PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI
CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR
MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA
ESMIRALDA EKA FITRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
ABSTRACT
ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalence and Risk of Heartworm Infection in Imported Dog through Soekarno-Hatta International Airport. Under direction of FADJAR SATRIJA and HADI WARDOKO.
The present study determined prevalence and risk factors associated with D. immitis infection in pet dogs imported through Soekarno-Hatta International Airport in period of January-November 2008. Eleven (8.2%) of 134 samples tested with antigen detecting ELISA kits showed positive reaction for D. immitis antigen. Prevalence of D. immitis infection in dogs imported from countries in Europe, Asia, Australia and America were 6.5, 10.6, 11.1, and 3.6% respectively. Chi2 analysis showed no significant association between prevalence and origin of importation area. No infected dogs were found in the period of January – June, whereas prevalence of D. immitis infection among the imported dogs was 15% in July-November. Chi2 analysis revealed a significant association between prevalence of heartworm infection and period of importation. More male (9.4%) than female (8.6%) dogs were affected in this study, although there was no significant difference between both groups. The seroprevalence was 7.9% in <3-year-old group, 5.9% in 3-6-<3-year-old group, and 12.5% in >6-<3-year-old group. Age group of dogs was no associated with seroprevalence of D. immitis. Despite more dogs with short hair (11.9%) was higher than longhair (6.5%) exhibited positive reaction to D. immitis antigens, no association was found between seroprevalence and the length of dog hair. This study revealed that importation of dogs posses risk for spreading of heartworm infection in dogs in Indonesia.
Comparative study between serological CHD diagnosis method and
modified knott, has been done. From 11 samples, only 1 sample showed positive reaction for D. immitis with serologic test, while using knott detection
method showed negative result for samples taken at 10.00 am and 22.00 pm. This study revealed that serologic method is more effective to detect CHD and recommended to diagnostic method in quarantine station laboratory.
RINGKASAN
ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta. Di bawah bimbingan FADJAR SATRIJA dan HADI WARDOKO).
Studi dirofilariosis pada anjing impor telah dilakukan secara lintas seksional untuk: (1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, (2) Mengkaji faktor-faktor risiko
timbulnya Canine Heartworm Disease (CHD) pada anjing impor dan (3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan validasi
metoda pemeriksaan dirofilariosis.
Sebanyak 134 sampel serum anjing impor berumur minimal enam bulan (≥
6 bulan) yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, diambil pada periode bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D. immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit; Synbiotics Corporation,San Diego, CA). Data-data tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari – Nopember 2008.
Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional) dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH. Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya pada pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002), sedangkan untuk metode serologi sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00).
(7,9%) dan umur 3 – 6 tahun (5,9%) namun tidak ditemukan asosiasi antara prevalensi dan kelompok umur. Analisis terhadap ras anjing juga tidak ditemukan keterkaitan nyata antara prevalensi CHD dan ras anjing, meskipun ditemukan prevalensi pada ras rambut pendek lebih tinggi (11,9%) dibanding rambut panjang (6,5%). Studi ini menyatakan bahwa anjing impor berpotensi sebagai risiko dalam penyebaran cacing jantung pada anjing di Indonesia.
Pengujian secara serologis dan modifikasi Knott untuk membandingkan efektifitas antara kedua metoda tersebut menunjukkan satu sampel dideteksi positif CHD dengan menggunakan metoda serologis, namun tidak ditemukan sampel positif baik pada sampel yang diambil pada pukul 10.00 (pagi) maupun pukul 22.00 (malam) pada metoda modifikasi knott. Hal ini menunjukkan bahwa metode serologis lebih efektif dalam mendeteksi CHD dibanding modifikasi Knott dan dapat direkomendasikan sebagai metoda standar untuk pengujian cacing jantung di laboratorium karantina hewan.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI
CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR
MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA
ESMIRALDA EKA FITRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta
Nama : Esmiralda Eka Fitri
NIM : B251064014
Disetujui Komisi Pembimbing
drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D drh. Hadi Wardoko, MM
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta ini dapat diselesaikan dengan baik. Haturan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D dan Bapak Drh. Hadi Wardoko, MM selaku pembimbing atas arahan yang diberikan sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Badan Karantina Pertanian dan Kepala Pusat Karantina Hewan yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana ini, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dan Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta staf dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran proses penelitian penulis. Ungkapan terima kasih tak henti-hentinya penulis sampaikan kepada suami tercinta, Drh. Irpansyah Batubara, MSi, ananda Divanka Noviazra Batubara serta ayah dan ibu atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan program ini dengan lancar. Tak lupa buat teman-teman kelas khusus KMV Karantina, terima kasih atas kebersamaannya sehingga program ini bisa kita selesaikan bersama-sama.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, Januari 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 4 September 1978 dari ayah Ir. Amri Dayan, SE dan ibu Nuraini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2000 kemudian dilanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) IPB lulus pada tahun 2002.
Penulis bekerja di Kantor Pusat Badan Karantina Pertanian pada unit kerja Pusat Teknik dan Metoda pada tahun 2004 – 2006, lalu pada tahun 2006 sampai dengan sekarang ditempatkan di unit kerja Pusat Karantina Hewan. Untuk meningkatkan kemampuan teknis dan wawasan tentang perkarantinaan hewan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan antara lain Training of Animal Quarantine Management di Malaysia pada (2006) dan Seminar for Commodity Inspection and Quarantine Official of Developing Countries di Republik Rakyat Cina (2008). Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk tugas belajar dari Badan Karantina Pertanian pada program Magister Sains (S2) Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Klasifikasi Dirofilaria immitis……….. 4
Gambaran morfologi………. 4
Siklus hidup dan penularan………... 7
Vektor……… 8
Dinamika mikrofilaria D. immitis dalam tubuh inang………... 8
Canine heartworm disease (Dirofilariosis) ………... 9
Human pulmonary dirofilariosis………. 11
Faktor fisiko………. 12
Diagnosa……… 15
Pengobatan……….... 18
Persyaratan kesehatan hewan impor dan ekspor anjing ………... 23
Instalasi karantina hewan Soekarno-Hatta………. 23
BAHAN DAN METODE……….. 25
Tempat dan waktu penelitian………... 25
Desain penelitian………... 25
Deteksi antigen D immitis denganELISA……… 26
Uji Knott untuk mendeteksi mikrofilaria D. immitis……….. 26
Analisis data………... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN………. 28
Karakteristik anjing impor……….….. 28
Prevalensi CHD berdasarkan faktor risiko………. 29
Perbandingan metoda pengujian D. immitis……….... 39
SIMPULAN DAN SARAN………... 41
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum)... 6 2. Prevalensi CHD di berbagai negara... 11 3. Perbandingan kelebihan dan kekurangan metode pemeriksaan
cacing jantung………... 18 4. Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infksi
cacing jantung………. 22
5. Jenis ras anjing yang digunakan untuk penelitian... 29 6. Hasil analisis menggunakan chi square test dengan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Dirofilaria immitis………... 5
2. Mikrofilaria Dirofilaria sp………... 6
3. Siklus hidup D. immitis………..…... 7
4. Peta distribusi CHD di dunia tahun 2001... 14
5. Instalasi Karantia Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.. 24
6. DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics Corporation, San Diego, CA)………... 26
7. Contoh ras anjing bulu panjang (australian silky terrier)….……… 28
8. Contoh ras anjing bulu pendek (labrador)…..………...……… 28
9. Prevalensi berdasarkan wilayah asal………...……… 32
10.Prevalensi berdasarkan periode impor……… 33
11.Prevalensi berdasarkan jenis kelamin... 36
12.Prevalensi berdasarkan umur... 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perdagangan bebas telah mendorong terjadinya peningkatan arus lalu
lintas orang, hewan maupun produk hewan antar negara. Hal ini meningkatkan
secara nyata perekonomian dunia termasuk Indonesia, namun di sisi lain juga
meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya berbagai penyakit hewan termasuk
penyakit-penyakit dapat ditularkan hewan kepada manusia (zoonosis).
