• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, Bogor, menyebutkan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah bawang sabrang/ bawang hantu (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) suku Iridaceae. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 41 dan gambar tumbuhan pada lampiran 2 halaman 42.

Pada pengolahan bahan tumbuhan, berat basah bahan setelah sortasi basah diperoleh 5190 g. Bahan tumbuhan dikeringkan di lemari pengering untuk menghentikan proses enzimatik sehingga mencegah kerusakan simplisia (Goeswin, 2007), dan setelah sortasi kering diperoleh berat kering simplisia 2270 g, dengan demikian susut pengeringan yang dialami simplisia adalah sebesar 56,26%.

Hasil pemeriksaan makroskopik menunjukkan umbi segar bawang sabrang berbentuk bulat telur memanjang, berwarna merah dan tidak berbau, serta berasa pahit. Umbi lapis terdiri dari 5-6 lapisan dengan pangkal daun di tengahnya dan biasanya memiliki panjang 4-9 cm dan diameter 4-7 cm, gambar umbi segar pada lampiran 2 halaman 31. Simplisia yang kering berwarna merah pucat dan sangat rapuh, gambar simplisia dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 43.

Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia menunjukkan adanya beberapa fragmen pengenal yang dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 44, yaitu kristal Ca-oksalat berbentuk jarum dimana letak kristal tidak beraturan; parenkim yang terdiri dari beberapa lapis sel dengan bentuk sel yang tidak beraturan; xilem

dengan penebalan dinding sel berupa tangga (skalarifom); dan butir amilum dengan satu hilus (monoadelph) dan hilus berada di tengah (kosentris).

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Perhitungan penetapan karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 5-9 halaman 45-50.

Tabel 1. Hasil Penetapan Karakteristik Simplisia Umbi Bawang Sabrang (Eleutherinae bulbus)

No. Uraian Hasil (%) Persyaratan MMI (%)

1. Kadar air 8,98 ≤ 10

2. Kadar sari yang larut dalam air 8,03 ≥ 4 3. Kadar sari yang larut dalam etanol 9,54 ≥ 2

4. Kadar abu total 4,41 ≤ 1

5. Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,84 ≤ 1,5

Berdasarkan tabel di atas, kadar abu total yang diperoleh sebesar 4,41% tidak memenuhi persyaratan MMI, yaitu kurang dari 1%. Hal ini disebabkan karena umbi bawang sabrang yang digunakan sebagai sampel diperoleh dari dalam tanah, dimana terjadi kontaminasi mikroorganisme maupun debu dari tanah terhadap umbi. Untuk mengurangi jumlah kontaminasi dapat dilakukan pengupasan kulit terluar (Goeswin, 2007).

Skrining fitokimia perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan bawang sabrang. Hasil skrining fitokimia simplisia dapat dilihat pada tabel 2.

Pemeriksaan alkaloid dengan penambahan pereaksi Mayer terjadi kekeruhan, larutan iodium terjadi kekeruhan, Dragendorff terbentuk warna jingga kecoklatan, dan Bouchardat tebentuk warna kuning kecoklatan, menunjukkan adanya senyawa alkaloid. Pemeriksaan flavonoid dengan serbuk magnesium dan asam klorida pekat terbentuk warna merah menunjukkan adanya flavonoid.

Pemeriksaan glikosida dengan Molish dan asam sulfat pekat pada dinding tabung terbentuk cincin ungu yang segera hilang, dan terbentuk endapan merah bata pada penambahan fehling A dan fehling B menunjukkan adanya glikosida. Uji busa terbentuk buih ±0,5 cm yang stabil dengan penambahan asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin. Terbentuknya warna kuning kehijauan pada penambahan besi (III) klorida 1% menunjukkan adanya tanin. Penambahan Liebermann-Burchard memberikan warna ungu menujukkan adanya triterpenoid. Pemeriksaan glikosida antrakinon terbentuk warna merah pada lapisan air, sedangkan lapisan benzen berwarna kuning menunjukkan adanya glikosida antrakinon. Tidak berubahnya warna kertas saring yang dibasahi natrium pikrat memberikan hasil negatif glikosida sianogenik.

Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Umbi Bawang Sabrang (Eleutherinae bulbus)

Keterangan: (+) = mengandung senyawa (-) = tidak mengandung senyawa

Ekstraksi serbuk simplisia dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%, hasilnya diperoleh 129,796 g ekstrak etanol dari 1300 g serbuk simplisia. Terhadap ekstrak etanol dilakukan ekstraksi cair-cair dengan campuran pelarut n-heksan-air suling (2:1) v/v, dimana diharapkan senyawa

No. Golongan Senyawa yang Diperiksa Hasil

1. Alkaloid + 2. Flavonoid + 3. Glikosida + 4. Saponin + 5. Tanin + 6. Triterpenoid/Steroid + 7. Glikosida Antrakinon + 8. Glikosida Sianogenik -

triterpenoid tersari sempurna, hasilnya diperoleh 2,362 g fraksi n-heksan dari 57,065 g ekstrak etanol.

Analisa KLT fraksi n-heksan digunakan fase gerak n-heksan-etilasetat dengan perbandingan (9:1), (8:2), (7:3), (6:4), (5:5). Fase gerak yang terbaik adalah perbandingan (7:3), memberikan bercak yang paling banyak dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, diperoleh 9 noda yaitu 5 senyawa triterpenoid, Rf 0,075 (merah muda), 0,213 (ungu), 0,475 (ungu merah), 0,563 (ungu merah), 0,725 (ungu lemah); dan 4 noda lainnya Rf 0,150 (coklat), 0,388 (hijau tua), 0,775 (hijau muda) dan 0,850 (coklat muda). Kromatogram dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 52-53.

