• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bathymetry dan Morfologi Dasar Laut

Laut Aru merupakan perairan yang dipengaruhi landas kontinen Arafura-Sahul dan terletak di wilayah Papua bagian selatan sampai perbatasan utara Benua Australia. Batas bagian utara perairan tersebut merupakan Laut Seram dan Pulau Irian Jaya (Papua) sedangkan Pantai Utara Australia dari semenanjung York sampai semenanjung Don merupakan batas di bagian Selatan, di bagian barat perairan tersebut dibatasi oleh laut Banda dan Laut Timor yang melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar sedangkan bagian timur terdapat Pulau Dolak dan Semenanjung Don. Berdasarkan tingkat kedalamannya Laut Arafura termasuk perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara 30-90 meter (Wagey dan Arifin 2008).

Lintasan survei bathymetry dilakukan bersamaan dengan perekaman data sub bottom profile dengan arah lintasan Barat Laut hingga Tenggara menggunakan instrumen BATHY-2010 Chrip Sub Bottom Profiler and Bathymetric Echo Sounder, pengambilan contoh sedimen dasar laut menggunakan gravity core

dilakukan dengan lintasan terpisah. Data hasil pengukuran kedalaman dasar laut dilakukan koreksi dengan perbandingan data bathymetry citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang kemudian di olah menggunakan software image processing. Citra SRTM digunakan sebagai data visual pola kedalaman permukaan dasar laut (Bathymetry) secara luas pada lokasi penelitian.

Hasil pengukuran kedalaman permukaan dasar laut diinterpretasikan terdapatnya pola bentukan topografi yang tertutup (Clossure) pada kedalaman maksimal -100 meter di bawah permukaan air laut di sebelah barat daerah penelitian. Clossure yang terdapat pada bagian barat tidak mengidentifikasikan sebuah tinggian yang signifikan. Kedalaman Perairan Aru Utara berada di kisaran kedalaman -1.5 meter hingga -3735.5 meter dibawah permukaan air laut. Hal tersebut dikarenakan pada bagian timur memiliki morfologi yang relatif datar sedangkan pada bagian barat terdapat rendahan sangat dalam yang dikenal dengan palung aru, kedalaman morfologi pada bagian barat maksimum yaitu -3735.5 meter dibawah permukaan air laut (Wijaya et al. 2014). Gambaran kedalaman daerah perairan dapat dilihat pada Gambar 11.

Secara morfologi daerah penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah dataran pada bagian timur dan daerah rendahan sangat dalam (Palung Aru) pada bagian barat. Bagian timur morfologi yang terbentuk terdiri dari closure atau punggungan, morfologi dataran memiliki kisaran kedalaman -1.5 meter hingga-100 meter dibawah permukaan air laut dengan kontur 10 meter, sedangkan morfologi pada bagian barat merupakan morfologi rendahan dengan yang sangat dalam berada

pada kisaran -101 hingga -3735.5 meter dibawah permukaan air laut dengan interval kontur 315-540 meter. Menurut Pranowo (2012) secara umum kisaran kedalaman Laut Arafura adalah sama dengan Laut Timor, yakni maksimum sekitar ~5000 m. Terdapat palung yang memiliki kedalaman maksimum di barat Kepulauan Aru (di Laut Arafura berbatasan dengan Laut Banda) dan selatan Pulau Timor (di Laut Timor). Menurut Irfania (2009) perairan Laut Arafura termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman berkisar antara 3.92 meter hingga 82.56 m. posisi terdangkal 3.95 meter berada pada 80 LS dan 1730 BT dan posisi terdalam 82.56 meter berada pada 50 LS dan 1350 BT. Kedalaman perairan menunjukan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur.

Gambar 11 Gambaran kedalaman perairan daerah penelitian (data kedalaman diperoleh dari rekaman sub bottom profile dan echosounder bathymetry.

