• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik

Isolasi bakteri kitinolitik menggunakan sampel kokon asal pupa sehat dan kokon asal pupa terserang cendawan. Sampel kokon C. trifenestrata asal pupa sehat memiliki bentuk seperti jaring, serat tidak rusak, memiliki pori yang besar, berwarna kuning keemasan, dan tidak berbau (Kalshoven 1981). Sampel kokon asal pupa terserang cendawan memiliki ciri berbeda, yaitu tampak berwarna cokelat kehitaman dan terkadang terlihat adanya hifa yang menjalar di permukaan kokon. Isolasi bakteri kitinolitik dari sampel kokon sehat dan sakit di sekitar Desa Babakan Lebak, Dramaga, Bogor menghasilkan 36 isolat (Tabel 1) dengan karakter morfologi yang bervariasi (Lampiran 2). Indeks Kitinolitik terbesar dihasilkan isolat BSEP.1, yaitu 1.81 sedangkan Indeks Kitinolitik terkecil dihasilkan isolat BSEP.35, yaitu 0.13.

Tabel 1 Hasil isolasi bakteri kitinolitik berdasarkan Indeks Kitinolitik (IK)

Kode Isolat IK Kode Isolat IK Kode Isolat IK Kode isolat IK

BSEP.1 1,81 BSEP.10 0,87 BSEP.19 0,6 BSEP.28 0,69

BSEP.2 1,77 BSEP.11 0,54 BSEP.20 0,74 BSEP.29 0,29

BSEP.3 1,73 BSEP.12 0,41 BSEP.21 0,96 BSEP.30 0,51

BSEP.4 0,57 BSEP.13 0,87 BSEP.22 0,88 BSEP.31 0,38

BSEP.5 1,69 BSEP.14 0,76 BSEP.23 0,55 BSEP.32 0,34

BSEP.6 1,42 BSEP.15 0,43 BSEP.24 0,85 BSEP.33 0,42

BSEP.7 1,36 BSEP.16 0,68 BSEP.25 1,24 BSEP.34 0,21

BSEP.8 1,13 BSEP.17 1,37 BSEP.26 0,29 BSEP.35 0,13

BSEP.9 0,9 BSEP.18 0,84 BSEP.27 0,47 BSEP.36 0,26

Keseluruhan isolat bakteri kitinolitik mampu tumbuh dan membentuk zona bening pada media agar-agar kitin. Zona bening merepresentasikan kemampuan bakteri kitinolitik dalam mendegradasi koloidal kitin yang ada di dalam media sebagai nutrisi bagi pertumbuhannya (Gambar 4).

Gambar 4 Isolat bakteri kitinolitik pada media agar-agar kitin setelah 2 hari inkubasi. a) Koloni bakteri dan b) zona bening di sekitar koloni

Isolasi Cendawan dan Uji Patogenisitas

Isolasi cendawan patogen dari sampel kokon rusak menghasilkan 10 isolat yang diberi kode CSAJ.1-CSAJ.10 (Lampiran 3). Uji patogenisitas cendawan dilakukan untuk melihat tingkat patogenisitas cendawan terhadap kokon sehat. Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa dari 10 cendawan yang berhasil diisolasi hanya cendawan dengan kode CSAJ.2 yang berhasil tumbuh pada kokon dan menyebabkan warna kokon menjadi lebih gelap (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa CSAJ.2 mampu menjadi parasit pada kokon tersebut. Sesuai dengan tahapan Postulat Koch, isolat cendawan CSAJ.2 selanjutnya diisolasi dan dimurnikan kembali pada media PDA. Isolat CSAJ.2 inilah yang dijadikan sebagai cendawan patogen dalam uji selanjutnya.