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta adalah bandar udara terbesar
di Indonesia dengan lalulintas orang, hewan dan produk hewan yang cukup ramai.
Salah satu jenis hewan yang sering dilalu-lintaskan melalui bandara tersebut
adalah anjing yang diimpor untuk berbagai tujuan diantaranya hewan kesayangan
milik Korps Diplomatik, bibit untuk kennel, maupun untuk diperdagangkan di
pasar hewan atau pet shop.
Berdasarkan Laporan Tahunan Pusat Karantina Hewan, jumlah anjing
impor yang masuk melalui Bandar Udara Soekarno - Hatta antara tahun
2005-2007 adalah sebanyak 2032 ekor (Pusat Karantina Hewan 2005, 2006, 2005-2007).
Pada periode Januari – Nopember 2008, jumlah anjing impor yang masuk adalah
sebanyak 548 ekor berasal dari Argentina, Australia, Bahrain, Belgia, Cina,
Denmark, Hongkong, Hungaria, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan,
Malaysia, Mesir, Netherland, Norwegia, Pakistan, Perancis, Philipina, Qatar,
Republik Ceko, Republik Czech, Singapore, Srilanka, Swiss, Taiwan, Thailand,
United Kingdom, Ukraina, USA (Pusat Karantina Hewan 2008).
Pengawasan terhadap penyakit hewan di Bandar Udara Soekarno-Hatta
dilakukan oleh institusi pemerintah Balai Besar Karantina Pertanian
Soekarno-Hatta (BBKP SH). Selama ini pengawasan dan pemeriksaan terhadap anjing
khususnya anjing impor lebih dititikberatkan pada penyakit rabies. Disamping
rabies, anjing dapat membawa zoonosis lain misalnya Canine Heartworm Disease
(CHD). Canine Heartworm Disease (dirofilariosis) adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi cacing jantung (Dirofilaria immitis). Penyakit ini
berakibat fatal dan menimbulkan kematian pada anjing serta dapat ditularkan ke
2
Dirofilariosis (HPD). Pengawasan terhadap penyakit ini belum dilakukan secara
intensif oleh Badan Karantina Pertanian karena penyakit ini belum ditetapkan
sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK).
Data tentang kejadian dirofilariosis pada anjing peliharaan di Indonesia
masih terbatas. Pengamatan Karmil (2002) terhadap keberadaan mikrofilaria pada
anjing peliharaan di wilayah D.I. Aceh, Jakarta dan Bogor, serta Bali menemukan
mikrofilaria pada 10,7%, 19,23%, dan 5,23% sampel darah anjing yang diambil
dari masing-masing daerah. Berdasarkan uji ELISA untuk mendeteksi
keberadaan antigen D. immitis dalam serum, prevalensi infeksi CHD pada anjing
peliharaan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali terdeteksi
masing-masing sebesar 2,2%, 15,9%, 4,5% dan 8,8% (Satrija et al. 2008).
Sejauh ini belum ada data tentang kasus CHD pada anjing impor dan
kemungkinan peranannya dalam penyebaran CHD di Indonesia. Mengingat
potensi zoonosis dari cacing jantung maka perlu diketahui prevalensi serta
berbagai faktor risiko yang terkait dengan kasus dirofilariosis pada anjing-anjing
impor melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Data ini diperlukan sebagai dasar
rekomendasi ilmiah dalam menyusun kebijakan pengawasan dan tindakan
perkarantinaan hewan terhadap CHD di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi D. immitis
pada anjing impor di Instalasi Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, serta mengkaji
keterkaitannya dengan faktor umur, jenis kelamin, kelompok ras, wilayah asal
impor, dan waktu impor anjing. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi
bahan pertimbangan bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat
Karantina Hewan) dan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam
melakukan pengawasan lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke
3
Tujuan Penelitian
(1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor
melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta.
(2) Mengkaji faktor-faktor risiko timbulnya Canine Heartworm Disease
(CHD) pada anjing impor
(3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan
validasi metoda pemeriksaan Dirofilariosis
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi
institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina Hewan) dan
Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam melakukan pengawasan
lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya
Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke wilayah RI maupun
yang dilalulintaskan antar area.
Hipotesis
a. Anjing impor yang dilalulintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta
terinfeksi CHD.
b. Kejadian infeksi CHD pada anjing impor berbeda-beda dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, ras anjing, wilayah asal dan periode impor anjing.
c. Terdapat perbedaan hasil pengujian CHD dengan menggunakan metoda
4
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Dirofilaria immitis
Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus
Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan
subgenus Nochtiella meliputi Dirofilaria ursi, D. repens, D. striata dan D. tenuis
(Lok 1988). Menurut Soulsby (1986), klasifikasi D. immitis adalah sebagai
berikut :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Secernentea
Sub Ordo : Spirurata
Superfamili : Filarioidea
Famili : Filariidae
Genus : Dirofilaria
Spesies : Dirofilaria immitis
Cacing dewasa D. immitis hidup di dalam ventrikel kanan jantung dan
arteri pulmonalis anjing yang merupakan inang definitifnya. Selain anjing, cacing
ini juga dapat menginfeksi lebih dari 30 spesies hewan (misalnya coyotes,
serigala, rubah dan canidae liar lainnya, kucing dan kucing liar, ferrets, singa laut
dan sebagainya) dan manusia (AHS 2007a). Selain canidae, siklus hidup D.
immitis juga terjadi secara sempurna pada tikus air (Ondatra zibethica) walaupun
mikrofilaria belum ditemukan hingga 160 hari (Karmil 2002). Jika secara alami
terbukti bahwa tikus air dapat menjadi reservoir, maka penyebaran CHD akan
lebih mudah lagi karena populasi tikus air di Indonesia cukup tinggi.
Gambaran Morfologi
Cacing D. immitis dewasa berbentuk ramping berwarna putih dengan
panjang cacing jantan 12 – 16 cm, betina 25 – 30 cm. Ujung posterior cacing
jantan berbentuk melingkar dan pada ekor terdapat beberapa papilae lateral.
Vulva cacing betina terletak di belakang ujung esofagus (Soulsby 1986, Manfredi
5
(inang) berupa plasma dan cacing ini dapat hidup selama 5 – 7 tahun di tubuh
inang. Nematoda ini termasuk golongan vivipar, cacing betina melepaskan
mikrofilaria ke dalam aliran darah inang (Manfredi et al. 2007)
A B C
Gambar 1 Dirofilaria immitis (Manfredi et al. 2007)
A. Ujung posterior cacing jantan
B. Ujung anterior cacing betina
C. Cacing dewasa betina (atas) dan jantan (bawah)
Pada pemeriksaan darah anjing terinfeksi, dapat ditemukan beberapa jenis
mikrofilaria (mf) yaitu mf Dipetalonema dan Dirofilaria. Perbedaan morfologi
dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum dapat dilihat pada
6
Tabel 1 Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum).
