• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan

Sebelum diekspor, hati sapi utuh terlebih dahulu dikemas dengan plastik steril, kemudian dimasukkan kedalam karton yang masing-masing berisi 2 atau 3 hati sapi utuh, jumlah tersebut tergantung dari perusahaan pengekspor. Tujuan penggunaan plastik yaitu untuk mencegah kontaminasi antara hati yang satu dengan yang lainnya dan juga mencegah kontaminasi dari luar. Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari kelembapan dan gas, tahan terhadap suhu rendah, transparan dan fleksibel. Pengemasan dapat diartikan sebagai usaha untuk menjamin keamanan produk selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga aman sampai di konsumen (Brown dalam Herdiana 2007). Menurut Patterson dan Gibbs (1979), pengemasan dengan menggunakan vacuum packaging dapat memperpanjang 2-3 minggu dari masa penyimpanan hati.

Hati sapi diangkut dengan menggunakan kapal besar yang didisain khusus sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Hati disimpan di dalam kontainer yang bersuhu -20 °C, bersama-sama dengan produk hewan lainnya misalnya jantung, daging, lidah dan ekor (buntut). Di dalam kontainer komoditi tersebut tersusun rapi, dan kontainer disegel menggunakan kunci dengan kode nomor tertentu yang tercatat dalam dokumen impor dan didisain khusus sehingga selama di perjalanan kontainer tersebut tidak boleh dibuka. Suhu kontainer tersebut harus tetap terjaga, stabil dan tercatat selama dalam perjalanan sampai dilakukan pembongkaran kontainer di instalasi karantina hewan sementara (IKHS).

Lama perjalanan hati sapi dari negara pengekspor ke Indonesia tergantung dari negara asalnya. Dari Australia memerlukan waktu 5-6 hari, Selandia Baru sekitar 8-9 hari, dan Kanada sekitar 30-33 hari. Sampai di Indonesia jeroan tersebut diperiksa kelengkapan administrasi impornya kemudian kontainer di bawa ke instalasi karantina hewan sementara milik importir yang sudah mendapatkan ijin (berdasarkan hasil studi kelayakan instalasi) dari Badan Karantina Pertanian.

Gambar 3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara.

Di instalasi dilakukan pembukaan segel/kunci yang diawasi oleh dokter hewan karantina yang bertugas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan kesesuaian jumlah serta volume komoditi yang ada berdasarkan dokumen impor. Apabila dalam pemeriksaan dan pengawasan terdapat hal-hal yang mencurigakan, misalnya telah terjadi perubahan suhu selama masa perjalanan atau terdapat komoditi yang mengalami pembusukan, maka dokter hewan yang bertugas segera melakukan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium sesuai pedoman yang telah ditetapkan kemudian dilanjutkan dengan tindakan karantina.

Pemeriksaan Organoleptik

Hati merupakan salah satu jeroan yang memiliki rasa dan tekstur yang diminati oleh manusia, hati sebagai salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh manusia, tetapi hati merupakan media yang baik bagi

pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007). Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap keamanan hati, salah satunya dengan pemeriksaan organoleptik atau sensoris. Prinsip dari pemeriksaan organoleptik adalah analisis warna, bau, rasa, dan konsistensi dilakukan dengan menggunakan pancaindera.

Berdasarkan hasil pemeriksaan organoleptik terhadap 60 sampel hati sapi impor yang berasal dari tiga negara menunjukkan bagian tepi hati tajam atau tidak ada kebengkakan, bau khas hati (amis), teksturnya lunak, tidak ada pembendungan dan degenerasi, tidak ada benjolan dan berwarna merah, merah kecoklatan sampai dengan coklat tua. Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas dari hati tersebut, yaitu untuk hati dengan kualitas baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson, 1988). Dari hasil pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa hati sapi yang diimpor dari ketiga negara tersebut mempunyai kualitas yang baik.

Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella

Deteksi Salmonella spp terhadap hati sapi impor yang melalui pelabuhan Tanjung Priok telah berhasil dilaksanakan dengan menggunakan dua metode pengujian yang berbeda, yaitu dengan kit ELISA komersial dan metode kultur berdasarkan BAM (2006). Prevalensi Salmonella spp terhadap hati sapi impor dengan menggunakan kit ELISA komersial RIDASCREEN® Salmonella mencapai 6.7% yaitu 4 positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 4 sampel positif, 2 sampel berasal dari Australia dan 2 sampel berasal dari Selandia Baru dan dari Kanada memperlihatkan hasil negatif. Konfirmasi dilakukan dengan pengujian menggunakan metode kultur yang merupakan metode standar (BAM 2006).

Hasil pengujian dengan metode kultur (gold standard) menunjukkan prevalensi Salmonella spp pada hati sapi adalah 5%, yaitu 3 sampel positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 3 sampel positif, 2 sampel positif berasal dari

Selandia Baru dan 1 sampel positif berasal dari Australia. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur

Negara pengekspor Salmonella positif

ELISA Kultur

Australia (n=24) 2 1

Kanada (n=6) 0 0

Selandia Baru (n=30) 2 2

Prevalensi (n=60) 4 (6.7%) 3 (5.0%)

Dari hasil pengujian yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil antara metode kultur sebagai uji standar dengan uji serologi yang menggunakan kit ELISA. Menurut Burgess (1995), umumnya dalam pengujian diagnostik metode mikrobiologi (kultur) merupakan metode standar (gold standard) yang diakui mempunyai akurasi pengukuran yang hampir mencapai 100%. Akurasi dari suatu metode pengujian diukur dan diekspresikan melalui nilai sensitivitas dan spesifisitasnya (Salman 2008).

Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode uji yang baru dalam hal ini kit ELISA, maka hasil pengujian dengan menggunakan kit tersebut dapat dibandingkan dengan hasil pengujian dengan metode standar (BAM 2006) yang dituangkan dalam tabel 2x2. Perbandingan terhadap metode standar (gold standard) seperti ini akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang sebenarnya untuk uji baru terhadap sensitivitas dan spesifisitas uji standar. Kemudian menurut Thorner dan Remein (1961) perbandingan metode uji yang baru terhadap metode tertentu yang sudah divalidasi terlebih dahulu akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas relatif terhadap sensitivitas dan spesifisitas metode tersebut.

Dengan menggunakan Tabel 8 di bawah ini, maka dapat dilakukan penentuan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negatif dari kit ELISA, serta menghitung statistik kappa untuk mengukur seberapa

besar kesesuaian diantara hasil-hasil pengujian dalam mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi yang diimpor (Martin dan Bonnet 1987).

Tabel 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda

Metode Kultur (standar) Jumlah Positif Negatif ELISA kit Positif 3 1 4 Negatif 0 56 56 Jumlah 3 57 60

Berdasarkan Tabel 8 dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100% (Lampiran 4). Nilai sensitivitas tersebut diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil positif dengan kedua metode uji (true positive) dibagi dengan sampel hati yang benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain sensitivitas adalah proporsi hati sapi yang terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji positif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya negatif palsu.

Nilai spesifisitas diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil negatif dengan kedua metode uji (true negative) dibagi dengan sampel hati yang tidak benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain spesifisitas adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji negatif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya positif palsu (Budiharta dan Suardana 2007).

Sensitivitas dan spesifisitas kit ELISA merupakan ciri uji diagnostik yang harus dimiliki oleh sebuah alat uji dan dibutuhkan dalam membuat kajian epidemiologi suatu penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas digunakan sebagai ukuran kinerja yang cenderung dihasilkan oleh uji tersebut dalam populasi.

Nilai prediktif positif adalah proporsi hati sapi terkontaminasi Salmonella spp (true positive) diantara sampel yang bereaksi positif terhadap pengujian dengan kit ELISA, sedangkan nilai prediktif negatif adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp (true negative) diantara sampel yang bereaksi negatif terhadap pengujian dengan kit ELISA. Pada penelitian ini didapatkan nilai prediktif positif kit ELISA mencapai 75%. Hal ini menunjukkan dari 4 sampel hati yang memberikan hasil positif hanya 75% sampel yang benar-benar terkontaminasi Salmonella spp atau dengan kata lain terdapat 1 sampel positif palsu.