Gambar 5 Pertumbuhan hifa cendawan CSAJ.2 pada kokon ulat sutra emas C. trifenestrata (tanda panah)

Penapisan Bakteri Kitinolitik melalui Uji Daya Hambat terhadap Cendawan Patogen

Uji daya hambat diawali dengan menumbuhkan cendawan dan bakteri secara bersamaan pada media PDA dan PDA+pepton 1% dan diinkubasi selama 5 hari. Inkubasi pada media yang berbeda bertujuan untuk melihat perbedaan antara pertumbuhan bakteri dan cendawan serta aktivitas daya hambat. Pada media PDA, pertumbuhan bakteri cenderung lebih tipis sedangkan cendawan tetap tumbuh dengan baik. Pada media PDA+Pepton 1% terlihat bahwa baik bakteri maupun cendawan tumbuh dengan baik karena media PDA+pepton merupakan media yang diperkaya dengan pepton yang merupakan sumber N bagi bakteri dan cendawan sehingga akan lebih mudah untuk melihat aktivitas daya hambat yang terjadi. Hasil uji antagonis menunjukkan bahwa dari 36 isolat bakteri kitinolitik hanya 1 isolat dengan kode BSEP.3 yang berhasil menghambat pertumbuhan cendawan patogen yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat di sekitar cendawan (Gambar 6). Persentase penghambatan yang diperoleh oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 ialah sebesar 50%.

4

Gambar 6 Uji daya hambat isolat bakteri kitinolitik melawan cendawan patogen pada media PDA (kiri) dan media PDA+Pepton 1% (kanan). a) Isolat bakteri BSEP.3 dan b) isolat cendawan CSAJ.2

Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kitinase Ekstrak Kasar Isolat Terpilih serta Uji Daya Hambatnya

Pengukuran kurva pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui waktu optimum dan fase produksi kitinase oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 (Gambar 7). Pada tahapan ini diketahui aktivitas optimum dari kitinase ekstrak kasar sehingga dapat diuji kembali aktivitas daya hambatnya terhadap pertumbuhan cendawan patogen. Isolat BSEP.3 memasuki fase logaritmik pada jam ke-3 sampai jam ke-12 waktu inkubasi dan fase ini diikuti oleh produksi kitinase. Aktivitas kitinase optimum tertinggi berada pada fase stasioner sebesar 5.11 U/mL ketika jumlah sel cenderung konstan.

Gambar 7 Kurva pertumbuhan dan produksi kitinase oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3

Hasil uji daya hambat secara in vitro menggunakan kertas cakram menunjukkan bahwa pertumbuhan cendawan dihambat oleh kultur cair dan supernatan dengan persentase daya hambat masing-masing sebesar 47.5% dan 46.25% (Gambar 8a dan 8b). Persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase zona daya hambat yang diperoleh dengan menggunakan kultur padat. Pengamatan

1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7 7.5 8 8.5 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 L o g S el Waktu (Jam)

Log Cell Chitinase

A k ti v it as Kiti n ase (U/m L ) a b a b 14

mikroskopik dilakukan untuk melihat efek yang ditimbulkan kitinase terhadap sel cendawan patogen (Gambar 8c dan 8d).

Gambar 8 Hasil uji daya hambat bakteri kitinolitik BSEP.3 terhadap cendawan patogen CSAJ.2 pada media PDA dan pengamatan mikroskopik hifa cendawan. a) Uji daya hambat menggunakan kultur cair b) uji daya hambat menggunakan kitinase ekstrak kasar, c) hifa membengkok, dan d) hifa menggulung

Pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pengaruh utama dari kitinase dapat mendegradasi dinding sel. Hifa yang terhambat pertumbuhannya menjadi tidak normal seperti hifa membengkok dan menggulung karena adanya kitinase ekstrak kasar yang dihasilkan oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 (Gambar 8c dan 8d).

Identifikasi Bakteri Kitinolitik secara Morfologi, Biokimia, dan Molekuler Karakterisasi Isolat BSEP.3 secara morfologi menghasilkan warna koloni putih susu, bentuk koloni keriput, tepian koloni berombak, dan elevasi berbukit-bukit. Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa isolat BSEP.3 yang diperoleh termasuk ke dalam Gram positif dengan bentuk sel batang pendek (Gambar 9 a). Isolat bakteri kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan endospora (Gambar 9 b).

