• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infeksi Cacing Jantung Pada Anjing Di Beberapa Wilayah Pulau Jawa Dan Bali : Faktor Risiko Terkait Dengan Manajemen Kesehatan Anjing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infeksi Cacing Jantung Pada Anjing Di Beberapa Wilayah Pulau Jawa Dan Bali : Faktor Risiko Terkait Dengan Manajemen Kesehatan Anjing"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

FITRIAWATI. Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing. Dibimbing oleh Drh. Fadjar Satrija MSc.Ph.D

Penelitian ini bertujuan mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor risiko terkait manajemen kesehatan hewan kecacingan terhadap kejadian infeksi cacing jantung Dirofilaria immitis pada anjing yang terdapat di beberapa lokasi di Pulau Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di klinik dokter hewan, rumah sakit hewan, di daerah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2007. Sampel darah tersebut kemudian diperiksa dengan menggunakan uji ELISA deteksi antigen. Informasi mengenai manajemen kesehatan hewan terhadap kecacingan diperoleh dari kuisoner yang diberikan kepada pemilik anjing. Anjing yang positif sebanyak 18 ekor (7,7) dari 235 sampel yang diperiksa. Prevalensi tertinggi terdapat di wilayah Jawa Barat (4,2%) dan terendah di wilayah Jawa Tengah (0,42 %). Berdasarkan analisis Chi-square frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat cacing mempengaruhi kejadian dirofilariasis, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak mempengaruhi kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 3,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan. Anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 0,3 kali lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.

(3)

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA

WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO

TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul skripsi : Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing

Nama : Fitriawati NRP : B04104135

Disetujui Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D NIP 131 760 846

Diketahui, Wakil Dekan

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan cintaNya yang selalu tercurah setiap saat sehingga skripsi dengan judul Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing berhasil diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D atas bimbingannya, saran, dan bantuannya, Dr. drh. Agustin Indrawati, M Biomed sebagai dosen pembimbing akademik atas nasehat dan perhatiannya, drh Yusuf Ridwan yang telah membantu penelitian ini, serta Ir Etih Sudarnika, MSi atas bantuannya dan drh Chaerul Basri selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih kepada Staf Bagian Parasitologi dan Laboratorium Helmintologi, bapak-bapak satpam, serta seluruh civitas FKH IPB. Dokter dokter hewan dan para medis yang telah membantu penelitian ini.

Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta yang tak pernah putus doa, kasih sayang dan doa untuk anaknya serta dukungan materi untuk menyelesaikan amanah belajar ini. Pemerintah daerah, rakyat kabupaten Alor yang telah memberikan dukungan, doa dan kepercayaan untuk mengemban amanah belajar ini. Keluarga di Kupang dan keluarga di Bogor atas doa serta semangat yang diberikan. Teman teman sepenelitian Dirofilariasis Rita dan Laurensius. Teman-teman di kosan perwira 46, Kru DPRA bajay, adik-adik di Laz Al Huriyyah, DPM FKH IPB, DKM An Nahl, Asteroidea 41 serta kakak- kakak angkatan 40, 39, 38, 37 dn 36 dan adik-adik angkatan, 42, 43, 44 dan 45. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Bogor, Februari 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Alor pada tanggal 17 Maret 1985. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Syamsul Bahri dan Ibu Kasiani Sadimin.

Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar di SD Islam Cokro Aminoto Kalabahi (1993 -1998), Pendidikan menegah dilanjutkan di SLTP N 1 Kalabahi (1998-2001), dan dilanjutkan di SMUN 1 Kalabahi pada tahun (2001-2004), penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2004.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN... iv

PENDAHULUAN... 1

Latar belakang... 2

Tujuan penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 3

Klasifikasi... 3

Morfologi Dirofilaria immitis... 4

Siklus hidup dan vektorDirofilaria immitis... 5

Patogenesa... 6

Gejala klinis dan Diagnosa... 7

Prognosa... 8

Pencegahan dan pengobatan... 8

ELISA untuk deteksi antigen... 10

Gambaran umum tentang anjing... 10

Manajemen Kesehatan anjing... 11

BAHAN DAN METODE... 14

Tempat dan waktu penelitian... 14

Metode penelitian... 14

Analisis statistik... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

Hasil... 18

Pembahasan. ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

DAFTAR PUSTAKA... 26

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan... 17

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Cacing dewasa di dalam jantung anjing... 4

2. Siklus hidupDirofilaria immitis... 5

3.Culex quinquefasciatus... 6

4. Contoh obat cacing untuk cacing jantung... 10

5. Hasil pemeriksaan ELISA positifD. immitis dan negatif... 17

6. Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis... 18

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

FITRIAWATI. Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing. Dibimbing oleh Drh. Fadjar Satrija MSc.Ph.D

Penelitian ini bertujuan mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor risiko terkait manajemen kesehatan hewan kecacingan terhadap kejadian infeksi cacing jantung Dirofilaria immitis pada anjing yang terdapat di beberapa lokasi di Pulau Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di klinik dokter hewan, rumah sakit hewan, di daerah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2007. Sampel darah tersebut kemudian diperiksa dengan menggunakan uji ELISA deteksi antigen. Informasi mengenai manajemen kesehatan hewan terhadap kecacingan diperoleh dari kuisoner yang diberikan kepada pemilik anjing. Anjing yang positif sebanyak 18 ekor (7,7) dari 235 sampel yang diperiksa. Prevalensi tertinggi terdapat di wilayah Jawa Barat (4,2%) dan terendah di wilayah Jawa Tengah (0,42 %). Berdasarkan analisis Chi-square frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat cacing mempengaruhi kejadian dirofilariasis, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak mempengaruhi kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 3,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan. Anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 0,3 kali lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.

