• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Perairan Secara Fisika-Kimia Air

Dari hasil pengukuran telah diperoleh data tentang parameter fisika-kimia air di perairan Waduk Cirata, antara lain:

4.1.1. Suhu (oC)

Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang penting, karena dapat mempengaruhi parameter fisika dan kimia lainnya. Di samping itu, suhu merupakan faktor langsung yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup, serta meningkatnya laju metabolisme. Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sebaran organisme akuatik, reaksi kimia, dan laju reaksi.

Hasil pengukuran suhu yang dilakukan di lima stasiun pengamatan dengan tiga ulangan menunjukkan bahwa rata-rata suhu di perairan Waduk Cirata menurut stasiun pengamatan berkisar antara 28,67 – 29,67 oC (Gambar 3), sedangkan menurut ulangan berkisar antara 28,6 – 29,6 oC.

Gambar 3 Rata-rata suhu (oC) pada setiap stasiun pengamatan

Gambar 3 menunjukkan bahwa suhu tertinggi terdapat di dua stasiun yaitu 2 dan 3 (29,67 oC) dan terendah terdapat di stasiun 1 (28,67 oC). Pada waktu penelitian terjadi musim peralihan, yaitu: musim kemarau ke penghujan (Pebruari

- Maret), tetapi musimnya tidak menentu dan intensitas penyinaran matahari relatif masih tinggi bahkan disertai oleh angin, sehingga akan mempengaruhi suhu di perairan Waduk Cirata. Intensitas penyinaran dan kondisi permukaan perairan yang tenang akan menyebabkan penyerapan panas ke dalam air lebih tinggi, sehingga suhu air menjadi maksimum. Dalam suatu perairan apabila suhu mengalami peningkatan maka akan menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme, serta peningkatan konsumsi oksigen. Di samping itu peningkatan suhu perairan dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Haslam, 1995 dalam Effendi, 2003).

Rata-rata suhu perairan yang diperoleh selama pengukuran mempunyai nilai yang berfluktuasi, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi setiap stasiun yang berbeda, seperti: topografi, ketinggian, kekeruhan, sinar matahari, dan lain-lain. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran air serta kedalaman badan air. Suhu perairan dipengaruhi oleh komposisi substrat, kekeruhan, air hujan, luas permukaan yang langsung mendapat sinar matahari, dan air limpahan (Perkins, 1974).

Nilai suhu yang diperoleh pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Cirata masih dalam toleransi untuk kehidupan biota air pada umumnya. Kebanyakan organisme akuatik memiliki suhu optimum berkisar antara 20 - 30 oC. Biota air (beberapa jenis molluska) memiliki suhu optimum sekitar 30 oC. Sedangkan Kinne (1972) dalam Emiyarti (2004), menyatakan bahwa kisaran suhu kritis (menyebabkan kematian) bagi kehidupan makrozoobentos, yaitu: antara 35-40 oC.

4.1.2. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Pada perairan yang tergenang (lentik), misalnya waduk atau danau, kekeruhan lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus, sedangkan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar,

4.08 12.62 27 9.96 4.12 0 5 10 15 20 25 30 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan R a ta -ra ta N ila i K e k e ru h a n (N T U )

misalnya: berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan.

Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata kekeruhan pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 4,08 – 27 NTU (Gambar 4) sedangkan menurut ulangan berkisar antara 8,4 – 15,18 NTU.

Gambar 4 Rata-rata kekeruhan pada setiap stasiun pengamatan

Gambar 4 menunjukkan bahwa di stasiun 4 memiliki nilai kekeruhan yang tertinggi (27 NTU) dan kekeruhan terendah di stasiun 1 (4,08 NTU). Tingginya kekeruhan yang terjadi di stasiun 4 disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi (debit air sungai meningkat), sehingga terjadi erosi. Erosi tersebut berasal dari daerah permukiman penduduk, pertanian, dan industri yang membawa partikel-partikel baik berupa bahan organik maupun bahan anorganik yang mengalir masuk ke perairan Waduk Cirata.