Gambar 9 Hasil pewarnaan Gram dan endospora isolat bakteri kitinolitik BSEP.3. a) Gram positif dan b) endospora

Identifikasi isolat BSEP.3 secara biokimia menggunakan kit Analytical Profile Index (API) 50 CHB menunjukkan isolat BSEP.3 memiliki kemiripan dengan Bacillus amyloliquefaciens dengan tingkat kemiripan 96.6 % dengan hasil 15

4

uji positif terhadap gliserol, salisin, selobiosa, maltosa, laktosa, D-melibiosa, D-sukrosa, D-trehalosa, L-arabinosa, D-ribosa, D-xilosa, D-raffinosa, metil-αD-glukopiranosida, amidon (Starch), glikogen, glukosa, fruktosa, D-manosa, Inositol, D-manitol, D-sorbitol, amigdalin, arbutin, dan eskulin ferik sitrat (Lampiran 4).

Isolat BSEP.3 selanjutnya diidentifikasi secara molekuler berdasarkan 16S rRNA. Hasil pengukuran kosentrasi dan kemurnian DNA genom menunjukkan bahwa kosentrasi DNA genom bakteri yang diperoleh sebesar 56.5 ng/µ L. DNA genom tersebut dijadikan cetakan (template) pada proses PCR gen pengkode 16S rRNA. Hasil visualisasi amplifikasi gen penyandi 16S rRNA pada gel agarosa 1% menghasilkan produk pita DNA berukuran ± 1300 pb (Gambar 10).

Gambar 10 Hasil visualisasi gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 pada gel agarosa 1%

Analisis sekuen gen penyandi 16S rRNA (Lampiran 5) dengan data di Gene Bank pada program BLAST-N juga menunjukkan bahwa isolat BSEP.3 memiliki kemiripan dengan Bacillus amyloliquefaciens galur B5 sebesar 98% (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan kemiripan dengan hasil uji biokimia. Konstruksi pohon filogenetik dilakukan untuk mengetahui kelompok dan hubungan kekerabatan isolat (Gambar 11).

Tabel 2 Analisis homologi sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 menggunakan program BLAST-N

Kode isolat Homologi % Identitas E- Value No Akses BSEP.3

Bacillus amyloliquefaciens galur B5 98 0.0 KM263703.1

Bacillus subtilis galur EdyKolBs22 98 0.0 JX625998.1

Bacillus amyloliquefaciens galur MPA 98 0.0 NR117946.1

Bacillus amyloliquefaciens galur NBRC 98 0.0 NR112685.1

M BSEP. 3

1300 bp

Gambar 11 Konstruksi pohon filogenetik isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 menggunakan metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan bootsrap 1000x

Identifikasi Cendawan Patogen secara Morfologi dan Molekuler

Karakter morfologi menunjukkan koloni datar dengan miselium aerial yang jarang, memiliki hifa berwarna putih saat muda (umur 1-3 hari), dan berwarna hijau saat tua (umur 4-7 hari). Konidia diproduksi secara konsentris atau berada pada tepi cawan petri. Pada media PDA, koloni berbentuk seperti serabut dengan mengeluarkan konidia yang sering terlihat menutupi permukaan media pada umur ke-5 hingga ke-7. Selain itu, lingkaran hijau juga sering terlihat saat hifa telah memenuhi permukaan media. Karakter anatomi menunjukkan hifa hialin dan bersekat, konidia tersusun kompak dan memiliki dinding yang tebal seperti kristal, serta memiliki klamidospora yang memiliki ukuran lebih besar dari konidia (Gambar 12).

