• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Zat Makanan

Pelet penelitian dianalisa proksimat agar dapat diketahui kualitasnya. Hasil analisa proksimat kandungan zat makanan pelet ransum komplit yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Zat Makanan Hasil Analisa (%BK)a

Kandungan Zat Makanan (%) Zat makanan R1 R2 R3 R4 R5 Protein kasar 25,54 24,52 23,35 22,64 23,10 Lemak kasar 7,01 5,94 7,33 6,42 7,10 Serat kasar 21,15 18,39 14,33 13,98 13,46 TDNb 63,11 64,45 69,26 68,84 67,21 BETN 37,89 41,89 45,32 44,26 45,47 Ca 0,85 1,03 0,84 0,87 1,03 P 0,60 0,58 0,63 0,51 0,58

Keterangan: a Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2005)

b

Berdasarkan perhitungan dari persamaan regresi berganda untuk menduga % TDN ransum sumber protein dari hasil analisis proksimat (Sutardi, 1980), yaitu sebagai berikut:

% TDN = -54,820+ 1,951 SK+ 0,601 LK+ 1,602 BETN + 1,324 PK – 0,027 SK2 + 0,032 LK2 – 0,021 (SK)(BETN) + 0,018 (LK)(BETN) + 0,035 (LK)(PK) -0,0008 (LK)2(PK)

Pada Tabel 5. dapat dilihat adanya perbedaan nilai kandungan zat makanan antara hasil perhitungan dengan hasil analisis. Perbedaan diduga akibat dari perbedaan kandungan bahan makanan yang digunakan peneliti dengan Hartadi et al. (1990). Kandungan protein pelet penelitian lebih tinggi dibanding dengan rekomendasi NRC. NRC (1985), merekomendasikan kandungan protein untuk domba penggemukan adalah sebesar 14,7%. Kandungan protein itu belum memperhitungkan margin of safety, sehingga perlu ditambahkan sekitar 5-10% kebutuhan nutrisi dalam pembuatan ransum. Kandungan serat kasar pelet penelitian semakin rendah bila penggunaan daun sawit dalam ransum semakin tinggi, hal itu diduga karena kandungan serat kasar daun sawit lebih rendah dibandingkan rumput lapang.

Kandungan kalsium dan fosfor masih dalam imbangan 2:1, nilai ini masih berada dalam batas toleransi nilai imbangan kalsium dan fosfor yang disarankan yaitu sebesar 5:1. Kandungan TDN pelet penelitian masih kurang dibandingkan

rekomendasi National Research Council (1985) yaitu sebesar 72% untuk ransum penggemukan domba.

Kondisi Umum Pelet

Pelet hasil penelitian memiliki ukuran panjang 3 cm dan diameter 16 mm. Pada Gambar 4. dapat dilihat adanya perbedaan warna antar pellet hasil perlakuan. Semakin besar komposisi daun sawit dalam ransum penelitian menyebabkan warna pelet menjadi lebih gelap. Tekstur dan bau antar pelet tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Gambar 4. Pelet ransum komplit penelitian Kadar air

Kadar air merupakan jumlah total air yang terkandung dalam bahan pangan (Winarno et al., 1980). Jumlah kadar air sangat penting untuk diketahui karena kualitas bahan pakan ditentukan oleh jumlah air yang terkandung di dalamnya. Nilai kadar air (%) pelet ransum komplit pada setiap perlakuan tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Kadar Air

Perlakuan Kadar Air (%)

R1 9,34 ± 1,173a

R2 10,60 ± 0,49b

R3 9,68 ± 0,59a

R4 8,98 ± 0,82a

R5 10,80 ± 0,96b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Penggantian daun sawit terhadap rumput lapang pada pembuatan ransum komplit berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air ransum. Pada uji lanjut memperlihatkan kadar air pelet R1, R3, R4, berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan

kadar air pelet R2 dan R5. Kandungan air yang beragam diduga kareana rumput lapang dan daun kelapa sawit dikeringkan dengan cara dijemur matahari sehingga memiliki kandungan air yang tidak merata yang dapat menyebabkan kandungan air pelet ransum menjadi beragam pula. Selain itu dalam proses pencampuran sebelum dipelet dilakukan secara manual. Namun kadar air semua pelet ransum komplit memiliki nilai di bawah 14%. Bahan pakan dengan kadar air kurang dari 14% memiliki tingkat keawetan dan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan keadaan segarnya yaitu pada kadar air yang lebih tinggi (Winarno et al., 1980). Selain itu pelet ransum komplit tahan terhadap jamur karena kadar air yang rendah.

