• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subkloning scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi

Fragmen gen scFv-1 yang terdapat di dalam plasmid pAF_scFv-1 diklon ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Fragmen scFv diperoleh melalui amplifikasi gen scFv-1 pada pAF_scFv-1 dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho. Situs restriksi XhoI yang diperlukan untuk proses subkloning gen ke dalam pPICZαA ditambahkan pada kedua ujungnya. Hasil amplifikasi PCR dari gen scFv-1 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Produk amplifikasi PCR plasmid pAF-scFv-1 dengan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101F-R-NdeXho.

Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1 dan 2= produk PCR gen scFv

Produk PCR menunjukkan pita DNA dengan ukuran 759 pb (Gambar 6). Produk PCR dan vektor pPICZαA kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi XhoI untuk mempermudah proses kloning ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Hasil restriksi kemudian diperiksa dengan elektroforesis pada gel agarosa 1% (Gambar 7).

Gambar 7 Hasil potong vektor pPICZαA dan gen scFv hasil PCR dengan enzim

XhoI.

Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1= Vektor pPICZαA (tidak dipotong), Lajur 2= Vektor pPICZαA dipotong dengan enzim XhoI, Lajur 3= gen scFv, Lajur 4= gen scFv dipotong dengan enzim restriksi XhoI.

Proses kloning berikutnya adalah ligasi dan transformasi ke dalam E. coli

TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Dari hasil transformasi diperoleh sebanyak 42 koloni yang diduga membawa fragmen scFv yang diinsersikan (Gambar 8). Nilai efisiensi transformasi yang dihasilkan adalah sebesar 2,47 x 103 cfu/µg DNA plasmid. Rendahnya nilai efisiensi transformasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsentrasi DNA plasmid yang digunakan pada saat proses ligasi terlalu rendah, perbandingan antara komponen DNA plasmid dan DNA gen sisipan yang belum optimal, suhu inkubasi pada saat proses ligasi yang belum optimal dan aktivitas enzim ligase yang digunakan. (Brown 2006; Glick & Pasternak 1994).

Gambar 8 Hasil Transformasi pPICZαA_scFv-1 ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas.

Koloni E. coli yang tumbuh diduga mengandung sisipan gen scFv. Koloni E. coli

tersebut diverifikasi dengan beberapa cara, diantaranya adalah teknik PCR koloni, pengecekan orientasi gen dalam konstruksi, pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI dan analisis sekuen DNA.

Gambar 9 Posisi penempelan primer VH101-F dan VL101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1

PCR koloni dilakukan untuk memverifikasi keberadaan sisipan gen scFv

di dalam plasmid rekombinan pPICZαA_scFv. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan pasangan primer VH101-F dan VL101-R (Tabel 1). Posisi penempelan primer pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil PCR koloni menunjukkan bahwa dari 42 sampel koloni yang diperiksa diperoleh 16 sampel yang diduga positif mengandung sisipan gen

scFv. Dengan kata lain hanya 38% sampel yang diduga positif mengandung gen

scFv. Rendahnya jumlah sampel positif kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan proses ligasi. Proses ligasi akan memberikan hasil optimal apabila komponen-komponen yang terlibat dalam proses ligasi dan prosesnya itu sendiri berada dalam kondisi optimum. Komponen ligasi yang penting adalah DNA plasmid, DNA gen sisipan dan enzim ligase. Perbandingan antara DNA plasmid dan DNA gen sisipan akan sangat menentukan keberhasilan suatu proses ligasi. Perbandingan yang tidak tepat antara DNA plasmid dengan DNA gen sisipan akan membuat komponen tersebut tidak akan mengalami ligasi yang diharapkan yaitu antara DNA plasmid dengan DNA gen sisipan. Konsentrasi enzim ligase dan waktu serta suhu inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan proses ligasi. Suhu yang tidak tepat akan menyebabkan enzim ligase yang digunakan tidak bekerja optimal. Demikian pula dengan konsentrasi enzim ligase yang digunakan. Gambar 10 memperlihatkan sebagian hasil PCR koloni dari 42 koloni yang tumbuh. Pada Gambar 10 terlihat bahwa klon pada kolom ke-2, 3, 4, 5, 8 dan 9 diduga mengandung sisipan gen scFv dengan ukuran sebesar 711 pb. Sampel tersebut kemudian diverifikasi dengan langkah berikutnya yaitu penentuan orientasi dari struktur scFv.