(13)

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA

WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO

TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING

FITRIAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Judul skripsi : Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing

Nama : Fitriawati NRP : B04104135

Disetujui Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D NIP 131 760 846

Diketahui, Wakil Dekan

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan cintaNya yang selalu tercurah setiap saat sehingga skripsi dengan judul Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing berhasil diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D atas bimbingannya, saran, dan bantuannya, Dr. drh. Agustin Indrawati, M Biomed sebagai dosen pembimbing akademik atas nasehat dan perhatiannya, drh Yusuf Ridwan yang telah membantu penelitian ini, serta Ir Etih Sudarnika, MSi atas bantuannya dan drh Chaerul Basri selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih kepada Staf Bagian Parasitologi dan Laboratorium Helmintologi, bapak-bapak satpam, serta seluruh civitas FKH IPB. Dokter dokter hewan dan para medis yang telah membantu penelitian ini.

Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta yang tak pernah putus doa, kasih sayang dan doa untuk anaknya serta dukungan materi untuk menyelesaikan amanah belajar ini. Pemerintah daerah, rakyat kabupaten Alor yang telah memberikan dukungan, doa dan kepercayaan untuk mengemban amanah belajar ini. Keluarga di Kupang dan keluarga di Bogor atas doa serta semangat yang diberikan. Teman teman sepenelitian Dirofilariasis Rita dan Laurensius. Teman-teman di kosan perwira 46, Kru DPRA bajay, adik-adik di Laz Al Huriyyah, DPM FKH IPB, DKM An Nahl, Asteroidea 41 serta kakak- kakak angkatan 40, 39, 38, 37 dn 36 dan adik-adik angkatan, 42, 43, 44 dan 45. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Bogor, Februari 2009

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Alor pada tanggal 17 Maret 1985. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Syamsul Bahri dan Ibu Kasiani Sadimin.

Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar di SD Islam Cokro Aminoto Kalabahi (1993 -1998), Pendidikan menegah dilanjutkan di SLTP N 1 Kalabahi (1998-2001), dan dilanjutkan di SMUN 1 Kalabahi pada tahun (2001-2004), penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2004.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN... iv

PENDAHULUAN... 1

Latar belakang... 2

Tujuan penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 3

Klasifikasi... 3

Morfologi Dirofilaria immitis... 4

Siklus hidup dan vektorDirofilaria immitis... 5

Patogenesa... 6

Gejala klinis dan Diagnosa... 7

Prognosa... 8

Pencegahan dan pengobatan... 8

ELISA untuk deteksi antigen... 10

Gambaran umum tentang anjing... 10

Manajemen Kesehatan anjing... 11

BAHAN DAN METODE... 14

Tempat dan waktu penelitian... 14

Metode penelitian... 14

Analisis statistik... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

Hasil... 18

Pembahasan. ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

DAFTAR PUSTAKA... 26

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan... 17

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Cacing dewasa di dalam jantung anjing... 4

2. Siklus hidupDirofilaria immitis... 5

3.Culex quinquefasciatus... 6

4. Contoh obat cacing untuk cacing jantung... 10

5. Hasil pemeriksaan ELISA positifD. immitis dan negatif... 17

6. Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis... 18

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi sebagai hewan kesayangan dan membantu manusia untuk melaksanakan berbagai pekerjaan seperti penjaga, pelacak atau penggembala ternak (Darmojono 2003). Hal ini menyebabkan anjing memiliki tingkat kedekatan yang sangat tinggi dengan manusia. Oleh karena itu menjaga kesehatan hewan kesayangan bukan hanya untuk kesejahteraan hewan atau wujud dari rasa sayang pada hewan, melainkan juga penting untuk menghindarkan manusia dari kemungkinan penularan penyakit yang dibawa oleh anjing.

Zoonosis adalah penyakit yang secara alamiah ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Salah satu penyakit zoonosa yang ditularkan oleh anjing ke manusia adalah penyakit cacing jantung yang disebabkan oleh cacingDirofilaria immitis. Cacing ini dapat menginfeksi dan berakibat fatal pada anjing, kucing, rubah, dan karnivora lainnya. Cacing ini ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis Jones et al. (1993). Penularan cacing D. immitis terjadi melalui penularan vektor nyamuk. Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian telah diketahui bahwa Ae. aegypti, Ae. albopictus, Ar. subalbatus dan Cx. quinquefasciatus dapat menjadi vektor D. Immitis (Karmil 1996). Menurut Subronto (2006) anjing yang terinfeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik dan akan terlihat jika sudah kronis. Derajat infeksi pada manusia akan menjadi tinggi jika di wilayah tersebut kejadian pada anjing pun tinggi.

(22)

Pengobatan anjing penderita dirofilariasis tergolong relatif mahal dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Levamisole dan Ivermectin adalah obat yang mampu melawan mikrofilaria di anjing (Jackson 1972). Dietilcarbamazine juga daapa digunakan sebagai kemoprofilaksis pada anjing yang terinfeksi cacing jantung (Plumb 2004). Namun disisi lain pemberian antelmintika kepada anjing yang terinfeksi terkadang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya tromboemboli yang dapat menyumbat pembuluh darah sehingga menimbulkan kematian pada anjing (Kelly 1977).

Mengingat bahaya dan akibat dari penyakit ini, maka pencegahan penyakit cacing jantung merupakan langkah yang tepat dan lebih efekif untuk mengurangi resiko penularan cacing jantung kepada anjing. Agar tindakan pencegahan ini berjalan efektif perlu dipelajari berbagai faktor risiko yang terkait dengan manajemen kesehatan hewan.

Tujuan

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi

Klasifikasi cacing jantung (Dirofilaria immitis) menurut Kelly (1977) adalah sebagai berikut :

Kelas : Nematoda Subordo : Spirurata Superfamili : Filarioidea Famili : Filariidae Genus : Dirofilaria

Spesies : Dirofilaria immitis

Morfologi

Dirofilaria immitis

Dirofilaria immitisdewasa berbentuk bulat, panjang, langsing berwarna putih. Cacing jantan panjangnya 12-18 cm, sedangkan betina memiliki panjang 25-30 cm. Lapisan kutikula cacing dewasa sangat tebal dan terlihat perbedaan ciri morfologis yang spesifik. Ekstremitas anterior berbentuk bulat, tidak memiliki bibir, mulut sangat kecil, dan dikelilingi oleh 6 buah papila inskonspikus. Usofagus relatif pendek (1,25 -1,50 mm) dan terbagi menjadi dua bagian yaitu : bagian otot di anterior dan kelenjar (glandula) posterior. Pada ujung posterior menyerupai spiral, memiliki alae lateral kecil dan tumpul. Umumnya terdapat 7 pasang papila dan 6 di antaranya terdapat di bagian post -anal. Spikulumnya tidak sama besar, dan tidak terdapat gubernakulum. Spikula kanan dan kiri panjangnya masing-masing 0,37 mm dan 0,23 mm. Cacing betina bersifat vivipar, kemudian pada bagian ujung anterior terdapat vulva atau dekat ekstrmitas posterior oesofagus (Kelly 1977; Levine 1990).