Aktivitas Air

Aktivitas air adalah jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroba untuk media pertumbuhannya (Winarno, 1997). Rataan nilai aktivitas air pelet penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Aktivitas Air

Perlakuan Aktivitas Air

R1 0,780 ± 0,005b

R2 0,768 ± 0,002a

R3 0,781 ± 0,002b

R4 0,778 ± 0,002b

R5 0,783 ± 0,002b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Dapat dilihat rataan nilai aktivitas air pelet berada pada kisaran 0,768 ± 0,002a sampai 0,783 ± 0,002b. Penggantian daun sawit terhadap rumput lapang pada pembuatan ransum komplit berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap aktivitas air ransum. Pada uji lanjut terlihat rataan aktivitas air pelet R2 sangat nyata lebih rendah (P<0,01) dibandingkan rataan aktivitas air pelet lainnya. Dari rataan aktivitas air pelet dapat diduga bahwa bakteri dan khamir belum tumbuh sesuai dengan pernyataan Winarno et al. (1997) yaitu aw minimum untuk pertumbuhan bakteri adalah 0,9 dan untuk pertumbuhan khamir adalah 0,8-0,9.

Tingginya aw pelet penelitian diduga diakibatkan semakin banyaknya lapisan uap air yang terbentuk pada permukaan pelet karena absorpsi dari udara ke pelet (Winarno et al., 1980).

Ketahanan Pelet terhadap Benturan

ShatterTest dilakukan untuk mengetahui ketahanan kualitas pelet terhadap benturan. Dari Tabel 8. dapat dilihat nilai rataan ketahanan benturan pelet.

Tabel 8. Rataan Ketahanan Benturan (%)

Perlakuan Ketahanan Benturan (%)

R1 99,067 ± 0,205a

R2 99,247 ± 0,076a

R3 99,213 ± 0,197a

R4 99,460 ± 0,164b

R5 99,473 ± 0,358b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penggantian daun sawit terhadap rumput lapang pada pembuatan ransum komplit berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ketahanan benturan ransum. Dari uji lanjut terlihat rataan ketahanan benturan pelet R4 dan R5 nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan rataan ketahanan benturan pelet R1, R2, dan R3, hal ini diduga akibat kandungan serat kasar pada rumput lapang lebih tinggi dibanding kandungan serat kasar pada daun sawit, sesuai dengan pernyataan Thomas dan Van der Poel (1996), yaitu kandungan serat yang tinggi dapat membuat pelet menjadi lebih mudah patah.

Ketahanan Pelet terhadap Gesekan

Metode Cochcrane Test adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui ketahanan pelet terhadap benturan sekaligus gesekan. Rataan nilai uji ketahanan benturan dan gesekan pelet ransum komplit dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Nilai Uji Ketahanan Benturan dan Gesekan

Perlakuan Ketahanan Benturan dan Gesekan(%)

R1 92,538 ± 1,931

R2 89,335 ± 3,689

R3 93,267 ± 1,313

R4 91,655 ± 1,591

R5 92,031 ± 0,605

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa rataan nilai ketahanan benturan dan gesekan dengan metode Cochrane Test tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Penggantian daun sawit terhadap rumput lapang pada pembuatan ransum komplit tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan pelet terhadap gesekan.

Uji Palatabilitas

Menurut Pond et al. (1995) palatabilitas dapat didefinisikan sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas dapat dilihat melalui tingkat konsumsi pakan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Konsumsi Bahan Kering Pelet Penelitian

Perlakuan Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari)

R1 596,166 ± 114,473

R2 738,333 ± 256,628

R3 478,333 ± 127,899

R4 613,333 ± 70,946

R5 564,166 ± 180,525

Penggantian rumput lapang menggunakan daun kelapa sawit dalam ransum komplit tidak memberikan pengaruh yang nyata pada konsumsi. Nilai rataan konsumsi bahan kering pada tabel lebih rendah dari yang disarankan oleh NRC (1985), yaitu1300 – 1600 g/ekor/hari. Konsumsi yang rendah diduga karena ternak yang digunakan belum terbiasa mengkonsumsi ransum dalam bentuk pelet, hal ini sesuai dengan pernyataan Gordon (1997), bahwa pengalaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pada domba.

Dokumen terkait