Faktor yang mempengaruhi tingginya kekeruhan di stasiun tersebut, yaitu: (1) tingginya curah hujan pada waktu pengambilan sampel ulangan 2 dibanding dengan stasiun lainnya, sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi. Pada waktu pengambilan sampel di stasiun 4 ulangan 2 terjadi perubahan warna air (keruh), dibanding pengambilan sampel ulangan 1 dan 3, (2) berasal dari pembuangan air Waduk Saguling (outlet). Stasiun 4 merupakan DAS Citarum yang menjadi salah satu sumber air Waduk Cirata dan bagian atasnya terdapat Waduk Saguling, sedangkan stasiun 1 merupakan pintu masuk air Waduk Cirata menuju turbin 41

(depan DAM), kondisi daerah sekitarnya bergunung-gunung dan terdapat sedikit kegiatan pertanian, serta tidak terdapat permukiman penduduk.

Kekeruhan air disebabkan karena air mengandung begitu banyak partikel bahan yang tersuspensi, sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna yang berlumpur dan kotor. Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dari ukuran koloid sampai dispersi kasar, tergantung dari derajat turbulensinya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin air keruh semakin menghambat sinar matahari yang masuk ke dalam air, oleh karena itu, apabila cahaya matahari berkurang masuk ke dalam air maka mahluk hidup dalam air akan terganggu, khususnya mahluk yang berada di kedalaman tertentu (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Suatu perairan yang mempunyai kekeruhan yang tinggi cenderung mempunyai suhu yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan sebahagian dari bahan tersuspensi menyerap panas.

4.1.3. Alkalinitas

Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir kemasaman dalam air. Secara khusus, alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat (HCO3-), dan sampai tahap tertentu ion karbonat (CO32-) dan hidroksida (OH-) dalam air. Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikkan pH. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan atau setara dengan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO3).

Alkalinitas perairan berkaitan dengan gambaran kandungan karbonat dari batuan dan tanah yang dilewati oleh air serta sedimen dasar perairan. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Perairan yang mempunyai kadar bikarbonat yang tinggi disebabkan oleh ionisasi asam karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida (kadar CO2 mengalamisaturasi atau jenuh).

Berdasarkan hasil pengukuran alkalinitas diperoleh kisaran rata-rata antara 99,58 - 105,93 mg/l CaCO3. Stasiun yang mempunyai nilai alkalinitas yang tinggi,

105.93 101.77 99.58 100.38 100.52 96 98 100 102 104 106 108 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan Ra ta -ra ta Ni lai A lka lini ta s (m g /l Ca CO 3)

yaitu stasiun 5 (105,93 mg/l CaCO3) dan terendah stasiun 3 (99,58 mg/l CaCO3) . Untuk lebih jelasnya hasil pengukuran rata-rata nilai alkalinitas di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Rata-rata nilai alkalinitas di setiap stasiun pengamatan

Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi konstribusi terbesar terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa tersebut terdapat di dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya di perairan tawar cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3) (Colel, 983 dalam Effendi, 2003).

Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 - 500 mg/l CaCO3 (Effendi, 2003). Pada umumnya lingkungan yang baik bagi kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas di atas 20 ppm.

4.1.4. Nilai pH

Nilai pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. Besarnya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H.

7.43 7.5 7.4 7.4 7.7 7.25 7.3 7.35 7.4 7.45 7.5 7.55 7.6 7.65 7.7 7.75 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan Rata-rata Ni la i p H

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus yaitu adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah ion hidrogen. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis). Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam, nilai di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin), dan nilai 7 di sebut pH netral.

Hasil pengukuran nilai pH di setiap stasiun pengamatan mempunyai rata-rata berkisar antara 7,4 – 7,7 (Gambar 6), sedangkan rata-rata-rata-rata nilai pH menurut ulangan pengamatan berkisar antara 6,98– 7,8.

