• Tidak ada hasil yang ditemukan

JIWA LIAR SUTARDJI DALAM PUISI “KUCING”

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Telaah Puisi “KUCING” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Pendekatan Semiotik dan Struktural

Sutardji memiliki landasan atau dasar keyakinan saat membuat karya puisi, hal tersebut beliau tulis dalam pembukaan puisi “O Amuk Kapak”. Berikut isi kredo puisinya:

KREDO PUISI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan

masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. Sebagai penyair saya hanya menjaga--sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri Bandung, 30 Maret 1973 Sutardji berkeyakinan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari aturan-aturan gramatika, ketika kata-kata dibiarkan bebas, maka akan muncul kreativitas yang tak terbatas. Namun, walaupun prinsip Sutardji menulis adalah membebaskan kata-kata, bukan berarti Sutardji menulis karya yang “kosong” tanpa makna. Justru karya-karya yang ditulisnya sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan serta petualangan spiritual dalam memahami hakikat ketuhanan.

Salah satu puisi Sutardji yang penulis analisis adalah puisi “Kucing”. Penulis melihat ada makna yang sangat kental dengan kehidupan religi Sutardji dalam puisi ini, walaupun puisi ini bukan satu-satunya puisi yang sarat makna religi. Puisi ini diambil dari kumpulan puisi Sutardji berjudul “O Amuk Kapak”. Berikut syair puisinya:

Oleh :

Sutardji Calzoum Bachri

ngiau! Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu kan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau ku cing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar 0 a langkah lapar ngiau berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar ku cingku berapa abad dia mencari menca kar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri da ging jangan beri nasi tuhan mencipta nya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang seha ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi ngiau! Dia meraung dia menge

rang hei berapa tuhan yang kalian pu nya beri aku satu sekedar pemuas ku cingku hari ini ngiau huss puss diam

lah aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap

di kota kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untuk aku ngiau huss puss diamlah

1973

.Dari segi tipografi, puisi tersebut ditulis dengan tipografi tidak beraturan, kesan tidak beraturan atau acak-acakan tersebut penulis maknai sebagai gambaran jiwa yang sedang mengalami kekacauan, kegundahan, dan tak tentu arah. Kekacauan tersebut pasti ada suatu sebab. Oleh karena itu,

untuk pemaknaan lebih dalam, penulis uraikan dari judul puisi terlebih dahulu.

Dalam puisi tersebut ada banyak tanda yang digunakan oleh pengarang. Judul puisi adalah “kucing”, arti kucing secara istilah KBBI adalah binatang semacam harimau kecil yang biasanya dipiara orang atau hewan piaraan. Sifat kucing pada dasarnya liar karena termasuk jenis hewan pemakan daging, suka berburu tikus, pemalas, apalagi ketika kucing tersebut dalam keadaan lapar. Namun, kucing akan menjadi seekor binatang penurut bahkan manja apabila dia dipelihara dengan baik karena kucing merupakan salah satu jenis binatang peliharaan. “kucing” dalam puisi tersebut dapat berupa penanda yang penulis maknai sebagai penggambaran jiwa pengarang yang sedang “kelaparan”. Simbol kucing ini pun digunakan Sutardji dalam puisinya yang lain, di antaranya puisi “Amuk” dan “Ngiau”. Berikut penggalan syairnya.

NGIAU

“...Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang...”

AMUK

“...kalau pot tak mau pot biar pot semau pot mencari pot pot hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu izukalizu mapakazaba itasatali tutulita...”

Simbol “kucing” yang terdapat dalam kedua penggalan syair di atas menurut tafsiran penulis, rujukannya sama yaitu tentang suatu keadaan jiwa seseorang. Pemilihan simbol kucing untuk menggambarkan keadaan jiwa, pasti tidak akan lepas dari suatu makna. Kucing dalam masyarakat selalu identik dengan ‘laki-laki’ gambaran laki-laki yang cenderung memiliki hawa nafsu lebih tinggi, seperti ada istilah dalam bahasa Sunda yaitu “ sabageur-bageurna lalaki tetep we Ucing!” (sebaik-baiknya lelaki tetap saja dia “kucing”), atau ada juga penggambaran laki-laki seperti “kucing garong” dalam salah satu syair lagu dangdut. Selain itu, simbol “kucing” ini lebih memiliki nilai rasa positif dibandingkan dengan binatang peliharaan seperti anjing atau babi. Seekor kucing liar masih dapat diarahkan jika dipelihara dengan benar dan baik, dibandingkan dengan seekor anjing yang dipandang najis.

Nampaknya, dari pemilihan judul tersebut, pengarang ingin menyampaikan bahwa isi puisi tersebut berhubungan erat dengan sesuatu

yang liar namun sifat liarnya itu dikarenakan suatu sebab sehingga ketika sebabnya itu sudah ditemukan, maka jiwa yang liar karena “kelaparan” tersebut akan kembali tenang.