Nilai prediktif negatif sebesar 100%, hal ini berarti sampel yang memberikan hasil negatif benar-benar merupakan sampel yang negatif atau dengan kata lain tidak terdapat sampel yang memberikan hasil negatif palsu. Nilai prediktif tidak hanya dipengaruhi oleh sensitivitas dan spesifisitas, tetapi dipengaruhi oleh prevalensi sebenarnya (true prevalence) dalam suatu populasi. Prevalensi sebenarnya merupakan hal yang sulit diketahui maka tidak dapat secara langsung dianggap bahwa suatu pengujian yang memiliki nilai prediksi tertinggi selalu paling sensitif dan spesifik.

Positif palsu sering terjadi pada uji serologi terhadap bakteri hal ini disebabkan oleh adanya reaksi silang antara beberapa spesies bakteri. Seperti diketahui bahwa beberapa bakteri mempunyai kemiripan pada beberapa struktur tubuhnya, misalnya bakteri yang termasuk dalam bakteri gram negatif yang mempunyai struktur dinding sel yang sama yaitu mempunyai lipopolisakarida.

Pada penelitian ini dengan menggunakan uji ELISA diperoleh 1 sampel memberikan hasil positif palsu. Sebagai uji tapis, kit RIDASCREEN®Salmonella dikembangkan dengan menggunakan monoclonal antibody terhadap antigen somatik O pada rantai samping O lapisan lipopolisakarida yang melekat pada dinding sel Salmonella dan diketahui sebagai determinan virulensi pada Salmonella. Antigen somatik O terdapat pada semua genus Salmonella tetapi beberapa bakteri Enterobactericeae misalnya Citrobacter dan Providencia juga mempunyai antigen somatik O, sehingga kemungkinan akan menyebabkan terjadinya reaksi silang dan menghasilkan positif palsu (Burgess 1995).

Kit ELISA ini mempunyai potensi terhadap munculnya negatif palsu karena berdasarkan informasi dari produsen, kit tersebut mempunyai limit deteksi 1-5 sel/25 g sampel atau setara dengan 104 Salmonella/ml setelah pengayaan (R- biopharm 2007). Hal ini berarti apabila Salmonella yang mengkontaminasi pada hati kurang dari 1-5 sel maka besar kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh kit ELISA ini.

Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian secara serologis terhadap lima jenis kultur bakteri untuk melihat spesifisitas dari kit ELISA serta mengetahui kemungkinan adanya reaksi silang dengan spesies bakteri lainnya. Lima jenis bakteri tersebut terdiri dari empat jenis bakteri gram negatif yaitu Salmonella typhimurium, Salmonella typhi, Eschericia coli, dan Shigella sonei, serta satu jenis bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri tersebut diuji menggunakan kit ELISA tanpa melalui tahapan pengayaan dan dengan tahapan pengayaan terlebih dahulu selama 16 jam pada buffered peptone water.

Hasil pengujian dikatakan valid apabila optical density (OD) dari kontrol positif ≥1.0 dan OD dari kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dinyatakan negatif jika OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila OD ≥2.0. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai OD pada kedua spesies Salmonella yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan.

Tabel 9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif

Bakteri

Nilai OD 450

Hasil

ELISA Hasil Kultur

Tanpa pengayaan Setelah Pengayaan Salmonella typhimurium 1.031 1.941 + + Salmonella typhi 1.150 2.268 + + Eschericia coli 0.054 0.062 - - Shigella sonei 0.052 0.059 - - Staphylococcus aureus 0.046 0.049 - - Kontrol negatif Kontrol positif Cut off 0.045 1.313 0.200

Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai OD dari kedua spesies Salmonella yang melalui pengayaan lebih tinggi dari bakteri yang tidak melalui pengayaan, tetapi kedua spesies bakteri tersebut mempunyai nilai OD lebih besar dari nilai cut off yaitu 0.200. Hasil pengujian pada bakteri gram negatif lainnya yaitu E. coli dan Shigella sonei baik yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan memberikan nilai OD yang lebih kecil dari cut off, sehingga dikatakan negatif atau tidak terjadi adanya reaksi silang. Bakteri gram positif yaitu S. aureus memiliki nilai OD lebih rendah dari cut off.

