sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) faktor lain yang menyebabkan eksplan yang tidak tumbuh adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada eksplan.

Waktu Induksi Tunas (hari)

Respon tanaman gaharu terhadap interaksi antara BAP dan IAA memberikan pengaruh pada waktu induksi tunas. Rataan waktu induksi tunas tanaman gaharu disajikan pada Tabel 1.

Waktu induksi tunas adalah waktu yang dibutuhkan untuk melihat respon tanaman dalam menghasilkan tunas baru. Waktu induksi tunas paling lama terdapat pada perlakuan C dan D (21 hari). Perlakuan C dan D mempunyai konsentrasi hormon BAP yang sama yaitu 2.0 ppm. Sedangkan konsentrasi hormon IAA berbeda yaitu masing-masing 0.5 ppm dan 1.0 ppm. Waktu induksi tercepat terdapat pada perlakuan A yaitu 14 hari dengan kombinasi konsentrasi BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm. Pada perlakuan B tidak terjadi pembentukan tunas sampai batas waktu yang ditentukan. Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan tunas berkisar antara 2 – 4 minggu atau 14 – 30 hari.

Waktu pembentukan tunas pada gaharu dapat ditentukan oleh bagian eksplan pada saat penanaman. Pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang

lebih cepat tumbuh tunas adalah bagian buku tanaman. Sesuai dengan penelitian Kosmiatin et al. (2005) waktu induksi tunas tercepat diperoleh dari ekplan buku tanpa daun. Eksplan yang relatif mudah diindukasi tunasnya adalah eksplan yang memiliki jaringan meristem atau bakal tunas seperti tunas terminal dan bakal tunas pada buku. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 2.

Media tanam dan komposisinya juga mempengaruhi pertumbuhan tunas tanaman gaharu. Sesuai dengan literatur Gustian (2009) menyatakan bahwa jenis dan komposisi media sangat mempengaruhi besarnya daya tahan eksplan untuk hidup pada media tersebut, sedangkan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen berpengaruh terhadap besarnya penyerapan zat makanan yang tersedia dalam media kultur.

Gambar 2. Perkembangan Tunas Tanaman Gaharu (a) Minggu Pertama, (b) Minggu Kedua, (c) Minggu Ketiga, (d) Minggu Keempat, (e) Pengukuran Panjang Tunas

A B C

D

Jumlah Tunas

Hasil analisis sidik ragam antara konsentrasi BAP dan IAA (Lampiran 5), menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi antara BAP dan IAA memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Rataan jumlah tunas disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi BAP dan IAA terhadap Jumlah Tunas

Perlakuan Rataan Jumlah Tunas

BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (A) BAP 1.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (B) BAP 2.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (C) BAP 2.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (D)

1,62a 0,00c 1,41b 1,41b

Data ditransformasi Logaritma (Y’ = log (Y + 1) )

Jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakuan A (1,62) dan tidak adanya tunas yang tumbuh pada perlakuan B. Sedangkan pada perlakuan C dan D mempunyai rataan yang sama yaitu 1. Perlakuan A menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan B, C, dan D. Perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A, C, dan D. Perlakuan C tidak berbeda nyata dengan perlakuan D,dan berbeda nyata dengan yang lainnya.

Terdapat waktu induksi tunas yang tertera pada Tabel 1, pada perlakuan A adalah 14 hari, serta mempunyai rata-rata jumlah tunas paling banyak yaitu 1,62. Sedangkan waktu induksi tunas pada perlakuan C dan D adalah 21 hari, dan mempunyai rata-rata jumlah tunas yang sedikit yaitu 1,41. Konsentrasi BAP dan IAA yang dikombinasikan juga mempengaruhi jumlah tunas yang tumbuh. Pada perlakuan C dan D mempunyai rata-rata jumlah tunas yang sedikit dan waktu