Pemisahan lebih lanjut fraksi n-heksan dengan kromatografi kolom menggunakan fase gerak n-heksan-etil asetat (7:3) dan fase diam silika gel 60 mesh 70-230 ASTM dengan ukuran partikel 0,063-0,200. Hasilnya ditampung pada vial masing-masing sebanyak 5 ml, diperoleh 59 vial. Terhadap eluat dilakukan analisis secara KLT dengan fase gerak n-heksan-etilasetat (7:3), diperoleh 8 fraksi, yaitu F1 (vial 1-2), F2 (vial 3-7), F3 (vial 8-15), F4 (vial 16-19), F5 (vial 20-29), F6 (vial 30-34), F7 (vial 34-50) dan F8 (vial 51-59). Kromatogram hasil penggabungan fraksi kromatografi kolom dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 54.

Hasil kromatografi kolom menunjukkan bahwa pada isolat F5, F6 dan F7 telah terbentuk kristal. Pada F5 diperoleh 2 noda yang berwarna ungu merah dengan Rf 0,475 dan 0,563. Selanjutnya dicuci dengan metanol dingin sampai terbentuk kristal berbentuk jarum. Pada F7 telah dijumpai 1 noda yang berwarna ungu dengan Rf 0,213.

Uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah menggunakan berbagai macam fase gerak, yaitu toluen-etilasetat (7:3), n-heksan-etilasetat (7:3) dan kloroform- toluen (7:3). Pada F5 telah dijumpai satu bercak berwarna ungu merah dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, harga Rf berturut-turut 0,5441, 0,459 dan 0,306. Sedangkan pada F7 ternyata diperoleh 2 noda, yaitu Rf 0,213 yang berwarna ungu dan Rf 0,312 yang terlihat memberikan fluoresensi kuning di bawah sinar UV 254 nm namun tidak memberikan hasil positif dengan penampak bercak Liebermann-Burchard dengan, sehingga perlu dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan KLT preparatif.

Terhadap F7 dilakukan KLT preparatif menggunakan fase diam plat pralapis silika gel GF254, fase gerak n-heksan-etilasetat (7:3), dan bagian yang memberikan harga Rf yang sama dengan bercak dikerok dan dilarutkan dalam metanol dingin. Setelah didekantasi dan diuapkan. Selanjutnya dicuci dengan metanol dingin sampai terbentuk kristal berbentuk jarum. Kromatogram KLT preparatif dapat dilihat pada lampiran 14 halaman 55.

Uji kemurnian isolat dengan KLT satu arah menggunakan berbagai macam fase gerak, yaitu toluen-etilasetat (7:3), n-heksan-etilasetat (7:3) dan kloroform- toluen (7:3) terhadap F7 telah memberikan satu bercak berwarna ungu dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, harga Rf berturut-turut 0,550, 0,250 dan 0,231.

Pada pemeriksaan KLT dua arah dengan fase gerak toluen-etilasetat (7:3) dan kloroform-toluen (7:3), isolat F5 memberikan satu bercak berwarna ungu merah dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, harga Rf 0,557 dan 0,091 dan isolat F7 memberikan satu bercak berwarna ungu dengan penampak bercak

Liebermann-Burchard, harga Rf 0,405 dan 0,209. Kromatogram uji kemurnian isolat dapat dilihat pada lampiran 15-16 halaman 56-59.

Spektrum ultraviolet isolat F5 dan F7 memberikan panjang gelombang maksimum (λ) 393 dan 333 nm, yang menunjukkan adanya gugus kromofor yang mengalami transisi n→л * (Sastrohamidjojo, 1991). Hasil pemeriksaan spektrofotometri ultraviolet isolat dapat dilihat pada lampiran 17-18 halaman 60-61.

Penafsiran spektrum inframerah isolat F5, antara lain terdapat serapan kuat pada bilangan gelombang 1691,57 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O, serapan kuat pada bilangan gelombang 1585,49 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C aromatik yang diperkuat dengan serapan pada bilangan gelombang 3072,60 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H aromatis, serapan kuat pada bilangan gelombang 1641,42 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C alkena, bilangan gelombang 1255,66 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-O, bilangan gelombang 2922,16 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H alifatis, bilangan gelombang 1462,04 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-H metilen, dan bilangan gelombang 1456,26 dan 1379,10 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-H metil (Pavia, et al., 1988).

Penafsiran spektrum inframerah isolat F7, antara lain terdapat serapan kuat pada bilangan gelombang 1680 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O, serapan kuat pada bilangan gelombang 1585,49 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C aromatik yang diperkuat dengan serapan pada bilangan gelombang 3151,69 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H aromatis, bilangan gelombang 1132,21 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-O, bilangan gelombang

2947,23 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H alifatis, dua serapan lemah bilangan gelombang 2758,21 dan 2727,35 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H aldehid, bilangan gelombang 1460,11 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-H metilen, dan bilangan gelombang 1442,75 dan 1352,10 cm-1 dengan intensitas sedang menunjukkan adanya gugus C-H metil (Pavia, et al., 1988). Hasil pemeriksaan spektrofotometri inframerah isolat dapat dilihat pada lampiran 19-20 halaman 62-63.

BAB V

Dokumen terkait