Gambar 6 Rata-rata nilai pH pada setiap stasiun pengamatan

Gambar 6 menunjukkan bahwa stasiun 2 (7,7) mempunyai nilai pH yang tinggi dan nilai pH terendah terdapat di stasiun 1 dan 3 (7,4). Nilai rata-rata pH di setiap stasiun pengamatan cenderung bersifat netral dan nilai pH tidak terlalu bervariasi atau nilainya hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Waduk Cirata mempunyai nilai pH yang cenderung bersifat netral dan hal ini juga erat kaitannya dengan lokasi di sekitar waduk cirata yang berbatu-batu dan bersubstrat pasir khususnya di stasiun 2 (nilai pH-nya tertinggi). Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke nilai semula.

Pada suatu perairan nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air. Jadi semakin banyak air sebagai pelarut akibat hujan, maka pengaruh untuk nilai pH air yang ditimbulkan oleh interaksi berbagai zat dalam air tersebut semakin kecil. Dampak yang ditimbulkan apabila kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi dan suatu perairan yang mempunyai nilai pH tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amonia dalam air terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amonia yang juga bersifat toksik bagi organisme. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umum berkisar antara 7 sampai 8,5 (Barus, 2001).

Nilai pH di perairan Waduk Cirata di setiap stasiun pengamatan sesuai dengan kriteria mutu air peruntukannya untuk budidaya ikan berdasarkan kriteria mutu air kelas 2 dan 3, yaitu sekitar 6 – 9 (PP. No. 82 Tahun 2001).

4.1.5. Amonia (NH3)

Amonia di perairan merupakan hasil proses pembusukan bahan organik oleh bakteri serta hasil penguraian protein dan kotoran hewan. Sumber lain amonia di perairan, yaitu: (1) reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfir, (2) limbah industri [proses produksi urea, produksi bahan kimia (asam nitrat, amonium fosfat, amonium nitrat dan amonium sulfat), industri pulp and paper], dan (3) limbah domestik.

Hasil pengukuran amonia (NH3) yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan mempunyai nilai rata-rata berkisar antara 0,36 - 0,616 mg/l (Gambar 7), sedangkan nilai rata-rata menurut ulangan berkisar antara 0,183 - 0,782 mg/l. Nilai amonia yang tertinggi terdapat di stasiun 2 sekitar 0,616 mg/l dan terendah terdapat di stasiun 5 sekitar 0,36 mg/l.

Tingginya atau bervariasinya nilai amonia tersebut disebabkan karena banyaknya masukan limbah baik limbah organik maupun limbah bahan anorganik yang masuk ke sungai dan akhirnya terbawa oleh aliran air yang masuk ke Waduk Cirata. Pada stasiun 2 (muara Sungai Cikundul) tersebut disekitarnya terdapat

0.36 0.437 0.452 0.616 0.465 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan R a ta -ra ta Kadar Amon ia

permukiman penduduk dan kegiatan pertanian (sawah), sehingga kemungkinan besar tingginya nilai amonia banyak bersumber dari kegiatan tersebut.

Gambar 7 Rata-rata kadar amonia (NH3) di setiap stasiun pengamatan

Konsentrasi amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pada pertanian. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+). Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik, serdangkan amonium (NH4+) dapat terionisasi. Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi. Sebaliknya, pada pH lebih besar dari 7, amonia tak terionisasi yang bersifat toksik.

Sumber lain keberadaan amonia, yaitu: sisa-sisa pakan dan feses ikan yang berasal dari Keramba Jaring Apung (KJA) yang terdapat di sekitar stasiun pengamatan. Dengan terjadinya penumpukan bahan organik tersebut di dasar perairan maka menyebabkan terjadinya proses dekomposisi oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan amonia yang cukup tinggi dan jumlahnya semakin lama semakin meningkat di perairan. Menurut Boyd (1982), keberadaan amonia di perairan merupakan hasil proses dekomposisi dari bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen oleh mikroba, ekresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan kegiatan pemupukan.

