• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Sampel darah yang diperiksa berjumlah 235 buah yang terdiri dari 93 sampel yang berasal dari Jakarta dan Banten, 63 sampel yang berasal dari Jawa Barat, 22 sampel dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Pemeriksaan kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukan bahwa jumlah anjing yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan prevalensi sebesar 7,7 % (gambar 6).

Gambar 6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis Berdasarkan hasil kuisoner frekuensi kunjungan ke dokter hewan, jumlah anjing yang berkunjung secara rutin ke dokter hewan sebanyak 69 ekor anjing (29.3%), 82 ekor anjing (34.8%) hanya berkunjung kalau sakit, sedangkan sisanya 84 ekor anjing (35.7%) tidak pernah diperiksakan oleh pemiliknya ke dokter hewan. Anjing yang diberikan obat cacing oleh pemiliknya sebanyak 99 ekor anjing (42.1%), sedangkan anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing oleh pemilik sebanyak 136 ekor anjing (57.8%). Obat cacing diberikan secara rutin pada 80 ekor anjing (34.%), sedangkan 19 ekor anjing (8,0%) lainnya diberi obat cacing apabila menunjukkan gejala kecacingan. Sebanyak 136 ekor anjing (57%) tidak pernah diberikan obat cacing.

Sebagian besar anjing diobati dengan Pyrantel Pamoat (85 ekor/36%), atau Pyrantel yang dikombinasi dengan Praziquantel dan Febantel (6 ekor/3%) anjing. Hanya (7 ekor/3%) anjing yang diobati dengan Mebendazol, sedangkan Ivermectin (3 ekor/1%) anjing dan sisanya (136 ekor/57%) tidak diobati dengan obat cacing (gambar 7).

Gambar 7 Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing

Hasil analisis Chi kuadrat menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat cacing memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksiD. immitis pada anjing, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksiD. immitispada anjing (P <0.05). Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.

pyrantel 36% Pyrantel + Praziquantel+fe bantel 3% tidak diobati 57% mebendazole 3% Ivermectin 1% pyrantel mebendazole Ivermectin tidak diobati Pyrantel + Praziquantel+febantel

Tabel 1 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan

Manajemen kesehatan Chi kuadrat hitung nilai-P

Frekuensi kunjungan ke Dokter hewan 7.796 0.020*

Pemberian obat cacing 10.026 0.040*

Frekuensi pemberian obat cacing 4.480 0.106

Keterangan : * signifikan pada taraf 5%

Hasil analisis regresi logistik terhadap berbagai faktor risiko dirofililariasis yang terkait dengan manajemen kesehatan anjing dapat dilihat pada Tabel 2. Anjing yang tidak pernah diperiksakan ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 3,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang secara rutin diperiksakan ke dokter hewan. Anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.

Tabel 2 Tingkat infeksi dan nilai Odds Ratio dari masing-masing faktor manajemen kesehatan.

Anjing positif Anjing negatif Odds

Ratio 95% CL Faktor Resiko Total anjing (n) Jumlah (ekor) (%) Jumlah (ekor) (%) Frekuensi ke Dokter hewan Rutin 69 3 3.7 66 95.6 Tidak rutin 82 3 5.5 79 96.3 0.8 0.163-4.278 Tidak pernah 84 12 11.8 72 85.7 3.6* 0.991-13.569 Pemberian obat cacing

Pernah 99 6 6 87 37.0

Tidak pernah 136 12 8.8 130 55.3 0.3 0.543-4.144 Keterangan : * signifikan pada taraf 5%

