• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno Hatta"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI

CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR

MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA

ESMIRALDA EKA FITRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

(3)

ABSTRACT

ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalence and Risk of Heartworm Infection in Imported Dog through Soekarno-Hatta International Airport. Under direction of FADJAR SATRIJA and HADI WARDOKO.

The present study determined prevalence and risk factors associated with D. immitis infection in pet dogs imported through Soekarno-Hatta International Airport in period of January-November 2008. Eleven (8.2%) of 134 samples tested with antigen detecting ELISA kits showed positive reaction for D. immitis antigen. Prevalence of D. immitis infection in dogs imported from countries in Europe, Asia, Australia and America were 6.5, 10.6, 11.1, and 3.6% respectively. Chi2 analysis showed no significant association between prevalence and origin of importation area. No infected dogs were found in the period of January – June, whereas prevalence of D. immitis infection among the imported dogs was 15% in July-November. Chi2 analysis revealed a significant association between prevalence of heartworm infection and period of importation. More male (9.4%) than female (8.6%) dogs were affected in this study, although there was no significant difference between both groups. The seroprevalence was 7.9% in <3-year-old group, 5.9% in 3-6-<3-year-old group, and 12.5% in >6-<3-year-old group. Age group of dogs was no associated with seroprevalence of D. immitis. Despite more dogs with short hair (11.9%) was higher than longhair (6.5%) exhibited positive reaction to D. immitis antigens, no association was found between seroprevalence and the length of dog hair. This study revealed that importation of dogs posses risk for spreading of heartworm infection in dogs in Indonesia.

Comparative study between serological CHD diagnosis method and

modified knott, has been done. From 11 samples, only 1 sample showed positive reaction for D. immitis with serologic test, while using knott detection

method showed negative result for samples taken at 10.00 am and 22.00 pm. This study revealed that serologic method is more effective to detect CHD and recommended to diagnostic method in quarantine station laboratory.

(4)

RINGKASAN

ESMIRALDA EKA FITRI. Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta. Di bawah bimbingan FADJAR SATRIJA dan HADI WARDOKO).

Studi dirofilariosis pada anjing impor telah dilakukan secara lintas seksional untuk: (1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, (2) Mengkaji faktor-faktor risiko

timbulnya Canine Heartworm Disease (CHD) pada anjing impor dan (3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan validasi

metoda pemeriksaan dirofilariosis.

Sebanyak 134 sampel serum anjing impor berumur minimal enam bulan (≥

6 bulan) yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, diambil pada periode bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D. immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit; Synbiotics Corporation,San Diego, CA). Data-data tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari – Nopember 2008.

Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional) dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH. Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya pada pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002), sedangkan untuk metode serologi sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00).

(5)

(7,9%) dan umur 3 – 6 tahun (5,9%) namun tidak ditemukan asosiasi antara prevalensi dan kelompok umur. Analisis terhadap ras anjing juga tidak ditemukan keterkaitan nyata antara prevalensi CHD dan ras anjing, meskipun ditemukan prevalensi pada ras rambut pendek lebih tinggi (11,9%) dibanding rambut panjang (6,5%). Studi ini menyatakan bahwa anjing impor berpotensi sebagai risiko dalam penyebaran cacing jantung pada anjing di Indonesia.

Pengujian secara serologis dan modifikasi Knott untuk membandingkan efektifitas antara kedua metoda tersebut menunjukkan satu sampel dideteksi positif CHD dengan menggunakan metoda serologis, namun tidak ditemukan sampel positif baik pada sampel yang diambil pada pukul 10.00 (pagi) maupun pukul 22.00 (malam) pada metoda modifikasi knott. Hal ini menunjukkan bahwa metode serologis lebih efektif dalam mendeteksi CHD dibanding modifikasi Knott dan dapat direkomendasikan sebagai metoda standar untuk pengujian cacing jantung di laboratorium karantina hewan.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI

CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR

MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA

ESMIRALDA EKA FITRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang Diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta

Nama : Esmiralda Eka Fitri

NIM : B251064014

Disetujui Komisi Pembimbing

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D drh. Hadi Wardoko, MM

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Prevalensi dan Risiko Infeksi Cacing Jantung pada Anjing yang diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta ini dapat diselesaikan dengan baik. Haturan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D dan Bapak Drh. Hadi Wardoko, MM selaku pembimbing atas arahan yang diberikan sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Badan Karantina Pertanian dan Kepala Pusat Karantina Hewan yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana ini, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dan Kepala Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian beserta staf dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran proses penelitian penulis. Ungkapan terima kasih tak henti-hentinya penulis sampaikan kepada suami tercinta, Drh. Irpansyah Batubara, MSi, ananda Divanka Noviazra Batubara serta ayah dan ibu atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan program ini dengan lancar. Tak lupa buat teman-teman kelas khusus KMV Karantina, terima kasih atas kebersamaannya sehingga program ini bisa kita selesaikan bersama-sama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Januari 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 4 September 1978 dari ayah Ir. Amri Dayan, SE dan ibu Nuraini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 2000 kemudian dilanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) IPB lulus pada tahun 2002.

Penulis bekerja di Kantor Pusat Badan Karantina Pertanian pada unit kerja Pusat Teknik dan Metoda pada tahun 2004 – 2006, lalu pada tahun 2006 sampai dengan sekarang ditempatkan di unit kerja Pusat Karantina Hewan. Untuk meningkatkan kemampuan teknis dan wawasan tentang perkarantinaan hewan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan antara lain Training of Animal Quarantine Management di Malaysia pada (2006) dan Seminar for Commodity Inspection and Quarantine Official of Developing Countries di Republik Rakyat Cina (2008). Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk tugas belajar dari Badan Karantina Pertanian pada program Magister Sains (S2) Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)

DAFTAR ISI

Klasifikasi Dirofilaria immitis……….. 4

Gambaran morfologi………. 4

Siklus hidup dan penularan………... 7

Vektor……… 8

Dinamika mikrofilaria D. immitis dalam tubuh inang………... 8

Canine heartworm disease (Dirofilariosis) ………... 9

Human pulmonary dirofilariosis………. 11

Faktor fisiko………. 12

Diagnosa……… 15

Pengobatan……….... 18

Persyaratan kesehatan hewan impor dan ekspor anjing ………... 23

Instalasi karantina hewan Soekarno-Hatta………. 23

BAHAN DAN METODE……….. 25

Tempat dan waktu penelitian………... 25

Desain penelitian………... 25

Deteksi antigen D immitis denganELISA……… 26

Uji Knott untuk mendeteksi mikrofilaria D. immitis……….. 26

Analisis data………... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN………. 28

Karakteristik anjing impor……….….. 28

Prevalensi CHD berdasarkan faktor risiko………. 29

Perbandingan metoda pengujian D. immitis……….... 39

SIMPULAN DAN SARAN………... 41

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum)... 6 2. Prevalensi CHD di berbagai negara... 11 3. Perbandingan kelebihan dan kekurangan metode pemeriksaan

cacing jantung………... 18 4. Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infksi

cacing jantung………. 22

5. Jenis ras anjing yang digunakan untuk penelitian... 29 6. Hasil analisis menggunakan chi square test dengan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Dirofilaria immitis………... 5

2. Mikrofilaria Dirofilaria sp………... 6

3. Siklus hidup D. immitis………..…... 7

4. Peta distribusi CHD di dunia tahun 2001... 14

5. Instalasi Karantia Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.. 24

6. DiroCHEK®Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics Corporation, San Diego, CA)………... 26

7. Contoh ras anjing bulu panjang (australian silky terrier)….……… 28

8. Contoh ras anjing bulu pendek (labrador)…..………...……… 28

9. Prevalensi berdasarkan wilayah asal………...……… 32

10.Prevalensi berdasarkan periode impor……… 33

11.Prevalensi berdasarkan jenis kelamin... 36

12.Prevalensi berdasarkan umur... 37

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdagangan bebas telah mendorong terjadinya peningkatan arus lalu

lintas orang, hewan maupun produk hewan antar negara. Hal ini meningkatkan

secara nyata perekonomian dunia termasuk Indonesia, namun di sisi lain juga

meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya berbagai penyakit hewan termasuk

penyakit-penyakit dapat ditularkan hewan kepada manusia (zoonosis).

Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta adalah bandar udara terbesar

di Indonesia dengan lalulintas orang, hewan dan produk hewan yang cukup ramai.

Salah satu jenis hewan yang sering dilalu-lintaskan melalui bandara tersebut

adalah anjing yang diimpor untuk berbagai tujuan diantaranya hewan kesayangan

milik Korps Diplomatik, bibit untuk kennel, maupun untuk diperdagangkan di

pasar hewan atau pet shop.

Berdasarkan Laporan Tahunan Pusat Karantina Hewan, jumlah anjing

impor yang masuk melalui Bandar Udara Soekarno - Hatta antara tahun

2005-2007 adalah sebanyak 2032 ekor (Pusat Karantina Hewan 2005, 2006, 2005-2007).

Pada periode Januari – Nopember 2008, jumlah anjing impor yang masuk adalah

sebanyak 548 ekor berasal dari Argentina, Australia, Bahrain, Belgia, Cina,

Denmark, Hongkong, Hungaria, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan,

Malaysia, Mesir, Netherland, Norwegia, Pakistan, Perancis, Philipina, Qatar,

Republik Ceko, Republik Czech, Singapore, Srilanka, Swiss, Taiwan, Thailand,

United Kingdom, Ukraina, USA (Pusat Karantina Hewan 2008).

Pengawasan terhadap penyakit hewan di Bandar Udara Soekarno-Hatta

dilakukan oleh institusi pemerintah Balai Besar Karantina Pertanian

Soekarno-Hatta (BBKP SH). Selama ini pengawasan dan pemeriksaan terhadap anjing

khususnya anjing impor lebih dititikberatkan pada penyakit rabies. Disamping

rabies, anjing dapat membawa zoonosis lain misalnya Canine Heartworm Disease

(CHD). Canine Heartworm Disease (dirofilariosis) adalah penyakit yang

disebabkan oleh infeksi cacing jantung (Dirofilaria immitis). Penyakit ini

berakibat fatal dan menimbulkan kematian pada anjing serta dapat ditularkan ke

(16)

2

Dirofilariosis (HPD). Pengawasan terhadap penyakit ini belum dilakukan secara

intensif oleh Badan Karantina Pertanian karena penyakit ini belum ditetapkan

sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK).

Data tentang kejadian dirofilariosis pada anjing peliharaan di Indonesia

masih terbatas. Pengamatan Karmil (2002) terhadap keberadaan mikrofilaria pada

anjing peliharaan di wilayah D.I. Aceh, Jakarta dan Bogor, serta Bali menemukan

mikrofilaria pada 10,7%, 19,23%, dan 5,23% sampel darah anjing yang diambil

dari masing-masing daerah. Berdasarkan uji ELISA untuk mendeteksi

keberadaan antigen D. immitis dalam serum, prevalensi infeksi CHD pada anjing

peliharaan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali terdeteksi

masing-masing sebesar 2,2%, 15,9%, 4,5% dan 8,8% (Satrija et al. 2008).

Sejauh ini belum ada data tentang kasus CHD pada anjing impor dan

kemungkinan peranannya dalam penyebaran CHD di Indonesia. Mengingat

potensi zoonosis dari cacing jantung maka perlu diketahui prevalensi serta

berbagai faktor risiko yang terkait dengan kasus dirofilariosis pada anjing-anjing

impor melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Data ini diperlukan sebagai dasar

rekomendasi ilmiah dalam menyusun kebijakan pengawasan dan tindakan

perkarantinaan hewan terhadap CHD di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi D. immitis

pada anjing impor di Instalasi Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, serta mengkaji

keterkaitannya dengan faktor umur, jenis kelamin, kelompok ras, wilayah asal

impor, dan waktu impor anjing. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi

bahan pertimbangan bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat

Karantina Hewan) dan Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam

melakukan pengawasan lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan

masuk dan tersebarnya Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke

(17)

3

Tujuan Penelitian

(1) Mengetahui prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor

melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta.

(2) Mengkaji faktor-faktor risiko timbulnya Canine Heartworm Disease

(CHD) pada anjing impor

(3) Mengetahui teknik dan metoda yang akurat dan efisien sebagai bahan

validasi metoda pemeriksaan Dirofilariosis

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi

institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina Hewan) dan

Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dalam melakukan pengawasan

lalulintas terhadap anjing sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya

Canine Heartworm Disease melalui anjing yang masuk ke wilayah RI maupun

yang dilalulintaskan antar area.

Hipotesis

a. Anjing impor yang dilalulintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta

terinfeksi CHD.

b. Kejadian infeksi CHD pada anjing impor berbeda-beda dipengaruhi oleh

umur, jenis kelamin, ras anjing, wilayah asal dan periode impor anjing.

c. Terdapat perbedaan hasil pengujian CHD dengan menggunakan metoda

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Dirofilaria immitis

Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus

Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan

subgenus Nochtiella meliputi Dirofilaria ursi, D. repens, D. striata dan D. tenuis

(Lok 1988). Menurut Soulsby (1986), klasifikasi D. immitis adalah sebagai

berikut :

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub Kelas : Secernentea

Sub Ordo : Spirurata

Superfamili : Filarioidea

Famili : Filariidae

Genus : Dirofilaria

Spesies : Dirofilaria immitis

Cacing dewasa D. immitis hidup di dalam ventrikel kanan jantung dan

arteri pulmonalis anjing yang merupakan inang definitifnya. Selain anjing, cacing

ini juga dapat menginfeksi lebih dari 30 spesies hewan (misalnya coyotes,

serigala, rubah dan canidae liar lainnya, kucing dan kucing liar, ferrets, singa laut

dan sebagainya) dan manusia (AHS 2007a). Selain canidae, siklus hidup D.

immitis juga terjadi secara sempurna pada tikus air (Ondatra zibethica) walaupun

mikrofilaria belum ditemukan hingga 160 hari (Karmil 2002). Jika secara alami

terbukti bahwa tikus air dapat menjadi reservoir, maka penyebaran CHD akan

lebih mudah lagi karena populasi tikus air di Indonesia cukup tinggi.

Gambaran Morfologi

Cacing D. immitis dewasa berbentuk ramping berwarna putih dengan

panjang cacing jantan 12 – 16 cm, betina 25 – 30 cm. Ujung posterior cacing

jantan berbentuk melingkar dan pada ekor terdapat beberapa papilae lateral.

Vulva cacing betina terletak di belakang ujung esofagus (Soulsby 1986, Manfredi

(19)

5

(inang) berupa plasma dan cacing ini dapat hidup selama 5 – 7 tahun di tubuh

inang. Nematoda ini termasuk golongan vivipar, cacing betina melepaskan

mikrofilaria ke dalam aliran darah inang (Manfredi et al. 2007)

A B C

Gambar 1 Dirofilaria immitis (Manfredi et al. 2007)

A. Ujung posterior cacing jantan

B. Ujung anterior cacing betina

C. Cacing dewasa betina (atas) dan jantan (bawah)

Pada pemeriksaan darah anjing terinfeksi, dapat ditemukan beberapa jenis

mikrofilaria (mf) yaitu mf Dipetalonema dan Dirofilaria. Perbedaan morfologi

dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum dapat dilihat pada

(20)

6

Tabel 1 Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum).