(24)

Gambar 1 Cacing dewasa di jantung anjing Sumber :www.stanford.edu//Dirofilariasis/Home.htm

Siklus hidup dan vektor

Dirofilaria immitis

(25)

stadium kedua akan menyilih menjadi larva stadium ketiga (800 m) yang infektif pada hari ke tiga belas. Kemudian larva akan bermigrasi ke arah dada dan kepala kemudian masuk ke probosis nyamuk. Perkembangan nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu temperatur dan kelembaban lingkungan tempat nyamuk berkembangbiak (Kelly 1977).

Gambar 2 Siklus Cacing Jantung(Dirofilaria immitis)

Sumber : http://www.caminoanimalclinic.com/articles/heartworm.html

(26)

Cacing jantung menginfeksi inangnya dengan perantara nyamuk sebagai vektor. Nyamuk yang telah mengandung larva cacing akan mengisap darah anjing yang terinfeksi. Kemudian nyamuk akan meginfeksi anjing yang sehat ketika mengisap darah. Empat spesies nyamuk yang ditangkap di Bogor yang terinfeksi larva D. immitis yaitu Armigeres subalbatus, Culex quinquefasciatus, Culex fuscocephalusdan Culex tritaeniorhynchus (Hadi 1999). Nyamuk berperan sebagai vektor biologis karena terjadi fase perkembangan di dalam tubuh nyamuk dari mikrofilaria stadium satu menjadi stadium tiga/larva infektif (Nayar dan Rutldge 1990).

Gambar 3 NyamukCulex quinquefasciatus Sumber : www.arbovirus.health.nsw.gov.au

Patogenesa

(27)

darah balik berakibat pada gangguan hati, dan lebih lanjut terjadinya ascites (Subronto 2006).

Gejala klinis dan Diagnosa

Cacing dewasa Dirofilaria immitis ditemukan di ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Pada keadaan tertentu cacing dewasa ini juga bisa ditemukan di luar sistem pembuluh darah misalnya ruang peritoneum, bronkhus, otak, mata dan jaringan-jaringan lainnya (Kelly 1977). Cacing ini dijumpai pada ventrikel kanan dan arteri pulmonum (kadang-kadang pada beberapa lokasi lain seperti kamar mata depan dan rongga peritoneum) anjing dan kucing, rubah, karnivora lain, primata (termasuk manusia) dan singa laut di seluruh manusia, meskipun demikian tampak jarang di Afrika (Soulsby 1982).

Anjing yang terifeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik. Gejala klinis akan terlihat jika pada stadium kronis. Penderita kehilangan berat badan secara progresif. Hewan cepat lelah setelah beraktifitas yang tidak berat, diikuti batuk dan dyspnoe. Suhu tubuh normal atau mengalami kenaikan karena proses radang antara lain dari paru-paru. Busung terjadi karena lambatnya pengaliran darah disertai dengan hipoproteinemia. Gangguan sirkulasi terlihat juga dari selaput lendir mata yang mengalami sianotik. Gejala klinis yang terlihat kelelahan dalamexercise, batuk, oedema, ascites, gagal jantung dan kematian pada anjing-anjing yang terinfeksi ini tersebar dan endemis di daerah tropis, subtropis dan wilayah yang beriklim panas di dunia (Haddock 1987; Subronto 2006).

(28)

Prognosa

Prognosis dirofilariasis adalah merupakan dilema yang berat sebab fakta di lapangan menunjukan bahwa : (1) pada kebanyakan kasus dirofilariasis yang kronis, jumlah cacing dewasa di dalam jantung dan arteri pulmonalis lebih dari 100 ekor dan maksimum mikrofilaremik lebih dari 2 juta mf/cc darah, ternyata masih mampu hidup sampai 12 tahun tanpa terjadi obstruksi dan kolaps, (2) pada kasus dirofilariasis yang ringan dan hanya ditemukan 5 ekor cacing dewasa dengan angka maksimum mikrofilaremik sekitar 1000 mf/cc darah, ternyata mati karena caval syndrome. Prognosa dirofilariasis dari dubius hingga fausta. Kasus dirofilariasis kronis sering menimbulkan tromboemboli sampai dengan pneumonia tromboemboli dan syok pulmonum. Pada kasus dirofilariasis sering diiringi oleh kegagalan ginjal, sehingga terapi dengan adultisidal dari kelompok preparat arsenik menjadi problematik (Rawlingset al.,1993; Ettinger 1989diacu dalam Karmil 2002).

Pengobatan dan Pencegahan

Pasien yang terinfeksi dirofilariasis yang akan diberikan terapi sebelumnya harus didahului dengan evaluasi secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urine, radiografi, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal berkaitan dengan efek toksik dari Thiacertasamide. Pasien yang terinfeksi cacing jantung dapat dibagi dalam kelompok : (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati tetapi dengan syarat dirawat secara intensif (Karmil 2002).

Pemberian antelmintika kepada hewan sebaiknya benar-benar memperhatikan jenis, dosis dan efek samping yang ditimbulkan setelah diberikan kepada hewan. Menurut Brander et al. (1994) bahwa syarat antelmintika yang baik adalah memiliki indeks terapeutik yang luas, broad spektrum yaitu aktivitas yang dapat melawan larva dan cacing dewasa pada semua kelas parasit untuk kepentingan patogenik, zoonosis dan ekonomi, waktu hilangnya residu relatif singkat di susu atau jaringan jika diberikan kepada ternak, tidak menimbulkan efek samping, dan harganya terjangkau.