Pembahasan

Pemeriksaan kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukkan bahwa jumlah anjing yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan prevalensi sebesar 7,7 %. Nilai prevalensi ini terlihat lebih tinggi dari persentasi jumlah anjing positif mikrofilaremia yang dilaporkan oleh Karmil (2002) dari lokasi yang sama di Jawa Barat (Kabupaten Bogor) dan Bali (Denpasar, Gianyar Karangasem, Badung dan Klungkung) yaitu 5,1 %. Perbedaan nilai prevalensi ini disebabkan oleh perbedaan jenis metode pemeriksaan yang digunakan dalam kedua penelitian.The Modified Knotts Test dan diagnosa klinik adalah metode yang dipergunakan oleh Karmil (2002) untuk mendeteksi dirofilariasis, sedangkan penelitian ini mempergunakan ELISA deteksi antigen. Hasil ini menunjukkan bahwa metode ELISA deteksi antigen cacing jantung lebih sensitif dibandingkan dengan metode Knotts dan diagnosa klinis. Antibodi monoklonal yang digunakan untuk mengidentifikasi dua epitop yang diduga sebagai glikoprotein yang dimiliki bersama oleh dua antigen yang beredar dari cacing dewasa terutama uterus cacing dan telur (Weilet al 1985). Antigenisitas kedua epitop tersebut bersifat spesies spesifik, tidak terdeteksi pada anjing yang tidak terinfeksi dan tidak bereaksi silang dengan D. reconditum. Antigenemia akan terdeteksi pertama kali 6 bulan setelah infeksi dan tetap stabil selama 9-12 bulan (Hutchinson 1995). Keuntungan dari tes ELISA deteksi antigen D. immitis antara lain memberikan informasi tentang jumlah cacing yang berkorelasi dengan potensi terjadinya thrombus atau thromboemboli. Meskipun demikian tes ini tidak dapat mendeteksi jumlah cacing yang rendah atau cacing yang belum dewasa karena kurangnya kadar antigen yang dapat terdeteksi (Atwell 1988). Sebaliknya metode Knotts baru dapat mendeteksi infeksi apabila cacing telah bereproduksi dengan menghasilkan mikrofilaria yang beredar dalam sirkulasi darah. Biasanya D. immitis baru dapat terdeteksi sekurang-kurangnya 6-7 bulan setelah infeksi terjadi atau yang biasanya disebut masa pre paten (Lok 1988). Occult infection(Amikrofilaremik) adalah suatu keadaan dimana cacing jantung yang telah mengalami dewasa kelamin tetapi pada saat pemeriksaan tidak terdapat mirofilaria di dalam darah. Hal ini bisa saja terjadi karena (1) mikrofilaria yang diproduksi oleh cacing yang telah dewasa kelamin dieliminasi oleh sistem pertahanan tubuh, (2) hanya ada cacing dari satu jenis kelamin (jantan atau cacing betina saja) yang

terdapat dalam darah sehingga tidak mampu bereproduksi untuk menghasilkan mikrofilaria (American Heartworm Society 2008).

Prevalensi kejadian dirofilariasis bervariasi antara wilayah pemeriksaan. Kasus terendah terdapat di wilayah Jawa Tengah yaitu 1 ekor (0,42 %) sedangkan kasus tertinggi di wilayah Jawa Barat yaitu 10 ekor (4,2%). Tingkat kejadian di Jawa Barat dan Bali lebih tinggi bila dibandingkan dengan kejadian di wilayah Jakarta-Banten dan Jawa Tengah. Hal ini diduga terjadi akibat interaksi dua faktor kunci dalam infeksi yaitu populasi hewan yang terinfeksi dan hewan yang rentan, serta tingginya populasi dan keberagaman nyamuk yang menjadi inang antara D. immitis. Banyaknya anjing liar yang terdapat di Bali dan baik di Jawa Barat terutama di Kabupaten Sukabumi diduga menjadi sumber infeksi bagi anjing peliharaan yang terdapat di wilayah tersebut (Satrija et al. 2008). Jenis jenis nyamuk yang dapat berfungsi sebagai vektor biologis D. immitis adalah Armigeres subalbatus, Culex quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus and Cx. tritaeniorhynchus. Dari berbagai spesies nyamuk tersebut, hanya Culex quinquefasciatus yang bersifat infektif karena mengandung larva stadium III yang siap menulari inang lain. Tiga nyamuk lain tidak infektif, karena hanya mengandung larva stadium I dan II di dalam saluran Malphighi (Hadi 1999). Pengamatan di lapangan menujukkan bahwa anjing anjing yang terdapat di wilayah Jawa Barat kurang memperhatikan manajemen pemeliharaan anjing karena membiarkan anjing di lingkungan terbuka sehingga risiko keterpaparan vektor tinggi.

Manajemen kesehatan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemeliharaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anjing yang tidak pernah diperiksakan ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi cacing jantung lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang secara rutin kesehatannya diperiksa oleh dokter hewan. Anjing yang diperiksa ke dokter hewan akan mendapatkan pemeriksaan status kesehatan, pemberian vaksinasi dan pengobatan apabila positif menderita suatu penyakit. Anjing yang memiliki kesehatan yang baik akan memiliki daya tahan tubuh untuk menghentikan infeksi D. immitis. Infeksi cacing dalam tubuh akan merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi IgM, IgG, IgA sebagai respon tanggap kebal. Makrofag berikatan dengan larva cacing melalui jalur yang diperantarai oleh IgE untuk dapat menghancurkannya. IgE juga memperantarai sel