Gambar 12 Morfologi dan anatomi isolat cendawan patogen CSAJ.2. a) Lingkaran hijau cendawan patogen pada media PDA, b) konidiofor, c) konidia, d) klamidospora, dan e) hifa

Isolat cendawan patogen CSAJ.2 juga diidentifikasi secara molekuler menggunakan daerah ITS rDNA. Hasil pengukuran kosentrasi dan kemurnian DNA genom menunjukkan bahwa kosentrasi DNA genom cendawan yang diperoleh yaitu 78.3 ng/ µL. DNA genom tersebut dijadikan cetakan (template) pada proses PCR daerah ITS rDNA menggunakan primer ITS 5F dan ITS 4R.

0.02

4

Hasil visualisasi pada gel agarosa 1% menghasilkan produk pita DNA berukuran ± 700 pb (Gambar 13).

Gambar 13 Hasil visualisasi gen ITS rDNA isolat cendawan patogen CSAJ.2 pada gel agarosa 1%

Analisis sekuen gen penyandi daerah ITS rDNA (Lampiran 6) dengan data di Gene Bank pada program BLAST-N menunjukkan bahwa isolat cendawan CSAJ.2 diduga memiliki kemiripan dengan Trichoderma virens galur TV242 sebesar 100%.

Tabel 3 Analisis homologi sekuen gen ITS rDNA isolat cendawan CSAJ.2 menggunakan program BLAST-N

Kode Isolat Homologi % Identitas E- Value No Akses CSAJ.2

Trichoderma virens galur TV242 100 0.0 KP263703.1

Trichoderma koningiopsis galur QSQ4004 100 0.0 JQ040366.1

Trichoderma virens galur TR039 100 0.0 HQ608079.1

Hypocrea virens galur 35CP 100 0.0 GU066623.1

Ukuran nukleotida yang digunakan untuk konstruksi pohon filogenetik ialah sepanjang 55p pb. Konstruksi pohon filogenetik dilakukan untuk mengetahui kelompok dan hubungan kekerabatan isolat. Isolat cendawan CSAJ.2 berkerabat dekat dengan dengan Trichoderma virens yang merupakan cendawan anamorf dari Hypocrea virens (Gambar 14).

Gambar 14 Konstruksi pohon filogenetik isolat cendawan patogen CSAJ.2 menggunakan metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan bootsrap 1000x

Aplikasi Kitinase Ekstrak Kasar pada Pupa Sehat secara In vivo

Aplikasi dilakukan untuk membuktikan keefektifan kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan pada pupa ulat sutra emas Cricula trifenestrata. Aplikasi diawali dengam menginokulasikan suspensi spora cendawan patogen CSAJ.2 pada 30 pupa sehat dan diinkubasi selama 6 minggu. Aplikasi spora cendawan Trichoderma virens CSAJ.2 pada pupa sehat menghasilkan 27% pupa terserang cendawan dan 73% pupa tidak terserang cendawan (Gambar 15).

Gambar 15 Persentase hasil aplikasi spora cendawan T. virens CSAJ.2 pada pupa sehat setelah 6 minggu inkubasi

Pupa yang tidak terserang cendawan T. virens CSAJ.2 lebih banyak dibandingkan dengan pupa yang terserang cendawan. Hal ini dapat mengindikasikan beberapa hal, yaitu pupa yang tidak terserang cendawan mengandung bakteri atau senyawa antifungi yang dihasilkan oleh bakteri sehingga mampu menghambat pertumbuhan cendawan T. virens CSAJ.2.