Karakteristik D. immitis Di. reconditum
Mikrofilaria:
• Jumlah dalam darah Sedikit s/d banyak Biasanya sedikit
• Bentuk badan Biasanya lurus Kurva
• Panjang badan 308 (295 – 325) m 263 (250 – 288) m
• Lebar badan 5 – 7,5 m 4,5 – 5,5 m
• Bentuk ujung badan runcing Tumpul
• Bentuk ekor lurus Kurva atau berkait
• Pergerakan Dari sisi ke sisi
(stationary)
Ke depan
Cacing dewasa:
• Panjang betina 25 – 30 cm 3,0 – 3,2 cm
• Panjang jantan 15 – 20 cm 1,7 cm
• Habitat Ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis
Daerah subkutan di
seluruh tubuh
A B C
Gambar 2 Mikrofilaria Dirofilaria sp
A. Mikrofilaria D. immitis (Ohio State University 2007)
B. Detail ujung posterior mikrofilaria D. immitis pada pembesaran 40x (Tarello 2004)
7
Siklus Hidup dan Penularan
Penyebaran D. immitis dari anjing ke hewan lain atau manusia terjadi
melalui gigitan nyamuk yang mengandung L3 yang biasa disebut dengan istilah
mikrofilaria (mf) ketika menghisap darah anjing terinfeksi (Abraham 1988,
Manfredi 2007). Pada hari ke-1, darah yang mengandung mf masih tersisa di
bagian mulut, tetapi pada hari ke-2, mf bermigrasi ke bagian midgut dan tubulus
malphigi. Pada hari ke-4, mikrofilaria telah berubah menjadi bentuk sosis (L2)
dengan ukuran panjang 220 – 240 m dan lebar 20 – 25 m. Pada hari ke-9,
terjadi penambahan sel intestinum dan sel ekskretori dan akhirnya membentuk
organ-organ tubuh dengan ukuran 500 x 20 m. Pada hari ke-15 sd 17,
mikrofilaria menuju thoraks dan akhirnya di labium nyamuk dan bentuk ini
disebut bentuk infektif (L3) dengan ukuran 800 – 900 m.
Pemindahan L3 terjadi ketika nyamuk memuntahkan air liur yang
mengandung L3 ketika menjelang menghisap darah hewan. Dari tempat bekas
gigitan nyamuk, L3 bermigrasi ke membran subkutikuler dan jaringan adipose
inang definitif baru. Pada inang yang baru, L3 mengalami perubahan bentuk
menjadi stadium L4, L5, cacing muda dan dewasa dengan indikasi bahwa cacing
betina dewasa viviparu akan menghasilkan mf yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan darah perifer. Setelah 85 – 120 hari pasca infeksi, D. immitis dewasa
sudah berada di dalam jantung kanan dan arteri pulmonalis dengan ukuran
panjang sekitar 32 cm (Gambar 3).
8
Secara eksperimen, mikrofilaria dari darah anjing terinfeksi dapat
dipindahkan ke anjing lain melalui transfusi darah (Abraham 1988). Mikrofilaria
ini dapat beredar di tubuh anjing resipien selama 2,5 tahun. Umumnya
mikrofilaria hasil transfusi ini tidak beredar di pembuluh darah perifer namun di
dalam organ. Mikrofiaria dari kultur in vitro pun pernah di transfusi secara
eksperimen pada anjing normal. Anjing resipien ini dapat memelihara
mikrofilaria pada pembuluh darah perifer untuk beberapa minggu, namun dalam
jumlah sedikit.
Vektor
Nyamuk merupakan vektor bagi D. immitis. Sebanyak 60 -70 spesies
nyamuk diperkirakan dapat menjadi vektor potensial (Nithiuthai, 2003; Lok
1988). Larva D. immitis dapat berkembang menjadi L3 di dalam nyamuk dari
genus Culex, Aedes, Psorophora, Mansonia atau Anopheles. Spesies yang dapat
menjadi vektor D. immitis adalah spesies yang tidak mempunyai
bucco-pharyngeal yang dapat merusak kutikula mikrofilaria sehingga menghambat
perkembangannya menjadi larva infektif (Manfredi 2007).
Dinamika Mikrofilaria D. immitis dalam Tubuh Inang
Mikrofilaria (mf) dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah anjing
reservoir setiap waktu, akan tetapi angka mikrofilaremik perifer umumnya
mengikuti pola periodisitas yang berbeda pada setiap geografis. Di USA, Perancis
dan Cina angka minimum dan maksimum mikrofilaremik perifer masing-masing
terdapat pada jam 11.00 dan 16.00, 08.00 dan 20.00 serta 06.00 dan 18.00
(Soulsby 1986). Puncak mikrofilaremia di Indonesia khususnya di wilayah DI.
Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali terjadi pada pukul 7.00 – 8.00 dan pukul 23.00
– 24.00 (Karmil 2002).
Fenomena rendahnya mikrofilaremia pada anjing terlihat pada siang hari
diduga terjadi karena: (1) tekanan O2 di dalam pembuluh darah perifer lebih
rendah dibandingkan dengan di dalam pembuluh darah pulmoner; (2) adanya
kecenderungan bahwa anjing mempunyai aktivitas tinggi, sehingga terjadi
9
dan kondisi demikian tidak menguntungkan bagi mf dan jumlah mf di dalam
pembuluh darah perifer sedikit; (4) reservoir mf terdapat pada pembuluh darah
pulmoner, limpa, vena abdominalis dan sinus-sinus vena hepatik, pleksus vena
kulit. Berdasarkan sistem vena tersebut ternyata limpa dan pembuluh darah
pulmonalis menjadi reservoir dari mf.
Angka mikrofilaremik lebih tinggi pada malam hari dibandingkan pada
siang hari, sehingga periodisitas demikian disebut subperiodik nokturnal.
Fenomena tentang maksimum mikrofilaremia terjadi pada malam hari ada
kemungkinan mengikuti irama sistem sirkulasi darah. Volume darah yang
mengalir di dalam pembuluh darah perifer atau di jaringan-jaringan adalah sangat
lambat, sehingga pertukaran zat-zat makanan antara darah dan jaringan
berlangsung sangat intensif.
Kehadiran mikrofilaria dalam darah anjing terinfeksi tidak selamanya
dapat dideteksi. Keadaan ini disebut sebagai occult heartworm infection. Karmil
(2002) memperkirakan sebesar 14,27 – 37,76% dari anjing penderita dirofilariosis
di DI. Aceh, Jakarta, Bogor dan Bali tergolong occult infection. Kondisi serupa
ditemukan pada 10 - 67% anjing yang terinfeksi D. immitis di Korea (Byeon et
al. 2007). Kondisi occult infection dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1)
infeksi oleh satu jenis cacing saja (single sex), (2) respon imun inang terhadap
sirkulasi mikrofilaria dan (3) pemberian obat cacing sebagai pencegahan.