Morfologi dasar perairan pada daerah penelitian model tiga dimensi digambarkan pada Gambar 12, pada gambar tersebut bagian timur terlihat relatif datar sedangkan sebelah Barat dasar laut drastis menjadi sangat dalam dan terjal yang dikenal dengan palung Aru. Secara geologi daerah penelitian terletak pada Utara Paparan Sahul dan dapat dinterpretasikan terdapatnya pola bentukan topografi yang tertutup (Clossure) cukup banyak pada kedalaman dangkal maksimal -100 meter di bawah permukaan air laut. Bagian Barat Kepulauan Aru tercatat kelaman yang mencapai 2470 meter, lokasi tersebut diindikasikan merupakan titik pertemuan antara Busur Banda dan lempeng Benua Australia. Menurut Katili (1986) bahwa terdapat lengkungan kebawah pada sedimen di Perairan Arafura yang berbatasan dengan Busur Banda. Pola tektonik dari deformasi tersebut terjadi karena dorongan Busur Banda ke arah Benua Australia

dan semakin meningkat ke arah Utara, sedangkan kedalaman di titik lintasan lainnya tercatat 60 meter dan perairan paling dangkal ditemukan di dekat core 6 dengan kedalaman 67.4 meter.

Gambar 12 Gambaran 3D dan morfologi kedalaman perairan utara Pulau Wokam (sumber data: data rekaman SBP yang telah diintegrasikan dengan data

Shuttle Radar Topography Mission (SRTM).

Paparan Arafura ini terdiri dari tiga bagian yaitu Paparan Arafura, Paparan Rowley dan Paparan Sahul atau Paparan Australia Utara. Luas seluruh wilayah paparan adalah 1.5 juta km2 yang terdiri atas Paparan Arafura 930 000 km2 dan Paparan Sahul serta Paparan Rowley masing-masing 300 000 km2. Paparan Arafura memilki kedalaman 30 meter hingga 100 meter. Kepulauan Aru terdiri dari lima pulau dan masing-masing dipisahkan oleh selat-selat sempit, seperti sungai dengan dasar laut yang lebih dalam dari dasar paparan sekitarnya. Sebuah punggung yang tidak terlalu jelas memanjang mulai dari Kepulauan Aru ke arah Timur yang dikenal sebagai Punggung Merauke. Zaman Plistosin, ketika permukaan laut masih rendah Kepulauan Aru menyatu dengan daratan Irian, tetapi antara Kepulauan Aru dengan Kepulauan Kai tidak pernah ada hubungan semacam itu meskipun jaraknya lebih dekat. Ini dikarenakan di antara kedua kepulauan itu terdapat penghalang berupa cekungan Aru yang dalamnya lebih 3 000 meter (Nontji 1987).

High Frequency Echoes dan Post Signal Processing

Dasar perairan merupakan pemantul (reflector) dan penghambur (scatterer) yang efektif terhadap gelombang akustik yang mengenainya serta bersifat mendistribusikan kembali gelombang yang datang (Urick 1983). Permukaan perairan yang halus (smooth) dimana kontras acousticimpedance antara air dengan dasar laut tinggi maka sebagian besar energi gelombang yang datang akan dipantulkan dan hanya sebagian kecil yang dihamburkan, pada kasus permukaan dasar perairan yang kasar (rough) maka seluruh energi akustik akan dihamburkan. Untuk kontras acoustic impedance yang kecil antara air dengan dasar maka energi

gelombang akustik yang mengenai dasar perairan mampu menembus ke dalam dasar perairan, selain itu pada saat gelombang akustik mengenai dasar perairan akan menunjukan pola jejak gema (echo trace) yang berbeda. Dasar perairan yang halus dan berlumpur akan menunjukan echo trace yang memiliki puncak sempit tanpa ekor (narrow peak with no tail) dimana sebagian besar energi akustiknya akan dipantulkan kembali ke transducer dan juga mengalami absorpsi oleh substrat lumpur, sedangkan echo trace dari dasar perairan yang kasar, camuran gravel akan memiliki puncak yang lebar dan berekor (Collins dan Lacroix 1997).

Sediment profilers atau SubBottom Profilers bertujuan untuk mengeksplorasi lapisan pertama sedimen dasar laut yang lebih dalam hingga mencapai puluhan meter. Teknologi SBP adalah bim tunggal yang bekerja pada tingkat frekuensi yang sangat tinggi dan rendah (pada penelitian ini digunakan frekuensi 3.5 kHz).