Karakteristik D. immitis Di. reconditum

Mikrofilaria:

• Jumlah dalam darah Sedikit s/d banyak Biasanya sedikit

• Bentuk badan Biasanya lurus Kurva

• Panjang badan 308 (295 – 325) m 263 (250 – 288) m

• Lebar badan 5 – 7,5 m 4,5 – 5,5 m

• Bentuk ujung badan runcing Tumpul

• Bentuk ekor lurus Kurva atau berkait

• Pergerakan Dari sisi ke sisi

(stationary)

Ke depan

Cacing dewasa:

• Panjang betina 25 – 30 cm 3,0 – 3,2 cm

• Panjang jantan 15 – 20 cm 1,7 cm

• Habitat Ventrikel kanan dan

arteri pulmonalis

Daerah subkutan di

seluruh tubuh

A B C

Gambar 2 Mikrofilaria Dirofilaria sp

A. Mikrofilaria D. immitis (Ohio State University 2007)

B. Detail ujung posterior mikrofilaria D. immitis pada pembesaran 40x (Tarello 2004)

(21)

7

Siklus Hidup dan Penularan

Penyebaran D. immitis dari anjing ke hewan lain atau manusia terjadi

melalui gigitan nyamuk yang mengandung L3 yang biasa disebut dengan istilah

mikrofilaria (mf) ketika menghisap darah anjing terinfeksi (Abraham 1988,

Manfredi 2007). Pada hari ke-1, darah yang mengandung mf masih tersisa di

bagian mulut, tetapi pada hari ke-2, mf bermigrasi ke bagian midgut dan tubulus

malphigi. Pada hari ke-4, mikrofilaria telah berubah menjadi bentuk sosis (L2)

dengan ukuran panjang 220 – 240 m dan lebar 20 – 25 m. Pada hari ke-9,

terjadi penambahan sel intestinum dan sel ekskretori dan akhirnya membentuk

organ-organ tubuh dengan ukuran 500 x 20 m. Pada hari ke-15 sd 17,

mikrofilaria menuju thoraks dan akhirnya di labium nyamuk dan bentuk ini

disebut bentuk infektif (L3) dengan ukuran 800 – 900 m.

Pemindahan L3 terjadi ketika nyamuk memuntahkan air liur yang

mengandung L3 ketika menjelang menghisap darah hewan. Dari tempat bekas

gigitan nyamuk, L3 bermigrasi ke membran subkutikuler dan jaringan adipose

inang definitif baru. Pada inang yang baru, L3 mengalami perubahan bentuk

menjadi stadium L4, L5, cacing muda dan dewasa dengan indikasi bahwa cacing

betina dewasa viviparu akan menghasilkan mf yang dapat dideteksi melalui

pemeriksaan darah perifer. Setelah 85 – 120 hari pasca infeksi, D. immitis dewasa

sudah berada di dalam jantung kanan dan arteri pulmonalis dengan ukuran

panjang sekitar 32 cm (Gambar 3).

(22)

8

Secara eksperimen, mikrofilaria dari darah anjing terinfeksi dapat

dipindahkan ke anjing lain melalui transfusi darah (Abraham 1988). Mikrofilaria

ini dapat beredar di tubuh anjing resipien selama 2,5 tahun. Umumnya

mikrofilaria hasil transfusi ini tidak beredar di pembuluh darah perifer namun di

dalam organ. Mikrofiaria dari kultur in vitro pun pernah di transfusi secara

eksperimen pada anjing normal. Anjing resipien ini dapat memelihara

mikrofilaria pada pembuluh darah perifer untuk beberapa minggu, namun dalam

jumlah sedikit.

Vektor

Nyamuk merupakan vektor bagi D. immitis. Sebanyak 60 -70 spesies

nyamuk diperkirakan dapat menjadi vektor potensial (Nithiuthai, 2003; Lok

1988). Larva D. immitis dapat berkembang menjadi L3 di dalam nyamuk dari

genus Culex, Aedes, Psorophora, Mansonia atau Anopheles. Spesies yang dapat

menjadi vektor D. immitis adalah spesies yang tidak mempunyai

bucco-pharyngeal yang dapat merusak kutikula mikrofilaria sehingga menghambat

perkembangannya menjadi larva infektif (Manfredi 2007).

Dinamika Mikrofilaria D. immitis dalam Tubuh Inang

Mikrofilaria (mf) dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah anjing

reservoir setiap waktu, akan tetapi angka mikrofilaremik perifer umumnya

mengikuti pola periodisitas yang berbeda pada setiap geografis. Di USA, Perancis

dan Cina angka minimum dan maksimum mikrofilaremik perifer masing-masing

terdapat pada jam 11.00 dan 16.00, 08.00 dan 20.00 serta 06.00 dan 18.00

(Soulsby 1986). Puncak mikrofilaremia di Indonesia khususnya di wilayah DI.

Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali terjadi pada pukul 7.00 – 8.00 dan pukul 23.00

– 24.00 (Karmil 2002).

Fenomena rendahnya mikrofilaremia pada anjing terlihat pada siang hari

diduga terjadi karena: (1) tekanan O2 di dalam pembuluh darah perifer lebih

rendah dibandingkan dengan di dalam pembuluh darah pulmoner; (2) adanya

kecenderungan bahwa anjing mempunyai aktivitas tinggi, sehingga terjadi

(23)

9

dan kondisi demikian tidak menguntungkan bagi mf dan jumlah mf di dalam

pembuluh darah perifer sedikit; (4) reservoir mf terdapat pada pembuluh darah

pulmoner, limpa, vena abdominalis dan sinus-sinus vena hepatik, pleksus vena

kulit. Berdasarkan sistem vena tersebut ternyata limpa dan pembuluh darah

pulmonalis menjadi reservoir dari mf.

Angka mikrofilaremik lebih tinggi pada malam hari dibandingkan pada

siang hari, sehingga periodisitas demikian disebut subperiodik nokturnal.

Fenomena tentang maksimum mikrofilaremia terjadi pada malam hari ada

kemungkinan mengikuti irama sistem sirkulasi darah. Volume darah yang

mengalir di dalam pembuluh darah perifer atau di jaringan-jaringan adalah sangat

lambat, sehingga pertukaran zat-zat makanan antara darah dan jaringan

berlangsung sangat intensif.

Kehadiran mikrofilaria dalam darah anjing terinfeksi tidak selamanya

dapat dideteksi. Keadaan ini disebut sebagai occult heartworm infection. Karmil

(2002) memperkirakan sebesar 14,27 – 37,76% dari anjing penderita dirofilariosis

di DI. Aceh, Jakarta, Bogor dan Bali tergolong occult infection. Kondisi serupa

ditemukan pada 10 - 67% anjing yang terinfeksi D. immitis di Korea (Byeon et

al. 2007). Kondisi occult infection dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1)

infeksi oleh satu jenis cacing saja (single sex), (2) respon imun inang terhadap

sirkulasi mikrofilaria dan (3) pemberian obat cacing sebagai pencegahan.

Dinamika mikrofilaria D. immitis di dalam tubuh vektor berkaitan erat

dengan (1) jumlah mikrofilaria; (2) jenis nyamuk dan (3) geografi atau iklim

(Karmil 2002). Pertumbuhan membutuhkan waktu 15 – 17 hari untuk daerah

subtropis dan 18 – 10 hari untuk daerah tropis (Jones et al. 1993). Studi Karmil

(2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan menjadi stadium mikrofilaria infektif

(L3) dalam mikrofilaria lebih cepat di D.I. Aceh (9 hari) dibandingkan dengan di

Bogor (12 hari).