Dinamika mikrofilaria D. immitis di dalam tubuh vektor berkaitan erat
dengan (1) jumlah mikrofilaria; (2) jenis nyamuk dan (3) geografi atau iklim
(Karmil 2002). Pertumbuhan membutuhkan waktu 15 – 17 hari untuk daerah
subtropis dan 18 – 10 hari untuk daerah tropis (Jones et al. 1993). Studi Karmil
(2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan menjadi stadium mikrofilaria infektif
(L3) dalam mikrofilaria lebih cepat di D.I. Aceh (9 hari) dibandingkan dengan di
Bogor (12 hari).
Canine Heartworm Disease (Dirofilariosis)
Prevalensi dirofilariosis di berbagai negara sangat bervariasi (Tabel 2) dan
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, ras dan
10
ekor cacing jantung yang masa hidup sekitar 5 – 7 tahun. Masa prepaten rata-rata
(waktu dari mikrofilaria masuk ke dalam tubuh host sampai cacing betina dewasa
memproduksi mikrofilaria) pada anjing sekitar 6 – 7 bulan. Secara eksperimen
infeksi D. immitis, persentase mikrofilaria infektif berkembang menjadi cacing
dewasa pada anjing adalah 40 – 90% (AHS 2007a).
Gejala klinis tergantung pada jumlah cacing jantung yang menginfeksi
anjing. Gejala yang umum terjadi adalah batuk kronis dan kehilangan stamina.
Kemudian terjadi gejala ketidakmampuan jantung, suara murmur jantung yang
jelas dan kolaps setelah exercise. Gambaran elektrocardiogram pada saat hewan
dalam keadaan tenang dapat menunjukkan gambaran normal, namun pada saat
setelah exercise, gelombang "T” dapat terjadi sebaliknya. Berbagai gejala klinis
lain yang timbul tergantung pada organ yang terpengaruh secara sekunder
(Soulsby 1986).
Cacing dewasa D. immitis umumnya hidup di arteri pulmonaris dan
ventrikel kanan. Namun dalam kondisi yang sangat jarang terjadi, L5 dapat
bermigrasi ke bagian lain yang menyimpang dari biasanya yaitu otak, sumsum
tulang belakang, hati, ruang epidural, mata dan ruang peritoneal Pada operasi
sterilisasi anjing betina yang dilakukan Oh et al. (2008) di Korea, ditemukan satu
ekor cacing dewasa pada ruang abdominal anjing dan setelah dikonfirmasi dengan
PCR dinyatakan D. immitis. Pemeriksaan dengan ulas darah dan Uji Modified
11
Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara
Negara Wilayah tahun Jumlah sampel
Kasus Dirofilariosis pada manusia disebut Human Pulmonary
Dirofilariosis (HPD). Di Indonesia, sampai saat ini kasus HPD belum pernah ada
laporan. Tetapi biasanya pada daerah endemik CHD, besar kemungkinan kasus
HPD pada manusia juga tinggi.
Pada manusia, cacing dewasa pernah ditemukan di arteri digitalis, kelopak
mata, ventrikel kiri, vena cava inferior, jaringan subkutan dan cacing menjadi
penyebab painfark paru-paru. Kasus HPD sering dijumpai pada orang dewasa,
dengan ciri-ciri : (1) Pemeriksaan fototoraks, pada lobus paru terlihat massa tumor
berbentuk ”coin lesion” (3x3 cm); (2) adanya keluhan nyeri dada, demam dan
12
ikat dan berisi massa putih keabu-abuan berupa nekrosis koagulatif; (4) adanya
granuloma yang terdiri dari jaringan infark, sel eosinofil, monosit, neutrofil dan
sel ”foreign body giant” (Yoshimura, 1995; Mimori et al. 1986).
Berdasarkan informasi dari Karmil (2002), kasus HPD pada manusia di
beberapa negara antara tahun 1968 – 2000 antara lain terjadi di Thailand, Jepang,
Australia, Sidney, Quinsland, USA, Michigan, Indiana, Amerika Selatan, Jerman,
Spanyol dan Brazil dengan kasus terbanyak terjadi di Michigan.
Faktor Risiko
Tingkat risiko timbulnya CHD dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya umur, ras, jenis kelamin, wilayah, iklim dan manajemen pemeliharaan
anjing.
Umur
Anjing pada semua kategori umur berisiko terinfeksi cacing jantung
(Nithiuthai 2003). Namun prevalensi infeksi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur anjing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu
pemaparan yang lebih lama, terutama pada daerah endemik penyakit ini.
Boonyapakorn et al. (2008) pada penelitiannya terhadap pasien anjing
rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Chiang Mai University, Thailand menemukan
prevalensi pada anjing umur dibawah 2 tahun adalah 6,4%, lebih rendah daripada
anjing pada umur diatas 2 tahun (41,5%). Prevalensi ini berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95%. Satrija et al. (2008) menemukan bahwa anjing umur 3
– 6 tahun menunjukkan seroprevalensi yang paling tinggi terhadap D. immitis
yaitu sebesar 16,7% diikuti anjing umur diatas 6 tahun (6,1%) dan anjing umur
dibawah 3 tahun (4,7%). Di Korea Selatan, prevalensi tertinggi ditemukan pada
anjing umur di atas 6 tahun (50,3%) dibanding anjing umur muda. Analisis chi
square mengungkapkan bahwa prevalensi lebih tinggi secara signifikan pada
anjing umur 4 – 6 tahun (100%) di wilayah garis pantai dan pada anjing umur 2 –
13
Ras
Umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis.
Anjing-anjing pekerja dan olahraga (Greyhound) juga memiliki risiko tinggi
terhadap infeksi cacing D. immitis. Anjing gembala ras jerman dan Boxer
mempunyai risiko paling tinggi terhadap infeksi cacing ini.
Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al.
(2008), anjing-anjing ras lokal memegang peranan sebagai sumber infeksi D.
immitis. Prevalensi tertinggi CHD di Indonesia diketahui terjadi pada Pulau Bali
(8,8%) dan Kabupaten Sukabumi (15,9%), yaitu salah satu kabupaten di Propinsi
Jawa Barat dengan populasi anjing tak bertuan (stray dog) yang cukup tinggi.
Penelusuran lebih lanjut menyatakan bahwa jika dilihat dari faktor breed/ras,
diketahui bahwa prevalensi terbesar terjadi pada breed lokal yaitu sebesar 11,9%
dibandingkan ras impor (2,2%) dan ras campuran (9,1%).
Jenis Kelamin
Umumnya, infeksi cacing jantung pada anjing jantan lebih tinggi daripada
anjing betina. Lewis dan Losonsky (1978) menyatakan bahwa Rasio infeksi pada
anjing jantan terhadap anjing betina adalah 4:1. Pada hewan liar, penelitian
terhadap coyote di wilayah Illinois didapatkan prevalensi jantan sebesar 17,7%
sedangkan pada coyote betina adalah 14,1% (Nelson et al. 2003). Perbedaan ini
diduga akibat pergerakan hewan jantan lebih tinggi dibanding betina sehingga
risiko terpapar nyamuk juga meningkat. Hewan betina cenderung membatasi
pergerakan mereka selama musim panas dan menjaga anak-anaknya di sarang.