(29)

tromboemboli karena cacing dapat membentuk trombus yang mampu menyumbat kapiler dan pembuluh darah besar lainnya (Subronto 1996).

Berdasarkan rekomendasi dari AVMA Council on Veterinary Service mengenai langkah-langkah yang dilakukan untuk meghilangkan cacing jantung dimulai dengan menghilangkan cacing dewasa, kemudian menghilangkan mikrofilaria dan tindakan pencegahan untuk mencegah terinfeksi ulang. Senyawa Thiacertamide dengan dosis 2,2 mg/kg 2 kali selama 2-4 hari secara intra vena. Senyawa ini mampu membunuh cacing dewasa efek samping obat ini dapat menyebabkan keracunan pada anjing sehingga harus benar-benar diperhatikan ketika dalam melakukan pemberian obat ini. Jenis antelmintika yang juga biasanya diberikan adalah Levamisole, Ivermectin dan Dietilcarbamazine (Jones 1977).

Levamisole adalah salah satu jenis obat cacing yang telah digunakan pada anjing yang terinfeksi cacing jantung. Levamisole berfungsi untuk membunuh mikrofilaria dan cacing jantung yang dewasa pada anjing yang terinfeksi. Dosis Levamisole yang digunakan adalah 5,5 mg/kg diberikan dua kali sehari (Adams 2001; Jackson 1972; Plumb 2004)

Ivermectin termasuk salah satu obat yang dipergunakan dalam mencegah infeksi cacing jantung pada anjing. Ivermectin merupakan derivat Avermectin yang berasal dari kelompok senyawa lakton makrosiklik yang berasal dari produk biologik oleh Cendawan tanah Streptomyces avermilitis. Ivermectin bekerja dengan cara menghambat Gama Amino Butyric Acid (GABA) dari sinaps pada sistem saraf parasit (Subronto 2004; Adams 2001; Plumb 2004).

(30)

Selain itu Dietilcarbamazine juga merupakan obat sebagai propilaksis pada anjing yang terinfeksi cacing jantung. Pemberian jenis obat ini dilakukan selama musim hujan ketika jumlah populasi nyamuk meningkat. Dietilcarbamazine biasanya digunakan untuk pencegahan dirofilariasis pada saat larva infektif (L3) tetapi tidak dapat menghilangkan mikrofilaria ( Plumb 2004; Foreyt 2001 dan Jones et al. 1977).

ELISA untuk Deteksi Antigen

ELISA Deteksi Antigen merupakan salah satu cara mendiagnosa anjing yang terinfeksi cacing jantung dengan menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan antigen dari cacing jantung dewasa. Keberadaan antigen D. immitis akan diindikasikan dengan perubahan warna. ELISA Deteksi Antigen memiliki sensitifitas dan spesifikasi untuk menunjukkan keberadaan cacing dewasa dari cacing jantung. Serum atau plasma digunakan sebagai reagen. Kontrol positif dan negatif sebagai kontrol terhadap sampel serum untuk menguatkan hasil uji. Keberadaan antigen akan ditunjukan dengan warna biru (Rawlings 1986). ELISA dan Imunokromatografik merupakan uji yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antigen yaitu cacing jantung. Uji ini sangat berguna secara klinik karena memiliki kemampuan sensitifitas dan spesifikasi yang tinggi terhadap antigen yang diuji (Nelson et al. 2005).

Gambaran umum tentang anjing

(31)

Menurut American Kennel Club, organisasi anjing ras pilihan di Amerika Serikat, ras anjing digolongkan dalam 5 kelas berdasarkan ukuran, penampilan dan tingkah laku yaitu :Sporting Class, Hound Class, Working Class, Terrier Class, dan Toy Class.Anjing-anjing yang tergolong ke dalam kelas ini Sporting Class ini untuk tujuan olah raga seperti berburu atau kegiatan lapangan lainnya. Salah satu contohnya adalah anjing Golden Retriver. Hound Class adalah anjing-anjing yang termasuk dalam kategori anjing-anjing pemburu unggulan. Berbeda denganSporting Class adalah golonganHound memiliki insting untuk berburu dan lebih untuk olah raga atau permainan. Insting yang dimiliki tidak menjadikan anjing-anjing tersebut tergolong anjing-anjing yang ganas karena hewan hewan yang diburu umumnya tergolong yang dapat merugikan manusia sehingga biasanya. Working tergolong dalam kelas anjing-anjing yang biasanya dipelihara untuk membantu pekerjaan manusia karena kekuatan dan stamina yang dimiliki seperti menarik kereta salju, melacak narkoba, dan lain-lain. Salah satu contoh anjing dari kelas ini adalah Rottweiler. Terrier Class memiliki tubuh yang kecil, sifat yang energik dan yang mampu membuat ceria suasana. Salah satunya contonya adalah Irish Terrier. Toy Class memiliki tubuh yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan anjing-anjing ras lainnya. Anjing anjing yang tergolong ke dalam kelas ini salah satunya adalah Chihuahua (Tatsumaki 2002).

Manajemen Kesehatan Anjing

Manajemen kesehatan anjing merupakan salah satu bagian dari manajemen pemeliharan yang penting untuk diperhatikan oleh pemilik anjing. Manajemen pemeliharaan harus dapat memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (Animal Welfare). Lima aspek kesejahteraan hewan yang terdiri dari (1) bebas dari rasa lapar dan haus; (2) bebas dari rasa ketidaknyamanan; (3) bebas dari rasa sakit, terluka dan penyakit; (4) bebas dari rasa takut dan stress; (5) bebas dalam mengekspresikan tingkah laku alami (Gregory 2003).