mast dan menginduksi pelepasan faktor anafilaksis kemotaksis eosinofil untuk memobilisasi cadangan eosinofil dalam jumlah besar dalam sirkulasi (Tizard 1982 ; Ronald 1982).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa pemberian obat cacing terhadap anjing yang terdapat di wilayah studi tidak menurunkan tingkat kejadian dirofilariasis. Fenomena ini terkait dengan jenis obat cacing yang diberikan. Kecuali Ivermectin, semua antelmintika yang diberikan tidak memiliki kasiat terhadap cacing jantung. Menurut Jones (1977) Pyrantel adalah antelmintika yang efektif terhadap cacing tambang (Ancylostoma spp) dan cacing gelang (Toxocara canis ). Pyrantel dan Praziquantel berfungsi untuk membunuh Nematoda dan cacing pita sedangkan Fenbantel efektif untuk membunuh cacing Nematoda yang terdapat di saluran pencernaan (Adam 2001). Kombinasi Pyrantel, Praziquantel dan Fenbantel merupakan jenis antelmintika kombinasi yang diberikan kepada anjing. Kombinasi ketiga jenis antelmintika ini biasanya akan saling melengkapi fungsi masing-masing agar memiliki aktivitas yang sinergis serta menambah efek kerja dari obat tersebut. Mebendazole merupakan antelmintika golongan Benzimidazole yang efektif membunuh cacing Nematoda dan cacing pita tapi sedikit memiliki aktivitas antifilaria. Ivermectin antelmintika yang biasanya diberikan sebagai mikrofilarisida dan kemopropilaksis terhadap infeksi cacing jantung. Jenis antelmintika ini berasal dari golongan senyawa Macrocylic Lacton yang bersifat GABA agonist menyebabkan paralisis dan kematian cacing. Meskipun demikian penggunaan Ivermectin harus berhati-hati karena antelmintika ini memiliki toksisitas yang tinggi pada anjing-anjing tertentu yang sensitif terhadap senyawa tersebut misalnya anjing ras Collie (Adam 2001).

Pemberian antelmintika kepada anjing berhubungan dengan pencegahan penyakit yakni sebagai tindakan kemoprofilaksis. Pemberian obat cacing yang teratur dapat membunuh cacing yang terdapat di dalam tubuh. Suatu derajat infeksi dirofilariasis akan tinggi di suatu tempat dapat ditentukan oleh manajemen kesehatan anjing, program pengendalian kecacingan dan pemberian obat cacing. Pengobatan rutin sebagai langkah kemoprofilaksis untuk melindungi anjing dari penyakit. Menurut Foreyt (2001) treatment kemoprofilaksis yang diberikan kepada anjing yang terinfeksi D. immitis adalah Dietilcarbamazine 1,2 mg/kg sehari selama

musim nyamuk tinggi di wilayah tersebut, Ivermectin 0,006 mg/kg secara peroral setiap hari selama satu bulan, Milbemycine oxime 0,5 mg/kg secara peroral setiap hari selama sebulan, Moxidectine 0,03 mg/kg secara peroral setiap hari selama sebulan dan Selamectin 6-12 mg/kg secara topikal setiap hari selama sebulan.

Infeksi cacing saluran pencernaan merupakan masalah lain yang sering ditemukan pada anjing peliharaan di Indonesia. Ancylostoma caninum adalah salah satu cacing Nematoda saluran pencernaan yang sering menginfeksi anjing peliharaan di wilayah Cibinong-Bogor (Samosir 2008). Kondisi serupa juga diamati oleh Sunandar (2003) di Rumah Sakit Hewan Jakarta dimana sebanyak 289 ekor/ (59%) dari 491 ekor anjing yang diperiksa dari tahun 1999-2000 positif terinfeksi Ancylostoma spp. Pemeriksaan kecacingan pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun 1999 juga menunjukkan bahwa sebanyak 74 ekor/45,3% anjing ras, 50 ekor/30,7% jenis campuran dan 39 ekor/23,9% anjing lokal mengalami Toxocariosis (Supriyadi 2003). Oleh karena itu pengendalian kecacingan pada anjing harus memadukan penggunaan antelmintika yang memiliki efikasi terhadap cacing parasit di saluran pencernaan seperti Pyrantel pamoat, Dichlorvos, Mebendazole, Fenbendazole dan Febantel, dengan antelmintika dengan khasiat mikrofilarisida seperti Levamisole, Milbemycine, Ivermectin untuk mencegah cacing jantung (Sunandar 2003; Foreyt 2001).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Prevalensi kejadian dirofilariasis di Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali adalah 7.7 %.

2. Terdapat keterkaitan yang nyata antara tingkat kejadian infeksi D. immitis dengan frekuensi kunjungan anjing ke dokter hewan dan pemberian obat cacing oleh pemilik anjing. Frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki keterkaitan nyata dengan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing peliharaan di wilayah studi.

3. Anjing yang tidak pernah diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 3.6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan.

Saran

1. Pemilik anjing disarankan memeriksakan anjing yang telah berusia di atas enam bulan secara rutin kepada dokter hewan minimal setahun dua kali. 2. Daerah daerah yang endemis disarankan untuk dilakukan tindakan

pemberian filarisidal yng dikombinasikan dengan antelmintika saluran pencernaan untuk mencegah kecacingan pada anjing peliharaan.

3. Pengendalian nyamuk sebagai vektor yang memiliki potensi sebagai sebagai agen penularan penyakit dirofilariasis.

Dokumen terkait