Canine Heartworm Disease (Dirofilariosis)

Prevalensi dirofilariosis di berbagai negara sangat bervariasi (Tabel 2) dan

dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, ras dan

(24)

10

ekor cacing jantung yang masa hidup sekitar 5 – 7 tahun. Masa prepaten rata-rata

(waktu dari mikrofilaria masuk ke dalam tubuh host sampai cacing betina dewasa

memproduksi mikrofilaria) pada anjing sekitar 6 – 7 bulan. Secara eksperimen

infeksi D. immitis, persentase mikrofilaria infektif berkembang menjadi cacing

dewasa pada anjing adalah 40 – 90% (AHS 2007a).

Gejala klinis tergantung pada jumlah cacing jantung yang menginfeksi

anjing. Gejala yang umum terjadi adalah batuk kronis dan kehilangan stamina.

Kemudian terjadi gejala ketidakmampuan jantung, suara murmur jantung yang

jelas dan kolaps setelah exercise. Gambaran elektrocardiogram pada saat hewan

dalam keadaan tenang dapat menunjukkan gambaran normal, namun pada saat

setelah exercise, gelombang "T” dapat terjadi sebaliknya. Berbagai gejala klinis

lain yang timbul tergantung pada organ yang terpengaruh secara sekunder

(Soulsby 1986).

Cacing dewasa D. immitis umumnya hidup di arteri pulmonaris dan

ventrikel kanan. Namun dalam kondisi yang sangat jarang terjadi, L5 dapat

bermigrasi ke bagian lain yang menyimpang dari biasanya yaitu otak, sumsum

tulang belakang, hati, ruang epidural, mata dan ruang peritoneal Pada operasi

sterilisasi anjing betina yang dilakukan Oh et al. (2008) di Korea, ditemukan satu

ekor cacing dewasa pada ruang abdominal anjing dan setelah dikonfirmasi dengan

PCR dinyatakan D. immitis. Pemeriksaan dengan ulas darah dan Uji Modified

(25)

11

Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara

Negara Wilayah tahun Jumlah sampel

Kasus Dirofilariosis pada manusia disebut Human Pulmonary

Dirofilariosis (HPD). Di Indonesia, sampai saat ini kasus HPD belum pernah ada

laporan. Tetapi biasanya pada daerah endemik CHD, besar kemungkinan kasus

HPD pada manusia juga tinggi.

Pada manusia, cacing dewasa pernah ditemukan di arteri digitalis, kelopak

mata, ventrikel kiri, vena cava inferior, jaringan subkutan dan cacing menjadi

penyebab painfark paru-paru. Kasus HPD sering dijumpai pada orang dewasa,

dengan ciri-ciri : (1) Pemeriksaan fototoraks, pada lobus paru terlihat massa tumor

berbentuk ”coin lesion” (3x3 cm); (2) adanya keluhan nyeri dada, demam dan

(26)

12

ikat dan berisi massa putih keabu-abuan berupa nekrosis koagulatif; (4) adanya

granuloma yang terdiri dari jaringan infark, sel eosinofil, monosit, neutrofil dan

sel ”foreign body giant” (Yoshimura, 1995; Mimori et al. 1986).

Berdasarkan informasi dari Karmil (2002), kasus HPD pada manusia di

beberapa negara antara tahun 1968 – 2000 antara lain terjadi di Thailand, Jepang,

Australia, Sidney, Quinsland, USA, Michigan, Indiana, Amerika Selatan, Jerman,

Spanyol dan Brazil dengan kasus terbanyak terjadi di Michigan.

Faktor Risiko

Tingkat risiko timbulnya CHD dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya umur, ras, jenis kelamin, wilayah, iklim dan manajemen pemeliharaan

anjing.

Umur

Anjing pada semua kategori umur berisiko terinfeksi cacing jantung

(Nithiuthai 2003). Namun prevalensi infeksi meningkat seiring dengan

bertambahnya umur anjing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu

pemaparan yang lebih lama, terutama pada daerah endemik penyakit ini.

Boonyapakorn et al. (2008) pada penelitiannya terhadap pasien anjing

rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Chiang Mai University, Thailand menemukan

prevalensi pada anjing umur dibawah 2 tahun adalah 6,4%, lebih rendah daripada

anjing pada umur diatas 2 tahun (41,5%). Prevalensi ini berbeda nyata pada

tingkat kepercayaan 95%. Satrija et al. (2008) menemukan bahwa anjing umur 3

– 6 tahun menunjukkan seroprevalensi yang paling tinggi terhadap D. immitis

yaitu sebesar 16,7% diikuti anjing umur diatas 6 tahun (6,1%) dan anjing umur

dibawah 3 tahun (4,7%). Di Korea Selatan, prevalensi tertinggi ditemukan pada

anjing umur di atas 6 tahun (50,3%) dibanding anjing umur muda. Analisis chi

square mengungkapkan bahwa prevalensi lebih tinggi secara signifikan pada

anjing umur 4 – 6 tahun (100%) di wilayah garis pantai dan pada anjing umur 2 –

(27)

13

Ras

Umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis.

Anjing-anjing pekerja dan olahraga (Greyhound) juga memiliki risiko tinggi

terhadap infeksi cacing D. immitis. Anjing gembala ras jerman dan Boxer

mempunyai risiko paling tinggi terhadap infeksi cacing ini.

Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al.

(2008), anjing-anjing ras lokal memegang peranan sebagai sumber infeksi D.

immitis. Prevalensi tertinggi CHD di Indonesia diketahui terjadi pada Pulau Bali

(8,8%) dan Kabupaten Sukabumi (15,9%), yaitu salah satu kabupaten di Propinsi

Jawa Barat dengan populasi anjing tak bertuan (stray dog) yang cukup tinggi.

Penelusuran lebih lanjut menyatakan bahwa jika dilihat dari faktor breed/ras,

diketahui bahwa prevalensi terbesar terjadi pada breed lokal yaitu sebesar 11,9%

dibandingkan ras impor (2,2%) dan ras campuran (9,1%).

Jenis Kelamin

Umumnya, infeksi cacing jantung pada anjing jantan lebih tinggi daripada

anjing betina. Lewis dan Losonsky (1978) menyatakan bahwa Rasio infeksi pada

anjing jantan terhadap anjing betina adalah 4:1. Pada hewan liar, penelitian

terhadap coyote di wilayah Illinois didapatkan prevalensi jantan sebesar 17,7%

sedangkan pada coyote betina adalah 14,1% (Nelson et al. 2003). Perbedaan ini

diduga akibat pergerakan hewan jantan lebih tinggi dibanding betina sehingga

risiko terpapar nyamuk juga meningkat. Hewan betina cenderung membatasi

pergerakan mereka selama musim panas dan menjaga anak-anaknya di sarang.

Seroprevalensi CHD pada anjing jantan yang lebih tinggi dibanding betina

juga ditemukan oleh Satrija et al. (2008) di Indonesia. Meskipun setelah ditinjau

lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara seroprevalensi dan jenis

kelamin.

Wilayah

American Heartworm Society (2007b) menyatakan bahwa CHD telah

tersebar luas di dunia khususnya pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropics,

(28)

14

bahkan pada importasi anjing dengan kondisi mikrofilaremik. Hal ini disebabkan

oleh iklim di belahan utara dunia ini tidak mendukung perkembangan larva

infektif.

Wilayah dapat mempengaruhi timbulnya CHD didukung dengan kondisi

geografis, iklim dan temperatur serta populasi vektor pada wilayah tersebut (Lok

1988). Hal ini terkait dengan jenis- jenis nyamuk sebagai vektor dan dinamika

larva CHD di dalam tubuh vektor tersebut. Gambaran distribusi CHD di dunia

dapat dilihat dari peta penyebaran di bawah ini:

Gambar 4. Peta Distribusi CHD di dunia tahun 2001 (Sumber:

http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2001/dirofilari

asis/Global Distribution.html )

Iklim

Iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk

mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva

(29)

15

penting dalam transmisi D.immitis. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk

hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis,

dimana larva di dalam tubuh nyamuk akan berkembang lebih cepat pada

temperatur hangat (Abraham 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan

larva D. immitis adalah 22°C - 26,5°C. Pada suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan

untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 – 14 hari.

Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14°C) untuk beberapa jam saja

akan memperlambat pematangan larva. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988)

yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung

perkembangan nyamuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak

terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas

dibandingkan musim hujan dan musim gugur.

Pada perbandingan berdasarkan iklim di Korea Selatan, didapatkan bahwa

prevalensi di wilayah garis pantai (69,5%) lebih tinggi dan berkaitan nyata

dibanding wilayah perkotaan dan pegunungan (Song et al. 2003). Untuk Amerika

Utara, infeksi paling banyak terjadi saat musim panas, temperatur yang sangat

cocok untuk perkembangan nyamuk (Rawlings 1998).

Manajemen pemeliharaan

Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi infeksi D. immitis pada

anjing-anjing yang dipelihara atau hidup di luar rumah, 4 – 5 kali lebih tinggi

dibanding anjing di dalam rumah. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya

kemungkinan anjing yang di luar rumah tergigit oleh nyamuk dibanding anjing

yang di dalam rumah (Byeon et al. 2007) sehingga lebih besar pula kemungkinan

anjing di luar rumah terinfeksi D. immitis, terutama pada daerah endemik

(Nithiuthai 2003).

Diagnosa

Gejala klinis yang muncul pada penderita CHD sangat bervariasi sehingga

peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain

radiologi, angiografi dan ultrasonografi (ekokardiografi), nekropsi, deteksi

(30)

16

Radiologi

Pemeriksaan radiografi paru-paru dan jantung adalah cara terbaik untuk

mengevaluasi penyakit. Perubahan secara tipical yang dapat terlihat adalah

pembesaran bagian kanan jantung (ventrikel kanan), artery pulmonalis, dan

perubahan arteri pulmonalis lobus paru. Pembesaran arteri pulmonalis sering

dilaporkan. serta peradangan jaringan paru-paru sekitar arteri pulmonalis juga

sering ditemukan.

Angiografi and Ultrasonografi

Angiografi adalah teknik visualisasi pembuluh darah tubuh dengan

melakukan radiograph dalam beberapa detik setelah diinjeksi dengan material

kontras kedalam pembuluh darah tersebut. Pada infeksi CHD, angiografi

digunakan untuk mempelajari perubahan arteri pulmonalis. Ultrasonografi

(echocardiography) telah digunakan untuk mengevaluasi pembesaran ventrikel

kanan dan untuk melihat kehadiran cacing jantung di ventrikel kanan atau arteri

pulmonalis utama.

Nekropsi

Nekropsi merupakan teknik diagnosa yang paling akurat untuk

menemukan cacing jantung, namun cara ini tidak dapat dilakukan untuk

mendiagnosa hewan yang masih hidup. Cacing jantung sering ditemukan pada

ventrikel kanan jantung atau arteri pulmonalis utama. Cacing juga dapat

ditemukan di cabang terjauh arteri pulmonalis. Infeksi “Ectopic heartworm

jarang terjadi. Pada infeksi ini, cacing dideteksi terdapat pada organ selain

jantung dan paru-paru atau pada rongga tubuh.

Deteksi Mikrofilaria dalam Darah

Deteksi keberadaan mikrofilaria D.immitis dalam sampel darah

mengindikasikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji knott dan uji

filtrasi. Para praktisi sering melakukan pemeriksaan cepat dengan sediaan natif

darah untuk melihat kehadiran mikrofilaria.

Metode ini praktis dalam penerapannya, baik dari segi waktu dan biaya.

Atas dasar alasan inilah metode deteksi mikrofilaria dengan uji Knott digunakan

(31)

17

yang menyaring kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia.

Di sisi lain, metode ini tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa CHD dengan

jumlah mikrofilaria yang rendah dalam sampel darah. Selain itu menurut Karmil

(2002), waktu pengambilan sampel juga menentukan ketepatan diagnosa dengan

metoda ini.

Uji Serologi

Uji serologi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendeteksi antibodi

dan mendeteksi antigen.

1). Deteksi antibodi

Beberapa uji CHD antibodi berkembang dan diperkenalkan pada awal

1980-an. Prinsip uji ini adalah mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen

ekskretori-sekretori dari cacing jantung dewasa. Uji ini cukup sensitif (dapat

mendeteksi infeksi awal dan infeksi dengan sejumlah kecil cacing jantung) namun

tidak cukup spesifik karena dapat terjadi reaksi silang dengan parasit

gastrointestinal di tubuh inang. Uji ini kurang populer digunakan sebagai

screening test pada anjing.

Keberadaan cacing jantung yang steril, single sex atau ketidakhadiran

respon inang terhadap antigen permukaan mikrofilaria, tidak akan memproduksi

titer antibodi. Variasi dari uji antibodi ini termasuk menggunakan mikrofilaria

yang telah dihancurkan untuk memicu antibodi terhadap antigen somatik. Teknik

IFA somatic ini non spesifik dan secara klinis kurang dapat digunakan untuk

diagnosa.

2). Deteksi antigen

Deteksi antigen spesifik dari cacing jantung dewasa digunakan secara

sukses untuk mendeteksi infeksi CHD. Sekarang ini, metode ini telah banyak

dilakukan di laboratorium – laboratorium veteriner. Kebanyakan test komersial

akan akurat mendeteksi infeksi dengan satu atau lebih cacing jantung dewasa

umur 7 - 8 bulan, namun secara umum, uji ini tidak dapat mendeteksi infeksi

kurang dari lima bulan (AHS2007a).

Untuk metode serologis pada penelitian ini menggunakan kit ELISA

(32)

18

sirkulasi darah minimal enam bulan pasca infeksi. Kit ini mempunyai sensitifitas

dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu masing-masing 99,1% dan 90,3% (Atwell

1988). Genchi et al. 2007 merumuskan kelebihan dan kekurangan metode

diagnostic CHD pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pemeriksaan cacing jantung

Metode pemeriksaan kelebihan kekurangan

Natif Cepat dan murah Sensitifitas sangat rendah,

sering terjadi negatif palsu, sulit membedakan spesies mikrofilaria

Metode Konsentrasi

a. Modified Knott Cukup sensitif dan spesifik, dapat membedakan spesies vector

Membutuhkan keahlian pemeriksa dalam membedakan morfologi mikrofilaria. b. Filtrasi Cepat dan sensitif, tidak

memerlukan alat untuk

ELISA Sangat spesifik dan sensitif

untuk diagnosa CHD (jika hasil positif, uji ini membuktikan secara pasti terjadi infeksi)

Mahal

Pemeriksaan antibodi Sangat sensitif, sangat bermanfaat untuk mendeteksi

Sebagian besar anjing terinfeksi cacing jantung dapat berhasil diobati.

Tujuan pengobatan yaitu untuk membunuh cacing dewasa dengan adulticida dan

membunuh mikrofilaria dengan mikrofilarisida. Hal ini sangat perlu dipenuhi

untuk meminimalkan efek bahaya dari obat dan komplikasi yang dapat terjadi

akibat cacing jantung yang mati. Infeksi ringan dan tanpa gejala klinis

(33)

19

Dalam proses terapi terhadap CHD, ada lima tahap pendekatan yang

benar-benar harus diperhatikan yaitu: (1) Pada preterapi, hewan harus diperiksa

dan dievaluasi secara menyeluruh; (2) terapi suportif dan asimptomatik adalah

sangat krusial, baik pada preterapi, selama dan pascaterapi adulticida; (3) terapi

adulticida; (4) terapi mikrofilarisida (kecuali pada infeksi occult) dan (5) terapi

hewan harus diawali dengan medikasi profilaktik (Karmil 2002, Courtney 1988).