(32)

anjing secara rutin ke dokter hewan, pemberian vaksinasi, pengendalian baik endoparasit, maupun ektoparasit, pemberian vitamin serta pemberian makanan/diet dengan gizi yang cukup. Pemeriksaan kesehatan anjing ke dokter hewan dapat dilakukan sekali dalam sebulan. Pemeriksaan kesehatan anjing secara periodik sangat membantu untuk mengetahui kondisi kesehatan dari waktu ke waktu, serta untuk mencegah terjadinya penyakit yang berbahaya karena terlambat terdeteksi lebih awal. Penurunan agresifitas dan nafsu makan dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi gangguan pada kondisi tubuh (Tatsumaki 2002).

Kebiasaan anjing yang memasukkan apa saja ke dalam mulut membuat mudah masuk ke dalam tubuh Selain itu sanitasi yang buruk juga dapat menyebabkan infeksi kecacingan. Bentuk cacing yang masuk ke dalam tubuh biasanya masih dalam bentuk telur cacing atau larva. Anak anjing biasanya lebih rentan terinfeksi kecacingan bila dibandingkan dengan anjing dewasa. Hal ini terkait dengan sistem kekebalan tubuh (Tatsumaki 2002). Pemberian obat cacing kepada anak anjing biasanya dilakukan sejak anjing berusia satu bulan sedangkan anjing yang dewasa sejak berusia 3 bulan

(

Samosir 2008).

Pengendalian parasit eksternal yakni jamur, tungau dan kutu dapat dilakukan dengan perawatan anjing seperti grooming. Grooming dapat dilakukan sendiri di rumah atau ke salon hewan yang terdekat. Pelayanan grooming di salon hewan biasanya menawarkan pelayanan memandikan anjing dengan berbagai jenis mandi sesuai dengan kebutuhan, manicure, potong rambut, massage atau pijat refleksi (Tatsumaki 2002).

Manajemen pakan terkait dengan diet sehari hari sehingga merupakan hal yang tidak boleh dilupakan dan dianggap sebelah mata oleh pemilik anjing. Pengaturan diet harus memperhatikan usia dan berat badan anjing sehingga tidak terjadi obesitas. Pemilik anjing dapat memberikan makanan dan minum yang cukup (ed libitum) kepada anjing. Makanan anjing ataudog food memiliki komposisi nutrisi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan anjing. Kebutuhan gizi serta nutrisi anjing muda (puppies) berbeda dengan anjing yang dewasa atau anjing yang sedang berada dalam masa kebuntingan (Tatsumaki 2002).

(33)
(34)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan November 2007. Pengambilan sampel darah dilakukan di Jakarta, Banten, Jawa Barat Jawa Tengah dan Bali. Sampel darah yang berasal dari wilayah Jakarta diperoleh dari klinik Dokter Hewan bersama Sunter, klinik Dokter Hewan bersama Green Garden, dan klinik Dokter hewan di BSD Tangerang dan Rumah Sakit Hewan Jakarta. Pada wilayah Jawa Barat sampel darah diperoleh dari Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Pada wilayah Jawa Tengah diperoleh dari klinik dokter hewan di Semarang, sedangkan pada wilayah Bali diperoleh dari Denpasar, Karangasem, Gianyar, dan Badung.

Pemeriksan sampel dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Rancangan Studi

Desain penelitian yang dilakukan adalah berupa kegiatancrossectional study dan melalui pengambilan sampel secara purposif. Sampel diambil dari anjing yang berusia lebih dari 7 bulan. Pengambilan sampel dari satu pemilik hewan paling banyak berjumlah 3 ekor. Jumlah total sampel yang diambil sebanyak 235 buah. Besaran sampel ditentukan dengan dugaan tingkat prevalensi Dirofilariasis di wilayah pulau Jawa dan Bali sebesar 15 %. Martin et al. (1987) menjelaskan bahwa rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel tersebut adalah

n = 4p(1-p)

L2

(35)

Pengambilan sampel darah

Darah diambil dari vena saphena (kaki belakang) atau vena antibrachii anterior (kaki depan) sebanyak 1-2 ml. Setelah darah diambil, tuas syringe ditarik sampai maksimum lalu diberi label identitas sampel (label warna putih). Syringe dibiarkan di suhu ruangan selama 2 jam. Darah pada syringe yang telah membeku kemudian disimpan dalam kulkas selama satu malam agar supaya serumnya keluar. Serum yang telah terbentuk dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro. Tabung mikro disimpan dalam freezer sebelum dikirim ke Bogor untuk diperiksa. Sampel disimpan padafreezerpada suhu -200C sampai diperiksa.

Metode pemeriksaan sampel

Pemeriksaan sampel dilakukan dengan uji ELISA deteksi antigen dengan menggunakan kit diagnostika cacing jantung (DiroCHEK®). Langkah langkah pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat di dalam produk ELISA kit diagnostika cacing jantung. Sumur yang dilapisi oleh antigenD. immitis disiapkan di dalam gagang sumur. Kemudian sumur yang pertama dan kedua dimasukkan masing-masing setetes cairan dari botol kontrol positif dan kontrol negatif. Selanjutnya sumur-sumur berikutnya diisi sampel serum masing-masing sebanyak 0,05 ml dengan menggunakan pipet mikro.

Setiap sumur dari plat ELISA diteteskan Reagent 1- Conjugate secara berurutan dengan rapi kemudian digoyang-goyangkan selama 15 detik, dan dibiarkan selama 10 menit. Tahap selanjutnya, cairan yang terdapat di dalam sumur dibuang dan dikeringkan dengan cara diketuk-ketuk di atas tissu yang telah disediakan. Sumur-sumur dibilas dengan aquades dan selanjutnya cairan tersebut dibuang. Hal ini dilakukan sebanyak 5 kali. Lalu sumur-sumur dikeringkan dengan cara diletakan di atas tissu dan diketuk-ketuk agar tidak ada cairan yang tersisa.

(36)
[image:36.612.214.438.148.304.2]

menggunakan ELISA plate reader yang memiliki panjang gelombang 490 nm. Intensitas warna akan bervariasi sesuai dengan jumlah antigen D. immitis yang ada.

Gambar 5 Hasil positif adanya antigen D. immitis berupa warna biru dan hasil negatif D. immitis terlihat bening.