0.436 0.422 0.548 0.57 0.0914 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan R at a-rat a K adar N it rat

Menurut McNeely et al. (1979 dalam Effendi 2003) bahwa konsentrasi amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l, selanjutnya dikemukakan bahwa konsentrasi amonia bebas lebih dari 0,2 mg/l bersifat toksik pada beberapa jenis ikan. Sedangkan Boyd (1982) menyatakan konsentrasi amonia yang bersifat toksik bagi sebagian besar biota perairan berkisar 0.6 - 2.0 mg/l. Jika dibandingkan dengan baku mutu air yang direkomendasikan PP. No. 82 Tahun 2001 (khusus kelas 1) maka nilai amonia di stasiun 2 sudah melewati ambang batas baku mutu.

4.1.6. Nitrat (NO3-)

Nitrat (NO3-) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa stabil. Nitrat merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesis protein tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas. Hasil pengukuran nitrat di setiap stasiun pengamatan mempunyai rata-rata berkisar antara 0,0914 - 0,57 mg/l (Gambar 8), sedangkan nilai rata-rata ulangan pada masing - masing stasiun berkisar antara 0,171- 0,59 mg/l.

Gambar 8 Rata-rata nilai nitrat (NO3-) di setiap stasiun pengamatan

Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar nitrat tertinggi terdapat di stasiun 2 dan terendah di stasiun 1. Tingginya kadar nitrat tersebut berasal dari aktivitas manusia, baik dari kegiatan pertanian (sawah dan bercocok tanam) yang terdapat di sekitar sungai atau Waduk Cirata, maupun kegiatan permukiman. Salah satu sumber yang menyebabkan tingginya nilai nitrat yang diperoleh di duga berasal 47

dari kegiatan pertanian (sawah) yang menggunakan pupuk yang terdapat di sekitar Sungai Cigundul (stasiun 2), sedangkan rendahnya nilai nitrat yang diperoleh di stasiun 1, erat kaitannya dengan sumber nitrat yang terdapat di sekitar stasiun tersebut kurang. Pada suatu perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/l (Effendi, 2003).

Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari pada kadar amonia. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l, sedangkan lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan kotoran hewan (Effendi, 2003). Dari kadar nitrat yang diperoleh selama penelitian masih dibawah baku mutu menurut PP. No. 82 Tahun 2001 berdasarkan kriteria kelas 2 dan 3 untuk budidaya ikan (0,57 < 10 dan 20 mg/l).

4.1.7. Nitrit (NO2-)

Pada perairan alami nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen atau nitrit biasanya tidak dapat bertahan lama dalam perairan dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Pada suatu perairan kadar nitrit relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l.

Hasil pengukuran kadar nitrit di setiap stasiun pengamatan mempunyai nilai rata berkisar antara 0,021 – 0,067 mg/l (Gambar 9), sedangkan nilai rata-rata pengukuran nitrit menurut ulangan berkisar antara 0.021-0.06 mg/l. Gambar 9 menunjukkan bahwa kadar nitrit yang tinggi terdapat di stasiun 3 (0.067) dan terendah di stasiun 4 (0.021), sedangkan stasiun 1, 2, dan 5 masing-masing 0.034, 0.037, dan 0.024 mg/l.

Tingginya keberadaan kadar nitrit di stasiun 3 (Sungai Cisokan) berasal dari kegiatan manusia (seperti: permukiman (perkotaan), pertanian, dan industri) yang berada, baik di sekitar stasiun tersebut maupun di sepanjang aliran sungai, sehingga dapat menjadi sumber keberadaan nitrit di perairan Waduk Cirata.