Sediment profilers sebagian besar menggunakan sinyal frekuensi modulasi dan teknik kompressi pulse untuk meningkatkan jangkauan penetrasi. Beberapa model menggunakan sumber parametrik non-linier, dengan memberikan directivity lobe

yang sempit meskipun dengan frekuensi rendah. Sinyal echo (pantulan) berasal dari pemantulan pada penghubung antar lapisan, yang sesuai dengan diskontinuitas sinyal akustik. Sinyal echo yang dikumpulkan ketika kapal sedang berlayar dijajarkan secara grafik, disusun kembali menjadi cross-section secara vertikal dari diskontinuitas lapisan endapan. Selama bertahun-tahun, rekaman ini hanya terbatas pada sebuah penyajian berupa gambar dari lapisan endapan. Pemrosesan amplitudo dari echo dengan SBP yang terkalibrasi, memungkinkan untuk menghasilkan koefisien pemantulan dan koefisien penyerapan, yang dihubungkan dengan lapisan endapan, yang dipantulkan (dikenai secara tegak lurus) oleh sinyal. Sediment profiler menggunakan sinyal pantulan echo, bukan hambur balik. The Stemp berasal dari konfigurasi pengukuran geometric (sistem tegak lurus terhadap dasar laut bertujuan agar sinyal echo yang dipantulkan dan dikembalikan ke arah yang sama) dan sebagian besar berasal dari kanal yang menggunakan frekuensi rendah. Hambur balik diabaikan dibandingkan dengan coherent echo, karena topografi amplitude mikroscale lebih kecil dibandingkan dengan panjang gelombang (Lurton 2002).

Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan dasar perairan dapat dikodekan dengan sinyal echo. Sinyal echo tersebut disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS kemudian diproyeksikan pada data digital. Verifikasi hasil dapat dilakukan dengan melakukan sampling fisik dasar perairan melalui penyelaman atau dengan kamera bawah air yang harus direkam sebagai data akustik yang diperoleh. Saat verifikasi pertama, hasil harus disimpan agar tipe dasar perairan yang tidak diketahui dapat dibadingkan dengan yang sudah diketahui dan dapat melakukan verifikasi data (Burczynski 2002).

Trace#26888_Lintasan1_Sampel5

Data rekaman akustik pada trace#26888 nilai akustik (pantulan dasar perairan yang diterima oleh receiver) ditabulasikan kedalam kolom dan baris pada Microsoft Excel. Hasil rekaman tranducer pada lintasan 1 (garis berwarna merah) menggambarkan posisi trace#26888 dimana core sampel nomor 5 berada (Gambar 13). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan dari tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan gelombang

suara yang dipancarkan transducer 2050 m/s dengan pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1580 m/s.

Gambar 13 Profil rekaman data SBP dan posisi Trace#26888 pada lintasan 1

Tabel 4 Data rekaman Trace#26888 pada kedalaman 400 ms hingga 1000 ms data minimum 256 dan maksimum 32640 data.

Kelas Interval 2500 Frekuensi kejadian Log K 1 256,00 - 2756,00 81 1,908485 K 2 2756,00 - 5256,00 14 1,146128 K 3 5256,00 - 7756,00 17 1,230449 K 4 7756,00 - 10256,00 9 0,954243 K 5 10256,00 - 12756,00 9 0,954243 K 6 12756,00 - 15256,00 10 1 K 7 15256,00 - 17756,00 0 0 K 8 17756,00 - 20256,00 0 0 K 9 20256,00 - 22756,00 2 0,30103 K 10 22756,00 - 25256,00 2 0,30103 K 11 25256,00 - 27756,00 4 0,60206 K 12 27756,00 - 30256,00 1 0 K 13 30256,00 - 32756,00 10 1

Total frekuensi kejadian 159 Sumber : Data primer 2014

Garis berwarna merah pada Gambar 13 menandakan posisi trace#26888 berada. Jarak kedalaman perairan dengan dasar, lapisan sedimen dihitung dengan satuan waktu Two Way Traveltime (TWT). Gambaran lapisan pertama menandakan dasar (surface) perairan sedangkan lapisan kedua adalah pengulangan refleksi akibat ‘terperangkapnya’ gelombang seismik dalam air laut atau dalam lapisan

batuan lunak (multiple). Data rekaman sub bottom profiler pada trace#26888 dalam bentuk angka kemudian ditabulasikan kedalam tabel. Data yang digunakan pada lintasan 1 pada kedalaman 400 ms hingga 1000 ms minimum 256 dan maksimum 32640. Data frekuensi kejadian kemudian dikelaskan menjadi 13 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi kejadian gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu (Tabel 4).