Kuesioner

Informasi mengenai aspek manajemen kesehatan yang dapat menjadi faktor risiko dirofilariasis adalah (1) frekuensi kunjungan ke dokter hewan 2) pemberian obat cacing yang kepada anjing. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pemilik anjing. Kuesioner untuk wawancara terdapat pada bagian lampiran 1.

Analisis statistik

Data yang diperoleh kemudian dalam bentuk tabel dan grafik, serta dilakukan pendugaan tingkat prevalensi. Prevalensi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

P = Jumlah anjing yang positir terinfeksiD. immitis

Populasi anjing beresiko terinfeksiD. Immitis

(+)

(37)

Sedangkan untuk melihat derajat asosiasi antara kejadian dirofilariasis terhadap frekuensi kunjungan ke dokter hewan, pemberian obat cacing yang diberikan digunakan statistik uji Chi kuadrat dengan persamaan

X2 (Oi-eij)2

ei

Keterangan : ei:nilai harapan ke-i

Oi: nilai observasi ke-i

(38)

Positif 7.7%

Negatif 92.3%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

[image:38.612.244.396.276.365.2]

Sampel darah yang diperiksa berjumlah 235 buah yang terdiri dari 93 sampel yang berasal dari Jakarta dan Banten, 63 sampel yang berasal dari Jawa Barat, 22 sampel dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Pemeriksaan kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukan bahwa jumlah anjing yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan prevalensi sebesar 7,7 % (gambar 6).

Gambar 6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis

(39)

Sebagian besar anjing diobati dengan Pyrantel Pamoat (85 ekor/36%), atau Pyrantel yang dikombinasi dengan Praziquantel dan Febantel (6 ekor/3%) anjing. Hanya (7 ekor/3%) anjing yang diobati dengan Mebendazol, sedangkan Ivermectin (3 ekor/1%) anjing dan sisanya (136 ekor/57%) tidak diobati dengan obat cacing (gambar 7).

Gambar 7 Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing

Hasil analisis Chi kuadrat menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat cacing memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksiD. immitis pada anjing, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksiD. immitispada anjing (P <0.05). Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.

pyrantel 36%

Pyrantel + Praziquantel+fe

bantel 3%

tidak diobati 57% mebendazole

3% Ivermectin 1%

(40)
[image:40.612.104.532.108.183.2]

Tabel 1 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan

Manajemen kesehatan Chi kuadrat hitung nilai-P

Frekuensi kunjungan ke Dokter hewan 7.796 0.020*

Pemberian obat cacing 10.026 0.040*

Frekuensi pemberian obat cacing 4.480 0.106

Keterangan : * signifikan pada taraf 5%

Hasil analisis regresi logistik terhadap berbagai faktor risiko dirofililariasis yang terkait dengan manajemen kesehatan anjing dapat dilihat pada Tabel 2. Anjing yang tidak pernah diperiksakan ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 3,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang secara rutin diperiksakan ke dokter hewan. Anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.

Tabel 2 Tingkat infeksi dan nilai Odds Ratio dari masing-masing faktor manajemen kesehatan.

Anjing positif Anjing negatif Odds

Ratio 95% CL

Faktor Resiko Total anjing (n) Jumlah (ekor) (%) Jumlah (ekor) (%)

Frekuensi ke Dokter hewan

Rutin 69 3 3.7 66 95.6

Tidak rutin 82 3 5.5 79 96.3 0.8 0.163-4.278

Tidak pernah 84 12 11.8 72 85.7 3.6* 0.991-13.569 Pemberian obat cacing

Pernah 99 6 6 87 37.0

[image:40.612.113.555.403.604.2]
(41)

Pembahasan

(42)

terdapat dalam darah sehingga tidak mampu bereproduksi untuk menghasilkan mikrofilaria (American Heartworm Society 2008).

Prevalensi kejadian dirofilariasis bervariasi antara wilayah pemeriksaan. Kasus terendah terdapat di wilayah Jawa Tengah yaitu 1 ekor (0,42 %) sedangkan kasus tertinggi di wilayah Jawa Barat yaitu 10 ekor (4,2%). Tingkat kejadian di Jawa Barat dan Bali lebih tinggi bila dibandingkan dengan kejadian di wilayah Jakarta-Banten dan Jawa Tengah. Hal ini diduga terjadi akibat interaksi dua faktor kunci dalam infeksi yaitu populasi hewan yang terinfeksi dan hewan yang rentan, serta tingginya populasi dan keberagaman nyamuk yang menjadi inang antara D. immitis. Banyaknya anjing liar yang terdapat di Bali dan baik di Jawa Barat terutama di Kabupaten Sukabumi diduga menjadi sumber infeksi bagi anjing peliharaan yang terdapat di wilayah tersebut (Satrija et al. 2008). Jenis jenis nyamuk yang dapat berfungsi sebagai vektor biologis D. immitis adalah Armigeres subalbatus, Culex quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus and Cx. tritaeniorhynchus. Dari berbagai spesies nyamuk tersebut, hanya Culex quinquefasciatus yang bersifat infektif karena mengandung larva stadium III yang siap menulari inang lain. Tiga nyamuk lain tidak infektif, karena hanya mengandung larva stadium I dan II di dalam saluran Malphighi (Hadi 1999). Pengamatan di lapangan menujukkan bahwa anjing anjing yang terdapat di wilayah Jawa Barat kurang memperhatikan manajemen pemeliharaan anjing karena membiarkan anjing di lingkungan terbuka sehingga risiko keterpaparan vektor tinggi.