0.024 0.021 0.034 0.037 0.067 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan Rata-rata Kadar Ni trit

Sedangkan rendahnya kadar nitrit di stasiun 4, hal ini erat kaitannya dengan sumber nitrit atau berkaitan erat dengan sifat nitrit (NO2) yang tidak stabil, sehingga ada kemungkinan sebahagian nitrit telah teroksidasi menjadi nitrat (NO3) karena kandungan oksigen terlarut yang mendukung proses oksidasi tersebut. yang terdapat di sekitar stasiun tersebut.

Berdasarkan kisaran kadar nitrit yang diperoleh selama penelitian masih dalam kisaran Nilai Ambang Baku Mutu menurut PP. No. 82 Tahun 2001 dengan kriteria air berdasarkan kelas 2 dan 3 untuk kegiatan budidaya ikan.

Gambar 9 Rata- rata kadar nitrit di setiap stasiun pengamatan

Untuk lebih jelasnya, data parameter fisika-kimia air berdasarkan stasiun dan ulangan selama penelitian disajikan pada Lampiran 1.

4.1.8. Kandungan Logam Berat Dalam Air, Sedimen, dan Makrozoobentos 4.1.8.1. Timbal (Pb)

Secara alamiah, Timbal (Pb) dapat masuk ke dalam perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Di samping itu, korosifikasi dari batuan mineral akibat angin juga merupakan salah satu jalur Pb masuk dalam badan air. Logam Pb yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak dari aktifitas kehidupan manusia, diantaranya: air limbah dari industri yang berkaitan dengan logam Pb (industri baterai, cat, dan barang-barang elektronik), air buangan dari pertambangan bijih timah hitam.

0.0121 0.014 0.017 0.013 0.0213 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 1 2 3 4 5 Stasiun Pengamatan Ka ndun gan Pb di Ai r (mg/ l) 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 Stasiun Pengamatan K a ndu ngan Log am P b di A ir ( m g/ l) Ulangan ke 1 0.02 0.01 0.01 0.01 0.02 Ulangan ke 2 0.03 0.02 0.02 0.02 0.03 Ulangan ke 3 0.014 0.01 0.02 0.0133 0.0133 1 2 3 4 5

Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, bahwa rata-rata kandungan logam Pb dalam air pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,0121 -0,0213 mg/l (Gambar 10), sedangkan menurut ulangan berkisar antara 0,014 - 0,024 mg/l (Gambar 11).

Gambar 10 Rata-rata kandungan logam Pb dalam air pada setiap stasiun pengamatan

Gambar 11 Kandungan logam Pb dalam air menurut ulangan pengamatan

Gambar 10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan logam Pb dalam air pada setiap stasiun pengamatan, dimana stasiun 1 mempunyai nilai rata-rata tertinggi sekitar 0,0213 mg/l dan terendah di stasiun 5 sekitar 0,0121 mg/l. Tingginya kandungan logam Pb dalam air, disebabkan karena di stasiun tersebut

terletak disekitar pintu masuk air Waduk Cirata menuju turbin (depan DAM). Jadi air yang masuk ke Waduk Cirata yang berasal dari DAS dan Sub DAS yang mengalir (bermuara) ke waduk tersebut akan membawa limbah logam berat (berasal dari limbah industri, domestik, dan pertanian) dan pada akhirnya akan terkumpul di depan DAM. Hal tersebut berkaitan dengan curah hujan yang tinggi, sehingga debit air waduk dan sungai meningkat.

Sumber lain tingginya kandungan logam Pb diduga bersumber dari bongkar muat barang atau mobilisasi lalu lintas perairan (perahu) yang membawa bibit ikan atau pakan di Waduk Cirata yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Di samping itu, dipengaruhi karena tingginya curah hujan yang mengakibatkan naiknya debit air sungai (Sub DAS Cisokan) yang membawa limbah perkotaan dan limbah industri masuk ke perairan Waduk Cirata dan pada akhirnya akan mengendap di dasar perairan.