Tabel 4 menerangkan bahwa data trace#26888 hasil rekaman lintasan 1 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 7 dan kelas 8. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar14.

Gambar 14 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas

trace#26888

Gambar 14 menunjukan histogram kelas 1-6 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh

receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 9-13 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan substrat yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada trace#26888 didominasi oleh kelas 1-6. Dasar perairan yang kasar merupakan variabel yang penting untuk mempertimbangkan intensitas backscatter akustik yang memiliki frekuensi tinggi. Nilai kekasaran pada intensitas backscatter berbeda tergantung dari tipe, besarnya dan orientasi kasar dan frekuensi dari sinyal akustik yang dipancarkan.

Bagian lapisan atas (seabed) menandakan first bottom echo (E1) dimana pantulan pertama sebuah permukaan yang tegak lurus dengan sumbu transducer. Sinyal echo pada E1 sangat sensitif terhadap pitch dan rool kapal dan transducer. Pada dasar perairan yang kasar pantulan tersebut akan berkorelasi secara langsung dengan sifat kekerasan pada dasar perairan. Jika perairan kasar, kemudian kekasaran akan berkurang pada second bottom echo (Burczynsky 2002). Refleksi

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Fre k u en si Kej ad ian Kelas

dari energi akustik terjadi pada batas impedansi akustik yang berbeda-beda, dan kekuatan refleksi tergantung pada tingkat impedansi kontras. Biasanya, sebagian dari energi yang masuk direfleksikan dari sedimen menuju permukaan perairan, sedangkan sisanya ditransmisikan lebih dalam dari substrat (McQuillin et al. 1984, Stoker et al. 1997).

Trace#124098_Lintasan3_Sampel6

Hasil rekaman tranducer pada lintasan 3 berikut menggambarkan posisi

trace#124098 dimana core sampel Nomor 6 berada (Gambar 15). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1630 m/s.

Gambar 15 Profil rekaman SBP dan posisi Trace#124098 pada lintasan 3 Data yang digunakan pada lintasan 3 pada kedalaman 50 ms hingga 125 ms minimum 128 dan maksimum 32640. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 14 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi kejadian gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu (Tabel 5). Tabel 5 Data rekaman trace#124098 pada kedalaman 50 ms hingga 125 ms data

minimum 128 dan maksimum 32640 data.

Kelas Interval 2500 Frekuensi kejadian Log K 1 128,00 - 2628,00 209 2,320146 K 2 2628,00 - 5128,00 18 1,255273 K 3 5128,00 - 7628,00 2 0,30103 K 4 7628,00 - 10128,00 7 0,845098 K 5 10128,00 - 12628,00 1 0 K 6 12628,00 - 15128,00 2 0,30103 K 7 15128,00 - 17628,00 0 0

Tabel 5 lanjutan K 8 17628,00 - 20128,00 5 0,69897 K 9 20128,00 - 22628,00 2 0,30103 K 10 22628,00 - 25128,00 5 0,69897 K 11 25128,00 - 27628,00 0 0 K 12 27628,00 - 30128,00 4 0,60206 K 13 30128,00 - 32628,00 0 0 K 14 35128,00 - 37628,00 2 0,30103 Total frekuensi kejadian 257

Sumber : Data primer 2014

Tabel 5 menerangkan bahwa data trace#124098 hasil rekaman lintasan 3 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 7, kelas 11 dan kelas 13. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas

trace#124098

Gambar 16 diatas informasi yang dapat diambil ialah histogram kelas 1-4 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 8-14 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan dari substrat yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada trace#124098 didominasi oleh kelas 1-2.

Trace#84798_Lintasan5_Sampel7

Hasil rekaman tranducer pada lintasan 5 berikut menggambarkan posisi

trace#84798 dimana core sampel nomor 7 (Gambar 17). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar

0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Fre k u en si (lo g ) Kelas

perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1592 m/s.