(43)

mast dan menginduksi pelepasan faktor anafilaksis kemotaksis eosinofil untuk memobilisasi cadangan eosinofil dalam jumlah besar dalam sirkulasi (Tizard 1982 ; Ronald 1982).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa pemberian obat cacing terhadap anjing yang terdapat di wilayah studi tidak menurunkan tingkat kejadian dirofilariasis. Fenomena ini terkait dengan jenis obat cacing yang diberikan. Kecuali Ivermectin, semua antelmintika yang diberikan tidak memiliki kasiat terhadap cacing jantung. Menurut Jones (1977) Pyrantel adalah antelmintika yang efektif terhadap cacing tambang (Ancylostoma spp) dan cacing gelang (Toxocara canis ). Pyrantel dan Praziquantel berfungsi untuk membunuh Nematoda dan cacing pita sedangkan Fenbantel efektif untuk membunuh cacing Nematoda yang terdapat di saluran pencernaan (Adam 2001). Kombinasi Pyrantel, Praziquantel dan Fenbantel merupakan jenis antelmintika kombinasi yang diberikan kepada anjing. Kombinasi ketiga jenis antelmintika ini biasanya akan saling melengkapi fungsi masing-masing agar memiliki aktivitas yang sinergis serta menambah efek kerja dari obat tersebut. Mebendazole merupakan antelmintika golongan Benzimidazole yang efektif membunuh cacing Nematoda dan cacing pita tapi sedikit memiliki aktivitas antifilaria. Ivermectin antelmintika yang biasanya diberikan sebagai mikrofilarisida dan kemopropilaksis terhadap infeksi cacing jantung. Jenis antelmintika ini berasal dari golongan senyawa Macrocylic Lacton yang bersifat GABA agonist menyebabkan paralisis dan kematian cacing. Meskipun demikian penggunaan Ivermectin harus berhati-hati karena antelmintika ini memiliki toksisitas yang tinggi pada anjing-anjing tertentu yang sensitif terhadap senyawa tersebut misalnya anjing ras Collie (Adam 2001).

(44)

musim nyamuk tinggi di wilayah tersebut, Ivermectin 0,006 mg/kg secara peroral setiap hari selama satu bulan, Milbemycine oxime 0,5 mg/kg secara peroral setiap hari selama sebulan, Moxidectine 0,03 mg/kg secara peroral setiap hari selama sebulan dan Selamectin 6-12 mg/kg secara topikal setiap hari selama sebulan.

(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Prevalensi kejadian dirofilariasis di Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali adalah 7.7 %.

2. Terdapat keterkaitan yang nyata antara tingkat kejadian infeksi D. immitis dengan frekuensi kunjungan anjing ke dokter hewan dan pemberian obat cacing oleh pemilik anjing. Frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki keterkaitan nyata dengan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing peliharaan di wilayah studi.

3. Anjing yang tidak pernah diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksiD. Immitis 3.6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan.

Saran

1. Pemilik anjing disarankan memeriksakan anjing yang telah berusia di atas enam bulan secara rutin kepada dokter hewan minimal setahun dua kali. 2. Daerah daerah yang endemis disarankan untuk dilakukan tindakan

pemberian filarisidal yng dikombinasikan dengan antelmintika saluran pencernaan untuk mencegah kecacingan pada anjing peliharaan.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2007. http://id.wikipedia.org/wikipedia/Anjing [9 Februari 2009].

[American Heartworm Society]. 2008. Canine Heartworm Disease. http://www.heartwormsociety.org/ [21 juli 2008].

Adam RH. 2001.Veterinary Pharmacology and Therapeutics 8 th Edition. America: Iowa State Press : 947-979.

Atwell RB. 1988. Clinical Signs and Diagnosis of Canine Dirofilariasis. dalam Dirofilariasis. Boreham PFL dan Atwell RB, editor. Florida : CRC Press. Brander GC. Pough DM dan Jenkins WL.1994. Veterinary Applied Pharmakologi

and Terapeutics 5th Editions. London : Bailliere Tindal.

Foreyt WJ. 2001.Veterinary Parasitology Referency Manual Fifth Edition. Iowa. Iowa State University Press.

Gregory NG. 2003. Animal Welfare and Meat Science. CABI Publishing. United Kingdom.

Greeve RB, Lok JB, Glickman LT. 1983. Epidemiology of Canine Heartworm infection. Epidemiology. 5, 220-246.

Haddock KC. 1987.Canine Heartworm Disease : A review and Pilot Study. Soc. Sci. Med. 24 : 225-246.

Hadi UK. 1999. Telaah Nyamuk dalam Hubungannya Sebagai Vektor Potensial Drofilariasis pada Anjing di Bogor. Maj. Parasitol. Ind. 12: 24-38.

Holly N.2007.Heartworms (Dirofilaria immitis)

http://www.peteducation.com/article.cfm?cls [21 Juli 2008].

(47)

Jackson RF. 1972. Some New Chemotherapeutics agen for Dirofilariasis A preliminary report. In R E. Bradley and G. Pacheo, Eds. Canine Heartworm Disease current Knowledge, p 129. Proc 2nd Univ Fla Symp on Canine Heartworm Disease, Jacksonville.

Jones ML,Nicholas HB, Leslie EM. 1977. Veterinary Pharmacology and Therapeutics 4thEdition. America: Iowa State Press.

Karmil TF. 2002. Studi Biologis dan Potensi Vektor AlamiDirofilaria immitis Sebagai Landasan Penyiapan Bahan Hayati [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Petanian Bogor.

Kelly JD. 1977.Canine Parasitology. Sydney: The University of Sydney.

Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. Soekardono, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Text Book of Veterinary Parasitology.

Lok JB. 1988. Dirofilaria sp. Taxonomy and Distribution. Dalam Dirofilariasis. Boreham PFL dan Atwell RB, editor. Florida: CRC Press.

Martin SW, Meek H, Willeberg P. 1987.Veterinary Epidemiology. USA : Iowa State University Press.

Nayar JK dan Rutledge CR. 1990. Mosquito-born Dog Heartworm Disease. http:/deis.ifas.ufl.edu [12 November 2008].

Nelson CT. McCall JW, Rubin SB, Buzhardt LF, Dorion DW, Gram W, Longhofer , SL, Guerrero J, Robertson-Plouch C dan Paul A. 2005. 2005 Guidelines for the Diagnosis, Prevention and Management of Heartworm (Dirofilaria immitis)

Infection in Dogs.

http://www.heartwormsociety.org/article.asp?id=48#Epidemology [21 Juli 2008].