Pembuktian mengenai argumen ini dilakukan dengan cara mengisolasi kembali bakteri yang ada pada pupa yang tidak terserang cendawan sama sekali dan menguji daya hambatnya terhadap T. virens CSAJ.2. Hasil menunjukkan terdapat 1 jenis bakteri yang memiliki karakter morfologi dan pewarnaan Gram yang sama dengan isolat B. amyloliquefaciens BSEP.3 yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan T. virens CSAJ.2 Sebaliknya, pupa yang terserang cendawan terlihat ditumbuhi oleh hifa cendawan yang berwarna putih sehingga membuat kokon terlihat berwarna lebih kusam dari sebelum diinokulasi spora cendawan. Pupa tersebut kemudian diaplikasikan dengan kitinase ekstrak kasar dengan konsentrasi 5.11 U/mL dan diinkubasi selama 8 hari. Hasil inkubasi menunjukkan adanya pengurangan hifa (Gambar 16).

27%

73%

Pupa yang terserang cendawan Pupa yang tidak diserang cendawan

4

Gambar 16 Urutan aplikasi kitinase ekstrak kasar B. amyloliquefaciens BSEP.3. a) Pupa sehat (kontrol) b) pupa yang telah terserang T. virens CSAJ.2 c) pupa yang telah diaplikasikan kitinase ekstrak kasar B. amyloliquefaciens BSEP.3 setelah 8 hari inkubasi

Pembahasan

Sebanyak 36 bakteri kitinolitik telah berhasil diisolasi pada media agar-agar kitin dan keseluruhan isolat juga mampu membentuk zona bening. Adanya zona bening di sekitar koloni menunjukkan kemampuan bakteri tersebut dalam mendekomposisi substrat berupa koloidal kitin yang terdapat dalam media sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya (Liu et al. 2011). Semakin tinggi tingkat dekomposisi substratnya maka semakin besar zona bening yang terbentuk. Zona bening di sekitar koloni juga dapat merepresentasikan adanya suatu senyawa yang dikeluarkan oleh isolat bakteri kitinolitik (Yu et al. 2008). Isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 adalah satu-satunya isolat yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen bila dibandingkan dengan isolat-isolat lainnya pada penelitian ini.

Isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 diduga mengeluarkan suatu senyawa antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dengan persentase zona daya hambat yang diperoleh ialah sebesar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa isolat BSEP.3 memiliki kemampuan untuk dijadikan sebagai pengendali biologi. Pengendalian biologi terhadap cendawan patogen dengan menggunakan bakteri merupakan cara yang efektif. Bakteri memiliki kemampuan untuk menghambat cendawan patogen dengan berbagai cara, antara lain dengan menghasilkan berbagai senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan, seperti antibiotik, enzim litik dan induksi ketahanan tanaman dengan aktivitasi gen

seperti kitinase, β-1.3 glukanase, peroksidase, dan phenilalanine ammonia liase (Chang et al. 2007). Kitinase diutamakan dalam pengendalian biologi terhadap cendawan patogen saat ini karena kemampuannya dalam mendegradasi kitin pada dinding sel cendawan (Yu et al. 2008).

Kitinase belum dihasilkan pada awal fase pertumbuhan. Hal ini terjadi karena isolat BSEP.3 masih berada pada fase adaptasi terhadap nutrisi yang ada dalam media. Pengukuran kitinase menunjukkan bahwa isolat BSEP.3 masih berada pada fase lag pada 3 jam pertama waktu inkubasi. Hal ini terjadi karena isolat BSEP.3 masih beradaptasi terhadap media baru untuk memanfaatkan nutrisi yang ada bagi pertumbuhannya. Isolat BSEP.3 memasuki fase logaritmik pada

c

jam ke-3 sampai jam ke-12 dan pada fase ini mulai diikuti oleh produksi kitinase. Aktivitas kitinase optimum tertinggi berada pada fase stasioner sebesar 5.11 U/mL ketika jumlah sel cenderung konstan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Han et al. (2014) pada Serratia sp. dan Bacillus sp. Penelitian lain oleh Natsir et al. (2010) juga menyatakan bahwa kitinase secara optimal dihasilkan pada fase stasioner. Hal ini terjadi karena pada fase stasioner terjadi penurunan jumlah nutrisi pada media sehingga kitinase ekstraseluler disekresikan dalam jumlah yang tinggi untuk mendegradasi koloidal kitin dalam media menjadi monomer N-asetilglukosamin yang dapat digunakan sebagai sumber karbon dan nitrogen bagi pertumbuhannya (Thompson et al. 2001).