Gambar 17 Profil rekaman SBP dan posisi traceTrace#84798 pada lintasan 5 Data yang digunakan pada lintasan 5 pada kedalaman 1508.27 ms hingga 3466.53 ms minimum 128 dan maksimum 32640. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 14 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu. Tabel 6 Data rekaman trace#84798 pada kedalaman 1508.27 ms hingga 3466.53

ms data minimum 128 dan maksimum 32640 data.

Kelas Interval 2500 Frekuensi kejadian Log K 1 128,00 - 2628,00 76 1,880814 K 2 2628,00 - 5128,00 68 1,832509 K 3 5128,00 - 7628,00 35 1,544068 K 4 7628,00 - 10128,00 22 1,342423 K 5 10128,00 - 12628,00 6 0,778151 K 6 12628,00 - 15128,00 9 0,954243 K 7 15128,00 - 17628,00 3 0,477121 K 8 17628,00 - 20128,00 4 0,60206 K 9 20128,00 - 22628,00 0 0 K 10 22628,00 - 25128,00 2 0,30103 K 11 25128,00 - 27628,00 1 0 K 12 27628,00 - 30128,00 2 0,30103 K 13 30128,00 - 32628,00 2 0,30103 K 14 32628,00 - 35128,00 6 0,778151

Total frekuensi kejadian 236 Sumber : Data primer 2014

Tabel 6 menerangkan bahwa data trace#84798 hasil rekaman lintasan 5 frekuensi kejadian tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 9. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar18.

Gambar 18 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas

trace#84798

Gambar 18 menerangkan bahwa histogram kelas 1-8 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver lebih banyak direfleksikan oleh dasar perairan, sedangkan untuk histogram kelas 12-14 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan lapisan perairan sedikit dalam merefleksikan suara. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan dari substrat yang lebih kasar. Beberapa parameter fisik dari sinyal akustik yang dipancarkan, seperti daya yang dikeluarkan, frekuensi sinyal, dan panjang pulsa mempengaruhi kinerja instrumen dan mempengaruhi kegunaannya di berbagai lingkungan laut. Peningkatan daya output memungkinkan penetrasi ke dalam substrat, namun, dalam kasus dasar laut keras (misalnya kerikil atau pasir yang sangat padat), atau air yang sangat dangkal, akan menghasilkan beberapa refleksi dan lebih banyak suara dalam data (McQuillin et al. 1984). Frekuensi kejadian gelombang pada trace#84798 didominasi oleh kelas 1-8 dengan jumlah 223 data.

Trace#62073_Lintasan8_Sampel4

Hasil rekaman tranducer pada lintasan 8 berikut menggambarkan posisi

trace#62073 dimana core sampel nomor 4 berada (Gambar 19). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt,

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Fre k u en si (lo g ) Kelas

sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1360 m/s.

Gambar 19 Profil rekaman SBP dan posisi Trace#62073 pada lintasan 8 Data yang digunakan pada lintasan 8 pada kedalaman 50 ms hingga 119.75 ms data minimum 128 dan maksimum 26112. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 11 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu.

Tabel 7 Data rekaman trace#62073 kedalaman 50 ms hingga 119.75 ms data minimum 128 dan maksimum 26112 data.

Kelas Interval 2500 Frekuensi kejadian Log K 1 128,00 - 2628,00 208 2,318063 K 2 2628,00 - 5128,00 59 1,770852 K 3 5128,00 - 7628,00 3 0,477121 K 4 7628,00 - 10128,00 2 0,30103 K 5 10128,00 - 12628,00 1 0 K 6 12628,00 - 15128,00 1 0 K 7 15128,00 - 17628,00 1 0 K 8 17628,00 - 20128,00 0 0 K 9 20128,00 - 22628,00 0 0 K 10 22628,00 - 25128,00 1 0 K 11 25128,00 - 27628,00 4 0,60206 Total frekuensi kejadian 280

Sumber : Data Primer 2014

Tabel 7 menerangkan bahwa data trace#62073 hasil rekaman lintasan 8 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 8 dan kelas 9.

Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar20.