Pada penelitian ini dilakukan analisis uji kesesuaian dengan statistik kappa terhadap pengujian menggunakan kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor. Dari data pada Tabel 7 menyatakan bahwa pengujian standar memberikan prevalensi kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor sebesar 5.0%, sedangkan dengan menggunakan kit ELISA komersial prevalensi sebesar 6.7%, dan kedua uji sama-sama memberikan reaksi positif terhadap 5% dari keseluruhan sampel yang diperiksa. Data ini tidak memberikan indikasi bahwa reaksi positif berarti status terinfeksi dan reaksi negatif berarti status tidak terinfeksi. Hal ini hanya memberikan indikasi bahwa pengujian dengan menggunakan kit ELISA memberikan proporsi positif lebih besar dari pada pengujian standar, sehingga perlu menghitung kesesuaian antara kedua pengujian tersebut. Nilai kappa adalah rasio antara nilai selisih kesesuaian dari yang nampak dengan nilai selisih kesesuaian maksimum (Thrusfield 2005).

Dari hasil analisis perhitungan, nilai kappa diperoleh sebesar 0.848 (Lampiran 5). Menurut Fleiss et al. (2003) yang diacu dalam Thrusfield (2005), nilai kappa ≥0.75 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (excellent agreement), sedangkan nilai kappa ≤0.4 menunjukkan kesesuaian jelek (poor agreement). Menurut standar Everitt (1998) yang diacu dalam Thrusfield (2005) nilai kappa >0.81 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (almost perfect agreement), 0.61- 0.80 kesesuaian baik (substantial agreement), 0.41-0.60 kesesuaian sedang (moderate agreement), 0.21-0.40 kesesuaian kurang (fair agreement), 0.21-0 kesesuaian buruk (slight agreement) dan 0 menunjukkan kesesuain sangat buruk (poor agreement). Berdasarkan kedua standar tersebut maka nilai kappa 0.848 menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik, antara uji menggunakan kit

ELISA dan metode kultur. Nilai kesesuaian yang diperoleh tersebut di luar dari pada faktor kebetulan yang mungkin terjadi (Martin dan Bonnet 1987).

Dengan demikian kit ELISA ini dapat direkomendasikan untuk digunakan di karantina sebagai uji tapis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Menurut Salman (2008), dalam memilih metode uji untuk keperluan uji tapis terutama untuk mendeteksi kontaminasi bakteri patogen pada makanan, maka nilai sensitivitas yang tinggi menjadi pertimbangan utama karena semakin tinggi nilai sensitivitas maka semakin kecil diperoleh adanya negatif palsu. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Burgess (1995), metode ELISA sebagai uji tapis dalam mendeteksi Salmonella pada makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella spp dan juga mempunyai sensitivitas yang baik untuk mendeteksi patogen pada level tertentu.

Keuntungan dari penggunaan kit ELISA ini adalah dari segi waktu pengujian, karena hanya membutuhkan waktu 24-30 jam (±2 hari) sedangkan pengujian dengan metode kultur membutuhkan waktu selama 168 jam (± 7 hari) sehingga dapat menghemat waktu sampai 5 hari. Di samping itu dari segi ekonomi pengujian dengan kit ELISA relatif lebih murah dibandingkan dengan metode kultur terutama jika sampel yang diuji dalam jumlah besar. Pengujian dengan kit ELISA lebih efisien dibandingkan dengan metode kultur terutama dari segi jenis bahan dan reagen yang digunakan. Dalam penggunaan kit ELISA ini dibutuhkan beberapa faktor penting yang harus diperhatikan antara lain: penangan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa kit ELISA, peralatan yang digunakan dalam pengujian sudah terkalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995).