Kitinase pada penelitian ini dihasilkan lebih cepat dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kitinase yang dihasilkan oleh Bacillus cereus yang diisolasi dari rizosfer cabai sebesar 0.75 U/mL (Mubarik et al. 2010). Penelitian lain menunjukkan bakteri kitinolitik membentuk aktivitas antifungi pada jam ke-10 saat fase logaritmik. Perbedaan waktu dalam pembentukan aktivitas antifungi dapat disebabkan oleh asal isolasi dan komposisi medium yang berbeda sehingga bakteri kitinolitik juga memiliki cara yang berbeda dalam merespon dan menggunakan nutrisi dalam media (Wang et al. 2012).

Hasil uji daya hambat secara in vitro menunjukkan bahwa pertumbuhan cendawan dihambat oleh kultur cair dan supernatan dengan nilai persentase penghambatan yang tidak jauh berbeda dengan menggunakan kultur padat. Hal ini membuktikan bahwa memang ada senyawa yang dikeluarkan oleh bakteri sehingga mempu menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Fenomena ini dibuktikan dengan hasil pengamatan mikroskopik pada bagian hifa yang terhambat pertumbuhannya. Pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pengaruh utama dari kitinase ialah untuk mendegradasi dinding sel. Hal Ini juga merupakan fungsi utama dari kitinase, yang merupakan salah satu protein antifungi paling penting yang dihasilkan oleh Bacillus sp. yang dapat mendegradasi kitin pada dinding sel sehingga dinding sel pada hifa lisis dan protoplasma menjadi bocor (Liu et al. 2011). Pengamatan mikroskopik hifa memperlihatkan bahwa hifa yang terhambat pertumbuhannya menjadi tidak normal seperti hifa membengkok dan menggulung karena adanya kitinase ekstrak kasar yang dihasilkan oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3.

Berdasarkan gen 16S rRNA, isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 teridentifikasi sebagai Bacillus amyloliquefaciens galur B5 dengan ukuran pita DNA 1300 pb. Gen 16S rRNA merupakan marka molekuler yang bersifat ubikuitus sehingga dapat digunakan untuk identifikasi bakteri. Bacillus amyloliquefaciens telah dikenal sebagai bakteri penghasil kitinase yang umum digunakan untuk degradasi kitin yang merupakan polisakarida terbanyak setelah selulosa (Hutsebaut et al. 2006). Bakteri ini sangat berkerabat dekat dengan kelompok B. subtilis karena sebelumnya dianggap sebagai galur B. subtilis dan hanya dibedakan berdasarkan analisis urutan 16S rDNA (Chun dan Bae 2000). Hutsebaut et al. (2006) melaporkan bahwa urutan gen 16S rRNA pada B. subtilis dan B. amyloliquefaciens menunjukkan kemiripan lebih dari 99%.

Bacillus amyloliquefaciens memang telah dikenal sebagai agens pengendali biologi berbagai cendawan patogen, termasuk Trichoderma sp. Kemampuan sebagai agens pengendali biologi tersebut terkait dengan beragamnya metabolit seperti enzim dan senyawa antifungi yang dihasilkan oleh 21

4

B. amyloliquefaciens. Laporan penelitian oleh Kucuk dan Kivanc (2004)

menyatakan bahwa aktivitas kitinase dan β-1,3 glukanase yang dihasilkan oleh Bacillus sp. dapat mendegradasi dinding sel cendawan Trichoderma sp.