Gambar 20 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas

trace#84798

Informasi yang dapat diambil pada Gambar 20 diatas adalah histogram kelas 1-4 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 11 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada

trace#84798 didominasi oleh kelas 1-4. Hasil pengkelasan kejadian pada masing-masing kelas di masing-masing-masing-masing trace kemudian digambarkan pola spektruk melalui grafik. Grafik distribusi frekuensi kejadian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Grafik perbandingan log frekuensi kejadian masing-masing trace -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Fre k u en si (lo g ) Kelas 0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 L o g F rek . Kej an ian Kelas

Kecepatan gelombang akustik (suara) dalam medium air laut merupakan sebuah variabel oseanografi yang menunjukan karakteristi perambatan gelombang akustik di lautan. Kecepatan gelombang suara ini nilainya bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kedalaman dan tekanan medium yang dilaluinya. Nilai kecepatan suara akan meningkat seiring dengan bertambahnya salah satu dari ketiga parameter tersebut (Etter 1996). Perambatan gelombang akustik akan mengalami proses kehilangan intensitas energi akustiknya yang disebabkan oleh

geometrical spreading loss (evek divergensi) dan absorption loss. Hal ini dikenal sebagai propagation loss (transmission loss) yang merupakan salah satu parameter sonar yang mengeksperisikan suatu nilai kuantitatif dari beberapa fenomena yang berkaitan dengan perambatan gelombang akustik di laut (Urick 1983).

Pada perambatan gelombang akustik dalam medium air laut sebagian energi akustiknya secara kontiniu akan diserap dan diubah menjadi energi panas. Penyerapan ini (absorption loss) terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu viskositas air laut itu sendiri dan molecular relaxtion dimana molekul-molekul magnesium sulfat (MgSO4) dalam air laut tereduksi menjadi ion-ion akibat induksi dari tekanan gelombang akustik. Menurut Urick (1983) molecular relaxation

merupakan penyebab utama terjadinya absorption loss pada frekuensi akustik di bawah 100 kHZ. Pada frekuensi tinggi (lebih dari 500 kHz) perubahan tekanan akustik terlalu cepat sehingga tidak terjadi molecular relaxation dan tidak terjadi penyerapan energiakustik, sedangkan pada frekuensi kurang dari 2 kHZ akan terjadi

absorption loss yang disebabkan oleh boric acid relaxation (Waite 2002). Perbandingan nilai surface backscattering strength (SS) antar trace

Nilai Seasurfce Scattering dasar perairan di Indonesia belum ada nilai ketetapan, namun dari beberapa penelitian yang pernah dilalukan di berbagai wilayah di Indonesia, yakni: Siwabessy et al. (1999) menggunakan teknik hidro-akustik untuk pengklasifikasi dasar laut di Barat Laut perairan Australia bagian barat. Kim et al. (2004) menggunakan teknik hidro-akustik untuk menentukan tipe-tipe sedimen di perairan Teluk Mexico bagian Timur Laut. Pujiyati et al. (2010) menggunakan split beam SImrad EY 60 Scientifik echsounder pada frekuensi 120 kHz untuk meneliti hubungan antara ukuran butiran, kekasaran dan kekerasan dengan nilai hambur balik dasar laut di perairan pulau Pari Kepualauan Seribu. Manik (2006) dan Manik (2011) menggunakan quantitative echo sounder dan menerapkan model ring surface scattering (RSS) untuk mengkuantifikasi

backscattering strength (SS)berbagai substrat dasar laut di perairan selatan Jawa. Allo (2011) menggunakan split beam Simrad EY 60 scientific echosounder pada frekuensi 120 kHz untuk kuantifikasi dan karakteristik dasar laut di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Supartono (2013) menggunakan Single beam dan

Multi beam echo sounder di sekitar Pulau Kongsi, Pulau Burung Kepulauan Seribu dan perairan Teluk Buyat Sulawesi Utara.

Pada penelitian ini ditemukan nilai SS lanauan -25.669 dB pada posisi 5°09'22.56" LS – 135°16'15.1" BT core 4 berada, lanau pasiran -23.385 dB pada posisi 4°42'17.07" LS – 134°54'14.3" BT core 5, pasiran 19.296 dB pada posisi 4°51'32.06" LS – 134°35'48.3" BT core 6, lanau pasiran 21.106 dB pada posisi 5°10'13.09" LS – 134°32'56.7" BT core 7 (Tabel 9, Lampiran 7). Menurut Irfania (2009) Nilai SV untuk tipe substrat pasir di wilayah selatan perairan Kepulauan Aru dan selatan perairan Papua (Laur Arafura) menggunakan instumen Simrad EK60

Dokumen terkait