Penelitian yang sama telah dilakukan untuk membandingkan beberapa kit komersial terhadap metode standar baik pada bahan pangan maupun pada sampel lingkungan seperti feses yang terkontaminasi Salmonella spp. Salah satu kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan yang sudah divalidasi adalah Salmonella-TEK. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa kit mampu mendeteksi Salmonella spp pada konsentrasi yang sangat rendah (1-5 CFU/25 g) dan tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan bakteri gram

negatif lainnya (Poucke 1990). Kemudian Peplow et al. (1999) melakukan kajian terhadap sensitivitas dan spesifisitas dari 3 jenis kit yang dikembangkan oleh perusahaan yang berbeda untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada feses unggas yang mengkontaminasi lingkungan.

Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

Berdasarkan laporan dari Gill (1981), yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988), prevalensi Salmonella spp pada hati mencapai 1-5%. Dalam penelitian ini keberadaan Salmonella pada hati sapi impor telah berhasil dideteksi dengan prevalensi keseluruhan mencapai 5%. Hasil dapat di lihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok. Negara pengekspor Jumlah sampel (n) Sampel positif (Kultur) Prevalensi (%) Australia 24 1 4.16 Kanada 6 0 0 Selandia Baru 30 2 6.67

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa prevalensi Salmonella spp pada hati yang diimpor dari Australia mencapai 4.16% dan Selandia Baru mencapai 6.67%. Sampel hati dari Kanada memberikan hasil negatif terhadap kedua metode pengujian yang digunakan. Hasil negatif tersebut tidak dapat dikatakan bahwa hati yang diimpor dari Kanada tidak terkontaminasi Salmonella. Hal ini disebabkan karena frekuensi impor hati dari Kanada sangat kecil sehingga proporsi sampel yang bisa diambil berdasarkan metode pengambilan sampel probability proportional to size (McGinn 2004) jumlahnya sangat sedikit.

Kemungkinan lainnya adalah prevalensi dugaan yang digunakan dalam penghitungan jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 5%, sedangkan berdasarkan Johnson et al. (1999) prevalensi Salmonella pada karkas mencapai 1.6% sehingga untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada hati yang berasal dari Kanada harus dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak. Mikroorganisme patogen lain yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan prevalensi

bervariasi antara 32-75%, Clostridium perfringens dengan prevalensi 12%, bakteri gram positif berbentuk coccus dengan prevalensi 80%, dan E. coli dengan prevalensi 10% (Pearson dan Dutson 1988).

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dibagi menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik) (Lukman 2007). Sumber pencemaran intrinsik Salmonella spp berasal dari sapi yang menderita salmonelosis pada saat dipotong sehingga Salmonella bermanifestasi pada beberapa jaringan tubuh misalnya pada bagian parenkim hati, prevalensi yang pernah dilaporkan mencapai 2% (Samuel et al. 1980). Salmonella juga dapat diisolasi dari jejunal dan caecal lymph node dengan prevalensi mencapai 30%. Caecal lymph node lebih sering terifeksi dibandingkan dengan jejunal lymph node, tetapi perbedaannya tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa mesenteric lymph node dapat menjadi sumber penularan Salmonella pada karkas dan produk lainya (Moo et al. 1980). Menurut Rivera (2004), kulit hewan dan pagar kandang penampungan hewan di RPH merupakan sumber infeksi Salmonella yang utama pada hewan yang akan dipotong.

Pencemaran ekstrinsik berasal dari berbagai sumber baik pada saat dan setelah proses pemotongan. Sumber kontaminasi berasal dari feses yang mengandung Salmonella dengan prevalensi 6.8%, kemudian 68% pada kulit, 29% pada rongga mulut, dan 25% dari rumen pada saat proses pemotongan di RPH (Fegan et al. 2004; Fegan et al. 2005). Samuel et al. (1980) menyatakan bahwa prevalensi Salmonella pada hati pada saat proses pengeluaran jeroan (eviserasi) mencapai 32%. Sumber pencemaran Salmonella dapat juga melalui peralatan yang digunakan di RPH, yang kontak dengan bagian sapi yang mengandung Salmonella, antara lain melalui pisau yang digunakan pekerja RPH dengan prevalensi 14% (Smeltzer dan Thomas 1981), baja pengasah pisau 65%, plastik apron 14%, pada pakaian pelindung petugas pengangkat karkas 41%, dan tiang gedung RPH 30% (Smeltzer et al. 1980a).