yang lama. Konsentrasi BAP pada perlakuan itu sebesar 2.0 ppm. Perlakuan A mempunyai rata-rata jumlah tunas yang banyak dan dalam waktu yang cepat. Konsentrasi BAP pada perlakuan A sebesar 1.0 ppm. Diduga bahwa konsentrasi BAP yang diberikan pada eksplan mempengaruhi jumlah tunas. Sesuai dengan literatur Suryowinoto (1996) yang menyatakan bahwa BAP mempunyai pengaruh terhadap tumbuhan adalah memacu pembentukan tunas aksilar dan tunas adventif, kombinasi antara auksin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus, serta memacu pembelahan sel. Diperkuat oleh literatur Gunawan (1995) yaitu pada konsentrasi BAP yang tinggi dan masa induksi yang lebih lama menyebabkan penampakan tunas abnormal dan menyebabkan penurunan jumlah tunas yang diperoleh. Serta literatur Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk atau tunas terhambat. Tetapi hasil pengamatan tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian Kosmiatin el al. (2005) yaitu kecepatan induksi pembentukan tunas tidak menjamin banyaknya tunas yang terbentuk. Hal ini berhubungan dengan aktivitas fotosíntesis. Eksplan akan membutuhkan daun sebagai tempat fotosintesis guna membentuk tunas baru.

Rendahnya jumlah tunas yang tumbuh pada perlakuan C dan D (Gambar 3) dapat diakibatkan oleh konsentrasi hormon yang tinggi. Menurut Azwin (2005) secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja

hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas terhambat.

Gambar 3. Pertumbuhan Tunas Tanaman Gaharu yang Terhambat (a) Tunas Tanaman Gaharu pada Perlakuan C, dan (b) Tunas Tanaman Gaharu pada Perlakuan D

Sesuai dengan literatur Santosa (2007) apabila dalam perbandingan sitokinin lebih besar dari auksin, maka hal ini akan memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya apabila sitokinin lebih rendah dari auksin, maka ini akan mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar. Sedangkan apabila perbandingan sitokinin dan auksin berimbang, maka pertumbuhan tunas, daun dan akar akan berimbang pula

Jumlah Daun

Hasil analisis sidik ragam antara konsentrasi BAP dan IAA (Lampiran 4), menunjukkan bahwa interaksi antara BAP dan IAA memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun tanaman gaharu disajikan pada Tabel 1.

Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan A (1,73) dan perlakuan yang lain tidak terdapat daun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh

kombinasi konsentrasi BAP dan IAA terhadap jumlah daun. Kemungkinan hal ini terjadi karena penyerapan tunas terhadap hormon yang diberikan belum maksimal. Sehingga sebagian besar tanaman tidak terbentuk daun.

Kombinasi konsentrasi BAP dan IAA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Tetapi jumlah daun sangat mempengaruhi jumlah dan panjang tunas yang terbentuk, yaitu berhubungan dengan proses fotosintesis dan penyerapan hormon BAP dan IAA. Makin banyak daun yang terbentuk maka semakin banyak dan panjang tunas yang tumbuh. Hal itu dikarenakan tunas yang tumbuh telah mampu mengolah makanan sendiri yang diperoleh dari hara mikro dan makro dari media, serta dengan bantuan cahaya yang cukup dapat membantu tunas yang telah berdaun melakukan fotosintesis. Selain itu penyerapan tunas terhadap hormon BAP dan IAA juga mempengaruhi banyaknya daun yang terbentuk. Makin tinggi penyerapan hormon oleh tunas, maka makin banyak daun yang terbentuk. Dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan waktu induksi tunas perlakuan A lebih cepat daripada perlakuan lainnya yaitu 14 hari, rata-rata jumlah tunas paling tinggi pada perlakuan A yaitu 1,62, dan rata-rata jumlah daun yang paling tinggi yaitu 1,73. Data ini menunjukkan bahwa penyerapan unsur hara makro dan proses fotosintesis lebih cepat terjadi dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Diduga pada perlakuan A sudah terjadi proses fotosintesis oleh daun, sehingga jumlah dan panjang tunas lebih besar dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D. Serta antara tunas dan unsur hara yang terkandung dalam media telah terjadi interaksi kimia yang membantu proses fotosintesis tersebut. Perbandingan konsentrasi BAP dan IAA juga mempengaruhi terbentuknya daun. Perbandingan BAP dan IAA pada perlakuan A berturut yaitu 1.0 ppm dan 0.5 ppm.