Evaluasi Pasien

Sebelum melakukan terapi, hewan harus dievaluasi terlebih dahulu secara

seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urin, radiografi, umur, uji fungsi

organ khususnya hati dan ginjal (berkaitan dengan efek toksik dari

thiacetarsamide), sehingga pasien dapat dibagi dalam kelompok: (1) tidak boleh

diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati dengan syarat dirawat secara

intensif. Berdasarkan risiko terjadinya komplikasi thromboemboli pascaterapi,

Venco (2007) membagi pasien menjadi dua kategori yaitu risiko rendah (low risk)

dan risiko tinggi (high risk). Anjing yang termasuk dalam kategori risiko rendah

harus memenuhi kondisi antara lain: (1) tidak menunjukkan gejala; (2) pada

pemeriksaan radiograph terhadap thorax menunjukkan gambaran normal; (3)

sirkulasi antigen rendah atau negatif dengan mikrofilaria terdapat pada sirkulasi

darah; (4) tidak terlihat cacing pada pemeriksaan echocardiograph dan (5) dapat

melakukan exercise ringan. Sedangkan anjing kategori risiko tinggi memenuhi

kondisi antara lain: (1) menunjukkan gejala antara lain batuk dan pembengkakan

bagian abdomen; (2) Gambaran radiograph tidak normal; (3) sirkulasi

mikrofilaria pada level tinggi; (4) Cacing terlihat pada echocardiograph (5) tidak

diperkenankan untuk melakukan exercise. Evaluasi ini berdasarkan pertimbangan

terhadap efek yang kurang menguntungkan akibat terapi adulticida yaitu reaksi

toksik dan emboli serta tromboemboli akibat kematian cacing pascaterapi.

Terapi suportif

Terapi suportif ditujukan untuk memperkecil kemungkinan efek samping

yang sering terjadi pada pascaterapi adulticida yaitu obstruksi sistem sirkulasi

(34)

20

diberikan adalah: (1) Aspirin 7 mg/kg BB/hari selama 6 – 12 bulan, dapat

menekan thromboembolisme secara eksperimen; (2) anti radang (prednisolon 10

mg/kg BB/hari selama 4 minggu) dapat mengurangi efek radang periarterial dan

(3) terapi antiserotonin untuk mengatasi thromboembolisme, vasokonstriksi

sekunder dan bronkhokonstriksi.

Terapi adulticida

Adulticida pertama untuk anjing yang dikembangkan adalah

thiacetarsamide sodium dengan kandungan arsenic (Nash 2008). Obat ini harus

diberikan melalui intra vena karena dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa

jaringan jika diberikan selain intra vena. Beberapa hewan dapat menjadi lebih

parah dan pengobatan harus dihentikan. Hampir semua hewan harus dirawat

selama beberapa hari untuk pengobatan ini.

Melarsomin dihidroklorida adalah obat yang mengandung arsenik organik.

Obat ini dapat diberikan melalui injeksi intra muscular dan lebih efektif serta

mempunyai efek samping yang lebih ringan dibanding thiacetarsamide. Venco

(2007) menyatakan bahwa pemberian melarsomin dihidroklorida dengan dosis 2,5

mg/kg BB dapat membunuh sekitar 90% cacing jantan dan 10% cacing betina.

Oleh karena itu dapat mengurangi sekitar 50% cacing (jumlah ini dinyatakan lebih

aman terhadap kemungkinan terjadinya emboli dan shock). Berdasarkan alasan

ini maka American Heartworm Society menyatakan bahwa melarsomin

dihidroklorida merupakan drug of choice terhadap CHD. Pemberian melarsomin

dihidroklorida juga dilakukan pada pengendalian CHD di Thailand. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa terapi adulticida sebaiknya dilanjutkan dengan terapi

mikrofilarisida minimal 4 minggu kemudian (Nithiuthai 2003). Eslami et al.

(2005) menyatakan bahwa pemeriksaan darah dan klinis terhadap anjing yang

diterapi dengan melarsomin dihidroklorida pada satu dan dua bulan pascaterapi

(35)

21

Terapi Mikrofilarisida

Pemberian mikrofilarisida adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria. Obat

yang paling efektif untuk tujuan ini adalah antelmintik macrocyclic lactone (ML)

seperti milbemycin oxime, selamectine, moxidectine dan ivermectine. Sirkulasi

mikrofilaria biasanya dapat dieliminasi dalam beberapa minggu dengan obat

golongan ML. Nithiuthai (2003) dan Elsami et al. (2005) menyatakan bahwa

ivermectine 0,05 mg/kg BB adalah mikrofilarisida yang paling efektif. Selain

ivermectin, pemberian levamisole 11 mg/kg per oral selama 7 - 12 hari juga dapat

mengeliminasi mikrofilaria (O'Grady dan O'Sullivan 2004).

Terapi Profilaksis

Terapi profilaksis dilakukan untuk melindungi anjing dari infeksi cacing jantung.

Beberapa terapi profilaksis yang direkomendasikan saat ini dapat dilihat pada

tabel berikut (Courtney 1988; O'Grady dan O'Sullivan 2004). Obat-obatan ini

umumnya digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi cacing jantung. Jika

diberikan secara konsisten, maka sangat mungkin untuk menghentikan

(36)

22

Tabel 4 Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infeksi cacing jantung

Kandungan aktif Dosis Keterangan Diethylcarbamazine

(DEC)

5.5 sampai 6.5 mg/kg setiap hari

• Mencegah perkembangan cacing menjadi dewasa

• Terapi seharusnya dimulai dua minggu sebelum musim populasi nyamuk meningkat dan dilanjutkan sampai dua bulan setelah akhir musim tersebut

• Anjing harus dalam kondisi amikrofilaremik sebelum pemberian DEC

• Reaksi akibat pemberian DEC pada kondisi anjing mikrofilaremia biasanya timbul 30 - 60 menit setelah treatmen meliputi diare, muntah, depresi, lethargi, inkoordinasi, tachycardia, bradycardia, dyspnea dan shock sirkulasi perifer. Penyebab reaksi ini belum jelas

• DEC harus dimulai sesegera mungkin setelah uji terhadap mikrofilaria dinyatakan negatif.

Ivermectin 6 µg/kg BB sekali sebulan • Dimulai dalam satu bulan setelah anjing terpapar nyamuk dan dilanjutkan setiap bulan selama periode nyamuk yang berpotensi membawa larva infektif aktif

• Aman terhadap anjing ras Collie kecuali dengan berat badan kurang dari 4,5 kg

• Pemberian dianjurkan mengikuti pola pemberian ivermectin

• Dapat membunuh mikrofilaria, reaksi shock (jarang terjadi) saat diberikan pada anjing dengan mikrofilaremia hebat

(37)

23

Persyaratan Kesehatan Hewan Impor dan Ekspor Anjing

Upaya pencegahan penyebaran Canine Heartworm Disease telah

dilakukan oleh beberapa negara diantaranya dengan cara menetapkannya dalam

persyaratan kesehatan hewan. Pemerintah Australia mempersyaratkan

pengobatan profilaksis cacing jantung untuk anjing minimal 4 bulan sebelum

diimpor ke negaranya mengingat Australia merupakan wilayah endemis cacing

jantung. New Zealand menetapkan rekomendasi karantina untuk mencegah D.

immitis bagi anjing yang diimpor dari Australia. Anjing harus menunjukkan hasil

uji negatif terhadap sirkulasi antigen D. immitis dan mikrofilarianya. Saat

kedatangan di New Zealand, anjing harus di beri pengobatan profilaksis

menggunakan ivermectine atau milbemycin oxime (NZMAF 2008). Institusi

Karantina Hewan Singapura menetapkan tindakan pencegahan terhadap

heartworm disease selama masa karantina bagi anjing yang diimpor ke Singapura.