Gambar 10 Hasil PCR koloni transforman pPICZαA_scFv dengan menggunakan primer VH101-F dan VL101-R.

Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, (K+)= Hasil PCR koloni dengan cetakan plasmid pAF-scFv-01, Lajur 1-10= transforman pPICZαA_scFv

Gambar 11 Posisi penempelan primer AOX-F dan VH101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1

Penentuan orientasi struktur scFv dilakukan dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer AOX-F dengan VH101-R. Penentuan orientasi konstruk dilakukan untuk mengetahui posisi dari sisipan gen scFv telah tepat atau belum, karena terdapat kemungkinan terjadinya orientasi yang salah dari gen scF.

Kesalahan ini dapat disebabkan oleh pada saat pemotongan plasmid hanya digunakan satu enzim restriksi (XhoI) sehingga kemungkinan kesalahan orientasi akan sangat besar. Pemilihan primer yang digunakan yaitu AOX-F dan VH101-R selain untuk menentukan orientasi juga dipilih untuk mengetahui apakah proses fusi antara α-faktor telah terjadi atau belum. Posisi penempelan primer pada proses pengecekan orientasi konstruk dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila sampel memiliki orientasi yang tepat, maka produk PCR yang terbentuk sebesar 750 bp . Gambar 12 memperlihatkan hasil penentuan orientasi konstruk.

Gambar 12 Hasil PCR penentuan orientasi gen scFv dalam konstruk pPICZαA_scFv dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan VH101-R.

Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman Penentuan orientasi konstruk yang dilakukan terhadap 16 sampel klon yang diduga mengandung DNA sisipan diperoleh 8 klon yang mengandung gen scFv

dengan orientasi yang tepat yaitu sebesar 50%. Hasil ini lebih rendah dari nilai yang diharapkan yaitu sekitar 80%. Orientasi gen sisipan di dalam konstruk menentukan aktivitas dari protein yang diekspresikan. Orientasi yang salah akan menyebabkan protein target tidak terekspresi. Gambar 12 menunjukkan sebagian hasil pengecekan orientasi konstruk yang positif, yaitu klon pada lajur ke-2, 3, 4, 5, 7 dan 8.

Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI dilakukan untuk memastikan keberadaan sisipan gen scFv yang terfusi pada situs restriksi tertentu (XhoI). Gambar 13 memperlihatkan hasil pemotongan 8 sampel yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi XhoI. Klon pada kolom ke-4 sampai 10 memberikan 2 pita yaitu pita a yang berukuran 3600 pb dan pita b yang berukuran 750 pb. Pita a diduga merupakan vektor pPICZαA sedangkan pita b merupakan sisipan gen scFv. Hasil pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI dari 8 sampel yang dipotong diperoleh 7 klon sampel yang diduga mengandung sisipan gen scFv. Gambar 13 lajur 11 menunjukkan bahwa satu klon yang dipotong tidak memberikan pita seperti yang diharapkan, yaitu pita a (3600 pb) dan pita b (750 pb). Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak terpotongnya plasmid rekombinan pada kedua situs restriksi XhoI. Diantaranya adalah kemungkinan terjadinya mutasi pada salah satu situs restriksi XhoI yang terdapat pada klon tersebut.

Gambar 13 Hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI

terhadap plasmid rekombinan pPICZαA_scFv.

Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1= pPICZαA, lajur 2= pPICZαA dipotong dengan enzim restriksi XhoI, lajur 3= pPICZαA_scFv, lajur 4-11= pPICZαA_scFv dipotong dengan enzim restriksi XhoI, a= pPICZαA, b= sisipan gen scFv

Analisis sekuen dilakukan terhadap 7 klon yang memberikan hasil positif dengan pengecekan bertahap yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Analisis sekuensing dilakukan untuk memperkuat hasil analisis dengan menggunakan teknik PCR dan pemotongan dengan enzim restriksi tertentu, karena analisis tersebut tidak dapat mendeteksi terjadinya mutasi pada urutan DNA plasmid rekombinan yang diperoleh. Analisis sekuensing juga dilakukan untuk mengetahui fusi antara α-faktor dengan gen scFv telah terjadi pada kerangka baca terbuka yang tepat. Analisis sekuensing dilakukan dengan menggunakan primer AOX-Forward. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa 2 sampel yaitu klon no. 21 dan 41 memiliki urutan DNA yang sesuai dengan sekuen DNA gen sintetik yang dibuat (Lampiran 3). Lampiran 3 menunjukkan bahwa proses subkloning scFv telah berhasil dilakukan ke dalam vektor pPICZαA pada situs restriksi XhoI. Lampiran 3 juga menunjukkan fusi antara α-factor signal sequence dengan fragmen scFv. α-factor signal sequence berfungsi sebagai perangkat untuk mengarahkan sekresi protein rekombinan ke dalam medium (sekresi ekstraselular) (Cregg et al. 1993).

Fusi Gen scFv Versi 1 dengan gen egfp

Fusi gen scFv dengan penanda EGFP dilakukan untuk mempermudah proses pendeteksian ekspresi protein rekombinan pada P. pastoris (Morino et al.

2001).

Gen egfp diperoleh melalui teknik amplifikasi PCR dengan menggunakan plasmid PTZ_EGFP sebagai cetakan. Proses PCR dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan menggunakan primer EGFP-F dan EGFP-R untuk memperoleh fragmen gen egfp. Tahap kedua dilakukan dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F-G4S-ClaI dan EGFP-R-Cla untuk

menambahkan situs restriksi ClaI yang diperlukan untuk proses fusi gen scFv

dengan gen egfp.

Gambar 14 Hasil amplifikasi (tahap pertama) dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R

Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen

egfp tahap pertama.

Pada amplifikasi gen egfp tahap pertama dengan pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R diperoleh produk PCR dengan ukuran 717 pb (Gambar 14). Produk PCR yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai cetakan untuk proses PCR tahap kedua. Proses PCR tahap kedua yang menggunakan pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dan EGFP-R-EGFP-G4S-ClaI diperoleh produk PCR dengan ukuran 759 pb (Gambar 15). Amplifikasi gen egfp dengan teknik PCR 2 tahap ini diperlukan untuk mengintroduksi situs restriksi ClaI yang dibutuhkan untuk proses subkloning ke dalam vektor. Pasangan primer yang digunakan pada PCR tahap kedua memiliki situs restriksi ClaI sehingga pada waktu proses subkloning hanya diperlukan 1 situs restriksi. Produk ini kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragment Extraction Kit dari GeneAid.

Gambar 15 Hasil amplifikasi gen egfp dengan PCR tahap kedua menggunakan pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dengan EGFP-R-ClaI.

Keterangan : M= marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen egfp

tahap kedua.

Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) dan gen egfp kemudian dipotong dengan enzim restriksi ClaI. Gen egfp kemudian disubklon ke dalam plasmid

pPICZαA_scFv-1 melalui proses ligasi dan transformasi plasmid rekombinan ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Gen egfp

difusikan pada ujung-3’ dari gen scFv. Ligasi antara plasmid rekombinan pPICZαA_scFv dengan gen egfp menghasilkan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Gambar 16 menunjukkan hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’. Hasil transformasi

E. coli dengan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang tumbuh pada media LSLB agar yang mengandung zeocin 25 µg/ml mencapai 865 koloni (Tabel 2). Sementara itu, dari proses religasi plasmid tanpa DNA sisipan yang digunakan sebagai kontrol tumbuh 442 koloni. Melihat hasil transformasi tersebut maka diduga hanya sekitar 51% koloni yang tumbuh pada media seleksi tersebut merupakan koloni yang membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Salah satu faktor penyebab rendahnya presentase koloni yang diduga membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP adalah kemungkinan pada saat proses defosforilasi enzim alkalin fosfatase tidak bekerja secara optimal karena suhu dan waktu inkubasi yang tidak tepat. Akibatnya masih banyak plasmid yang mengalami religasi (Glick & Pasternak 1994). Proses yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi koloni yang membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP antara lain dengan teknik verifikasi menggunakan PCR koloni terhadap keberadaan gen egfp, penentuan orientasi konstruk fusi scFv dengan gen egfp, pemotongan plasmid rekombinan dengan enzim restriksi ClaI dan analisis sekuensing plasmid rekombinan yang diperoleh.