Dalam isi puisi pengarang menegaskan bahwa kucing itu bukan “harimau, leopar, hiena, ataupun singa”, seperti dalam kutipan

“...dia bukanharimau bukansinga bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing...”.

Perbandingan kucing dengan keempat jenis binatang buas tersebut bukan tanpa maksud. Keempat binatang buas tersebut hidup dalam rimba belantara dan tidak termasuk binatang peliharaan karena jarang sekali orang yang tertarik untuk memelihara binatang-binatang tersebut atau dengan kata lain keempat binatang tersebut berbeda dengan kucing dari segi kepemilikan. Dia (kucing yang dimaksud) semacam kucing (yang memiliki sifat liar) namun bukan kucing (yang sifatnya buas seperti harimau, singa, hiena, dan leopar) tapi kucing (yang meronta-ronta kelaparan karena mencari majikan agar dapat makanan).

Tokoh dalam puisi digambarkan kelaparan, terlihat dalam penggalan syair“...dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang...”. Tertera secara eksplisit bahwa dia (kucing) lapar dan merambah “rimba afrikaku”. Pengarang menggambarkan dalam dirinya terdapat “rimba afrika”, yaitu suatu rimba/hutan yang ada di Afrika dan hutan tersebut terkenal masih belum banyak manusia yang menjamahnya. Hutan yang dipenuhi banyak pepohonan lebat dan banyak binatang berbahaya/buas di dalamnya, sehingga dapat dibayangkan betapa gelap dan menakutkan keadaan hutan tersebut. Suasana gelap tersebut pengarang gambarkan pada dirinya, bahwa ada sisi gelap dalam dirinya sehingga sisi lain yang digambarkan sebagai kucing terus meronta, mencakar, mengamuk ingin keluar dari kegelapan tersebut. Dari kedua penggalan larik puisi di awal tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kucing adalah gambaran dari jiwa tokoh yang kering kerontang dan kelaparan tanpa petunjuk sehingga liar mencari-cari “majikan” atau “pemilik” (Tuhan) untuk mendapatkan “makanan” jiwa berupa ilmu (agama) di tengah kegelapan dan kehampaan jiwanya.

Tokoh dalam puisi merasa kelaparan, namun lapar bukan karena kekurangan makanan (dalam arti sebenarnya), karena dalam penggalan larik, “...jangan beridagingdia tak maudagingJesus jangan berirotidia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku...”

Si kucing tidak mau roti ataupun daging. Kemudian dalam penggalan tersebut disebut-sebut “Jesus”, Jesus dalam pandangan Islam adalah Nabi Isa a.s. yang dianugerahi mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti yang tertera dalam Alquran surat Ali-Imran ayat 49 berikut:

Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.

Ungkapan Jesus dalam puisi tersebut menggambarkan seorang yang hebat dan dapat diandalkan karena dalam pemahaman Islam, Jesus adalah seorang nabi, sedangkan dalam pemahaman Kristen, Jesus dipandang sebagai Tuhan yang disembah. Namun, pandangan penulis, ungkapan Jesus dalam penggalan tersebut lebih merujuk pada Nabi Isa a.s. yang memiliki mukjizat, yaitu salah satunya dapat membantu orang yang kelaparan. Dasar penafsiran lain adalah bahwa simbol “roti dan daging” dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya materi atau keduniaan. Bukan materi yang dapat menghilangkan rasa lapar “si kucing”, namun sesuatu yang bersifat imateri. Akibat kelaparan tersebut si kucing terus meraung dan meronta hingga merambah “barah darah”. Arti “barah” dalam KBBI adalah bengkak yang mengandung nanah atau bisul, sedangkan “darah” penulis menafsirkannya sebagai simbol kehidupan. Jadi, maksud barah dalam darah adalah suatu cela atau keburukan dalam kehidupan si aku. Jiwa yang kelaparan tersebut terus meronta-ronta dalam kehidupan tokoh yang penuh cela.

“Kelaparan” (kekeringan jiwa) yang dialami tokoh dalam puisi akibat terlalu lama dia dalam masa pencarian keyakinan akan Tuhan. Waktu pencarian keyakinan yang panjang tersebut tergambar dalam penggalan syair berikut,

“...berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapajuta laparlapar kucingku berapa abad dia mencari

mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu...”.

Dalam waktu yang panjang tersebut dia pada dasarnya berada dalam kegelisahan, dia menyadari betul bahwa apa yang dia rasakan adalah fitrah karena fitrah itu sengaja diciptakan Tuhan tanpa diminta makhluknya. Fitrah yang dimaksud adalah kecenderungan manusia beriman kepada Sang Pencipta. Maksud tersebut tergambar dalam penggalan

tenang di bumi..”. Keadaan yang fitrah itu menuntut untuk merasakan ketenangan walau “sejemput” atau dengan kata lain ‘walau sebanyak yang dapat diambil dengan ujung jari tangan’. Hal tersebut memberikan kesan bahwa jiwa tokoh begitu gelisah dan sangat membutuhkan asupan spiritual.