Dalam persyaratan kesehatan tersebut, pengobatan profilaksis terhadap cacing

jantung harus dimulai 4 – 6 minggu sebelum masuk ke Singapura (AVA 2008).

Instalasi Karantina Hewan Soekarno-Hatta

Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000

tentang Karantina Hewan, Instalasi karantina hewan (IKH) yang selanjutnya

disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan

serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan

tindakan karantina. Instalasi Karantina yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina

Pertanian Hatta terletak di dalam kawasan Bandar Udara

Soekarno-Hatta, meliputi instalasi karantina untuk anjing, instalasi untuk kucing, instalasi

karantina untuk unggas, instalasi karantina untuk reptil, instalasi karantina untuk

DOC, instalasi karantina untuk kuda dan instalasi karantina untuk Primata.

Instalasi tersebut dilengkapi dengan sebuah laboratorium yang mempunyai

kemampuan untuk melakukan uji diagnosis cepat guna mendukung kelancaran

(38)

24

Khusus untuk IKH anjing, mempunyai kapasitas 50 ekor, dilengkapi

dengan Air Conditioner (AC) dan kandang ditutupi dengan kasa nyamuk.

A B C

Gambar 5 Instalasi Karantina Hewan BBKP SH

A. Kandang anjing di bagian dalam ruangan IKH anjing

B. Kandang anjing di bagian luar ruangan IKH anjing

(39)

25

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina

Pertanian Soekarno-Hatta, Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari -

November 2008.

Desain Penelitian

Studi kasus dirofilariosis pada anjing impor dilakukan secara lintas

seksional dengan mengambil 134 sampel serum anjing impor berumur ≥ 6 bulan

yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta dari

bulan Januari sampai dengan Nopember 2008. Jumlah sampel serum yang

diambil dari setiap negara pengekspor anjing dilakukan secara proporsional

dengan metoda Probability Proportional to Size (McGinn 2004). Infeksi D.

immitis pada anjing tersebut dideteksi secara serologis dengan metode ELISA

menggunakan Kit ELISA komersial (DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen

Test Kit; Synbiotics Corporation, San Diego, CA). Data-data tentang berbagai

faktor yang dapat menjadi faktor risiko infeksi seperti umur, jenis kelamin, ras

dan asal negara diperoleh dari keterangan pada Surat Kesehatan Hewan (Animal

Health Certificate). Studi kasus dengan metoda serologis ini menghasilkan data

prevalensi infeksi anjing yang diimpor melalui BBKP SH pada bulan Januari –

Nopember 2008.

Untuk mengetahui efektifitas metoda pemeriksaan terhadap CHD

dilakukan pengujian terhadap 11 sampel darah dengan 2 metoda yang akan

dibandingkan, yaitu menggunakan metode konsentrasi/uji Knott (konvensional)

dan menggunakan kit komersial untuk mendeteksi antigen D immitis. Sampel

darah diambil dari 7 ekor anjing impor dan empat ekor anjing milik BBKP SH.

Pengujian dengan metoda Knott dilakukan pada dua waktu yaitu pada pukul 10.00

(pagi) dan 22.00 (malam). Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan

periodisitas mikrofilaria dalam peredaran darah anjing yang mencapai puncaknya

(40)

26

sampel diambil pada saat jam kerja (08.00 – 16.00). Hasil yang didapatkan dari

kedua metoda tersebut dibandingkan dan dianalisis secara deskriptif.

Deteksi antigen D. immitis dengan ELISA

DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Gambar 6) digunakan

untuk mendeteksi antigen ekskretori-sekretori cacing dewasa D. immitis. Prosedur

pemeriksaan dilakukan sesuai petunjuk penggunaan kit dari produsen. Sebanyak

0,5 ml sampel serum diteteskan ke dalam setiap sumur yang telah dilapisi

monoklonal antibodi. Selanjutnya ditambahkan sebanyak satu tetes monoklonal

antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim Horseradish peroxidase (HRP).

Setelah dilakukan pencucian sebanyak lima kali dengan menggunakan aquades

steril, ke dalam setiap sumur ditambahkan dua tetes kromogen lalu ditunggu

selama lima menit. Sampel yang mengandung antigen D. immitis akan

menunjukkan reaksi positif berupa warna biru.

Gambar 6 DiroCHEK® Canine Heartworm Antigen Test Kit (Synbiotics

Corporation,San Diego, CA)

Uji knott untuk mendeteksi mikrofilaria D immitis

Pengambilan sampel darah (whole blood) dengan EDTA untuk Uji Knott

dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pukul 10.00 (pagi) dan pukul 22.00

(malam). Sebanyak 1 ml darah di dicampur dengan 9 ml formalin 2% lalu di

sentrifuse 1500 RPM. Supernatan dibuang, kemudian endapan (pelet) diteteskan

methylen blue 0,1% lalu sebanyak satu tetes diulaskan di atas gelas obyek untuk

(41)

27

Analisis Data

Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan chi

square (X2) independent test untuk menguji perbedaan proporsi seluruh kelompok

data. Peubah yang menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok diuji lebih

lanjut dengan model Regresi Logistik untuk menentukan Odds Ratio dugaan

(Kleinbaum 1994), serta prevalensi dugaan pada sampling yang dilakukan dengan

metode proporsional (Thrusfield 2005). Efektifitas metoda pengujian secara

(42)

28

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik anjing impor

Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548

ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar

Karantina Pertanian Soekarno-Hatta selama bulan Januari – Nopember 2008.

Dari total jumlah anjing impor tersebut dilakukan pemeriksaan status infeksi CHD

terhadap 134 ekor (24,5%) terdiri atas 63 ekor betina dan 71 ekor jantan. Anjing

tersebut diimpor dari 33 negara di wilayah Eropa, Amerika, Australia dan Asia

(Tabel 6). Kisaran umur anjing yang diambil sampel darahnya antara 6 bulan

sampai 18 tahun. Pengambilan sampel pada anjing dengan batas umur minimal 6

bulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kit ELISA yang digunakan mampu

mendeteksi antigen D. immitis dewasa dalam sirkulasi darah minimal 6 bulan

pasca infeksi (Atwell 1986).

Ras anjing yang diimpor sangat bervariasi namun dapat dibedakan menjadi

dua golongan yaitu ras dengan jenis rambut panjang sebanyak 92 ekor dan ras

dengan jenis rambut pendek sebanyak 42 ekor. Jenis-jenis ras yang digunakan

pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Manajemen pemeliharaan anjing

tidak dapat diketahui karena sebagian besar anjing impor tidak dibawa langsung

oleh pemilik melainkan menggunakan biro jasa pengiriman.

Gambar 7. Contoh Ras anjing bulu panjang Gambar 8. Contoh Ras anjing bulu pendek

(43)

29

Tabel 5 Jenis ras anjing yang diperiksa selama penelitian

Ras Rambut Panjang Ras Rambut Pendek

Collie Dachshund

Prevalensi infeksi D. immitis pada anjing yang diimpor melalui BBKP SH

pada bulan Januari – Nopember 2008 adalah sebesar 8,2% (Tabel 7). Jumlah

anjing yang terdeteksi positif CHD adalah sebanyak 11 ekor berasal dari negara

Malaysia, Singapura, India, Republik Rakyat Cina, Oman, Australia, USA,

Jerman dan Rumania, dengan infeksi terbanyak terjadi pada anjing asal Malaysia.