Tabel 2 Hasil Transformasi Plasmid Rekombinan pPICZαA_scFv(1)_GFP pada E. coliTOP10F’

Plate A B Religasi 1 1 87 120 2 20 97 198 3 33 209 124 4 33 229 - 5 35 121 - Jumlah 122 743 442

Keterangan : A= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:4, B= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:8, Religasi = pPICZαA_scFv.

Gambar 17 Posisi penempelan primer pada proses PCR koloni dengan menggunakan primer AOX-F dan AOX-R

PCR koloni dilakukan terhadap 115 koloni transforman yang tumbuh yang dipilih secara acak dari semua plate. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan AOX-R. Posisi penempelan primer AOX-F dan AOX-R pada plasmid rekombinan dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil analisis pada gel agarosa (Gambar 18) menunjukkan terdapat 2 pita produk PCR yang berukuran 2000 pb dan 1200 pb (lajur no. 1 dan 5). Sampel transforman yang memberikan produk PCR dengan ukuran sekitar 2000 pb diduga membawa DNA sisipan gen egfp. Sedangkan transforman yang memberikan produk PCR berukuran 1200 pb diduga tidak mengandung gen sisipan egfp. Hal ini diperoleh dari ukuran komponen plasmid rekombinan, yaitu α- faktor (500 pb), gen scFv

(750 pb) dan gen egfp (800 pb). Hasil PCR koloni menunjukkan dari 115 koloni transforman yang diuji diperoleh 23 koloni transforman yang diduga membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv_EGFP.

Gambar 18 Hasil PCR koloni transforman dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan AOX-R

Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman

Gambar 19 Posisi penempelan primer pada proses orientasi konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R

Proses verifikasi selanjutnya adalah penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R. Pasangan primer tersebut digunakan untuk menentukan posisi relatif dari sisipan gen egfp terhadap komponen lain di dalam konstruk plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP. Posisi penempelan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dapat dilihat pada Gambar 19. Proses verifikasi dengan teknik PCR ini akan menghasilkan produk PCR yang berukuran 750 pb apabila memiliki gen sisipan egfp dengan orientasi yang tepat. (Gambar 20). Sebanyak 14 koloni transforman memberikan pita yang berukuran 750 pb yang berarti koloni tersebut diduga memiliki orientasi konstruk yang tepat, sedangkan 9 koloni lainnya (lajur no. 1, 2, 7 dan 11) tidak terdapat pita yang berukuran 750 pb. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena telah terjadi kesalahan orientasi gen egfp di dalam konstruk.

Gambar 20 Hasil PCR penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R.

Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman Verifikasi dengan cara pemotongan menggunakan enzim restriksi ClaI dilakukan terhadap 14 sampel koloni transforman (Gambar 21). Hasil pemotongan dengan enzim restriksi ClaI seharusnya memberikan hasil 2 buah pita yaitu pita plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) (4350 pb) dan pita gen egfp (800 pb), akan tetapi pada sampel plasmid hasil pemotongan dengan enzim restriksi ClaI tidak diperoleh kedua pita tersebut. Gambar 21 menunjukkan bahwa hasil pemotongan plasmid rekombinan dengan menggunakan enzim restriksi ClaI hanya diperoleh 1 pita DNA yang berukuran sekitar 5000 pb. Pita tersebut diduga diperoleh dari hasil pemotongan hanya pada satu situs restriksi ClaI sehingga plasmid rekombinan menjadi berbentuk linear akan tetapi tidak dapat mengeluarkan sisipan gen egfp. Hal ini dapat diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti aktivitas enzim restriksi ClaI yang berkurang atau karena telah terjadi mutasi pada situs restriksi ClaI. Untuk mengetahui penyebab tidak terbentuknya dua pita pada pemotongan dengan enzim restriksi ClaI maka dilakukan analisis sekuensing terhadap 4 sampel yang dipilih secara acak dari 14 koloni yang diperoleh untuk mengidentifikasi urutan nukleotida klon tersebut.