Dalam proses pencarian ketenangan tersebut, tokoh mendapatkan berbagai rintangan tentunya, salah satunya adalah berbagai keyakinan dalam berketuhanan. Berbagai keyakinan terhadap Tuhan tersebut tergambar dalam larik “hei berapa tuhan yang kalian punya, sehingga gambaran tentang banyaknya Tuhan yang dimaksud adalah gambaran betapa tokoh sedang berusaha keras mencari kebenaran yang akan dia yakini karena dari sekian kepercayaan terhadap Tuhan, tokoh belum menemukan satu keyakinan yang benar-benar dia yakini. Hal tersebut tersirat dari larik yang cenderung bernada ironi yaitu “...beri aku satu sekedar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah...”.

Larik terakhir puisi ada satu citraan yang menggambarkan pencarian yang sungguh-sungguh, tokoh aku kembali lagi menelisik jiwanya yang terdalam yang penuh dengan kegelapan yang digambarkan dengan “Afrika, Amazon, dan Riau” dan bahkan di kota-kota sebagai simbol suatu tempat yang menjadi pusat perhatian orang-orang karena kota identik dengan tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Barangkali tokoh menemukan setitik pencerahan yang dia gambarkan sebagai “tuhan”. Penggalan larik terakhir berbunyi,

“...aku pasang perangkap di afrika aku pasang perangkap di amazon aku pasang perangkap di riau aku pasang perangkap di kota kota

siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untukku ngiau huss puss diamlah...”.

Namun, tampaknya pernyataan “sekerat untuk kau” itu mengandung makna bahwa apa yang tokoh alami bisa jadi dialami oleh pembaca yang disebut sebagai “kau”.

Jika dirunut dari larik awal sampai larik akhir puisi “Kucing” tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa Sutardji menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Muara dari ketenangan itu sebenarnya ada pada keyakinan pada Tuhan atau Allah SWT. dalam analisis ini penulis lebih cenderung melihat keyakinan yang dimaksud oleh Sutardji adalah keyakinan Islam. Dasar yang dijadikan acuan oleh penulis adalah sebuah puisi yang ditulis Sutardji pada masa kekinian. Dalam puisi tersebut tergambar bahwa seorang “Tardji” (disebut dalam lirik) berada dalam titik kepasrahan diri terhadap Allah SWT, mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat semasa muda (termasuk mabuk-mabukan), dan menggantinya dengan perjalanan hidup yang berusaha lurus kepada Tuhan, beribadah dimana saja berada hingga mencapai titik ‘kembali kepada kesucian jiwa’ yaitu ”Idul Fitri” sesuai judul puisinya. Berikut adalah syairnya:

Idul Fitri Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia Telah kulaksanakan puasa ramadhanku, telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kini biarkan aku menenggak marak CahayaMu di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id Aku bawa masjid dalam diriku

Dan kurayakan kelahiran kembali di sana

D. SIMPULAN

Sebuah karya sastra diciptakan dengan estetika dan makna yang mendalam karena berhubungan dengan emosi penulis. Salah satu jenis karya sastra yang memunculkan berbagai interpretasi perasaan/emosi adalah karya puisi. Ada banyak simbol atau tanda yang digunakan dalam puisi untuk menyampaikan sebuah maksud pada penulis. Pemakaian simbol tersebut menimbulkan banyak persepsi sesuai dengan daya analisis tiap orang ketika menginterpretasikannya. Akibatnya, sebuah puisi dapat diinterpretasikan macam-macam oleh pembaca. Namun, semakin multiinterpretasi suatu puisi, maka semakin baguslah puisi tersebut karena semakin merangsang daya analisis pembaca terhadap makna puisi.

Adapun karya sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah sebuah puisi. Puisi yang menggambarkan satu keadaan fitrah manusia yang mencari-cari keyakinan akan Tuhan di tengah jiwa yang liar serta hiruk-pikuk kehidupan dunia. Puisi tersebut ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri pada tahun 1973 yang berjudul “Kucing”. Puisi-puisi Tardji beraliran mantra namun begitu sarat dengan kisah-kisah perjalanan hidup sosial maupun spiritual yang semua itu menurut anggapan penulis bermuara pada proses pencarian jati diri penyair.

Daftar Pustaka

Bachri, Sutardji Calzoum. 1973. O Amuk Kapak:Tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bachri.Bandung : Sinar Harapan.

Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2012. Pembebas Kata dari Belenggu. Tersedia di

http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/3623-sutardji-calzoum-bachri

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

THE STUDENTS’ DIFFICULTIES IN WRITING THESIS STATEMENT