Sedangkan Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai kandungan logam Pb dalam air menurut ulangan pengamatan mempunyai nilai yang berfluktuasi, dimana pada ulangan ke 2 mengalami peningkatan kandungan logam Pb dalam air pada setiap stasiun pengamatan dibanding ulangan ke 1, tetapi pada ulangan ke 3 pada stasiun 1, 2, 4, dan 5 mengalami penurunan kandungan logam Pb dalam air. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi karena pada waktu pengambilan sampel terjadi peralihan musim, yaitu musim kemarau ke penghujan (bulan pebruari), sehingga debit air sungai dan waduk mengalami peningkatan.

Secara keseluruhan di kelima stasiun pengamatan terlihat bahwa pada pengambilan sampel ulangan ke 2 mengalami peningkatan kandungan logam Pb dalam air dibanding dengan ulangan 1 dan 3. Pada pengambilan sampel ulangan ke 2 sudah masuk musim penghujan, sehingga sumber logam berat khususnya Pb dari limbah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia di darat, seperti pertanian, permukiman, dan industri akan masuk ke sungai bersamaan dengan meningkatnya debit air sungai yang bermuara ke Waduk Cirata dan akan mengalami pengadukan air sehingga logam Pb di sedimen yang mengendap selama musim kemarau akan terlepas dari sedimen serta pada akhirnya logam Pb dalam air akan terakumulasi atau mengendap kembali di dasar perairan.

Menurut Philips (1980) dalam Fitriati (2004), diperkirakan konstribusi manusia dalam pencemaran logam berat dapat berupa limbah perkotaan, industri, pertambangan, dan pertanian. Bryan (1976) menyatakan bahwa sumber logam berat yang paling besar adalah berasal dari kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut. Hal tersebut disebabkan karena senyawa atau unsur logam berat sangat banyak dimanfaatkan dalam industri, baik sebagai bahan baku, katalis, fungisida, maupun aditif. Sedangkan menurut Darmono (1995), bahwa pada air tawar logam yang terkandung di dalamnya biasanya dari buangan air limbah, erosi, dan dari udara secara langsung.

Timbal masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengendap Pb yaitu hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi, dan limbah industri (Saeni, 1989). Senyawa Pb dalam bentuk organik lebih beracun dibandingkan dengan bentuk anorganik. Menurut Haldstead (1972), unsur Pb bersifat kronis dan akumulatif dalam tumbuhan dan hewan air. Keadaan perairan yang berubah-ubah, misalnya perubahan suhu, pH, intensitas, jumlah dan jenis bahan bahan pencemar dapat mengganggu bentuk logam berat yang ada. Oleh sebab itu, logam berat di dalam air selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Hasil pengukuran kandungan logam Pb dalam sedimen dan makrozoobentos masing-masing mempunyai rata-rata berkisara antara 20,5 - 39,43 mg/kg dan 31,62 - 47,2 mg/kg (Gambar 12), sedangkan menurut ulangan berkisar antara 19,54 - 42,4 mg/kg dan 3,3 - 111,6 mg/kg (Gambar 13 dan 14).

Gambar 12 menunjukkan bahwa kandungan logam Pb dalam sedimen pada setiap stasiun pengamatan mempunyai nilai yang bervariasi, dimana stasiun 4 mempunyai rata-rata sekitar 39,43 mg/kg dan terendah di stasiun 5 sekitar 20,5 mg/kg. Sedangkan rata-rata kandungan logam Pb di makrozoobentos di setiap stasiun pengamatan sangat bervariasi, dimana nilai rata-rata Pb tertinggi di stasiun 4 sekitar 47,2 mg/kg dan terendah di stasiun 3 sekitar 31,62 mg/kg.

20.5 39.43 28.37 27.63 23.83 40.61 47.2 31.62 34.25 43.65 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 1 2 3 4 5 Stasiun pengamatan

Dokumen terkait