Pekerja di RPH juga merupakan sumber kontaminasi Salmonella terutama pada tangan yang kontak dengan kulit dan kemudian menangani karkas dan produknya. Hal ini dilaporkan oleh Smeltzer et al. (1980b) bahwa Salmonella

dapat diisolasi dari 52% tangan pekerja di RPH. Salmonella dapat diisolasi dari kemasan eksternal daging dan produknya dengan prevalensi <1% (Burgess et al. 2005).

Kontaminasi Salmonella dipengaruhi oleh kemampuan bakteri tersebut bertahan pada suatu lingkungan tertentu dan jumlah dari bakteri tersebut pada saat mengkontaminasi. Menurut Kusumaningrum et al. (2001) S. enteritidis dapat bertahan selama 4 hari pada suhu ruang dengan konsentrasi bakteri 107 CFU/100 cm2, selama 1 hari pada konsentrasi bakteri yang 105 CFU/100 cm2, dan mampu bertahan selama 1 jam pada konsentrasi bakteri103 CFU/100 cm2.

Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya

Hampir semua bahan makanan yang berasal dari produk hewan merupakan wahana Salmonella. Pada umumnya wahana infeksi Salmonella pada manusia berasal dari unggas, babi, sapi, telur, susu dan produknya. Di Amerika Serikat, sapi dan produknya merupakan sumber infeksi Salmonella pada manusia, sedangkan di Inggris, unggas dan produknya bertanggung jawab terhadap lebih dari 50% wabah Salmonella, sementara pada sapi hanya 2%. Dibeberapa negara di Eropa, poultry dan babi umumnya merupakan sumber infeksi (WHO 1988). Di Amerika Serikat, hasil surveilans sampai pertengahan tahun 2008 menunjukkan prevalensi Salmonella mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2% pada daging sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun.

Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi bervariasi tergantung kepada spesies dan serotipenya seperti yang dikatakan Sudarwanto (2007) S. barely 1.3x105/g, S. anatum 4.5x105/g, S. newport 105/g, S. pullorum 1.3x109/g, S. east bourne 102/g, dan S. typhimurium jumlah sedikit sudah menimbulkan penyakit. Salmonella dengan masa inkubasi 12-36 jam tetapi bisa mencapai 5-72 jam dengan gejala sakit kepala, rasa mual, kadang muntah, sakit perut, diare, dan demam ringan. Pada penelitian ini tidak dilakukan karakterisasi untuk menentukan serotipe terhadap sampel yang positif. Umumnya serotipe Salmonella yang pernah diisolasi dari hati sapi di Australia adalah S. adelaide, S. anatum, S. bovis-morbifican, S.bredeney, S.chester, S. give, S. havana, S. litcfield,

S. muenchen, S. newington, S. newport, S. saint-paul, S. typhimurium, dan S. virchow (Samuel et al.1980).

Kemudian yang menjadi kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan manusia diberbagai negara di dunia adalah munculnya beberapa serotype Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara terus menerus, baik dalam rangka pengobatan maupun penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada industri peternakan dapat berpotensi menyebabkan dan menyebarkan resistensi antibiotik dari beberapa mikroba. Dalam beberapa tahun terakhir isolat Salmonella yang berhasil diisolasi dari produk hewan mengalami peningkatan terhadap serotipe Salmonella yang resisten terhadap antibiotik.

Berdasarkan laporan Chen et al. (2004), dari 133 isolat Salmonella dari sampel daging yang diperiksa, terdapat 82% isolat Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Jenis antibiotik yang diperoleh dari Salmonella yang mengalami resistensi terhadap tetrasiklin (68%), streptomisin (61%), sulfametoksazol (42%), dan ampisilin (29%). Dengan demikian perlu dikembangkan teknik molekular genetik yang dapat digunakan untuk karakterisasi Salmonella yang resisten terhadap antibiotik, khususnya Salmonella enterica serovar Typhimurium DT104.

Penelitian ini memberikan gambaran adanya kontaminasi Salmonella spp

Dokumen terkait