Seroprevalensi CHD pada anjing jantan yang lebih tinggi dibanding betina
juga ditemukan oleh Satrija et al. (2008) di Indonesia. Meskipun setelah ditinjau
lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara seroprevalensi dan jenis
kelamin.
Wilayah
American Heartworm Society (2007b) menyatakan bahwa CHD telah
tersebar luas di dunia khususnya pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropics,
14
bahkan pada importasi anjing dengan kondisi mikrofilaremik. Hal ini disebabkan
oleh iklim di belahan utara dunia ini tidak mendukung perkembangan larva
infektif.
Wilayah dapat mempengaruhi timbulnya CHD didukung dengan kondisi
geografis, iklim dan temperatur serta populasi vektor pada wilayah tersebut (Lok
1988). Hal ini terkait dengan jenis- jenis nyamuk sebagai vektor dan dinamika
larva CHD di dalam tubuh vektor tersebut. Gambaran distribusi CHD di dunia
dapat dilihat dari peta penyebaran di bawah ini:
Gambar 4. Peta Distribusi CHD di dunia tahun 2001 (Sumber:
http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2001/dirofilari
asis/Global Distribution.html )
Iklim
Iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk
mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva
15
penting dalam transmisi D.immitis. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk
hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis,
dimana larva di dalam tubuh nyamuk akan berkembang lebih cepat pada
temperatur hangat (Abraham 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan
larva D. immitis adalah 22°C - 26,5°C. Pada suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan
untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 – 14 hari.
Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14°C) untuk beberapa jam saja
akan memperlambat pematangan larva. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988)
yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung
perkembangan nyamuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak
terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas
dibandingkan musim hujan dan musim gugur.
Pada perbandingan berdasarkan iklim di Korea Selatan, didapatkan bahwa
prevalensi di wilayah garis pantai (69,5%) lebih tinggi dan berkaitan nyata
dibanding wilayah perkotaan dan pegunungan (Song et al. 2003). Untuk Amerika
Utara, infeksi paling banyak terjadi saat musim panas, temperatur yang sangat
cocok untuk perkembangan nyamuk (Rawlings 1998).
Manajemen pemeliharaan
Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi infeksi D. immitis pada
anjing-anjing yang dipelihara atau hidup di luar rumah, 4 – 5 kali lebih tinggi
dibanding anjing di dalam rumah. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya
kemungkinan anjing yang di luar rumah tergigit oleh nyamuk dibanding anjing
yang di dalam rumah (Byeon et al. 2007) sehingga lebih besar pula kemungkinan
anjing di luar rumah terinfeksi D. immitis, terutama pada daerah endemik
(Nithiuthai 2003).
Diagnosa
Gejala klinis yang muncul pada penderita CHD sangat bervariasi sehingga
peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain
radiologi, angiografi dan ultrasonografi (ekokardiografi), nekropsi, deteksi
16
Radiologi
Pemeriksaan radiografi paru-paru dan jantung adalah cara terbaik untuk
mengevaluasi penyakit. Perubahan secara tipical yang dapat terlihat adalah
pembesaran bagian kanan jantung (ventrikel kanan), artery pulmonalis, dan
perubahan arteri pulmonalis lobus paru. Pembesaran arteri pulmonalis sering
dilaporkan. serta peradangan jaringan paru-paru sekitar arteri pulmonalis juga
sering ditemukan.
Angiografi and Ultrasonografi
Angiografi adalah teknik visualisasi pembuluh darah tubuh dengan
melakukan radiograph dalam beberapa detik setelah diinjeksi dengan material
kontras kedalam pembuluh darah tersebut. Pada infeksi CHD, angiografi
digunakan untuk mempelajari perubahan arteri pulmonalis. Ultrasonografi
(echocardiography) telah digunakan untuk mengevaluasi pembesaran ventrikel
kanan dan untuk melihat kehadiran cacing jantung di ventrikel kanan atau arteri
pulmonalis utama.
Nekropsi
Nekropsi merupakan teknik diagnosa yang paling akurat untuk
menemukan cacing jantung, namun cara ini tidak dapat dilakukan untuk
mendiagnosa hewan yang masih hidup. Cacing jantung sering ditemukan pada
ventrikel kanan jantung atau arteri pulmonalis utama. Cacing juga dapat
ditemukan di cabang terjauh arteri pulmonalis. Infeksi “Ectopic heartworm”
jarang terjadi. Pada infeksi ini, cacing dideteksi terdapat pada organ selain
jantung dan paru-paru atau pada rongga tubuh.
Deteksi Mikrofilaria dalam Darah
Deteksi keberadaan mikrofilaria D.immitis dalam sampel darah
mengindikasikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji knott dan uji
filtrasi. Para praktisi sering melakukan pemeriksaan cepat dengan sediaan natif
darah untuk melihat kehadiran mikrofilaria.
Metode ini praktis dalam penerapannya, baik dari segi waktu dan biaya.
Atas dasar alasan inilah metode deteksi mikrofilaria dengan uji Knott digunakan
17
yang menyaring kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia.
Di sisi lain, metode ini tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa CHD dengan
jumlah mikrofilaria yang rendah dalam sampel darah. Selain itu menurut Karmil
(2002), waktu pengambilan sampel juga menentukan ketepatan diagnosa dengan
metoda ini.
Uji Serologi
Uji serologi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendeteksi antibodi
dan mendeteksi antigen.
1). Deteksi antibodi
Beberapa uji CHD antibodi berkembang dan diperkenalkan pada awal
1980-an. Prinsip uji ini adalah mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen
ekskretori-sekretori dari cacing jantung dewasa. Uji ini cukup sensitif (dapat
mendeteksi infeksi awal dan infeksi dengan sejumlah kecil cacing jantung) namun
tidak cukup spesifik karena dapat terjadi reaksi silang dengan parasit
gastrointestinal di tubuh inang. Uji ini kurang populer digunakan sebagai
screening test pada anjing.
Keberadaan cacing jantung yang steril, single sex atau ketidakhadiran
respon inang terhadap antigen permukaan mikrofilaria, tidak akan memproduksi
titer antibodi. Variasi dari uji antibodi ini termasuk menggunakan mikrofilaria
yang telah dihancurkan untuk memicu antibodi terhadap antigen somatik. Teknik
IFA somatic ini non spesifik dan secara klinis kurang dapat digunakan untuk
diagnosa.
2). Deteksi antigen
Deteksi antigen spesifik dari cacing jantung dewasa digunakan secara
sukses untuk mendeteksi infeksi CHD. Sekarang ini, metode ini telah banyak
dilakukan di laboratorium – laboratorium veteriner. Kebanyakan test komersial
akan akurat mendeteksi infeksi dengan satu atau lebih cacing jantung dewasa
umur 7 - 8 bulan, namun secara umum, uji ini tidak dapat mendeteksi infeksi
kurang dari lima bulan (AHS2007a).