Gambar 21 Hasil pemotongan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi ClaI.

Keterangan : M= marka DNA 1 kb, 1= plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP, lajur 2-8= pPICZαA_scFv(1)_EGFP dipotong dengan enzim restriksi ClaI

Hasil analisis sekuensing terhadap 4 koloni transforman menunjukkan bahwa hanya satu klon, yaitu A3 yang memiliki plasmid rekombinan dengan urutan nukleotida yang tepat (Lampiran 4). Hasil sekuensing menunjukkan bahwa fusi antara gen scFv dengan gen egfp telah terjadi pada situs restriksi ClaI. Dua situs restriksi ClaI terdapat pada kedua ujung gen egfp (ujung-3’ dan ujung-5’). Hasil sekuensing ini belum dapat menjelaskan penyebab tidak terpotongnya plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP oleh enzim restriksi ClaI meskipun tidak terjadi mutasi pada situs restriksi tersebut. Penyebab tidak terpotongnya plasmid rekombinan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah aktivitas enzim ClaI yang digunakan kemungkinan belum optimal, suhu dan waktu inkubasi pada saat proses digesti dengan enzim restriksi yang kurang optimal atau kemungkinan karena telah terjadi proses metilasi pada situs restriksi ClaI. Hasil analisis sekuen DNA dari beberapa klon yang lain menunjukkan terjadinya mutasi baik pada bagian gen scFv maupun gen egfp.

Introduksi Plasmid Rekombinan ke dalam P. pastoris

P. pastoris yang digunakan sebagai inang dalam proses transformasi ini adalah P. pastoris SMD1168H yang memiliki genotip His4 dan pep4 serta fenotip Mut+, His- dan pep4-. Proses transformasi plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP ke dalam P. pastoris diawali dengan preparasi sel kompeten P. pastoris dan plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP. Sel kompeten P. pastoris dibuat sesuai dengan prosedur pembuatan sel kompeten Invitrogen Easy SelectTM Pichia Expression Kit.

Plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP diisolasi dari E. coli

TOP10F’ (Gambar 22) dan kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragment Extraction Kit dari GeneAid. Kemurnian dari plasmid yang akan ditransformasikan ke dalam P. pastoris akan sangat berpengaruh terhadap hasil transformasi. Pita DNA hasil isolasi (Gambar 22) menunjukkan adanya 3 pita DNA yang terbentuk. Diduga pita yang berada paling atas adalah pita DNA genom oleh karena itu harus dilakukan purifikasi terhadap preparasi plasmid tersebut. Plasmid rekombinan tersebut kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi SacI agar diperoleh DNA plasmid yang linear. Menurut Cregg et al. 1989 pemotongan DNA plasmid rekombinan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil transformasi, karena DNA yang telah dipotong akan mengarahkan proses rekombinasi secara langsung pada sekuen DNA target, yaitu sekuen promotor AOX1. Di dalam Easy SelectTM Pichia Expression Kit disebutkan bahwa apabila digunakan plasmid DNA yang sudah dipotong (linearized) maka DNA yang diperlukan untuk proses transformasi sebesar 5-10 μg, sedangkan apabila digunakan DNA sirkular, maka dibutuhkan jumlah DNA yang jauh lebih besar yaitu 50-100 μg DNA. Plasmid yang telah dipotong dengan enzim restriksi

SacI (Gambar 23) kemudian dipurifikasi lagi dengan menggunakan Gel/PCR DNA Extraction Kit dari GeneAid untuk menghilangkan komponen-komponen yang digunakan pada saat restriksi yang juga dapat mengganggu tingkat keberhasilan transformasi.

Gambar 22 Hasil isolasi DNA plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP

Keterangan : K = kontrol plasmid pPICZαA_scFv, lajur 1&2= plasmid pPICZαA_scFv_EGFP

Gambar 23 Hasil potong plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi SacI.