Plumb CD. 2004. Veterinary Drug Handbook Fifth Edition. Iowa: Blackwell Publising.

(48)

Rawlings CA, Raynaud JP, Lewis RE, dan Duncan JR. 1993. Pulmonary Thromboembolism and Hipertention after Thiacertasamide vs Melarsomine Dihydrochlorida Treatment of Dirofilaria immitis infection in Dog. Am. Vet.Res. 54:920-925.

Ronald L. 1982. Dermatopathies. Veterinary Medicine. Philadelphia: Toronto J. Lipincott Company : Hal 103.

Samosir TP. 2008. Kecacingan Ancylostoma sp pada Anjing Ras [Skripsi] Bogor : Program Sarjana, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Satrija F, Yusuf R, Novi W, Yong M. 2008. Prevalensi dan Faktor Resiko Infeksi Cacing Jantung (Dirofilaria immitis) Pada Anjing Pelihara di Jawa dan Bali. Proccedings of KIVNAS: Bogor hal :323-324.

Screy CF. 1996. Epidemiologische Fallanalyse der kardiovaskularen Dirofilariose (Herzwumerkrankung) bei hunden in Deutschland. Disssertation for the Degree of Doctor Veterinary Medicine, der Freien Universitat Berlin.

Song K H , Lee , M. Hayasaki., K. Shiramizu., D. H. Kim and K. W. Cho. 2003. Seroprevalence of Canine Dirofilariosis in South Korea.

http://www.chestjournal.org/cgi/content/abstract/112/3/729 [31 Juli 2008]. Soulsby EJ. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa Of Domesticated Animals

7th Ed. New York and London. Academic Press.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Kucing dan Anjing. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Sudjana.1996.Metoda Statistika. Bandung: PT Tarsito.

Sunandar. 2003. Prevalensi KecacinganAncylostom spp pada Anjing (Studi Kasus di Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode 1999-2000) [Skripsi] Bogor: Program Sarjana, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(49)

Tarello W. 2001. Importance in the Dog of Concentration Tests for the Diagnosis of Heartworm Disease in non Endemic Areas Perugia.

Tatsumaki. 2002.The Dog Book. Jakarta: Tri Exs Media.

Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Philadelphia: WB Saunders Company.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM dan Jenring FW. 1987. Veterinary Parasitology. London: Longman Scientific and Technical.

Walpole RE dan Meyer RH. 1986. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuan terbitan ke 2.Bandung: Institut Teknologi Bandung.

(50)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisoner survey dirofilariasis

Pewawancara :

Tanggal :

No. kuisioner/sample :

DAFTAR ISIAN UNTUK RESPONDEN A. Informasi Pemilik Hewan

1. Nama : ..

2. Alamat : ..

3. Pekerjaan : ..

B. Informasi Hewan Peliharaan

1. Nama hewan : ..

2. Ras/breed : ..

3. Warna bulu : ..

4. Janis kelamin : Jantan/Betina (coret yang tidak perlu)

5. Umur : ...

6. Berat badan : ..

C. Manajemen Pemeliharaan Hewan

1. Berapa jumlah anjing yang Anda pelihara? a. 1 ekor c. >2 b. 2 ekor

2. Tujuan Anda memelihara anjing adalah

a. hewan kesayangan c. komersial/untuk dijual b. penjaga rumah d. lain-lain

3. Berapa lama Anda sudah memelihara anjing?

a. 6 bulan c. >1 tahun-2 tahun b. >6 bulan-1 tahun d. >2 tahun

4. Bagaimana cara Anda memelihara anjing? a. siang dikandangkan malam dilepas b. dilepas keluar rumah

c. dilepas di dalam rumah d. lainnya, sebutkan .

5. Berapa kali anjing Anda dibawa ke dokter hewan? a. kalau anjing sakit c. rutin setiap tahun b. rutin setiap 6 bulan d.tidak pernah 6. Apakah anjing sering dibawa jalan-jalan keluar rumah?

a. tidak pernah c. sekali sebulan b. sekali seminggu d. lainnya, sebutkan 7. Jika dibawa keluar rumah, kemana?

a. taman c. luar kota b. daerah sekitar rumah d. lain-lain, .. 8. Pemberian obat cacing pada anjing Anda

a. tidak pernah d. rutin setiap 6 bulan b. apabila ada gejala kecacingan e. rutin setiap tahun c. rutin setiap 3 bulan f. lainnya, sebutkan

(51)

Lampiran 2 Prevalensi dirofilariasis tiap daerah Daerah Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%)

Jakarta-Banten Jakarta Pusat 7 -

-Jakarta Barat 17 - -Jakarta Timur 15 1 6,67 Jakarta Selatan 23 - -Jakarta Utara 14 -

-Tangerang 17 1 5,88

Total 93 2 2,15

Jawa Barat Bogor 22 2 9,09

Nagrak 14 2 14,28

Cikidang 10 2 20,00

Palabuhan Ratu 11 1 9,09 Warung Kiara 10 3 30,00

Total 63 10 15,87

Jawa Tengah Boyolali 1 -

-Sleman 5 -

-Yogyakarta 2 -

-Surakarta 9 -

-Sukoharjo 2 1 50,00

Karanganyar 3 -

-Total 22 1 4,54

Bali Amlapura 3 -

-Badung 2 -

-Denpasar 18 3 16,67

Gianyar 22 1 4,54

karangasem 12 1 8,33

(52)

Gambar

Gambar 1 Cacing dewasa di jantung anjing
Gambar 2  Siklus Cacing Jantung (Dirofilaria immitis)
Gambar 3 Nyamuk Culex  quinquefasciatus
Gambar 4 Obat cacing untuk cacing jantung (D. Immitis)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis melakukan penelitian di bidang Parasitologi dengan judul “ Prevalensi dan Identifikasi Infeksi

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor tingkat pengetahuan, higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian infeksi

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang keberadaan cacing jantung di Indonesia dalam hal morfologi, faktor-faktor risiko yang mempengaruhi infeksi,

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak sekolah dasar di Distrik

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak sekolah dasar di Distrik