Untuk metode serologis pada penelitian ini menggunakan kit ELISA
18
sirkulasi darah minimal enam bulan pasca infeksi. Kit ini mempunyai sensitifitas
dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu masing-masing 99,1% dan 90,3% (Atwell
1988). Genchi et al. 2007 merumuskan kelebihan dan kekurangan metode
diagnostic CHD pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pemeriksaan cacing jantung
Metode pemeriksaan kelebihan kekurangan
Natif Cepat dan murah Sensitifitas sangat rendah,
sering terjadi negatif palsu, sulit membedakan spesies mikrofilaria
Metode Konsentrasi
a. Modified Knott Cukup sensitif dan spesifik, dapat membedakan spesies vector
Membutuhkan keahlian pemeriksa dalam membedakan morfologi mikrofilaria. b. Filtrasi Cepat dan sensitif, tidak
memerlukan alat untuk
ELISA Sangat spesifik dan sensitif
untuk diagnosa CHD (jika hasil positif, uji ini membuktikan secara pasti terjadi infeksi)
Mahal
Pemeriksaan antibodi Sangat sensitif, sangat bermanfaat untuk mendeteksi
Sebagian besar anjing terinfeksi cacing jantung dapat berhasil diobati.
Tujuan pengobatan yaitu untuk membunuh cacing dewasa dengan adulticida dan
membunuh mikrofilaria dengan mikrofilarisida. Hal ini sangat perlu dipenuhi
untuk meminimalkan efek bahaya dari obat dan komplikasi yang dapat terjadi
akibat cacing jantung yang mati. Infeksi ringan dan tanpa gejala klinis
19
Dalam proses terapi terhadap CHD, ada lima tahap pendekatan yang
benar-benar harus diperhatikan yaitu: (1) Pada preterapi, hewan harus diperiksa
dan dievaluasi secara menyeluruh; (2) terapi suportif dan asimptomatik adalah
sangat krusial, baik pada preterapi, selama dan pascaterapi adulticida; (3) terapi
adulticida; (4) terapi mikrofilarisida (kecuali pada infeksi occult) dan (5) terapi
hewan harus diawali dengan medikasi profilaktik (Karmil 2002, Courtney 1988).
Evaluasi Pasien
Sebelum melakukan terapi, hewan harus dievaluasi terlebih dahulu secara
seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urin, radiografi, umur, uji fungsi
organ khususnya hati dan ginjal (berkaitan dengan efek toksik dari
thiacetarsamide), sehingga pasien dapat dibagi dalam kelompok: (1) tidak boleh
diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati dengan syarat dirawat secara
intensif. Berdasarkan risiko terjadinya komplikasi thromboemboli pascaterapi,
Venco (2007) membagi pasien menjadi dua kategori yaitu risiko rendah (low risk)
dan risiko tinggi (high risk). Anjing yang termasuk dalam kategori risiko rendah
harus memenuhi kondisi antara lain: (1) tidak menunjukkan gejala; (2) pada
pemeriksaan radiograph terhadap thorax menunjukkan gambaran normal; (3)
sirkulasi antigen rendah atau negatif dengan mikrofilaria terdapat pada sirkulasi
darah; (4) tidak terlihat cacing pada pemeriksaan echocardiograph dan (5) dapat
melakukan exercise ringan. Sedangkan anjing kategori risiko tinggi memenuhi
kondisi antara lain: (1) menunjukkan gejala antara lain batuk dan pembengkakan
bagian abdomen; (2) Gambaran radiograph tidak normal; (3) sirkulasi
mikrofilaria pada level tinggi; (4) Cacing terlihat pada echocardiograph (5) tidak
diperkenankan untuk melakukan exercise. Evaluasi ini berdasarkan pertimbangan
terhadap efek yang kurang menguntungkan akibat terapi adulticida yaitu reaksi
toksik dan emboli serta tromboemboli akibat kematian cacing pascaterapi.
Terapi suportif
Terapi suportif ditujukan untuk memperkecil kemungkinan efek samping
yang sering terjadi pada pascaterapi adulticida yaitu obstruksi sistem sirkulasi
20
diberikan adalah: (1) Aspirin 7 mg/kg BB/hari selama 6 – 12 bulan, dapat
menekan thromboembolisme secara eksperimen; (2) anti radang (prednisolon 10
mg/kg BB/hari selama 4 minggu) dapat mengurangi efek radang periarterial dan
(3) terapi antiserotonin untuk mengatasi thromboembolisme, vasokonstriksi
sekunder dan bronkhokonstriksi.
Terapi adulticida
Adulticida pertama untuk anjing yang dikembangkan adalah
thiacetarsamide sodium dengan kandungan arsenic (Nash 2008). Obat ini harus
diberikan melalui intra vena karena dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa
jaringan jika diberikan selain intra vena. Beberapa hewan dapat menjadi lebih
parah dan pengobatan harus dihentikan. Hampir semua hewan harus dirawat
selama beberapa hari untuk pengobatan ini.
Melarsomin dihidroklorida adalah obat yang mengandung arsenik organik.
Obat ini dapat diberikan melalui injeksi intra muscular dan lebih efektif serta
mempunyai efek samping yang lebih ringan dibanding thiacetarsamide. Venco
(2007) menyatakan bahwa pemberian melarsomin dihidroklorida dengan dosis 2,5
mg/kg BB dapat membunuh sekitar 90% cacing jantan dan 10% cacing betina.
Oleh karena itu dapat mengurangi sekitar 50% cacing (jumlah ini dinyatakan lebih
aman terhadap kemungkinan terjadinya emboli dan shock). Berdasarkan alasan
ini maka American Heartworm Society menyatakan bahwa melarsomin
dihidroklorida merupakan drug of choice terhadap CHD. Pemberian melarsomin
dihidroklorida juga dilakukan pada pengendalian CHD di Thailand. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa terapi adulticida sebaiknya dilanjutkan dengan terapi
mikrofilarisida minimal 4 minggu kemudian (Nithiuthai 2003). Eslami et al.
(2005) menyatakan bahwa pemeriksaan darah dan klinis terhadap anjing yang
diterapi dengan melarsomin dihidroklorida pada satu dan dua bulan pascaterapi
21
Terapi Mikrofilarisida
Pemberian mikrofilarisida adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria. Obat
yang paling efektif untuk tujuan ini adalah antelmintik macrocyclic lactone (ML)
seperti milbemycin oxime, selamectine, moxidectine dan ivermectine. Sirkulasi
mikrofilaria biasanya dapat dieliminasi dalam beberapa minggu dengan obat
golongan ML. Nithiuthai (2003) dan Elsami et al. (2005) menyatakan bahwa
ivermectine 0,05 mg/kg BB adalah mikrofilarisida yang paling efektif. Selain
ivermectin, pemberian levamisole 11 mg/kg per oral selama 7 - 12 hari juga dapat
mengeliminasi mikrofilaria (O'Grady dan O'Sullivan 2004).
Terapi Profilaksis
Terapi profilaksis dilakukan untuk melindungi anjing dari infeksi cacing jantung.