Keterangan : M = marka DNA 1 kb, Lajur 1 = plasmid pPICZαA (tidak dipotong), Lajur 2 = plasmid pPICZαA dipotong dengan enzim restriksi SacI, Lajur 3 = plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP, Lajur 4-5 = plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dipotong dengan enzim restriksi

SacI.

Konsentrasi DNA plasmid yang akan digunakan dalam proses transformasi ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan nanofotometer (Tabel 3). Hasil penentuan konsentrasi menunjukkan bahwa konsentrasi DNA plasmid yang diperoleh relatif kecil, sehingga bila kita mengacu pada jumlah DNA yang digunakan dalam protokol Easy SelectTM Pichia Expression Kit yaitu sebesar 5-10 µg, maka diperlukan volume yang banyak untuk mencapai jumlah DNA yang cukup untuk proses transformasi. Nilai konsentrasi DNA yang kecil akan mempengaruhi hasil transformasi baik dari segi jumlah transforman yang dihasilkan maupun keberhasilan proses integrasi DNA plasmid rekombinan ke dalam genom P. pastoris.

Tabel 3 Hasil penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan nanofotometer

Sampel A260/280 Konsentrasi (ng/µl)

pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-1) 2,5 12,1 pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-2) 3,0 7,3

Proses transformasi pada P. pastoris dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit (Invitrogen) dengan metoda elektroporasi menggunakan alat elektroporator (BioRad). Proses elektroporasi yang dilakukan menggunakan protokol dan kondisi elektroporasi yang optimal untuk transformasi P. pastoris. Kondisi pada saat proses elektroporasi dapat dilihat pada Tabel 4. DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP sebanyak 20 µl (0,24 µg) ditransformasikan ke dalam 40 µl sel kompeten P. pastoris. Ke dalam campuran antara plasmid rekombinan dan sel kompeten kemudian ditambahkan 1 ml sorbitol 1 M segera setelah proses elektroporasi. Penambahan sorbitol bertujuan untuk menjaga tekanan osmotik sel agar tidak pecah setelah proses elektroporasi dan membantu sel untuk memperbaiki diri. Selain itu sorbitol juga berfungsi untuk menjaga agar DNA yang sudah masuk ke dalam sel tidak kembali lagi keluar sel (Invitrogen 2001).

Tabel 4 Kondisi pada saat elektroporasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan alat Elektroporator

Sampel Waktu Pulsa

(milisecond) Tegangan (volt) Kapasitas (µF) Resisten Ω pPICZαA_scFv_EGFP 4,9 1977 25 200 Kontrol 4,8 1978 25 200

Keterangan : kontrol (sel kompeten P. pastoris SMD1168H)

Hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris dapat dilihat pada Gambar 24. Tabel 5 menunjukkan jumlah koloni hasil transformasi dengan efisiensi transformasi sebesar 1,2 x 104 cfu/µg DNA. Menurut Invitrogen (2001), efisiensi transformasi dengan teknik elektroporasi berada pada kisaran 103-104 transforman/µg DNA plasmid. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya jumlah transforman yang dihasilkan. Hal yang pertama adalah DNA plasmid yang digunakan terlalu rendah konsentrasinya, yaitu hanya 0,24 μg. Sedangkan menurut prosedur yang terdapat pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit DNA plasmid yang digunakan berkisar antara 5-10 μg untuk setiap proses transformasi. Faktor berikutnya adalah sel kompeten dan DNA plasmid tidak tercampur secara homogen. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai efisiensi transformasi, diantaranya adalah waktu inkubasi yang terlalu singkat, kondisi pada saat elektroporasi dan preparasi sel kompeten juga harus dilakukan sebaik mungkin agar diperoleh sel kompeten yang berkualitas baik.

Gambar 24 Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris

Keterangan : A, B & C menunjukkan koloni P. pastoris hasil elektroporasi dan disebar pada medium seleksi YPDS + zeocin (100 µg/ml). Volume yang disebar : 50 μl (A), 25μl (B) & 20 μl (C)

Tabel 5 Jumlah koloni hasil transformasi P. pastoris dengan plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP

Dokumen terkait