Karakterisasi morfologi cendawan patogen CSAJ.2 yang diperoleh merupakan karakter yang sesuai dengan morfologi dan anatomi yang dimiliki oleh Trichoderma virens. Suhu optimum untuk pertumbuhan T. virens ialah 30 oC pada media PDA. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stewart et al. (2001) yang juga menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan T. virens berkisar antara 25-30 oC. Karakter morfologi menunjukkan koloni datar dengan miselium aerial yang jarang, memiliki hifa berwarna putih saat muda (umur 1-3 hari) dan berwarna hijau saat tua (umur 4 sampai 7 hari). Warna hijau yang terbentuk pada hifa karena T. virens telah menghasilkan konidia. Konidia diproduksi secara konsentris atau berada pada tepi cawan petri. Pada media PDA, koloni berbentuk seperti serabut dengan mengeluarkan konidia yang sering terlihat menutupi permukaan media. Selain itu, lingkaran hijau juga sering terlihat saat hifa telah memenuhi permukaan media.

Gen ITS rDNA memiliki arti yang penting dalam menghasilkan rRNA sehingga dapat dijadikan sebagai metode sederhana untuk menentukan variabilitas antar inter atau intraspesies cendawan. Identifikasi isolat cendawan patogen secara molekuler menggunakan daerah ITS rDNA juga menunjukkan kesamaan dengan hasil uji biokimia yaitu Trichoderma virens galur TV242 dengan ukuran pita DNA 700 pb. Hasil ini sesuai dengan berbagai laporan penelitian yang menyebutkan bahwa untuk cendawan Trichoderma pada berbagai spesies berkisar antara 600-700 pb (Chakraborty et al. 2010). Trichoderma virens dikenal sebagai cendawan tanah yang yang memiliki kemampuan hidup dan daya bersaing yang tinggi sebagai hiperparasit yang merupakan parasit pada cendawan parasit lainnya sehingga umum dijadikan sebagai pengendali biologi terhadap cendawan patogen lainnya (Pozo et al. 2004). Namun, pada penelitian ini T. virens CSAJ.2 berperan sebagai cendawan perusak bagi kokon ulat sutra emas yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas ulat sutra emas C. trifenstrata. Pada penelitian lain, Trichoderma sp. juga diduga dapat membuka jalan bagi bakteri untuk meningkatkan penyakit pada tanaman tomat (Lange dan Smart 2005).

Ferron (1985) menggolongkan empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama ialah inokulasi, yang merupakan kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan T. virens berupa konidia yang merupakan spora aseksual dan dihasilkan dalam jumlah yang banyak. Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua ialah proses penempelan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembaban udara yang tinggi diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Pada tahap ini, cendawan dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanik atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya spora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Pada umumnya serangga sudah mati sebelum 22

proliferasi spora. Beberapa senyawa yang dikerluarkan oleh T. virens, yaitu lipase, amilase, protease, pospatase, dan esterase.

Dari hasil penelitian ini, cendawan T. virens CSAJ.2 diduga menyerang kokon pada fase larva, karena pada fase ini keadaan larva masih rentan terhadap serangan patogen (Genthner et al. 1997). Larva yang terserang berkembang menjadi tidak normal sehingga tidak mampu membentuk kokon. Kemungkinan lain jika mampu membentuk kokon, kokon juga ikut terserang cendawan sehingga tidak dapat diolah menjadi produk seperti kain sutera, kap lampu, dan berbagai asesoris lainnya. Cendawan juga dapat menyerang kokon untuk memanfaatkan nutrisi yang ada pada kokon.

Aplikasi kitinase ekstrak kasar secara in vivo pada penelitian ini membuktikan bahwa kitinase ekstrak kasar memang efektif dalam mengendalikan pertumbuhan cendawan patogen CSAJ.2 pada kokon ulat sutra emas C. trifenestrata. Kitinase dapat mengendalikan pertumbuhan cendawan patogen baik secara preventif maupun kuratif. Kitin pada dinding sel cendawan akan menginduksi kitinase sehingga diharapkan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata terangsang untuk memiliki respon ketahanan terhadap serangan cendawan.

Dokumen terkait