Beberapa terapi profilaksis yang direkomendasikan saat ini dapat dilihat pada
tabel berikut (Courtney 1988; O'Grady dan O'Sullivan 2004). Obat-obatan ini
umumnya digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi cacing jantung. Jika
diberikan secara konsisten, maka sangat mungkin untuk menghentikan
22
Tabel 4 Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infeksi cacing jantung
Kandungan aktif Dosis Keterangan Diethylcarbamazine
(DEC)
5.5 sampai 6.5 mg/kg setiap hari
• Mencegah perkembangan cacing menjadi dewasa
• Terapi seharusnya dimulai dua minggu sebelum musim populasi nyamuk meningkat dan dilanjutkan sampai dua bulan setelah akhir musim tersebut
• Anjing harus dalam kondisi amikrofilaremik sebelum pemberian DEC
• Reaksi akibat pemberian DEC pada kondisi anjing mikrofilaremia biasanya timbul 30 - 60 menit setelah treatmen meliputi diare, muntah, depresi, lethargi, inkoordinasi, tachycardia, bradycardia, dyspnea dan shock sirkulasi perifer. Penyebab reaksi ini belum jelas
• DEC harus dimulai sesegera mungkin setelah uji terhadap mikrofilaria dinyatakan negatif.
Ivermectin 6 µg/kg BB sekali sebulan • Dimulai dalam satu bulan setelah anjing terpapar nyamuk dan dilanjutkan setiap bulan selama periode nyamuk yang berpotensi membawa larva infektif aktif
• Aman terhadap anjing ras Collie kecuali dengan berat badan kurang dari 4,5 kg
• Pemberian dianjurkan mengikuti pola pemberian ivermectin
• Dapat membunuh mikrofilaria, reaksi shock (jarang terjadi) saat diberikan pada anjing dengan mikrofilaremia hebat
23
Persyaratan Kesehatan Hewan Impor dan Ekspor Anjing
Upaya pencegahan penyebaran Canine Heartworm Disease telah
dilakukan oleh beberapa negara diantaranya dengan cara menetapkannya dalam
persyaratan kesehatan hewan. Pemerintah Australia mempersyaratkan
pengobatan profilaksis cacing jantung untuk anjing minimal 4 bulan sebelum
diimpor ke negaranya mengingat Australia merupakan wilayah endemis cacing
jantung. New Zealand menetapkan rekomendasi karantina untuk mencegah D.
immitis bagi anjing yang diimpor dari Australia. Anjing harus menunjukkan hasil
uji negatif terhadap sirkulasi antigen D. immitis dan mikrofilarianya. Saat
kedatangan di New Zealand, anjing harus di beri pengobatan profilaksis
menggunakan ivermectine atau milbemycin oxime (NZMAF 2008). Institusi
Karantina Hewan Singapura menetapkan tindakan pencegahan terhadap
heartworm disease selama masa karantina bagi anjing yang diimpor ke Singapura.
Dalam persyaratan kesehatan tersebut, pengobatan profilaksis terhadap cacing
jantung harus dimulai 4 – 6 minggu sebelum masuk ke Singapura (AVA 2008).
Instalasi Karantina Hewan Soekarno-Hatta
Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000
tentang Karantina Hewan, Instalasi karantina hewan (IKH) yang selanjutnya
disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan
serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan
tindakan karantina. Instalasi Karantina yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina
Pertanian Hatta terletak di dalam kawasan Bandar Udara
Soekarno-Hatta, meliputi instalasi karantina untuk anjing, instalasi untuk kucing, instalasi
karantina untuk unggas, instalasi karantina untuk reptil, instalasi karantina untuk
DOC, instalasi karantina untuk kuda dan instalasi karantina untuk Primata.
Instalasi tersebut dilengkapi dengan sebuah laboratorium yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan uji diagnosis cepat guna mendukung kelancaran
24
Khusus untuk IKH anjing, mempunyai kapasitas 50 ekor, dilengkapi
dengan Air Conditioner (AC) dan kandang ditutupi dengan kasa nyamuk.
A B C
Gambar 5 Instalasi Karantina Hewan BBKP SH
A. Kandang anjing di bagian dalam ruangan IKH anjing
B. Kandang anjing di bagian luar ruangan IKH anjing
25
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina
Pertanian Soekarno-Hatta, Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari -
November 2008.
Desain Penelitian
Studi kasus dirofilariosis pada anjing impor dilakukan secara lintas
seksional dengan mengambil 134 sampel serum anjing impor berumur ≥ 6 bulan
yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dari
bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang
diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional
dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D.
immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA
menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen
Test Kit; Synbiotics Corporation, San Diego, CA). Data-data tentang berbagai
faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras
dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal
Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data
prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari –
Nopember 2008.
Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD
dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan
dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional)
dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel
darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH.
Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00
(pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan
periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya
26
sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00). Hasil yang didapatkan dari
kedua metoda tersebut dibandingkan dan dianalisis secara deskriptif.
Deteksi antigen D. immitis dengan ELISA
DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Gambar 6) digunakan
untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori cacing dewasa D. immitis. Prosedur
pemeriksaan dilakukan sesuai petunjuk penggunaan kit dari produsen. Sebanyak
0,5 ml sampel serum diteteskan ke dalam setiap sumur yang telah dilapisi
monoklonal antibodi. Selanjutnya ditambahkan sebanyak satu tetes monoklonal
antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim Horseradish peroxidase (HRP).
Setelah dilakukan pencucian sebanyak lima kali dengan menggunakan aquades
steril, ke dalam setiap sumur ditambahkan dua tetes kromogen lalu ditunggu
selama lima menit. Sampel yang mengandung antigen D. immitis akan
menunjukkan reaksi positif berupa warna biru.
Gambar 6 DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics
Corporation,San Diego, CA)
Uji knott untuk mendeteksi mikrofilaria D immitis
Pengambilan sampel darah (whole blood) dengan EDTA untuk Uji Knott
dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan pukul 22.00
(malam). Sebanyak 1 ml darah di dicampur dengan 9 ml formalin 2% lalu di
sentrifuse 1500 RPM. Supernatan dibuang, kemudian endapan (pelet) diteteskan
methylen blue 0,1% lalu sebanyak satu tetes diulaskan di atas gelas obyek untuk
27
Analisis Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan chi
square (X2) independent test untuk menguji perbedaan proporsi seluruh kelompok
data. Peubah yang menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok diuji lebih
lanjut dengan model Regresi Logistik untuk menentukan Odds Ratio dugaan
(Kleinbaum 1994), serta prevalensi dugaan pada sampling yang dilakukan dengan
metode proporsional (Thrusfield 2005). Efektifitas metoda pengujian secara
28
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik anjing impor
Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548
ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar
Karantina Pertanian Soekarno-Hatta selama bulan Januari – Nopember 2008.
Dari total jumlah anjing impor tersebut dilakukan pemeriksaan status infeksi CHD
terhadap 134 ekor (24,5%) terdiri atas 63 ekor betina dan 71 ekor jantan. Anjing
tersebut diimpor dari 33 negara di wilayah Eropa, Amerika, Australia dan Asia
(Tabel 6). Kisaran umur anjing yang diambil sampel darahnya antara 6 bulan
sampai 18 tahun. Pengambilan sampel pada anjing dengan batas umur minimal 6
bulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kit ELISA yang digunakan mampu
mendeteksi antigen D. immitis dewasa dalam sirkulasi darah minimal 6 bulan
pasca infeksi (Atwell 1986).
Ras anjing yang diimpor sangat bervariasi namun dapat dibedakan menjadi
dua golongan yaitu ras dengan jenis rambut panjang sebanyak 92 ekor dan ras
dengan jenis rambut pendek sebanyak 42 ekor. Jenis-jenis ras yang digunakan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Manajemen pemeliharaan anjing
tidak dapat diketahui karena sebagian besar anjing impor tidak dibawa langsung
oleh pemilik melainkan menggunakan biro jasa pengiriman.