Perbandingan konsentrasi BAP dan IAA pada perlakuan A merupakan perbandingan hormon yang paling rendah. Dapat dikatakan, perbandingan hormon BAP dan IAA dengan konsentrasi rendah lebih mempengaruhi waktu induksi tunas, jumlah tunas, jumlah daun. Sebaliknya, konsentrasi BAP dan IAA yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan daun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Azwin (2007) pada tanaman Aquilaria malaccencis, semakin tinggi konsentrasi ZPT yang diberikan maka jumlah daun A. malaccencis yang dihasilkan semakin rendah. Penambahan ZPT yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ZPT pada media mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Panjang Tunas (mm)

Hasil analisis sidik ragam antara konsentrasi BAP dan IAA (Lampiran 5), menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi antara BAP dan IAA memberikan pengaruh nyata terhadap panjang tunas. Rataan panjang tunas tanaman gaharu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi BAP dan IAA terhadap Panjang Tunas Perlakuan Rataan Panjang Tunas (mm)* BAP 1.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (A)

BAP 1.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (B) BAP 2.0 ppm dan IAA 0.5 ppm (C) BAP 2.0 ppm dan IAA 1.0 ppm (D)

3,43a 0,00c 2,45b 1,73b

Panjang tunas tertinggi terdapat pada perlakuan A (3,43 mm) dan ada yang tidak tumbuh tunas yaitu pada perlakuan B. Pada perlakuan C dan D mempunyai panjang tunas masing-masing 2,45 mm dan 1,73 mm. Perlakuan A menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan B, C, dan D. Perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan A, C, dan D. Perlakuan C tidak berbeda nyata dengan perlakuan D,dan berbeda nyata dengan yang lainnya.

Perlakuan C dan D membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan tunas yaitu 21 hari, rataan jumlah tunas yang dihasilkan sedikit yaitu 1,41, dan tidak menghasilkan daun sama sekali. Tetapi perlakuan C dan D menunjukkan bahwa panjang tunas berturut-turut 2,45 mm dan 1,73 mm. Dapat dikatakan bahwa perlakuan C dan D mempunyai pengaruh yang rendah terhadap perlakuan, tetapi sangat memungkinkan terbentuknya tunas yang panjang. Ini dikarenakan oleh adanya penyerapan unsur-unsur hara yang terkandung pada media oleh tanaman sangat lambat. Diduga tanaman pada awalnya mengalami ketidaksesuaian lingkungan baru dan kombinasi konsentrasi hormon yang diberikan terlalu tinggi.

Dari data perlakuan B tidak terdapat panjang tunas. Perlakuan B juga tidak memberikan pengaruh terhadap waktu induksi tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian kombinasi konsentrasi hormon yang diberikan sehingga penyerapan hormon dan unsur hara media terhambat yang mengakibatkan terhambatnya proses pembelahan sel. Perbandingan panjang tunas pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan Panjang Tunas Masing-masing Perlakuan

Dari data perlakuan C dapat kita lihat bahwa konsentrasi BAP yang tinggi dan IAA yang rendah dengan mengakibatkan tunas yang tidak terlalu panjang. Sedangkan pada perlakuan D, konsentrasi BAP dan IAA sama-sama tinggi yang menyebakan tunas pendek. Dapat dikatakan bahwa makin tinggi konsentrasi BAP dan IAA yang diberikan pada media, maka panjang tunas yang dihasilkan semakin pendek. Sebaliknya pemberian konsentrasi BAP dan IAA yang rendah menyebabkan panjang tunas yang tinggi. Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Azwin (2007), bahwa konsentrasi BAP yang tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Herawan (2004), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas. Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan

A(1) B(2)

C(1) C(2) C(3) D(3)

tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan. Menurut Heddy (1986) hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim.

Dokumen terkait