Jika ditinjau dari kategori wilayah, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing

yang berasal dari wilayah Australia yaitu sebesar 11,1% diikuti wilayah Asia

(10,6%), Eropa (6,5%) dan Amerika (3,6%). Secara statistik tidak ditemukan

keterkaitan yang signifikan antara prevalensi infeksi dengan wilayah asal anjing

impor (Tabel 6). Status kesehatan hewan selama berada di Instalasi Karantina

(44)

30

terdiri atas Taiwan, Jepang, Republik Rakyat Cina, Oman, Saudi Arabia, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan dan India.

2)terdiri atas negara Belgia, Jerman, Belanda, Swiss, Spanyol, Italia, Inggris, Yunani, Hungaria, Rumania,

Serbia, Republik Ceko, Republik Czechnia dan Uzbekistan

3)

terdiri atas USA, Canada dan Brazil

*)

(45)

31

Tabel 7 Status kesehatan hewan yang dideteksi positif CHD

Kode Sampel Negara asal Signalemen Status Present Keterangan 224a Malaysia Ras: golden 214 Malaysia Ras: Australian

(46)

32

Gambar 9 Prevalensi berdasarkan Wilayah Asal

Hasil pemeriksaan terhadap anjing yang masuk selama periode bulan

Januari – Juni 2008 menunjukkan tidak ada anjing yang terinfeksi D.immitis.

Pada periode importasi Juli – Nopember 2008 terdeteksi adanya infeksi cacing

jantung pada 11 ekor anjing (15%). Analisa statistik menunjukkan adanya

keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi infeksi

cacing jantung pada anjing yang masuk melalui BBKP SH (P< 0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa risiko anjing terinfeksi yang diimpor pada bulan Juli –

Nopember lebih besar dibanding 6 bulan pertama. Tidak dapat diketahui nilai

Odds Ratio pada analisis ini disebabkan adanya prevalensi sebesar 0% pada bulan

Januari – Juni (Thrusfield 2005). Analisis lebih lanjut menunjukkan prevalensi

dugaan (confident interval) infeksi cacing jantung pada periode Januari –

Nopember adalah antara 3,56 – 12,86%. Prevalensi dugaan (confident interval)

yang lebih tinggi ditemukan pada bulan berisiko (Juli – Nopember) yaitu antara

6,86 – 23,28%.

Amerika 3.6%

Australia 11.1%

Eropa 6.5%

(47)

33

Gambar 10 Prevalensi berdasarkan Periode Impor

Temuan ini mengindikasikan bahwa penyebaran infeksi cacing jantung

pada anjing telah meluas ke berbagai penjuru dunia. Berbagai studi menunjukkan

prevalensi cacing jantung yang tinggi pada anjing di berbagai negara Asia.

Tingkat kejadian CHD pada anjing di Malaysia tercatat sebesar 25,8%

(Retnasabapathy dan San 1976), sedangkan Boonyapakorn et al. (2008) mencatat

18.2% pasien anjing yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hewan

Universitas Chiang Mai Thailand menderita dirofilariosis. Tingkat prevalensi

yang lebih tinggi ditemukan di Taiwan dan Korea Selatan yaitu masing-masing

sebesar 57% (Wu dan Fan 2003) dan 40% (Song et al. 2003).

Di Amerika, infeksi tersebar luas. American Heartworm Society (2007a)

melaporkan bahwa infeksi CHD ditemukan di 50 negara bagian USA. Semua

anjing berdasarkan umur, jenis kelamin atau habitat rentan terserang CHD.

Infeksi tertinggi (sampai 45%) pada anjing diamati pada Teluk Mexico sampai

New Jersey dan sepanjang Sungai Mississipi. Wilayah lain mempunyai tingkat

insidensi yang lebih rendah (kurang dari 5%) namun insidensi ini dapat meningkat

pada beberapa wilayah yang mempunyai kondisi lingkungan, populasi nyamuk

dan populasi anjing yang mendukung terjadinya infeksi CHD. Nelson et al.

(2003) dalam tulisannya mengemukakan bahwa survei regional yang dilakukan

pada coyote sepanjang tahun 1995 – 1997 di Illinois menunjukkan prevalensi

secara umum adalah 16% dan jika ditinjau secara regional, prevalensi meningkat

dari bagian utara (3,4%) ke bagian selatan Illinois (40%). Perbedaan prevalensi

ini dijelaskan terkait dengan habitat nyamuk, dimana di wilayah selatan

(48)

34

nyamuk yaitu Aedes canadensis, Aedes trivittatus dan Aedes vaxans yang

merupakan vektor CHD di wilayah tersebut.

Lok (1988) dalam tulisannya melaporkan bahwa Australia merupakan

daerah enzootik terhadap D. immitis, khususnya sepanjang Australia bagian utara

dan timur. Dalam wilayah ini, prevalensi infeksi CHD terjadi sampai mendekati

90%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kejadian infeksi lebih banyak terjadi pada

wilayah dengan temperatur hangat dibanding dataran tinggi. Transportasi anjing

secara bebas dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya merupakan faktor

utama penyebaran D. immitis di Australia. Institusi karantina Australia

(Australian Quarantine and Inspection Services/AQIS) mempersyaratkan bagi

anjing/kucing yang akan masuk ke wilayah Australia, khususnya yang belum

pernah terpapar CHD untuk melakukan tindakan pencegahan setidaknya 4 bulan

sebelum masuk ke wilayah Australia (AQIS 2008).

Keterkaitan yang nyata antara periode impor anjing dengan prevalensi

infeksi cacing jantung mungkin terkait dengan waktu terjadinya infeksi di negara

asal. Dalam penelitian ini anjing dari negara empat musim (temperate region)

yang positif antigen D. immitis terdeteksi pada periode bulan Agustus-November.

Berdasarkan kemampuan deteksi Kit, diduga anjing tersebut terinfeksi

pada periode bulan Februari-Mei yaitu bertepatan dengan musim semi sampai

musim panas. Berdasarkan laporan AHS (2007b), puncak transmisi D. immitis di

Hemisphere bagian utara adalah bulan Juli dan Agustus. Hal ini dijelaskan lebih

lanjut bahwa iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk

mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva

menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor yang memegang peranan penting

dalam transmisi D.immitis. Temperatur yang turun di bawah batas ambang

(14°C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva bahkan

ketika temperatur harian rata-rata mendukung kelanjutan perkembangannya. Pada

suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium

infektif adalah 10 – 14 hari. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang

menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung perkembangan

nyamuk. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu

Gambar

Tabel 1 (Lok 1988, Tarello 2004, Karmil 2002).
Tabel 1  Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di
Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara
Gambar 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hal-hal yang kurang jelas dapat ditanyakan pada pejabat

diharuskan untuk menggunakan strategi yang sesuai dengan kondisi perusahaan. Ketika kondisi lingkungan berubah dan persaingan semakin

Rapat penutup, difasilitasi oleh ketua tim audit, sebaiknya diadakan untuk menyajikan temuan audit dan kesimpulan. Peserta dalam rapat penutup sebaiknya mencakup manajemen

Context Diagram adalah diagram aliran data yang paling dasar dari suatu organisasi yang menunjukkan bagaimana proses- proses mentransformasikan data yang datang

To obtain the intended data, the writer arranged the questionnaire test to measure how good is the reading habit of the eleventh graders and writing test to measure the

Gotong Royong dilingkungan Dusun Dalem diawali dengan koordinasi dengan Kepala Desa Sinabun dan kepala Dusun Dalem terkait kegiatan gotong royong, kemudian

Dengan menggunakan metode penjadwalan ini akan diperoleh feeding buffer dengan durasi 3 akan diperoleh project buffer dengan durasi 16 sehingga penjadwalan eksisting 120

Seperti Rumah Sakit pada umumnya Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari dalam memberikan pelayanan kesehatan didukung oleh peralatan- peralatan yang memadai seperti