Gambar 7. Contoh Ras anjing bulu panjang Gambar 8. Contoh Ras anjing bulu pendek
29
Tabel 5 Jenis ras anjing yang diperiksa selama penelitian
Ras Rambut Panjang Ras Rambut Pendek
Collie Dachshund
Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui BBKP SH
pada bulan Januari – Nopember 2008 adalah sebesar 8,2% (Tabel 7). Jumlah
anjing yang terdeteksi positif CHD adalah sebanyak 11 ekor berasal dari negara
Malaysia, Singapura, India, Republik Rakyat Cina, Oman, Australia, USA,
Jerman dan Rumania, dengan infeksi terbanyak terjadi pada anjing asal Malaysia.
Jika ditinjau dari kategori wilayah, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing
yang berasal dari wilayah Australia yaitu sebesar 11,1% diikuti wilayah Asia
(10,6%), Eropa (6,5%) dan Amerika (3,6%). Secara statistik tidak ditemukan
keterkaitan yang signifikan antara prevalensi infeksi dengan wilayah asal anjing
impor (Tabel 6). Status kesehatan hewan selama berada di Instalasi Karantina
30
terdiri atas Taiwan, Jepang, Republik Rakyat Cina, Oman, Saudi Arabia, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan dan India.
2)terdiri atas negara Belgia, Jerman, Belanda, Swiss, Spanyol, Italia, Inggris, Yunani, Hungaria, Rumania,
Serbia, Republik Ceko, Republik Czechnia dan Uzbekistan
3)
terdiri atas USA, Canada dan Brazil
*)
31
Tabel 7 Status kesehatan hewan yang dideteksi positif CHD
Kode Sampel Negara asal Signalemen Status Present Keterangan 224a Malaysia Ras: golden 214 Malaysia Ras: Australian
32
Gambar 9 Prevalensi berdasarkan Wilayah Asal
Hasil pemeriksaan terhadap anjing yang masuk selama periode bulan
Januari – Juni 2008 menunjukkan tidak ada anjing yang terinfeksi D.immitis.
Pada periode importasi Juli – Nopember 2008 terdeteksi adanya infeksi cacing
jantung pada 11 ekor anjing (15%). Analisa statistik menunjukkan adanya
keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi
cacing jantung pada anjing yang masuk melalui BBKP SH (P< 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa risiko anjing terinfeksi yang diimpor pada bulan Juli –
Nopember lebih besar dibanding 6 bulan pertama. Tidak dapat diketahui nilai
Odds Ratio pada analisis ini disebabkan adanya prevalensi sebesar 0% pada bulan
Januari – Juni (Thrusfield 2005). Analisis lebih lanjut menunjukkan prevalensi
dugaan (confident interval) infeksi cacing jantung pada periode Januari –
Nopember adalah antara 3,56 – 12,86%. Prevalensi dugaan (confident interval)
yang lebih tinggi ditemukan pada bulan berisiko (Juli – Nopember) yaitu antara
6,86 – 23,28%.
Amerika 3.6%
Australia 11.1%
Eropa 6.5%
33
Gambar 10 Prevalensi berdasarkan Periode Impor
Temuan ini mengindikasikan bahwa penyebaran infeksi cacing jantung
pada anjing telah meluas ke berbagai penjuru dunia. Berbagai studi menunjukkan
prevalensi cacing jantung yang tinggi pada anjing di berbagai negara Asia.
Tingkat kejadian CHD pada anjing di Malaysia tercatat sebesar 25,8%
(Retnasabapathy dan San 1976), sedangkan Boonyapakorn et al. (2008) mencatat
18.2% pasien anjing yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hewan
Universitas Chiang Mai Thailand menderita dirofilariosis. Tingkat prevalensi
yang lebih tinggi ditemukan di Taiwan dan Korea Selatan yaitu masing-masing
sebesar 57% (Wu dan Fan 2003) dan 40% (Song et al. 2003).
Di Amerika, infeksi tersebar luas. American Heartworm Society (2007a)
melaporkan bahwa infeksi CHD ditemukan di 50 negara bagian USA. Semua
anjing berdasarkan umur, jenis kelamin atau habitat rentan terserang CHD.
Infeksi tertinggi (sampai 45%) pada anjing diamati pada Teluk Mexico sampai
New Jersey dan sepanjang Sungai Mississipi. Wilayah lain mempunyai tingkat
insidensi yang lebih rendah (kurang dari 5%) namun insidensi ini dapat meningkat
pada beberapa wilayah yang mempunyai kondisi lingkungan, populasi nyamuk
dan populasi anjing yang mendukung terjadinya infeksi CHD. Nelson et al.
(2003) dalam tulisannya mengemukakan bahwa survei regional yang dilakukan
pada coyote sepanjang tahun 1995 – 1997 di Illinois menunjukkan prevalensi
secara umum adalah 16% dan jika ditinjau secara regional, prevalensi meningkat
dari bagian utara (3,4%) ke bagian selatan Illinois (40%). Perbedaan prevalensi
ini dijelaskan terkait dengan habitat nyamuk, dimana di wilayah selatan
34
nyamuk yaitu Aedes canadensis, Aedes trivittatus dan Aedes vaxans yang
merupakan vektor CHD di wilayah tersebut.
Lok (1988) dalam tulisannya melaporkan bahwa Australia merupakan
daerah enzootik terhadap D. immitis, khususnya sepanjang Australia bagian utara
dan timur. Dalam wilayah ini, prevalensi infeksi CHD terjadi sampai mendekati
90%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kejadian infeksi lebih banyak terjadi pada
wilayah dengan temperatur hangat dibanding dataran tinggi. Transportasi anjing
secara bebas dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya merupakan faktor
utama penyebaran D. immitis di Australia. Institusi karantina Australia
(Australian Quarantine and Inspection Services/AQIS) mempersyaratkan bagi
anjing/kucing yang akan masuk ke wilayah Australia, khususnya yang belum
pernah terpapar CHD untuk melakukan tindakan pencegahan setidaknya 4 bulan
sebelum masuk ke wilayah Australia (AQIS 2008).
Keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi
infeksi cacing jantung mungkin terkait dengan waktu terjadinya infeksi di negara
asal. Dalam penelitian ini anjing dari negara empat musim (temperate region)
yang positif antigen D. immitis terdeteksi pada periode bulan Agustus-November.
Berdasarkan kemampuan deteksi Kit, diduga anjing tersebut terinfeksi
pada periode bulan Februari-Mei yaitu bertepatan dengan musim semi sampai
musim panas. Berdasarkan laporan AHS (2007b), puncak transmisi D. immitis di
Hemisphere bagian utara adalah bulan Juli dan Agustus. Hal ini dijelaskan lebih
lanjut bahwa iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk
mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva
menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor yang memegang peranan penting
dalam transmisi D.immitis. Temperatur yang turun di bawah batas ambang
(14°C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva bahkan
ketika temperatur harian rata-rata mendukung kelanjutan perkembangannya. Pada
suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium
infektif adalah 10 – 14 hari. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang
menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung perkembangan
nyamuk. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu